Bagi Yang Membenci SAUDI,
Bacalah Surat Cinta Ini,.
Ada Apa Dengan Saudi? Kok
Ada Sebagian ORMAS ISLAM Yang Membencinya ??
Sebagian besar penghujatan/ pendiskreditan terhadap Salafi " Wahhabi",negara tauhid" Saudi", tuduhan " Nawasib" dan keburukan-keburukan lainnya dilakukan oleh Orang-orang syiah/taqiyaher/fisik aswaja hati syiah dan web-web syiah !!
Saudi Dimata Liberal,Syiah,kelompok
Al-Qaeda,kaum Tradisional,
Saudi, Pemimpin Dunia
Islam Atau Antek Amerika ?!
Oleh: Muhamad Karyono
Rasa-rasanya tak ada negara yang lebih menarik untuk dikupas
melebihi Saudi Arabia. Sederet frase mungkin langsung terbayang dalam benak
kita begitu mendengar nama Saudi. Negeri kelahiran Rasulullah , dua kota suci,
Wahabi, minyak, dan sebagainya. Perspektif orang terhadap negara tersebut pun
secara umum terbagi dalam dua kutub ekstrem. Mengagumi sedemikian rupa
atau membenci sejadi-jadinya.
Bagi yang mengagumi Saudi, negeri yang kini dinakhodai oleh Raja
Abdullah tersebut selalu dilihat dalam kaca mata putih sebagai pelindung utama dakwah
tauhid, negeri yang sukses mendistribusikan kemakmuran terhadap segenap
rakyatnya, negeri yang sukses menegakkan keamanan di segenap penjuru
wilayahnya, serta negeri yang konsisten dengan hukum Islam di tengah
moderenitas.
Sementara bagi para pembenci Saudi, negara tersebut selalu
dilihat dengan kaca mata hitam sebagai negeri yang lahir dari satu ‘paham’ yang sering dibilang ‘keras dan
intoleran’,antek Amerika, pengusung
diktatorisme, pembela feodalisme, pengekang hak-hak wanita, serta kehidupan
glamour sebagian elitnya.
Namun justru adanya dua perspektif yang saling bertolak belakang
itulah yang menyebabkan ‘pesona’ Saudi kian berbinar. Sejumlah karya
kontroversi yang bertemakan Saudi selalu menggelitik untuk ditelisik. Sebut
saja Dinasti Bush Dinasti Saud, The
Girls of Riyadh hinggaKudeta Makkah.
Meski sederet buku tersebut cenderung mendiskreditkan Saudi,
namun di sisi lain adanya karya-karya semacam itu justru menunjukkan pengakuan
banyak pihak akan eksistensi Saudi. Bahkan sejak lahirnya cikal bakal kerajaan
Saudi Arabia lewat dakwah tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Imam
Muhammad Ibnu Su’ud, gemanya pun langsung berasa di berbagai negeri Muslim. Di tanah air, pengaruh langsung dari dakwah Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab menjelma dalam gerakan Paderi di tanah Minang.
Biografi memukau Raja Abdul Aziz Ibnu Saud yang dibesarkan di
pengasingan dalam kondisi penuh keterbatasan sebelum sukses mendirikan kerajaan
Arab Saudi moderen, tak pelak menghadirkan kekaguman pula bagi Bung Karno.
Dalam salah satu suratnya yang ditulis di Endeh dan ditujukan
kepada Ustadz A. Hassan, Bung Karno menyatakan kekagumannya akan biografi Ibnu
Saud dengan ungkapan, “Ia
adalah menggambarkan kebesaran Ibnu Saud dan Wahabism begitu rupa,
mengkobar-kobarkan element amal, perbuatan begitu rupa, hingga banyak kaum
“tafakur” dan kaum pengeramat Husain c.s akan kehilangan akal nanti sama
sekali.”
Eksistensi Saudi di mata internasional semakin diakui kala Raja Faisal memimpin embargo minyak
terhadap negara-negara Barat pendukung zionis yang mengakibatkan dunia industri
di Eropa dan Amerika kalang kabut. Meski kini Saudi
menerapkan politik kooperatif terhadap Amerika Serikat dan sekutunya, bukan
berarti peran Saudi dipandang sebelah mata.
Satu hal menarik ditulis Craig Unger dalam Dinasti
Bush Dinasti Saud. Konon dua hari pasca tragedy 11 September
2001, di saat seluruh lalu lintas udara Amerika Serikat ditutup, Gedung Putih
tetap mengizinkan kepergian 140 penumpang pesawat yang kebanyakan warga Saudi
dan saudara dekat Osamah bin Laden. Dalam analisis Craig, semua itu tak lepas dari kuatnya lobi duta
Saudi terhadap pemerintah Amerika Serikat.
Mencermati hubungan Amerika Serikat-Saudi Arabia memang sangat
menarik bila dikaitkan dengan latar belakang kedua negara yang saling bertolak
belakang. Amerika Serikat adalah satu negara sekuler yang begitu mendewakan kebebasan dalam segala bidang, sementara Saudi merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai ‘puritanisme’ dalam Islam. Amerika merupakan negara pendukung utama rezim zionis Yahudi, sedangkan Saudi tidak pernah mengakui eksistensi pemerintahan Yahudi di
Palestina.
Politik luar negeri Saudi yang bagi banyak orang terlihat
kontradiktif dengan ideologi negara yang dianutnya, tak pelak memantik minat
banyak pengamat untuk melontarkan sejumlah teori.Secara umum, teori tersebut menyebutkan bahwa kedekatan hubungan
Saudi-AS semata-mata didasari atas simbiosis mutualisme antara kedua negara. AS yang merupakan negara konsumen minyak terbesar dunia
membutuhkan limpahan suplai minyak dari Saudi, sementara Saudi membutuhkan peralatan militer dari AS guna menjaga
kedaulatan wilayahnya.
Apapun itu, identitas Saudi sebagai negara ‘Wahabi’ di satu sisi dan sebagai
negara yang kerap diberikan stigma sekutu Amerika di sisi lain, menyebabkannya
dimusuhi oleh beberapa kelompok yang sejatinya satu sama lain pun saling
mengusung ideologi bertolak belakang. Beberapa kelompok dimaksud antara lain adalah kalangan liberal,
Syi’ah, Al-Qaeda, dan tradisionalis.
Di mata kaum liberal, Saudi yang konsisten menegakkan hukum Islam di segenap linimerupakan ancaman nyata bagi proyek mereka yang mengusung kampanye
“hukum Islam tak lagi relevan saat ini.” Tegaknya Islam di Saudi yang berefek pada pemerataan kemakmuran
terhadap segenap rakyatnya merupakan satu bukti bahwa seluruh hukum yang
termaktub dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah tetap relevan sampai kapanpun.
Bagi kalangan Syi’ah, Saudi dianggap sebagai batu sandungan utama dalam menyebarkan
aliran menyimpang tersebut ke segenap penjuru dunia. Bahkan Saudi turut menggagalkan secara langsung revolusi Syi’ah di
Bahrain dengan mengirimkan pasukan militer untuk melindungi pemerintah Sunni di
negeri tersebut. Maka untuk menggaet simpati
kaum Muslimin secara umum, orang-orang Syi’ah menyebarkan propaganda dengan membuat kebohongan
bahwa Republik “Syi’ah” Iran merupakan negara yang berada di garda terdepan
dalam menentang Amerika dan Israel. Namun
faktanya, Iran yang dituding mengembangkan senjata nuklir tidak pernah
sekalipun terlibat peperangan terbuka dengan Amerika maupun Israel.
Sedangkan di mata kelompok
Al-Qaeda dan para pengusung ‘Islam radikal’, Saudi dianggap sebagai negara kafir lantaran sikap kooperatifnya
dengan Amerika. Hal itu sebagaimana
dinyatakan oleh Osama bin Laden yang menegaskan bahwa Saudi tidak layak disebut
negara Islam karena dinilai sebagai antek Amerika. Konsekuensi
dari stigma kafir terhadap pemerintah Saudi oleh Al-Qaeda, berimplikasi pada
meletusnya teror bom Riyadh 2004.
Dan dalam pandangan kaum
tradisionalis yang mencampuradukkan ajaran Islam dengan budaya lokal, eksistensi Saudi dianggap sebagai musuh karena merupakan pendukung
utama dakwah pemurnian Islam. Setiap tahunnya pemerintah Saudi memberikan beasiswa kepada ribuan
pelajar dari segala penjuru dunia untuk menimba ilmu di negeri tersebut. Sepulang dari Saudi, mereka yang lulus dari universitas Islam di
negara itu menjadi penyeru dakwah tauhid yang mementang segala praktek bid’ah
dan kemusyrikan. Saudi juga memiliki
sejumlah Perguruan Tinggi Islam di berbagai negeri Muslim, seperti LIPIA di
Indonesia dengan misi utama menebarkan dakwah tauhid. Maka tak heran, kaum tradisionalis yang praktek beragamanya masih
lekat dengan kemusyrikan selalu menempatkan Saudi sebagai negara yang dimusuhi.
Menariknya, keempat
kelompok di atas kerapkali menggunakan isu kedekatan Saudi dan Amerika sebagai
senjata untuk mendiskreditkan negeri kerajaan tersebut. Satu pemandangan aneh, kalangan liberal dan tradisionalis
merupakan kelompok yang paling alergi terhadap segala teori konspirasi Yahudi
yang dilontarkan oleh kalangan ‘Islam pergerakan’ (baik Hizbut Tahrir, PKS, maupun Ikhwanul Muslimin). Namun
bila konspirasi Yahudi itu menyangkut ‘hubungan rahasia Israel-Saudi’, mereka
berada di garda terdepan dalam menyebarkan isu tersebut ke tengah umat.
Mencermati kebijakan luar negeri Saudi, sejatinya tidak melulu
soal poros Riyadh-Washington. Ada banyak kebijakan luar negeri Saudi yang
berdampak positif bagi solidaritas sesama Muslim. Di samping besarnya peran
Saudi dalam bidang pendidikan, lewat kebijakan pemberian beasiswa besar-besaran
kepada para pelajar Muslim untuk melanjutkan studi ke negeri tersebut serta
pendirian universitas-universitas Islam di mancanegara maupun sumbangan dana
kepada yayasan yang menaungi dakwah di berbagai penjuru dunia, Saudi merupakan satu-satunya negara di dunia yang sudah sejak lama
membuka pintu lebar-lebar kepada para pengungsi Rohingya.
Bila kehidupan warga Muslim Rohingya di negara asalnya sangat
memprihatinkan akibat kebijakan represif penguasa Buddhist, serta yang
mengungsi ke negara lain pun nasibnya terkatung-katung, tidak demikian dengan
warga Muslim Rohingya di Saudi. Semenjak Raja Abdul Aziz menawari perlindungan keamanan kepada
pengungsi Rohingya di negaranya tahun 1968, saat ini terdapat ratusan ribu umat
Muslim Rohingya yang tinggal di negeri kelahiran Nabi Shalallahu ‘alaihi
wasallam itu.
Bahkan pada Maret lalu, pemerintah Saudi memberikan status
kewarganegaraan kepada 250 ribu Muslim Rohingya. Itu artinya kini mereka berhak
atas fasilitas kesehatan, pendidikan, dan hak mendapatkan pekerjaan yang setara
dengan penduduk lokal. “Dunia baru menyadari penderitaan Rohingya di Burma kurang dari setahun
lalu. Tapi Arab Saudi adalah negara satu-satunya yang peduli penderitaan mereka
sejak lama,” kata Abdullah Marouf,
sekretaris jenderal komunitas Burma dan kepala Global Rohingya Center di
Jeddah, dilansir Arab News (selengkapnya lihat di sini).
Tak hanya terhadap Muslim Rohingya pemerintah Saudi memberikan
uluran tangan. Tatkala terjadi tsunami Aceh penghujung tahun 2004, pemerintah dan
rakyat Saudi juga menyumbang US$ 30 juta (Rp 4,8 triliun), di mana semua
sumbangan itu berbentuk hibah.
Di kesempatan lain, pasca terjadinya serangan udara secara
ofensif pasukan zionis terhadap jalur Gaza selama beberapa pekan di awal tahun
2009, pemerintah dan rakyat Arab Saudi juga memberikan bantuan senilai 1
miliar dollar untuk rehabilitasi kota Gaza. Sayangnya, besarnya sumbangan Saudi kepada dunia Islam memang jarang
terekspose media lantaran berita yang semacam itu dianggap ‘kurang menjual’.
Dengan demikian, semenjak
lahirnya cikal bakal kerajaan Arab Saudi hingga hari ini, tak ada yang
mengingkari bahwa Saudi merupakan negara yang paling berpengaruh terhadap dunia
Islam. Berkembangnya seruan
revivalisasi (pemurnian) Islam yang bergema di berbagai negeri Muslim, termasuk
Indonesia belakangan ini, tak lepas dari peran Saudi Arabia.
Meskipun bagi sebagian
kalangan ‘Islam pergerakan’, eksistensi Saudi kerap diabaikan lantaran hubungan
diplomatiknya dengan Amerika, namun sumbangan Saudi
dalam bidang sosial dan pendidikan terhadap dunia Islam tetap tak terbantahkan.
Terkait hal ini, satu catatan yang seharusnya diingat oleh
kelompok-kelompok ‘pejuang khilafah’ adalah, tatkala kondisi umat Islam
tengah tercerai-berai bak buih di lautan,maka mendahulukan konsolidasi antara sesama negeri Muslim jauh
lebih utama ketimbang sikap-sikap konfrotatif terhadap Amerika dan sekutunya!
https://aslibumiayu.wordpress.com/2013/08/21/saudi-dimata-liberalsyiahkelompok-al-qaedakaum-tradisional/
[ Silahkan baca komentarnya di rujukan/sumber diatas, mengakomodir apa yang ada dibenak kita, Isya Allah ]
[ Silahkan baca komentarnya di rujukan/sumber diatas, mengakomodir apa yang ada dibenak kita, Isya Allah ]