Pada bulan Oktober 2014,
Perdana Menteri Turki Ahmed Davutoglu pernah menyatakan melalui siaran CNN,
sebaiknya AS memberlakukan sebuah zona larangan terbang dan Turki akan
menggelar pasukan di wilayah Suriah bagian utara. Setelah itu, Ankara merilis
peta zona penyangga yang akan dipatroli oleh pasukan Turki dan Amerika di
sepanjang perbatasan Turki dengan Suriah kecuali di wilayah yang dikuasai
Daulah (ISIS) yang mengelilingi kota Tel Abyad.
Sejak November 2014, Turki mendorong
penggunaan kekuatan udara untuk menciptakan zona aman di sepanjang perbatasan
dan selanjutnya meluas ke wilayah kota Aleppo. Rencana ini diharapkan Ankara
akan dapat membantu mengorganisir oposisi Suriah dalam rangka menekan BasHar
Assad supaya turun dari kekuasaannya. Lengsernya Assad merupakan tujuan Ankara
sejak bulan September 2011 ketika mereka memutuskan hubungan dengan rezim
Damaskus.
Amerika selalu menolak permintaan
Turki tersebut meski telah berulang kali diutarakan Ankara untuk mengambil
kebijakan yang lebih agresif di Suriah. Keengganan AS tersebut menimbulkan
spekulasi bahwa Ankara akan memilih bertindak sendirian di Suriah. Senada
dengan hal ini, sejumlah sumber di Turki diam-diam menyampaikan kepada publik
bahwa mereka telah bekerja sama dengan Arab Saudi untuk menerapkan strategi
intervensi di Suriah.
Jet tempur koalisi Saudi dalam
operasi Decisive Storm
Menurut sumber di
Ankara, operasi tersebut akan melibatkan kekuatan udara Saudi dan Turki dengan
target melumpuhkan kekuatan udara Suriah serta akan melakukan patroli udara
gabungan di zona terbatas di sepanjang perbatasan Turki dengan Suriah. Opsi itu
diambil dalam rangka memberi jalan bagi pasukan militer Turki menekan
masuk ke wilayah tersebut dan menduduki suatu zona yang selama hampir setengah
dekade mereka inginkan. The
Huffington Post telah mengkonfirmasi kebenaran rumor
tersebut minggu lalu, dan melaporkan bahwa pembicaraan antara Riyadh dan Ankara
tentang operasi gabungan tersebut saat ini sedang berlangsung.
Indikasi kuat
menunjukkan kecenderungan Riyadh dan Ankara akan melanjutkan rencana operasi
mereka meskipun Amerika tidak setuju. Bahkan dalam minggu ini, Riyadh dan
Ankara berhasil mengatasi sejumlah perbedaan pendapat tentang arah perang
selanjutnya. Dan sekarang sudah ada kesepakatan untuk mendukung Jaisyul Fatih, sebuah kelompok
gabungan yang memayungi kelompok-kelompok oposisi yang saat ini menguasai
propinsi Idlib.
Namun demikian, ada sejumlah keraguan
terhadap operasi militer gabungan dua negara tersebut di Suriah, terutama–meski
bukan yang paling utama–adalah yang berkaitan dengan politik dalam negeri
Turki. Erdogan harus bersedia mengorbankan ambisi politiknya, dan itu adalah
sesuatu yang tidak mungkin.
Pertama, ada beberapa masalah militer yang
harus dihadapi. Angkatan Udara Saudi saat ini terlibat peperangan sengit
di Yaman. Mereka akan kesulitan karena harus berperang dan menopang dua
peperangan sekaligus. Sumber daya yang diperlukan untuk melakukan
patroli-serangan udara di Suriah sangat besar, aset intelijen akan terus
menerus dikuras selama operasi yang mentarget posisi Assad hingga berhasil, dan
juga kebutuhan bagi aset kekuatan udara Saudi untuk mendukung pasukan darat
Turki terlalu besar ditanggung oleh kedua negara. Mereka akan membutuhkan
Amerika untuk secara efektif melindungi pasukan Turki di darat.
Kedua, intervensi Turki di Suriah bukan
merupakan kebijakan yang popular di dalam negeri. Seluruh partai politik telah
secara resmi memulai kampanye mereka untuk pemilu nasional pada bulan Juni 2015
nanti. Politisi paling menonjol Turki, Recep Tayyip Erdogan, secara terbuka
mengkampanyekan dilakukannya perubahan mendasar terhadap konstitusi negara di
antaranya termasuk penguatan sistem presidential baginya.
Erdogan dan massa AKP
Untuk itu, AKP (Justice and Development Party) harus menambah 18 kursi lagi untuk memudahkan jalan rencana
tersebut. Saat ini AKP telah menguasai 312 kursi di parlemen. Untuk perubahan
konstitusi minimal diperlukan 330 kursi untuk meng-gol-kannya di tingkat
parlemen yang kemudian hasil akhirnya ditentukan melalui referendum nasional.
Data dari jajak pendapat menunjukkan hal itu akan sulit dilakukan, namun bukan
sesuatu yang tidak mungkin.
Oposisi Turki mengincar kebijakan
luar negeri AKP terutama cara pendekatan mereka terhadap konflik Suriah.
Kebijakan AKP di Suriah dianggap tidak popular termasuk langkah AKP yang
mendukung baik secara militer maupun finansial terhadap oposisi Suriah. Kritik
dan serangan terhadap partai Erdogan AKP ini menimbulkan keyakinan (opini)
publik bahwa AKP mendukung JN (Jabhatun Nusrah) yang secara umum oleh diskursus
perpolitikan di Turki dianggap sebagai kelompok afiliasi ISIS dan al-Qaidah.
AKP sangat keras menolak anggapan tersebut. Namun demikian, jika AKP
melanjutkan kebijakan intervensinya, hal itu akan dapat memicu kritik lebih
luas yang akan mengerucut pada dugaan bahwa mereka memang mendukung
kelompok-kelompok (teroris) tersebut.
Dampak politik yang
lebih luas yang harus dihadapi AKP selanjutnya adalah bagaimana mereka
menghadapi persaingan multi arah dan kepentingan dengan beberapa kekuatan
sosial politik di dalam negeri Turki. Di antaranya adalah HDP (Halklarin Demokratik Partisi) yaitu Partai Demokrasi Rakyat yang merupakan sayap politik
gerakan PKK (Partiya Karkeren Kurdistan) sebuah gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Kurdi dari
Turki.
Erdogan juga harus
membawa partainya menghadapi oposisi partai nasionalis MHP (Milliyetci Hareket Partisi) dan juga sebuah partai baru beraliran kiri CHP (Cumhuriyet Halk Partisi) – partai baru
yang masih harus berjuang melewati syarat electoral threshold–dalam pemilu Juni 2015 mendatang untuk mengamankan posisinya.
Pilihan politik AKP untuk berjuang melalui demokrasi parlementer membawa
konskuensi partai tersebut harus bergelut dengan persaingan memperebutkan
kursi-kursi di forum aliansi besar antar kelompok politik dan kepentingan yang
berbeda-beda.
Di sisi lain, orang akan lupa dan
tidak memperdulikan bagaimana frustrasi Turki dan Saudi terhadap kebijakan
Washington di Suriah. Ankara merasa sangat tidak puas dengan kampanye bombardir
pimpinan Amerika di Suriah yang hanya fokus menghadapi ISIS. Demikian juga
ketidakpuasan Saudi atas kesepakatan nuklir Iran beserta kebijakan-kebijakan
luar negeri Iran lainnya yang ekspansif mendorong Arab Saudi membuat keputusan
yang impulsif.
Oleh karena itu, sebenarnya aksi
mereka di Suriah tersebut tidak diprediksi sebelumnya. Dan hasil yang paling
mungkin dari cara pendekatan Ankara dan Riyadh terhadap konflik Suriah adalah
meningkatnya dukungan bagi pemberontak Suriah termasuk program pelatihan dan
suplai senjata yang (juga) di-backup oleh Amerika.
Karena itu diharapkan adanya dukungan
yang lebih besar terhadap kelompok-kelompok oposisi tertentu serta meningkatkan
kerjasama intelijen. Namun demikian, akan tetap sulit untuk memperkirakan ke
mana arah operasi gabungan Turki-Saudi ini ke depan. Sementara kebijakan ini
belum jelas apakah akan berdampak positif bagi raihan dukungan politik dalam
negeri, maka Erdogan masih memerlukan sebanyak mungkin dukungan suara pemilih
untuk mewujudkan ambisi politiknya.
Dirangkum oleh: Yasin Muslim
Dari: Are Turkey and Saudi Arabia Going to War in Syria?
Dari: Are Turkey and Saudi Arabia Going to War in Syria?