Oleh: H. Setiabudi
Lembaga Kajian Syamina
Lanjutan Artikel Pertama ( MONDAY,
MAY 18, 2015)
Dari Failed State ke arah Collapsed State?
GERAKAN Al-Hautsi (Al Huthi) bangkit dengan mengusung isu untuk
mendapatkan otonomi kekuasaan dari pemerintah Yaman dan memperbaiki kerusakan
tatanan sosio-ekonomi dan marjinalisasi historis atas kelompok mereka.
Melalui berbagai pemberontakan melawan angkatan bersenjata Yaman
sejak 2004 dan lebih dari enam rangkaian konflik (six rounds) itu,
Al-Hautsi berhasil mendapatkan kontrol atas provinsi Sa’ada sepanjang waktu
tersebut, dan bahkan merambah batas sebagian wilayah provinsi-provinsi
tetangganya seperti Al-Jauf, Amran dan Hajjah. Pada Februari 2010, kelompok ini
menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan pemerintah.[6]
Pasca meletusnya revolusi Yaman sejak Januari 2011, dalam
rangkaian Arab Spring, kondisi Yaman secara umum menjadi semakin tak
terkendali. Dinamika perpolitikan, konflik, dan keamanan berputar begitu cepat.
Menyusul aksi bentrok, demonstrasi rakyat tak berkesudahan, membuat Presiden
Ali Abdullah Saleh meletakkan jabatan dan digantikan oleh Abdu Rabbu Mansour
Hadi sejak 2012.
Dengan lemahnya pemerintahan baru, diperparah oleh konflik
berkepanjangan dan keruwetan negara yang tak terkendali, akhirnya berakhir pula
pemerintahan Hadi. Sehingga, di Yaman tidak ada lagi pemerintah, tidak juga
presiden (vacuum
of power). Pada tanggal 22 Januari 2015 lalu, setelah milisi Syiah
Zaidi, Al-Hautsi, yang berbasis di provinsi Sa’ada bagian utara Yaman mengepung
istana presiden di Shan’a, baik Presiden Abdu Rabbu Mansour Hadi maupun Perdana
Menteri Khaled Bahah (yang mendapat kepercayaan parlemen sejak Desember 2014),
mengundurkan diri.
Washington telah menutup kedutaan besarnya di Yaman. Begitu pula
negara-negara lainnya, Barat dan non-Barat, telah melakukan hal serupa. Namun,
empat gubernur di kawasan selatan, termasuk dari Aden dan Abyan, yang menjadi
pusat kampanye pesawat tak berawak (drone) AS terhadap AQAP, menolak untuk
mengundurkan diri.[7]
Kedutaan besar AS di Yaman dalam website resminya tertanggal 8
Februari 2015, mengeluarkan pesan darurat (emergency message)
kepada warga AS yang masih berada di Yaman. Rilis tersebut menyebutkan, “Karena
masalah keamanan di Yaman, kedutaan besar AS di Shan’a telah menghentikan semua
layanan konsuler hingga ada pemberitahuan lebih lanjut. Untuk saat ini, kami
meminta warga AS yang membutuhkan bantuan darurat untuk menghubungi konsulat
atau kedutaan besar AS di negara tetangga. Kedutaan besar AS di Shan’a terus memantau
kondisi keamanan di Yaman; silakan cek website ini untuk perkembangan informasi
terbaru.”[8]
Rilis tersebut juga mengimbau warga AS di Yaman untuk selalu
memeriksa website biro urusan konsuler, bahkan juga melalui akun twitter dan facebook-nya.
Negara-negara Barat lainnya seperti Inggris, Prancis, Jerman, Italia, juga
negara tetangga Arab Saudi dan Uni Emirat Arab menyusul kemudian untuk menutup
kedutaan besar mereka.
Setelah penutupan beberapa kedutaan besar negara-negara Barat di
Shan’a, pemimpin pemberontak Syiah Al-Hautsi, Abdul Malik Al-Hautsi, muncul
dalam siaran televisi (10 Februari 2015) membantah ketakutan Barat terhadap
situasi keamanan Yaman dengan mengatakan bahwa ketakutan mereka itu “tidak
beralasan”.[9] Namun pernyataan ini tentu hanya retorika belaka di tengah
adanya konflik-konflik antar-faksi bersenjata yang sedemikian jelasnya. Pada
Kamis (13 Februari 2015) Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, mengatakan,
“Yaman telah mulai kolaps di hadapan mata-kepala kita dan semakin dekat ke arah
perang sipil (total
chaos).”[10]
Masa transisi yang dilalui Yaman sejak lengsernya Ali Abdullah
Saleh—dengan ditandatanganinya pernyataan pengalihan kekuasaan ke tangan Abdu
Rabbu Mansour Hadi pada tanggal 23 November 2011 yang dimediasi oleh the Gulf Cooperation
Council (GCC)[11]—pada akhirnya menempatkan Yaman sebagai sebuah failed state. Sebab,
pemerintahan Abdu Rabbu Mansour Hadi dipandang lemah dan tidak mampu mengontrol
situasi keamanan, gejolak politik, serta berbagai rivalitas antar-suku, faksi agama,
dan militan bersenjata. Selain itu korupsi, kemiskinan, kesenjangan sosial dan
buruknya infrastruktur, yang memang sejak lama sudah terjadi di Yaman, turut
memperlemah pemerintahan Hadi.
Gamal Gasim, profesor ilmu politik dari Yaman, menuliskan pandangan
analitisnya mengenai lemah dan gagalnya pemerintahan Hadi, yang dirilis
beberapa hari setelah presiden Hadi mengundurkan diri.[12] Gamal mengatakan,
sebenarnya fenomena pengangkatan Hadi sebagai presiden cukup unik dalam
kaitannya bahwa Hadi merupakan kandidat presiden yang dipilih melalui
konsensus, dan naiknya Hadi ke tampuk kepemimpinan didukung baik oleh partai
berkuasa, the General People’s Congress (GPC) maupun the Joint Meeting
Parties—komite yang memayungi partai-partai oposisi yang terdiri dari unsur
Islamis, Sosialis dan Nasionalis Arab Yaman.
Sebelum dipilih sebagai presiden, Hadi telah menjabat sebagai
wakil presiden mendampingi Saleh selama 16 tahun. Pemilihan Hadi sebagai
presiden pengganti tidak lepas dari transaksi politik yang diajukan oleh GCC
untuk membantu menghindarkan Yaman dari perang sipil secara total. Transaksi
tersebut menetapkan suatu periode transisi dimana di dalamnya akan digelar
dialog nasional yang melibatkan seluruh aktor politik Yaman, yang nantinya akan
menyusun outline konstitusi dan sistem politik Yaman
untuk masa mendatang.
Hasil penting lainnya yaitu kekebalan hukum bagi Saleh dari
semua tuntutan politik masa depan, yang dengan lihainya ia gunakan untuk
menggerogoti keseluruhan proses tersebut. Dialog nasional itu menghasilkan
putusan berupa solusi-solusi damai untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
politik, ekonomi dan keamanan Yaman yang cukup kronis. Rumusan-rumusan itu
dipuji-puji sebagai sebuah model resolusi damai untuk mengatasi konflik serupa
di negara-negara Arab Spring lainnya.
Namun demikian, memang
saat itu tak banyak pengamat yang menilai, bahwa negara tersebut sedang
bergerak ke arah transisi yang benar-benar demokratis. Lalu, bagaimana transisi
demokratis yang cukup menjanjikan harapan itu bisa berubah menjadi sebuah
negara yang gagal (failed state), atau menjadi Irak kedua di kawasan Timur
Tengah?
Dalam pandangan Gasim,
pertanyaan ini bisa dijawab, salah satunya, dengan menelaah pemerintahan Hadi.
Meskipun dia memulai masa kepresidenannya dengan berusaha untuk ‘menjadi
dirinya sendiri’ dan menggali dukungannya sendiri, namun dia tidak bisa
mewujudkannya. Ironi strategi yang diterapkan Hadi adalah bahwa
langkah-langkahnya tampak sekali berusaha mengeliminasi atau mereduksi
kekuasaan politik dari para aktor yang telah mengantarnya naik ke tampuk
kekuasaan.
Hadi berusaha
menduplikasi strategi “menari di atas kepala ular” yang diterapkan Saleh dalam
mengendalikan aktor-aktor politik Yaman dengan mengadu mereka satu sama lain.
Namun, Hadi tidak memiliki kelihaian sosial dan intelijensi politik secerdik
Saleh.
Pertama, Hadi
tergesa-gesa merestruksturisasi militer dengan menyingkirkan putra-putra dan
keponakan Saleh, juga Jendral Ali Mohsen—pemimpin militer paling kuat di negara
tersebut. Dampaknya adalah bencana besar baginya. Militer terpecah-belah
sedemikian rupa dan bahkan terpuruk hingga level profesionalisme paling rendah.
Kedua, Hadi tidak
menerapkan strategi yang efektif untuk menangani kelompok-kelompok militan,
seperti Al-Hautsi, yang mulai berupaya menancapkan pengaruh lebih luas di
berbagai elemen negara itu. Sementara Hadi tidak terlalu peduli kepada para
petinggi militer yang pro-pemberontakan, para loyalis Saleh di tubuh militer
memberikan kontribusi signikan terhadap Al-Hautsi untuk merebut kontrol atas
beberapa provinsi di Yaman—termasuk kontrol militer yang tak terduga sebelumnya
atas ibukota Shan’a, pada 21 September 2014.
Kekalahan cepat yang
dialami militer Yaman dalam berbagai pertempuran melawan Al-Hautsi, yang diduga
juga menerima bantuan teknis dan militer dari Iran, lebih jauh telah
menggerogoti legitimasi Hadi dan membuatnya membayar mahal dengan kehilangan
dukungan dari Partai Al-Islah dan Jendral Mohsen.
Disamping itu,
malangnya Hadi juga telah gagal dalam menjalankan strateginya untuk
mengendalikan GPC dan menyetirnya menjauh dari kepemimpinan dan pengaruh Saleh.
Faktanya, Hadi disingkirkan dari partai tersebut setelah komite sanksi Dewan
Keamanan PBB mengeluarkan putusan untuk mengenakan pembekuan aset dan larangan
melakukan perjalanan (travel ban) atas Saleh dan dua orang pemimipin Al-Hautsi
pada November 2014.
Di luar
kesalahan-kesalahan langkah tersebut, Hadi tidak sepenuhnya dilimpahi beban
tanggung jawab atas gagalnya transisi demokratis di Yaman. Aktor-aktor politik
utama lainnya juga telah salah melakukan perhitungan stategi yang cukup fatal
yang justru memberikan keuntungan di pihak Al-Hautsi.
Partai Al-Islah dan
Partai Sosialis Yaman tidak memiliki strategi yang terkoordinasi dengan jelas
untuk menyetir roda perubahan di Yaman secara efektif. Fokus utama mereka
justru melakukan rekrutmen dan menempatkan anggota-anggota mereka di dalam
posisi utama pemerintahan dan jabatan sipil, bukannya mencari solusi untuk
mengatasi permasalah politik dan ekonomi yang sedang tertatih-tatih.
Misalnya, pemerintah
transisi gagal memecahkan masalah gangguan listrik dan kelangkaan gas. Elemen
kecil suku yang tak terjangkau hukum di provinsi Marib terus menerus melakukan
serangan atas jalur yang memasok listrik ke ibukota, tanpa adanya konfrontasi
serius dengan pemerintahan koalisi.
Dengan dikontrolnya
Shan’a oleh militan Syiah Al-Hautsi, pertanyaannya adalah akankah Saleh maupun
Al-Hautsi mampu mempertahankan aliansi mereka dan mengembalikan stabilitas di
Yaman. Meskipun sangat mungkin antara Saleh dan Al-Hautsi memiliki komitmen
kuat untuk bekerja sama dan berbagi posisi dalam pemerintahan, dan mereka
mungkin juga dapat meyakinkan dunia internasional akan legitimasi mereka yang
sebenarnya goyah—khususnya dengan memerangi elemen Al-Qaidah sebagai alat
utamanya—tetapi tampaknya mereka akan tetap kesulitan untuk memenangkan hati
dan pikiran (winning the hearts and minds) mayoritas rakyat
Yaman.
Kebanyakan penduduk
Yaman meyakini bahwa mereka baru saja selesai menyaksikan drama panjang yang
jelek dan membosankan yang disutradarai bersama oleh Saleh dan Al-Hautsi,
dimana serial kelanjutannya diprediksi akan lebih buruk lagi.
Kunci dari stabilitas
Yaman secara keseluruhan tidak hanya terletak pada apa yang akan dilakukan oleh
aktor-aktor politik lain selanjutnya, namun juga terletak pada peran apa yang
dimainkan oleh unit-unit militer yang masih ada.[13]
Setelah gagal melakukan
negosiasi selama dua pekan, pemberontak Syiah Al-Hautsi mengeluarkan pengumuman
bahwa mereka akan memetakan masa depan politik Yaman. Perundingan yang
disponsori oleh PBB itu bertujuan untuk menemukan jalan keluar yang dapat
diterima oleh semua pihak, termasuk Al-Hautsi. Namun, komunike yang dikeluarkan
oleh Al-Hautsi pada Jumat (6 Februari 2015) menegaskan tidak tercapainya
kesepakatan yang diharapkan.
Dalam komunike militer
pertama mereka itu, Al-Hautsi mengumumkan bahwa Komite Revolusioner Al-Hautsi akan
bertindak sebagai otoritas pengawas tertinggi di Yaman. Komite tersebut akan
difungsikan dengan membentuk Dewan Transisi Nasional yang beranggotakan 551
orang untuk menggantikan parlemen Yaman.
Badan tersebut, sesuai
komunike itu, kemudian akan memilih lima orang sebagai anggota Dewan
Kepresidenan, yang akan memimpin negara selama masa transisi dua tahun ke
depan.[14] Dengan demikian, Abdul Malik Al-Hautsi menjadi pemimpinde
facto bagi Yaman.[15]
Melihat perkembangan
tersebut Gamal Gasim memperkirakan, paling tidak, ada empat skenario yang
mungkin bakal terjadi di Yaman.
MELIHAT perkembangan
tersebut Gamal Gasim memperkirakan, paling tidak, ada empat skenario yang
mungkin bakal terjadi di Yaman.
1. Stabilitas politik
Pertama, dari perspektif Al-Hautsi, skenario paling optimis
yaitu meyakinkan masyarakat internasional—dengan bantuan Saleh and
GPC-nya—bahwa mereka mampu mengantarkan Yaman menuju stabilitas politik. Dua
premis utama sangat penting dalam skenario ini: yaitu (1) bahwa Saleh dan
Al-Hautsi akan mempertahankan aliansi mereka dan merancang rencana strategis
yang jelas untuk berbagi peran dalam pemerintahan, dan (2) bahwa oposisi
politik Al-Hautsi akan tetap lemah dan terpecah-belah, sehingga memberi jalan
bagi Al-Hautsi untuk mengontrol Yaman.
Dalam skenario ini, perbedaan ideologi antara Al-Hautsi dan Arab
Saudi menjadi tidak relevan, khususnya mengingat dukungan Arab Saudi kepada
kaum Imam Syiah Zaidi terakhir selama perang sipil tahun 1960-an antara kaum
Royalis (Pendukung Monarki) Zaidi dan kaum Republikan Yaman. Isu penting bagi
Arab Saudi saat itu adalah pelestarian monarki Yaman dan kekalahan
republikanisme dan nasionalisme Arab.
Al-Hautsi sekarang ini bisa saja merubah Yaman menjadi sebuah
pseudo-monarki di bawah kontrol kaum Zaidi dan keluarga Sayyid atas
jabatan-jabatan penting di pemerintahan, yang mana konsisten dengan kepentingan
Arab Saudi untuk menjauhkan Yaman yang demokratik. Selama Al-Hautsi mendukung
pengerahan pasukan untuk mengeliminasi Al-Qaidah dari Yaman, AS akan
mengabaikan retorika anti-politik dan slogan-slogan berbunyi “Matilah Amerika” dan
“Matilah Israel” yang dipinjam dari Hezbullah dan Iran. Dengan asumsi slogan
bernada sentimen itu hanya ditujukan untuk konsumsi dalam negeri untuk mendapat
legitimasi terhadap sebuah pemerintahan Yaman yang dipimpin oleh Al-Hautsi.
2. Ditangguhkannya pengakuan
atas pemerintahan Al-Hautsi
Skenario kedua yang optimis untuk terwujud yaitu PBB, AS dan the
Gulf Cooperation Council (GCC) akan menangguhkan pengakuan terhadap
pemerintahan Al-Hautsi dan meningkatkan tekanan politik atas Al-Hautsi dan
Saleh agar berusaha mendapatkan persetujuan bulat dari aktor-aktor politik
lainnya, seperti oposisi yang tergabung dalam the Joint Meeting Parties (JMPs).
Ini dilakukan demi menghindari adanya isolasi dan konfrontasi secara total
dengan masyarakat internasional. Keadaan ekonomi yang memburuk di Yaman dan
ketidakmampuan Iran untuk menyokong Yaman secara finansial akan mendorong GCC,
khususnya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, untuk berusaha meningkatkan pengaruh
di Yaman.
Kesuksesan skenario ini bergantung pada kemampuan para aktivis
muda Yaman untuk kembali bangkit, dengan dukungan dari JMPs, dan membentuk
koalisi dalam negeri yang lebih luas untuk mengusung transisi demokratis.
Skenario ini akan menyuntikkan kehidupan baru kepada prakarsa GCC untuk
persatuan nasional, dengan roadmap yang lebih jelas.
3. Bubarnya aliansi
Saleh-Hutsi
Kemungkinan skenario ketiga yaitu runtuhnya koalisi Al-Hautsi
dan Saleh, yang tampaknya akan menimbulkan konfrontasi militer antara kedua
faksi tersebut, yang eskalasi potensinya bergantung pada respon yang
diperlihatkan oleh aktor-aktor politik lainnya.
4. Perang sipil
Skenario keempat, sekaligus yang terburuk, yaitu terjadi perang
sipil yang ganas di Yaman dan adanya perpecah-belahan yang tak terhindarkan
atau bahkan adanya sebagian wilayah Yaman yang lepas dan membentuk negara
sendiri (separatis).
Premis utama dari skenario ini adalah bahwa suku-suku di Marib,
bersama dengan para pemimpin suku anti-Hutsi dan pasukan perang seperti
Al-Hirak (Gerakan Yaman Selatan) menarget dan menentang kontrol Al-Hautsi di
Shan’a.
Skenario ini tergantung pada dukungan finansial kepada suku-suku
tersebut dan aktor politik lainnya yang diberikan oleh aktor-aktor politik
anti-Iran seperti raja Arab Saudi yang baru, yang sangat khawatir dengan
meningkatnya pengaruh Iran di Yaman. Meskipun nantinya skenario ini berpotensi
membuat Yaman menjadi bernasib sama seperti Irak, namun masih ada harapan bahwa
kearifan Yaman akan mampu menghindarkan dan mencegah negara tersebut dari
keruntuhan total (total collapse).[16]
Dalam perkembangannya, situasi yang terjadi di Yaman selanjutnya
ialah pemberontak Al-Hautsi memberlakukan tahanan rumah kepada Mansour Hadi.
Namun setelah beberapa minggu kemudian, pada 21 Februari 2015 Hadi dikabarkan
berhasil meloloskan diri dan terbang ke Aden. Dari kota pelabuhan di Yaman
selatan itu, Hadi mengumumkan re-eksistensi pemerintahannya dengan dukungan
orang-orang setianya di kawasan selatan. Pihaknya menilai bahwa segala aksi
yang dilakukan Al-Hautsi merupakan ilegal. Dia masih menganggap dirinya sebagai
presiden sah Yaman. Menurutnya, pengunduran dirinya semata dilakukan atas
tekanan kuat dari Al-Hautsi.
Dari Aden—yang ia jadikan sebagai ibukota de facto Yaman—pula ia meminta Al-Hautsi
menghentikan ‘penyanderaan’ terhadap Shan’a dan mengajak diadakannya dialog
untuk mencari solusi.[17]
Keberhasilan Al-Hautsi menduduki ibukota Shan’a berbuntut
panjang. Dengan keterlibatan Iran di Yaman, secara otomatis akan membuka kran
keterusikan negara-negara Teluk. Arab Saudi berusaha keras untuk membendung
arus pengaruh Iran di Yaman. Dalam merespon pemberontakan Al-Hautsi yang
mengakibatkan kekacauan Yaman, yang juga akan mengancam stabilitas keamanan
Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya, maka pada tanggal 26 Maret 2015
Arab Saudi memimpin serangan udara atas posisi-posisi Al-Hautsi di Yaman.
Koalisi internasional di bawah pimpinan Arab Saudi ini bertujuan
mengembalikan pemerintahan Hadi. Masuknya peran militer negara-negara Arab dan
Teluk ke dalam pusaran konflik Yaman memantik eskalasi risiko bahwa krisis
Yaman akan berubah menjadi perang regional.
Pasukan koalisi ini
terdiri dari angkatan bersenjata dari Uni Emirat Arab, Yordania, Qatar,
Bahrain, Kuwait, Maroko, Sudan dan Mesir. Pakistan menyatakan akan melindungi
integritas wilayah Arab Saudi, namun tidak akan terjun langsung dari konflik
yang “akan berdampak pada perpecahan di dunia Islam”. Sementara itu, AS
memberikan dukungan logistik dan intelijen untuk operasi “Decisive Storm” yang
dipimpin Arab Saudi itu. Gedung putih mengatakan bahwa AS memberikan dukungan
intelijen dan logistik kepada pasukan koalisi tersebut untuk mencegah
pemberontak Al-Hautsi mengambil alih Yaman dan mempertahankan “pemerintah Yaman
yang sah”.[18]
Infografis rilisan situs Al-Jazeera berikut ini memperlihatkan
siapa kawan dan siapa lawan dalam operasi militer yang menarget kantong-kantong
Al-Hautsi di bawah pimpinan Arab Saudi.[19]
Keterlibatan Arab Saudi dan negara-negara Sunni lainnya pada
konflik Yaman melawan Syiah Al-Hautsi sangat mungkin akan memicu konflik
sektarian di kawasan tersebut. Perang melawan Al-Hautsi ini cukup dapat mengalihkan
fokus perang terhadap AQAP, dan juga sekarang ada ISIS, yang mungkin akan
mencuri peluang keuntungan dari kondisi keamanan yang tidak menentu.[20]
Setelah hampir satu bulan operasi terhadap Al-Hautsi
dilancarkan, pada 21 April 2015, Arab Saudi beserta anggota koalisi operasi
Decisive Storm mengumumkan berakhirnya misi tersebut dan sekaligus permulaan
operasi Restoring Hope di Yaman yang menandai telah tercapainya tujuan awal
operasi tersebut.[21]
Peta berikut ini menyuguhkan wilayah pengaruh Al-Hautsi di
Yaman, yang mereka mulai dari basis mereka di Sa’ada hingga mampu menguasai
Shan’a.[22]
Dalam arena konflik Yaman ini, peran aktif Iran dalam memberikan support kepada Al-Hautsi semakin kentara.
Berbagai media massa membeberkan informasi yang berasal dari para juru bicara
resmi Iran tentang keterlibatan total Iran dalam berbagai aspeknya untuk
mendukung gerakan pemberontak Al-Hautsi; hubungan baik antara gerakan Al-Hautsi
dan Pasukan Quds dari Korps Garda Revolusi Iran; dan bantuan militer, dukungan politik
dan ekonomi, ditambah lagi dukungan moral berupa statemen-statemen anti-Saudi
dan anti-AS yang dikeluarkan Iran.[23]
Dukungan politik Iran salah satunya disampaikan oleh Mehdi Taeb.
Pada 2 Maret 2015, pemimpin lembaga think
tank Ammar
Headquarters penyuplai informasi dan saran untuk pemimpin tertinggi Syiah
Khamenei dan sekaligus saudara Hossein Taeb—kepala biro intelijen Garda
Republik—menyeru rakyat Iran untuk mengencangkan ikat pinggang demi mendukung
Al-Hautsi, yang merupakan bagian dari poros perlawanan mereka, “Rakyat Iran
harus mengerti bahwa jika perlu, mereka harus merelakan jatah roti sore mereka
untuk mendukung para pejuang di Syria, Irak, Lebanon, dan Yaman. Rezim Ansar
Allah di Yaman, yang memainkan peran penting mempertahankan status strategis
selat Bab el-Mandeb yang sangat sensitif, dalam masa pergantian raja di Arab
Saudi, dan peperangan di Syria dan Irak, gejolak dunia, dan musuh memandang
Iran sebagai penyebab ketidakstabilan ini—karena tanpa Iran dipastikan tidak
akan ada perang di Syria dan Ansar Allah tidak akan pernah muncul.”[24]
Saleh Al-Samad, ketua komite politik Ansar Allah dan penasehat
Abdul Malik Al-Hautsi membeberkan detail perjanjian dengan Iran pada 14 Maret
2015. Dia mengatakan, “Iran akan memperluas pelabuhan Al-Hodeida—yang telah
dikontrol Al-Hautsi—di barat Yaman. Pelabuhan ini merupakan yang terdekat
dengan selat Bab el-Mandeb, dan satu-satunya titik yang menghubungkan Laut
Merah dan perairan internasional.”
Dia melanjutkan, “Iran akan menyokong Yaman dengan mengirim
ekspor minyaknya ke sana selama satu tahun. Iran akan membangun dan
mengoperasikan pembangkit listrik berkekuatan 165-megawatt di Yaman. Iran akan
menyediakanspare
part dan pelayanan
reparasi untuk fasilitas gas alam Marib…”[25]
Perwakilan Khamenei di tubuh Pasukan Quds, Ali Shirazi,
mengatakan bahwa Ansar Allah di Yaman merupakan kopian dari Hizbullah Lebanon.
Dalam sebuah wawancara pada 24 Januari 2015, Shirazi mengungkapkan, “Ansar
Allah adalah hasil duplikasi Hizbullah Lebanon. Pasukan sukarelawan Basij di
Irak dan Syria juga merupakan duplikat Hizbullah dan Ansar Allah. Di setiap
negara di mana musuh-musuh kita hadir untuk menghantam Islam, maka penentangnya
pun siaga—yaitu, Basij dan pasukan pertahanan nasional bangkit…Ke depan,
seluruh kelompok ini akan memasuki arena tempur melawan musuh-musuh Islam dan
kaum Muslim.”[26]
Tampaknya, bukan kebetulan pula jika emblem milii Ansar Allah
Yaman, Hizbullah Lebanon dan Pasukan Garda Revolusi Iran memiliki kemiripan
yang sangat dominan.
Beberapa waktu lalu, Mohsen Rezaei, mantan komandan senior K0rps
Garda Revolusi Iran, memuji pemimpin Al-Hautsi, Abdul Malik Al-Hautsi, dalam
sebuah surat terbuka yang dirilis tanggal 28 Maret 2015. Di awal surat
tersebut, Rezaei menulis, “Saudaraku Abdul Malik Al-Hautsi, pemimpin terhormat
Yaman…Saya ucapkan selamat kepada Anda, perlawanan heroik orang-orang Anda dan
kemenangan besar kalian putra-putra Islam terhadap kekuatan koalisi penjajah
pimpinan Saudi yang melancarkan operasi militer atas restu Setan Besar Amerika
dan Israel…Dengan perlawanan di medan tempur, maka meja-meja diplomasi akan
segera aktif menyambut. Jelas terlihat mereka berusaha mengundang kalian untuk
duduk di meja runding—setelah gencarnya serangan udara mereka—untuk membelah
Yaman menjadi Yaman Utara dan Yaman Selatan. Tentu, kalian sadar bahwa
kepentingan kalian lebih besar dari kepentingan siapapun, namun kesuksesan
diplomasi esok hari sangat bergantung pada resistansi kalian di medan tempur
hari ini.”[27]
Perspektif
Barat terhadap Yaman
BARAT, dalam hal ini AS yang selalu ingin berperan sebagaiglobocop,
sangat berkepentingan untuk menancapkan pengaruh di Yaman. Dan faktanya, AS
sudah lama bermain di sana. Situasi Yaman yang chaosmembuat AS sangat
khawatir. Kepentingan-kepentingan AS di Yaman secara khusus dan lebih luas di
lingkup regional Timur Tengah jelas dalam kondisi terancam. Bahkan,
proyek-proyek strategis mereka untuk menghegemoni kawasan tersebut dipastikan
akan terganjal.
Yaman adalah sekutu vital bagi AS di Timur Tengah dalam strategi
perang global anti-terorisme yang dikobarkan presiden Barrack Obama sebagai
pelanjut dari para pendahulunya. Selain itu, letak Yaman berbatasan dengan Laut
Merah dan Teluk Aden—yang merupakan rute transit utama minyak—sekaligus
bersebelahan dengan sekutu utama AS di Timur Tengah: Arab Saudi dan Oman.
Status sebagai negara chaosyang
disandang oleh Yaman merupakan lahan subur yang memungkinkan pesatnya
perkembangan Al-Qaidah
in the Arabian Peninsula (AQAP),
yang selama ini dinilai sebagai cabang Al-Qaidah paling mematikan di seluruh
dunia yang sangat merepotkan gerak laju AS.
Untuk melancarkan program perang anti-terorisme, AS membutuhkan
keberadaan pemerintah lokal yang berjalan normal dan kondisi keamanan yang
stabil. Dinamika perbedaan sektarian[28] dan kesukuan yang penuh intrik dan
pengkhianatan sangat merepotkan usaha-usaha AS dalam memformulasikan frame kebijakan anti-terorisme yang koheren.
Obama telah banyak memfokuskan pemerintahannya untuk menyokong
transisi politik yang dirancang untuk mengembalikan kestabilan situasi di Yaman
dan untuk membatasi iklim sektarianisme yang membuat AQAP mampu bertahan sejauh
ini.
Washington juga telah menyodorkan serangkaian pelatihan
kontra-terorisme kepada pemerintah Yaman di ibukota Shan’a dan juga
mengkampanyekan operasi-operasi drone untuk menarget tokoh-tokoh penting AQAP.
Bahkan, meskipun kedutaan besar AS di Shan’a telah dinonaktifkan pun, serangan-serangan
drone AS masih tetap dilakukan dan berhasil membunuh dua tokoh penting AQAP,
Harits bin Ghazi An-Nazhari di akhir Maret dan Ibrahim Ar-Rubaish, juru bicara
AQAP, pada pertengahan April lalu.[29]
Al-Qaidah in the Arabian
Peninsula (AQAP)
Al-Qaidah di Jazirah Arab (AQAP) adalah sebuah kelompok jihadi
yang dibentuk pada Januari 2009 menyusul penggabungan antara Al-Qaidah Yaman
dan Al-Qaidah Arab Saudi, yang kemudian berpusat di Yaman. AQAP dinilai
merupakan cabang Al-Qaidah yang paling mematikan serta memainkan peran vital
dalam konflik-konflik yang terjadi di Yaman.
Pada bulan Mei 2011, setelah gencarnya pertempuran melawan
pasukan pemerintah Yaman, Al-Qaidah bersama dengan kelompok militan lokal asli
Yaman yang dikenal dengan sebutan Anshar Asy-Syariah mampu menguasai provinsi
Abyan di selatan Yaman.[30]
Sejak saat itu, AQAP terus berusaha melakukan perluasan pengaruh
di tengah masyarakat Yaman. Rezim berkuasa yang dianggap oleh rakyat hanya
sebagai boneka kepanjangan tangan imperialisme Barat tidak begitu dominan
mengontrol wilayah negara miskin di jazirah Arab tersebut. Ketidakpercayaan
publik atas pemerintahan Yaman dilampiaskan dalam berbagai aksi protes yang
berujung pada masuknya Yaman ke dalam pusaran Arab Spring.
Sementara pemerintahan Saleh terdelegitimasi di mata rakyat,
sumber daya air dan minyak bumi terhambur-hambur dan tidak terkelola. Kondisi
yang tak terkendali oleh pemerintahan pusat ini dimanfaatkan dengan baik oleh
AQAP untuk melakukan rekrutmen, menyiapkan perangkat, melatih dan melaksanakan
berbagai operasi serangan. Narasi utama mereka ialah mendapatkan sambutan
audiens di wilayah-wilayah kesukuan (tribal areas) Yaman
dan mendapatkan basis perlindungan. Hal ini membuktikan kelemahan dan kegagalan
pemerintah.
Amerika Serikat telah memfokuskan diri untuk memerangi AQAP
sejak awal perang global melawan terorisme (the Global War on Terrorism) mereka
lancarkan. Dalam kampanye perang kontra-pemberontakan (counterinsurgensy)
melawan AQAP, Amerika Serikat benar-benar fokus bekerja sama dengan pemerintah
Yaman.[31]
Di tengah kecamuk Arab Spring, AQAP ‘menggeser’ paradigma lama
tentang Al-Qaidah yang ‘keras’. Mereka berhasil memulai misi mereka dalam
perang winning minds and hearts yang diwujudkan dengan mengelola
daerah-daerah yang mereka kuasai. Mereka mulai menjalankan fungsi-fungsi negara
dengan menyediakan berbagai program layanan publik bagi rakyat. Meski demikian,
mereka memandang belum saatnya memproklamirkan bendirinya daulah. Hal tersebut
mereka lakukan setelah mengambil pelajaran dari pengalaman pahit Al-Qaidah
dalam upaya mendasar mereka dalam membangun negara, salah satunya di Irak.[32]
Sinergi Dua Lengan
Dalam konteks berita kenabian, Yaman diposisikan sebagai wilayah
pemasok dukungan personel bagi api peperangan Islam yang berkobar di Syam. Dua
lokasi strategis ini, sebagaimana pernah ditulis oleh Abdullah bin Muhammad
dalam catatan-catatan strategis yang rencananya akan dikirim kepada Usamah bin
Ladin sebelum wafatnya, menjadi wilayah bidikan utama untuk proyek penegakan
khilafah di masa mendatang.
Dalam catatan
tersebut, Abdullah bin Muhammad mengusulkan kepada Al-Qaidah bahwa strategi
umum gerakan jihad secara global—dengan dimotori oleh Al-Qaidah khususnya—harus
bertumpu pada mobilisasi dan pemusatan kekuatan-kekuatan jihad di dua wilayah,
Syam dan Yaman. Juga dibarengi dengan mengubah front-front lainnya menjadi
pusat-pusat pendukung dan penyedia sumber daya manusia dan teknis bagi dua
wilayah yang dijadikan proyek tersebut. Pada saat yang sama, front-front
tersebut juga melakukan aktivitas untuk mengganggu musuh yang ada di
frontnya sendiri. Atau, mengganggu jalur-jalur vital yang digunakan musuh untuk
aktivitas militer.
Abdullah bin Muhammad membagi aktivitas proyek khilafah ini di
dua wilayah, bukan hanya di satu wilayah, dengan maksud memperbesar peluang
sukses. Di sisi lain, agar kedua front dan kedua wilayah tersebut bekerja
seperti dua lengan yang bisa saling melengkapi satu sama lain, dan mencegah
pemusatan tekanan militer dalam bentuk apa pun yang menarget salah satu front.
Dan ini sesuai dengan medan operasional yang terbentang antara Syam dan Yaman.
Jadi, bisa dikatakan bahwa kesuksesan di wilayah Syam tergantung
pada tekanan terhadap musuh yang dilakukan di wilayah Yaman, dan begitu pula
sebaliknya. Dan hal ini melibatkan front-front lainnya di samping
kepentingan-kepentingan lainnya dalam memberikan dukungan teknis, personal, dan
informasi.
Metode bekerja dengan dua lengan ini diusulkan untuk dilakukan selama
fase pertama, karena ia yakin bahwa musuh akan membentuk sebuah aliansi
militer, dengan misi mengeliminasi kehadiran para jihadis di Syam yang bisa
menjadi ancaman langsung bagi Israel. Atau aliansi musuh yang akan
mengeliminasi para jihadis di Yaman yang mengancam sumur minyak dan jalur laut
yang penting. Sebaiknya, para jihadis beroperasi di dua front, Syam dan Yaman
yang didukung oleh sederatan front parsial di Irak, Semenanjung Arab, Mesir,
Libya, Somalia, Afrika Utara, dan lainnya. Sebab, untuk memecah setiap usaha
dari aliansi militer musuh diperlukan banyak lokasi yang saling bergantian
dalam memberikan tekanan dan melindungi satu sama lain.
Tampaknya, cara itulah yang paling sesuai untuk diterapkan di
Syam dan Yaman, karena lokasinya sangat sesuai dengan kondisi masyarakat
setempat. Yaman akan mengambil keuntungan dari kemampuan jihadis di daerah
Teluk Arab, Somalia, dan Sudan karena daratan dan lautan yang terhubung.
Sedangkan Syam akan mengambil keuntungan dari logistik dan persediaan senjata
dari Irak, Turki, Mesir, dan semenanjung Arab bagian utara. Dinamika ini
tinggal membutuhkan situasichaos di berbagai wilayah untuk bisa memulai
pekerjaan.[33]
Dalam teori dua lengan Abdullah bin Muhammad ini, jika Syam kita
asumsikan sebagai lengan kiri, maka saat ini publik sedang menanti uppercut yang akan dilancarkan oleh lengan
kanan dari Yaman sebagai bentuk sinergi kerja kedua lengan tersebut untuk
memberikan pukulan telak kepada lawan.
Seiring dengan program-program yang dijalankan Al-Qaidah di Yaman,
sebagai salah satu lokasi strategis bagi dunia Islam, negara tersebut juga
dinilai merupakan magnet baru bagi para aktifis jihadi internasional. Al-Qaidah
memiliki kans besar untuk bisa ‘menguasai’ arena Yaman.
Martin Reardon, wakil presiden senior pada The Soufan Group,
sebuah lembaga konsultan intelijen dan keamanan strategis yang berbasis di New
York, menulis bahwa AQAP tampaknya berada pada posisi paling diuntungkan dari
gejolak di Yaman, tanpa harus membuang-buang waktu untuk mengeksploitasi situasi
ini. Sementara Al-Hautsi dan loyalis Saleh bertarung total melawan pasukan Hadi
di selatan, AQAP berdiri di posisi menyerang kedua kubu tersebut. Lebih baik
bertarung melawan musuh yang terpecah belah daripada musuah yang bersatu
padu.[34]
Lebih lanjut, Reardon mengatakan bahwa saat ini, AQAP, yang oleh
banyak pakar kontra-terorisme dipandang sebagai organisasi teroris paling
berbahaya di dunia dalam kapabilitas dan tujuan mereka untuk melakukan
serangan-serangan transnasional, tampaknya memiliki keleluasaan lebih banyak
untuk beroperasi di Yaman. Hal ini tentunya tidak menguntungkan bagi Yaman,
negara-negara Teluk, atau Barat, sebab pihak mana pun yang menang pada
akhirnya—Hadi, Saleh ataukah Al-Hautsi—AQAP akan tetap eksis di sana. Bahkan
mereka akan berkembang lebih besar, lebih kuat, dan lebih baik.[35]
Diprediksikan pula bahwa kondisi ini akan semakin menyuburkan potensi Yaman
sebagai alternatif spot baru bagi persemaian ideologi jihad Islam
transnasional.*
Catatan Kaki:
[7]
http://www.geopoliticalmonitor.com/yemen-worlds-newest-failed-state/.
[8]
http://yemen.usembassy.gov/em2815.html.
[9]
http://www.bbc.com/news/world-middle-east-31411284.
[10]
http://www.reuters.com/article/2015/02/13/us-yemen-security-idUSKBN0LH16U20150213.
[11] Nadwa Al-Dawsari, Tribal
Governance and Instability in Yemen, Carnegie Endowment for International Peace,
April 2012.
[12] Dimuat oleh
www.aljazeera.com pada 25 Januari 2015.
[13]
http://www.aljazeera.com/indepth/features/2015/01/analysis-wrong-yemen-150125054816307.html.
[14] Lihat:
http://edition.cnn.com/2015/02/06/middleeast/yemen-unrest/.
[15]
http://www.aljazeera.com/news/2015/02/yemen-coup-150207075330173.html.
[16]
http://www.aljazeera.com/news/2015/02/yemen-coup-150207075330173.html.
[17]
http://www.criticalthreats.org/yemen/yemen-crisis-situation-reports-february-23-2015.