Ternyata ada ulama syiah yang belum
menelaah riwayat perubahan Al Qur'an, mungkinkah demikian? atau hanya kura-kura
dalam perahu..."
Dari makalah bagian pertama, akhirnya kita ketahui bahwa perubahan Al Qur’an
adalah salah satu aksioma [hal yang tidak bisa lagi ditawar-tawar] dalam mazhab
syi'ah imamiyah. Ini merupakan konsekwensi logis dari keterangan di atas
barusan. Di antara ulama syi'ah yang “konsekuen” pada konsekuensi logis di atas
adalah:
Abu
Hasan Al Amili
Dia mengatakan: bagi saya, perubahan Al Qur’an telah demikian jelasnya, karena
saya telah mengkonfirmasi dan menelusuri seluruh riwayat, yang mana dapat
dikatakan bahwa keyakinan terhadap perubahan Al Qur’an adalah salah satu
keyakinan pokok [aksioma] dalam mazhab syi'ah dan salah satu tujuan perebutan
khilafah [dari yang berhak].
Lihat Muqaddimah kedua pasal ke empat dari tafsir Miraatul Anwar wa Mishkatul
Asrar, dicetak sebagai pengantar bagi Tafsir Al Burhan karya Al Bahrani.
Ternyata
demikian jelas, bahwa meyakini perubahan Al Qur’an adalah wajib bagi penganut
syi'ah, jika masih ingin dianggap sebagai syi'ah. Karena riwayat yang begitu
banyaknya –sampai derajat mutawatir bahkan lebih- harus diterima oleh penganut
syi'ah yang katanya mengikuti ahlulbait Nabi. Bagaimana dia mau mengikuti Nabi
dan tetap berada dalam mazhab syi'ah sementara dia menolak isi riwayat yang
jelas mutawatir -bahkan lebih-? Bagaimana bisa menjadi syi'ah dengan menolak
isi kitab literaturnya? Menolak meyakini perubahan Al Qur’an berarti menolak
mazhab syi'ah.
Begitu
juga Al Allamah Al Hujjah Sayyid Adnan Al Bahrani mengatakan:
Meyakini perubahan Al Qur’an adalah salah satu aksioma mazhab mereka [syi'ah].
Masyariq Syumus Ad Durriyah hal. 126
Karena
banyaknya riwayat tentang perubahan Al Qur’an, akhirnya ulama syi'ah [yang
konsekuen] menyimpulkan bahwa seseorang tidak bisa menjadi syi'ah jika masih
meyakini keaslian Al Qur’an yang ada saat ini. Begitu juga ulama syi'ah
menyatakan bahwa seluruh syi’ah bersepakat meyakini bahwa Al Qur’an telah
diubah. Di antaranya:
Al Allamah Al Hujjah Sayyid Adnan Al Bahrani
Setelah menukilkan banyak riwayat yang menunjukkan perubahan Al Qur’an, Adnan
mengatakan : riwayat telah begitu banyak tak terhitung jumlahnya, bahkan telah
melebihi syarat mutawatir sehingga tidak berguna lagi untuk disampaikan setelah
keyakinan tentang perubahan Al Qur’an tersebar luas di kalangan kedua kelompok,
bahkan sudah dijadikan aksioma oleh sahabat dan tabi’in, dan ijma’
[kesepakatan] golongan yang benar [syi'ah imamiyah], dan keyakinan itu menjadi
sebuah pokok mazhab mereka dan banyak riwayat dari kitab syi'ah yang menyatakan
demikian. Lihat Masyariq Syumus Ad Durriyah fi Ahaqqiyyati Mazhabil Akhbariyyah
hal 126.
Muhammad
bin Nu’man [juga dijuluki dengan Al Mufid] mengatakan:
Penganut Imamiyah sepakat meyakini bahwa banyak orang yang sudah mati akan
kembali hidup lagi di dunia sebelum hari kiamat, mereka juga bersepakat
meyakini Allah bersifat bada’, imamiyah juga bersepakat meyakini bahwa pemimpin
sesat telah menyelewengkan ayat Al Qur’an, mereka juga menyimpang dari ajaran Al
Qur’an dan sunnah Nabi. Lihat Awa’ilul Maqalat hal. 48-49.
Semua
ini menguatkan kesimpulan bahwa: seseorang tidak mungkin menjadi syi'ah tanpa
meyakini perubahan Al Qur’an.
Mengapa?
Karena
mengingkari perubahan Al Qur’an sama dengan mengingkari prinsip Imamah, karena
hadits yang menyatakan perubahan Al Qur’an dan Imamah sama-sama banyak dan
dimuat di kitab yang sama. Mengingkari prinsip imamah sama saja dengan keluar
dari mazhab syi'ah imamiyah.
Di
atas kita singgung ulama syi'ah yang konsekuen dengan mazhabnya, yaitu
menyatakan bahwa Al Qur’an telah diubah. Jika ada ulama syi'ah yang konsekuen,
ada juga ulama syi'ah yang tidak konsekuen karena mereka menolak meyakini
perubahan Al Qur’an, padahal mereka juga meyakini imamah. Padahal semestinya
mereka juga meyakini perubahan Al Qur’an.
Salah
satu ulama yang “tidak konsekuen” adalah Muhammad Ridha Muzaffar. Dalam
karyanya yang berjudul Aqaidul Imamiyah hal 59, Muzaffar mengatakan:
Kami meyakini bahwa Al Qur’an adalah wahyu ilahi yang diturunkan dari Allah ta’ala
melalui lisan NabiNya yang mulia, memuat keterangan tentang segala sesuatu, Al
Qur’an adalah mu’jizat yang kekal sepanjang masa, yang mana manusia tidak mampu
meniru balaghah dan kefasihannya, juga tidak mampu meniru isinya yang
mengandung hakekat dan ilmu yang tinggi, tidak mengalami perubahan dan
penyelewengan.
Di
sini Muzaffar menandaskan bahwa syi’ah meyakini bahwa Al Qur’an yang ada
sekarang ini terjaga dari penyelewengan dan perubahan. Di atas telah kita lihat
bahwa syi'ah imamiyah sepakat bahwa Al Qur’an telah diubah. Berarti ada dua
kemungkinan, yang pertama Muzaffar memang tidak memiliki pengetahuan yang
mendalam tentang syi'ah.
Dalam
pengantar kitabnya itu “Aqaid Al Imamiyah” tertulis sekelumit biografi
penulisnya “Muhammad Ridha Muzaffar” kita simak sedikit kutipannya:
..
dia mengikuti seluruh pelajaran yang harus ditempuh di tingkat “sutuh”
[tingkatan pendidikan ala hauzah ilmiyah syi'ah di Najaf] syaikh[Muhammad Ridha
Muzaffar] unggul dalam seluruh pelajaran tingkatan itu……Dia juga mengikuti
pelajaran yang disampaikan oleh kakaknya Muhammad Hasan dan Muhammad Husein,
begitu juga mengikuti pelajaran syaikh Aqa Dhiya’uddin Al Iraqi yagn
mengajarkan ushul fiqh, juga mengikuti pelajran syaikh mirza muhammad husein An
Na’ini yang mengajarkan fiqh dan ushul fiqh, mengikuti pelajaran syaikh
Muhammad Husein Al Asfahani secara privat dan intensif..
Artinya
Syaikh Muhammad Ridha Muzaffar bukanlah seorang santri biasa atau syi'ah
amatiran[seperti teman-teman syi'ah indonesia yang baru pulang dari iran]
yang asal menulis buku. Tak lupa kita nukilkan sedikit dari muqadimah “kata
pengantar” bukunya “Aqaidul Imamiyah”:
Saya menuliskan keyakinan-keyakinan ini, saya hanya berniat untuk menuliskan
seluruh pengetahuan saya tentang pemahaman Islam ala ahlulbait.
Tetapi
pembaca telah melihat sendiri bahwa riwayat mutawatir, bahkan lebih dari
mutawatir dari jalan periwayatan syi'ah imamiyah, telah menegaskan bahwa Al
Qur’an telah diubah. Sedangkan Muhammad Ridha Muzaffar adalah seorang figur
yang jelas tidak memiliki kredibilitas untuk “melawan” riwayat yang banyak itu.
Atau
Muzaffar hanya “kura-kura dalam perahu” pura-pura tidak tahu?
Wallahu
A’lam, hanya Allah yang tahu apa isi hati Muzaffar, tapi yang jelas
pernyataannya dalam kitab itu harus kita teliti lagi validitasnya karena
menyelisihi riwayat dari ahlulbait yang sudah jelas-jelas maksum, ditambah pula
riwayat itu memiliki banyak jalur sehingga disebut mutawatir.
Masih
ada lagi contoh dari ulama syi'ah yang “tidak mau konsekuen” terhadap keyakinan
imamah, yaitu tidak mau menyatakan bahwa Al Qur’an yang ada saat telah diubah,
seperti ditegaskan oleh riwayat syi'ah yang lebih dari mutawatir. Dialah
Muhammad Husein Al Kasyiful Ghita, yang menulis kitab Ashel Syi’ah wa Ushuluha.
Dia menyebutkan bahwa riwayat yang menyatakan perubahan Al Qur’an adalah
riwayat yang lemah lagi menyimpang dari kebanyakan riwayat yang valid. Dalam
kitabnya itu pada hal 220, terbitan Mu’assasah Imam Ali Alaihissalam, cet.
Sitarah dia menyatakan:
Kitab
Al Qur’an yang ada di tengah kaum muslimin hari ini adalah kitab yang
diturunkan oleh Allah untuk membuktikan kebesaran allah dan menantang kaum
kafir untuk membuat kitab seperti Al Qur’an, juga untuk mengajarkan hukum-hukum
agama, menjelaskan yang halal dan yang haram, tidak pernah mengalami
pengurangan, penyelewengan atau penambahan, pendapat ini adalah kesepakatan
seluruh kaum muslimin. Kelompok mana saja di kalangan kaum muslimin yang
beranggapan bahwa ada isi Al Qur’an hari ini telah mengalami penyelewengan dan
pengurangan, maka pendapatnya itu adalah keliru, dibantah oleh ayat Al Qur’an:
sungguh Kami telah menurunkan peringatan, dan Kami akan menjaganya. Seluruh
riwayat dari kitab kami maupun mereka yang menyatakan perubahan Al Qur’an
adalah menyimpang dan lemah, dan hadits ahad tidak dapat menjadi dasar ilmu
maupun amal.
Ada
beberapa hal yang harus dikomentari dari kutipan ini, yang paling mencolok
adalah pernyataan bahwa riwayat-riwayat perubahan Al Qur’an dalam kitab syi'ah
adalah dho’if dan menyimpang. Padahal pembaca sudah melihat sendiri pernyataan
yang dikutip dari ulama-ulama besar syi'ah masa lampau bahwa riwayat perubahan
Al Qur’an adalah mutawatir, sama seperti riwayat imamah. akhirnya kita
bertanya-tanya, apakah Al Kasyiful Ghita bersikap pura-pura tidak tahu? Atau
memang dia benar-benar tidak tahu? Jika kita lihat ajaran taqiyah di kalangan
syi'ah, kita semakin yakin bahwa Al Kasyiful Ghita hanya berpura-pura tidak
tahu, untuk menghibur kaum muslimin yang “intelek tapi bodoh” dan “bodoh tapi
intelek (bergelar sarjana S2 dan S3)” bahwa syi'ah dan sunni tidaklah berbeda,
dan tuduhan seperti itu hanyalah tuduhan yang tanpa bukti. Sayangnya para
intelek-intelek itu mau saja ditipu. Bahkan ada seorang “intelek”
bergelar DOKTOR yang sering muncul di TV, menulis buku membela syi'ah dengan
berdasar pada buku Kasyiful Ghita ini.
Mungkin
pembaca heran, bagaimana mengingkari kenyataan begitu mudah bagi Kasyiful
Ghita, atau jangan-jangan Kasyiful Ghita hanyalah seorang syi'ah “amatiran”?
Bagaimana
dia bisa tidak tahu bahwa riwayat syi'ah yang menyatakan perubahan Al Qur’an
adalah mutawatir seperti pernyataan ulama-ulama yang lebih senior?
Ini
sungguh membuat malu mazhab syi'ah, karena bagaimana orang seperti itu bisa
jadi ulama? Ini pertanyaan yang mungkin timbul dari pembaca yang awam.
Begitu juga katanya ada riwayat tahrif dalam buku sunni, tetapi kita tidak
pernah melihat hal itu, kecuali riwayat yang menyatakan adanya nasakh tilawah,
sedangkan nasakh tilawah boleh dan terjadi dalam Al Qur’an, dan nasakh tilawah
adalah perubahan dari Allah semasa hidup Nabi, bukan perubahan dari
tangan-tangan sahabat Nabi, seperti dalam riwayat syi'ah. Apakah kita
menyamakan nasakh tilawah dan tahrif/perubahan versi syi'ah? Nyatanya banyak
tokoh “intelek” menyamakannya.
Akhirnya orang awam yang tidak tahu terpengaruh, tapi insya Allah setelah
membaca makalah ini anda tidak lagi terpengaruh.
Juga orang awam akan bertanya-tanya, apakah setiap pernyataan ulama syi'ah masa
kini harus dicek dulu agar kita tahu apakah pernyataan itu sesuai dengan
literatur syi'ah atau tidak. Lebih jauh lagi, sebuah pertanyaan
"berbahaya" akan muncul;
Kalau begitu, apakah kita layak mempercayai ucapan ulama syi'ah? Siapa yang
menjamin bahwa mereka tidak akan mengatakan hal yang berbeda dengan isi kitab
literatur syi'ah?[contoh kasus, masalah perubahan Al Qur'an yang sedang kita
bahas]
[masih
bersambung lagi...... tunggu aja]