Oleh
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsari
PERSELISIHAN ANTARA ALI DAN MU'AWIYAH SERTA PENDIRIAN AHLU
SUNNAH DALAM MENYIKAPINYA
Tidak syak lagi, bahwasanya Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu 'anhu dan orang-orang yang menyertainya lebih patut dikatakan
sebagai kelompok yang benar daripada yang lainnya.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya (1065)
dari hadits al Qasim bin al Fadhl al Haddani, dari Abu Nadhrah dari Abu Sa'id
Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
تَمْرُقُ مَارِقَةٌ عِنْدَ فُرْقَةٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَقْتُلُهَا أَوْلَى الطَّائِفَتَيْنِ بِالْحَقِّ
"Kelak akan muncul satu kelompok yang
menyempal ketika terjadi pertikaian di antara kaum Muslimin. Kelompok itu akan
diperangi oleh kelompok yang lebih mendekati kebenaran dari dua kelompok (yang
bertikai itu)"
Abu Zakaria an Nawawi berkata di dalam Syarah
Shahih Muslim (VII/168): "Riwayat-riwayat ini secara tegas menjelaskan,
bahwa Ali Radhiyallahu 'anhu berada di pihak yang benar. Sementara kelompok
lain, para pengikut Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu tergolong kelompok yang
menyempal, karena takwil keliru. Hadits itu juga menjelaskan, kedua kelompok
tersebut tergolong mukmin, tidak keluar dari lingkaran keimanan karena perang
tersebut, dan tidak pula disebut fasik. Itulah pendapat kami."
Abul Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata di
dalam Majmu' Fatawa (IV/467): "Hadits ini, secara tegas menunjukkan bahwa
kedua kelompok yang berperang itu, yakni kelompok Ali dan orang-orang yang
menyertainya, serta Mu'awiyah dan orang-orang yang menyertainya, berada di atas
kebenaran. Dan sesungguhnya, Ali dan sahabat-sahabatnya lebih mendekati
kebenaran daripada Mu'awiyah dan sahabat-sahabatnya". Ibnul Arabi juga
mengeluarkan pernyataan senada dalam kitab al Awashim halaman 307.
Abul Fida' Ibnu Katsir dalam al Bidayah wan
Nihayah [1] (X/563) berkata: "Hadits ini termasuk mu'jizat kenabian, sebab
benar-benar telah terjadi seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Di dalamnya juga disebutkan, kedua kelompok yang bertikai
itu, yakni penduduk Syam dan penduduk Iraq, masih tergolong muslim. Tidak
seperti anggapan kelompok Rafidhah, orang-orang jahil lagi zhalim, yang
mengkafirkan penduduk Syam. Dalam hadits itu juga disebutkan, kelompok Ali
paling mendekati kebenaran; itulah madzhab Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Yakni Ali
berada di pihak yang benar, dan Mu'awiyah memeranginya karena ijtihad yang
keliru, dan ia berhak mendapat satu pahala atas kesalahan ijtihad itu, insya
Allah. Sedangkan Ali Radhiyallahu 'anhu adalah imam yang sah, berada di pihak
yang benar insya Allah, dan berhak mendapat dua pahala".
Demikianlah madzhab Ahlu Sunnah wal Jama'ah,
yaitu Ali Radhiyallahu 'anhu berada di pihak yang benar. Adapun Mu'awiyah yang
memerangi Ali telah salah dalam ijtihadnya, dan ia mendapat satu pahala atas
kesalahan ijtihadnya tersebut, insya Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih
al Bukhari [2], dari hadits Amru bin al Ash Radhiyallahu 'anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا َاجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذََا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
"Jika seorang hakim berijtihad lalu benar,
maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka
ia mendapat satu pahala"
Hadits di atas lebih dijelaskan lagi oleh hadits
yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dalam Shahih-nya (3609) dan Muslim
(2214) dari jalur Ma'mar dari Hammam dari Abu Hurairah dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ وَتَكُونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ وَدَعْوَاهُمَا وَاحِدَةٌ
"Tidak akan datang hari Kiamat hingga
muncul dua kelompok yang saling berperang dan akan terjadi pertumpahan darah
yang hebat, sedangkan dakwah keduanya sama".
Hadits ini menjelaskan hadits sebelumnya, Abul
Fida' Ibnu Katsir berkata di dalam al Bidayah wan Nihayah (IX/192): "Kedua
kelompok itu adalah dua kelompok yang terlibat dalam peperangan Jamal dan
Shifin. Karena kala itu, dakwah ke dua kelompok tersebut sama. Yakni sama-sama
menyeru kepada Islam. Mereka hanya berselisih pendapat tentang masalah
kekuasaan, dan dalam menetapkan mashlahat bagi umat dan segenap rakyat. Tidak
terlibat dalam peperangan itu adalah lebih utama, daripada melibatkan diri ke
dalamnya. Itulah madzhab jumhur sahabat".
PERDAMAIAN ANTARA MU'AWIYAH DAN AL HASAN BIN ALI
RADHIYALLAHU ANHUM
Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu secara resmi
memegang tampuk kekhalifahan setelah al Hasan bin Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu 'anhuma mengundurkan diri demi menghentikan pertumpahan darah di
antara kaum Muslimin.
Imam al Bukhari meriwayatkan dalam kitab
Shahih-nya, dari jalur Abdullah bin Muhammad dari Sufyan dari Abu Musa, ia berkata:
Saya mendengar al Hasan berkata: "Demi
Allah, al Hasan bin Ali mendatangi Mu'awiyah dengan membawa pasukan besar
laksana gunung".
Amru bin al Ash berkata,"Menurutku pasukan
ini tidak akan kembali hingga menghancurkan lawannya".
Mu'awiyah –beliau adalah sebaik-baik orang-
berkata kepadanya: "Hai, Amru. Jika kedua pasukan ini saling bunuh, lantas
siapakah yang akan mengatur urusan kaum Muslimin? Siapakah yang melindungi para
wanita muslimah? Siapakah yang melindungi harta benda mereka?" maka
Mu'awiyah mengutus dua orang Quraisy dari Bani Abdi Syams kepada al Hasan,
yakni Abdurrahman bin Samurah dan Abdullah bi Amir bin Kuraiz.
Mu'awiyah berkata kepada mereka berdua:
"Temuilah ia, tawarkanlah (perdamaian) kepadanya. Katakanlah kepadanya dan
mintalah agar ia menerimanya," maka kedua utusan itupun menemui al Hasan
dan mengutarakan maksudnya, dan memintanya agar menerima tawaran mereka. Lalu
al Hasan bin Ali berkata kepada mereka berdua: "Kami dari kabilah Bani
Abdul Muththalib telah memperoleh harta ini, dan sesungguhnya umat ini telah
tertumpah darahnya".
Keduanya berkata,"Sesungguhnya Mu'awiyah
menawarkan ini dan ini kepadamu, ia meminta agar Anda menerimanya."
Al Hasan berkata,"Siapakah yang akan
mendukungku?"
"Kamilah yang mendukungmu," jawab
mereka berdua.
Setiap kali al Hasan menanyakan hal itu,
keduanya menjawab: "Kamilah yang mendukungmu, berdamailah dengannya!"
Al Hasan berkata : "Saya mendengar Abu
Bakrah berkata,'Aku pernah melihat Rasulullah di atas mimbar, sementara al
Hasan bin Ali di sisi beliau. Kadangkala Rasulullah menatap al Hasan, dan
kadangkala menatap para hadirin, lalu (beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata:
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"(Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid.
Mudah-mudahan dengannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimin
yang bertikai)"[3].
Demikianlah Allah menghindarkan terjadinya
peperangan di antara kaum Mukminin melalui as Sayyid al Hasan bin Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu 'anhu. Al Hasan menyerahkan tampuk kekhalifahan kepada
Mu'awiyah dan membaiatnya untuk menegakkan kitabullah dan Sunnah NabiNya. Maka
Mu'awiyah pun memasuki Kufah, dan kaum Muslimin membaiatnya. Dalam sejarah
Islam, tahun itu disebut tahun Jama'ah; karena pada tahun itu kaum Muslimin
bersatu. Semua orang yang sebelumnya menghindarkan diri dari fitnah, mereka
turut membaiat Mu'awiyah, seperti Sa'id bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar,
Muhammad bin Maslamah dan lainnya.
Abul Fadhl Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (6613)
menjelaskan hadits di atas sebagai berikut :
1. Menerangkan salah satu mu'jizat kenabian.
2. Menerangkan keutamaan al Hasan bin Ali
Radhiyallahu 'anhu yang telah mengundurkan diri dari tampuk kekhalifahan bukan
karena sedikit pendukung atau kalah, dan bukan pula karena kesalahan, namun
semata-mata mengharap balasan di sisi Allah, ketika beliau melihat hal itu
dapat menghentikan pertumpahan darah di antara kaum Muslimin. Beliau lebih
mengedepankan kemashlahatan agama dan kemashlahatan umat.
3. Bantahan terhadap kelompok Khawarij yang
mengkafirkan Ali dan orang-orang yang menyertai beliau serta mengkafirkan Mua'wiyah
dan orang-orang yang bersama beliau. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah menyatakan bahwa kedua kelompok itu masih tergolong muslim.
4. Keutamaan usaha perdamaian di antara manusia,
terutama demi memelihara darah kaum Muslimin.
5. Bukti kasih-sayang Mu'awiyah kepada rakyatnya
dan kasih-sayangnya terhadap kaum Muslimin, ketajaman pandangannya dalam
mengatur negara dan kearifan beliau dalam melihat akibat yang akan terjadi.
Perkataan Ibnu Hajar "Bukti kasih sayang
Mu'awiyah kepada rakyatnya ......" didasarkan atas pujian Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam terhadap pengunduran diri al Hasan dari tampuk kekhalifahan
dan menyerahkannya kepada Mu'awiyah sebagaimana telah dijelaskan terdahulu.
MU'AWIYAH TIDAKLAH MEMBENCI ALI, AL-HASAN DAN
AHLI BAIT
Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu juga memuliakan dan
menghormati al Hasan. Ia sering mengirim hadiah setiap tahun sebanyak seratus
ribu dirham. Al Hasan pernah datang mengunjunginya, lalu Mu'awiyah memberinya
hadiah sebanyak empat ratus ribu dirham.[4]
AQIDAH SALAF DALAM MENYIKAPI PERTIKAIAN YANG
TERJADI DI ANTARA SAHABAT
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
"Sesungguhnya Allah telah menerima taubat
Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam
masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian
Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada mereka" [at Taubah/9:117]
Berkaitan dengan larangan mencampuri pertikaian
besar di antara sahabat, Ibnu Baththah rahimahullah berkata :
"Kita harus menahan diri dari pertikaian
yang terjadi di antara sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab
mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sllam, dan telah mendahului yang lainnya dalam hal keutamaan. Allah telah
mengampuni mereka dan memerintahkan agar memintakan ampunan untuk mereka, dan
mendekatkan diri kepadaNya dengan mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan
melalui lisan RasulNya. Allah Maha Tahu apa yang bakal terjadi, bahwasanya
mereka akan saling berperang. Mereka memperoleh keutamaan daripada yang
lainnya, karena segala kesalahan dan kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua
pertikaian yang terjadi di antara mereka telah diampuni. Janganlah lihat
komentar-komentar negatif tentang peperangan Shiffin, Jamal, peristiwa di
kediaman Bani Sa'idah dan pertikaian-pertikaian lain yang terjadi di antara
mereka. Janganlah engkau tulis untuk dirimu atau untuk orang lain. Janganlah
engkau riwayatkan dari seorangpun, dan jangan pula membacakannya kepada orang
lain, dan jangan pula mendengarkannya dari orang yang meriwayatkannya.
Itulah perkara yang disepakati oleh para ulama
umat ini. Mereka sepakat melarang perkara yang kami sebutkan tersebut. Di
antara ulama-ulama tersebut adalah: Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Sufyan
ats Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Idris, Malik bin Anas, Ibnu Abi
Dzi'b, Ibnul Munkadir, Ibnul Mubarak, Syu'aib bin Harb, Abu Ishaq al Fazari,
Yusuf bin Asbath, Ahmad bin Hambal, Bisyr bin al Harits dan Abdul Wahhab al
Warraq, mereka semua sepakat melarangnya, melarang melihat dan mendengar
komentar tentang pertikaian tersebut. Bahkan mereka memperingatkan orang yang
membahas dan berupaya mengumpulkannya. Banyak sekali perkataan-perkataan yang
diriwayatkan dari mereka yang ditujukan kepada orang-orang yang melakukannya,
dengan lafal bermacam-macam namun maknanya senada; intinya membenci dan
mengingkari orang yang meriwayatkan dan mendengarnya".[5]
Apabila Umar bin Abdul Aziz ditanya tentang
peperangan Shiffin dan Jamal, beliau berkata: "Urusan yang Allah telah
menghindarkan tanganku darinya, maka aku tidak akan mencampurinya dengan
lisanku!"[6]
Al Khallal meriwayatkan dari jalur Abu Bakar al
Marwadzi, ia berkata: "Ada yang berkata kepada Abu Abdillah, ketika itu
kami berada di tengah pasukan dan kala itu datang pula seorang utusan khalifah,
yakni Ya'qub, ia berkata: "Wahai Abu Abdillah, apa komentar Anda tentang
pertikaian yang terjadi antara Ali dan Mu'awiyah?"
Abu Abdillah menjawab,"Aku tidak mengatakan
kecuali yang baik, semoga Allah merahmati mereka semua."[7]
Imam Ahmad menulis surat kepada Musaddad bin
Musarhad yang isinya: "Menahan diri dari memperbincangkan kejelekan
sahabat. Bicarakanlah keutamaan mereka dan tahanlah diri dari membicarakan
pertikaian di antara mereka. Janganlah berkonsultasi dengan seorangpun dari
ahli bid'ah dalam masalah agama, dan janganlah menyertakannya dalam
perjalananmu".[8]
Imam Ahmad juga menulis surat kepada Abdus bin
Malik tentang pokok-pokok dasar Sunnah. Beliau menuliskan di dalam suratnya:
"Termasuk pokok dasar, (yaitu) barangsiapa
melecehkan salah seorang sahabat Nabi atau membencinya karena kesalahan yang
dibuat atau menyebutkan kejelekannya, maka ia termasuk mubtadi' (ahli bid'ah),
hingga ia mendoakan kebaikan dan rahmat bagi seluruh sahabat dan hatinya tulus
mencintai mereka"[9]
Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman ash Shaabuni
rahimahullah berkata di dalam Aqidah Salaf Ashhabul Hadits : "Ahlu Sunnah
memandang, wajib menahan diri dari mencampuri pertikaian di antara sahabat
Rasul. Menahan lisan dari perkataan yang mengandung celaan dan pelecehan
terhadap para sahabat".
Dalam kitab Lum'atul I'tiqad, Ibnu Qudamah al
Maqdisi berkata: "Termasuk Sunnah Nabi adalah, menahan diri dari
menyebutkan kejelekan-kejelekan para sahabat dan pertikaian di antara mereka.
Serta meyakini keutamaan mereka dan mengenal kesenioran mereka".
Dalam kitab Aqidah Wasithiyah, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata: "Ahlus Sunnah wal Jama'ah menahan diri dari
memperbincangkan pertikaian di antara para sahabat. Mereka mengatakan,
riwayat-riwayat yang dinukil tentang kejelekan mereka, sebagiannya ada yang
dusta, ada yang ditambah-tambah dan dikurangi serta dirobah-robah dari bentuk
aslinya. Berdasarkan sikap yang benar, para sahabat dimaafkan kesalahannya.
Mereka itu adalah alim mujtahid, yang kadangkala benar dan kadangkala
salah".
Imam al Asy'ari dalam kitab al Ibanah
mengatakan: "Adapun yang terjadi antara Ali, az Zubair dan 'Aisyah
Radhiyallahu 'anhum adalah bersumber dari takwil dan ijtihad. Ali adalah
pemimpin, sedangkan mereka semua termasuk ahli ijtihad. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam telah menjamin mereka masuk surga dan mendapat syahadah (mati
syahid). Itu menunjukkan bahwa, ijtihad mereka benar. Demikian pula yang
terjadi antara Ali dan Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhuma, juga bersumber dari
takwil dan ijtihad. Semua sahabat adalah imam dan orang-orang yang terpercaya,
bukanlah orang yang dicurigai agamanya".
Al Qadhi Iyadh berkata dalam karyanya, Syarah
Shahih Muslim: "Mu'awiyah termasuk sahabat yang shalih dan termasuk
sahabat yang utama. Adapun peperangan yang terjadi antara dirinya dengan Ali,
dan pertumpahan darah yang terjadi di antara para sahabat, maka sebabnya adalah
takwil dan ijtihad. Mereka semua berkeyakinan bahwa ijtihad mereka tepat dan
benar".
Al Qahthaani berkata dalam Nuniyah-nya:
Ucapkanlah sebaik-baik perkataan pada sahabat
Muhammad
Pujilah seluruh ahli bait dan isteri beliau
Tinggalkanlah pertikaian yang terjadi di antara
sahabat
Saat mereka saling bertempur dalam sejumlah
pertempuran
Yang terbunuh maupun yang membunuh
sama-sama dari mereka dan untuk mereka
Kedua pihak akan dibangkitkan pada hari
berbangkit
dalam keadaan dirahmati
Allah akan membangkitkan mereka semua pada Hari
Mahsyar
dan mencabut kebencian yang tersimpan dalam dada
mereka!
Hafizh al Hikmi berkata dalam Sullamul Wushul
ila Ilmil Ushul:
Kemudian wajib menahan diri dari pertikaian di
antara mereka
Yang mana hal tersebut telah berjalan menurut
takdir ilahi
Mereka semua adalah mujtahid yang pasti mendapat
pahala
Sementara kesalahan mereka diampuni Allah Yang
Maha Memberi.
Demikian penjelasan singkat mengenai sikap Ahlus
Sunnah wal Jamaah terhadap pertikaian yang terjadi antara Sahabat Mu'awiyah dan
Ali Radhiyallahu 'anhuma. Begitu pula sikap kita kepada para sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam secara keseluruhan.
Wallahu a’lam bish shawab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun
X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Ditahqiq oleh Abdullah at Turki. Beliau
memaparkan beberapa perbedaan yang terdapat dalam sejumlah naskah, namun
perbedaan itu tidak terlalu serius.
[2]. Shahih al Bukhari, hadits nomor 7352.
[3]. HR al Bukhari, 2704.
[4]. Tarikh Dimasyqi, XIII/166.
[5]. Al Ibanah, karya Ibnu Baththah, halaman
268. Bagi yang ingin mengetahui penjelasan lebih lengkap, silakan lihat kitab
as Sunnah, karya al Khallal. Beliau telah menulis sebuah bab dalam kitab
tersebut, tentang teguran keras terhadap orang yang menulis riwayat-riwayat
yang berisi hujatan terhadap sahabat Nabi.
[6]. As Sunnah, karya al Khallal, 717.
[7]. As Sunnah, karya al Khallal, 713.
[8]. Thabaqaatul Hanaabilah, I/344.
[9]. Thabaqaatul Hanaabilah, I/345.