Untuk mengetahui dan memahami masalah ini dengan
jernih, benar dan rinci, kita perlu kembali dulu ke masa lalu, yakni masa
hidupnya ulama2 salaf dan ulama2 setelahnya yang dekat masanya dengan ulama2
salaf, saat syubhat tasybih ini pertama kali dimunculkan oleh orang2 Jahmiyah,
Mu’tazilah, dan kalangan Ahlul-Bid’ah pengingkar shifat2 Allah lainnya di masa
itu.
Untuk itu, insya Allah kita akan mengkaji serta mempelajari poin-poin
penting terkait masalah ini sehingga –insya Allah- kita akan mengetahui bahwa
syubhat tasybih ala aswaja ini hanyalah sampah yang didaur ulang dari syubhat
yang sama yang dahulu dihembuskan oleh oleh orang2 Jahmiyah, Mu’tazilah, dan
kalangan Ahlul-Bid’ah pengingkar shifat2 Allah lainnya terhadap diri ulama2
salaf Ahlus-Sunnah sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap ulama2 salaf
Ahlus-Sunnah yang menetapkan shifat2 Allah itu sebagaimana dikabarkan di dalam
Al-Quran dan Sunnah yang shahih.
Insya Allah, kita akan bagi pembahasan ini kepada beberapa poin,………
Poin Pertama : Apa itu
Tasybih?
Al-Hafizh Abul-Qasim al-Ashbahani rahimahullah mengatakan :
وأما التشبيه : فهو مصدر شبه يشبه تشبيهاً ، يقال :
شبهت الشيء بالشيء أي مثلته به ، وقسته عليه ، إما بذاته أو بصفاته ، أو بأفعاله
“Adapun Tasybih, maka ia adalah mashdar dari syabbaha yusyabbihu
tasybiihan.
Dikatakan : “Aku menyerupakan sesuatu dengan sesuatu, yakni aku
sepertikan ia dengannya dan aku bandingkan ia dengannya, adakalanya pada
dzat-nya, atau pada shifatnya ataupun pada perbuatannya.”
(Al-Hujjah 1/306)
Apa yang didefiniskan oleh Al-Hafizh Abul-Qasim di atas adalah jelas
yakni bahwa tasybih itu terjadi jika ada seseorang yang menyerupakan sesuatu
dengan sesuatu, entah pada dzat-nya, atau pada shifatnya ataupun pada
perbuatannya.
Misalnya seseorang berkata atau meyakini bahwa : “Tangan Zaid adalah
seperti tangan Ahmad.”, atau : “Wajah Zaid seperti wajah Ahmad.”, atau :
“Tertawanya Zaid seperti tertawanya Ahmad.”, atau : “Berjalannya Zaid seperti
berjalannya Ahmad.”, dan yang semisalnya.
Seperti inilah tasybih, dan orang yang melakukan tasybih disebut dengan
musyabihah, dan seperti inilah yang dikemukakan oleh ulama2 salaf dan ulama
yang sesudahnya.
Imam At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan :
وقال إسحق
بن
إبراهيم
إنما
يكون
التشبيه
إذا
قال
يد
كيد
أو
مثل
يد
أو
سمع
كسمع
أو
مثل
سمع
فإذا
قال
سمع
كسمع
أو
مثل
سمع
فهذا
التشبيه
"Ishaq bin Ibrahim rahimahullah mengatakan : “Hanyalah tasybih itu
terjadi apabila seseorang mengatakan : “Tangan bagaikan tangan yang lain”, atau
: “Tangan seperti tangan yang lain“ atau mengatakan : “Pendengaran bagaikan
pendengaran yang lain” atau : “Pendengaran seperti pendengaran yang lain.”,
sehingga jika dia mengatakan “Pendengaran seperti pendengaran yang lain.”, maka
seperti inilah tasybih.
(Sunan At-Tirmidzi 3/50)
Hal semisal diriwayatkan dari imam Ahmad rahimahullah sebagaimana
dikatakan oleh ibnul-Qayim al-Jauziah rahimahullah :
قلت ( له
) : والمشبه
ما
تقول
؟
قال
: من
قال
: بصر
كبصري
ويد
كيدي
وقدم
كقدمي
فقد
شبه
الله
سبحانه
بخلقه
“Hanbal berkata kepada imam Ahmad rahimahullah : “Apa pendapatmu
tentang musyabihah?”
Imam Ahmad rahimahullah menjawab : “Barangsiapa yang mengatakan : “Penglihatan
seperti penglihatanku, tangan seperti tanganku, atau kaki seperti kakiku”, maka
ia telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.”
(Ijtima’ al-Juyusy 1/213)
Ibnu Syaqla rahimahullah mengatakan :
المشبه الذي
يقول:
وجه
كوجهي
ويد
كيدي
“Musyabihah adalah mereka yang mengatakan : “Wajah seperti wajahku,
atau tangan seperti tanganku.”
(Thabaqat al-Hanabilah 3/239)
Na'am, seperti inilah tasybih.
Adapun, jika seseorang hanya berkata dan hanya meyakini –misalnya- :
“Si fulan memiliki wajah.”, atau : “Si fulanah memiliki tangan.”, atau : “Si
fulan sedang berjalan.”, atau : “Si fulanah tertawa.” tanpa dikatakan :
“Seperti…,” atau : ”Bagaikan….,” dan semisalnya, maka yang seperti ini sama
sekali bukan tasybih. Sedikitpun bukan.
Akan tetapi itu semua hanyalah sekedar penetapan shifat, bahwa si fulan
itu memiliki wajah, si fulanah itu memiliki tangan, si fulan berjalan, dan
sebagainya, tanpa adanya penyerupaan dengan yang lainnya.
Nah, untuk hal yang kedua ini Imam At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan
:
وأما إذا
قال
كما
قال
الله
تعالى
يد
وسمع
وبصر
ولا
يقول
كيف
ولا
يقول
مثل
سمع
ولا
كسمع
فهذا
لا
يكون
تشبيها
Ishaq bin Ibrahim rahimahullah mengatakan : “Adapun jika ada seseorang
yang mengatakan sebagaimana firman Allah berkenaan dengan tangan, pendengaran,
penglihatan tapi dia tidak mengatakan : “Bagaimana….” dan tidak pula mengatakan
: “Seperti pendengaran…..” atau : “Bagaikan pendengaran..…”, maka jika seperti
ini tidaklah dikatakan tasybih.”
(Sunan At-Tirmidzi 3/50)
Dan yang seperti ini bukanlah tasybih.
So, seperti inilah yang ditetapkan oleh ulama2 salaf dan yang
setelahnya, yakni menetapkan shifat2 itu tanpa mengatakan dan meyakini :
“Seperti…” atau : “Bagaikan…..”, dan yang semisalnya.
Al-Hafizh 'Utsman bin Sa'id Ad-Darimi rahimahullah (dan beliau adalah
salah seorang murid dari Ishaq bin Ibrahim rahimahullah yang perkataannya
dinukilkan oleh imam At-Tirmidzi rahimahullah di atas, dan juga murid dari imam
Ahmad rahimahullah dan Yahya bin Ma’in rahimahullah) mengatakan:
وكما ليس
كمثله
شيء
ليس
كسمعه
سمع
ولا
كبصره
بصر
“Sehingga sebagaimana tidak ada yang serupa dengan dia, maka tidak ada
pendengaran yang seperti pendengaran-Nya, dan tidak pula ada penglihatan yang
seperti penglihatan-Nya.”
(An-Naqd al-Imam Ad-Darimi ‘alal-Marisyi al-Jahmiy 1/308)
Ibnu Asram rahimahullah mengatakan :
وقد أخبرنا
الله
عز
و
جل
في
كتابه
ووصف
نفسه
في
كتابه
قال
الله
تعالى
ليس
كمثله شيء
وهو
السميع
البصير
ثم
أخبر
عن
خلقه
قال
عز
و
جل
فجعلناه
سميعا
بصيرا
فهذه
صفة
من
صفات
الله
أخبرنا أﻧﻬا
في
خلقه
غير
أنا
لا
نقول
إن
سمعه
كسمع
الآدميين
ولا
بصره
كأبصارهم
“Sungguh Dia telah mengabarkan kepada kami di dalam kitab-Nya dan Dia
shifati Diri-nya sendiri bahwa : “Tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.”
Kemudian Dia juga mengabarkan tentang makhluk-Nya dengan firman-Nya :
“Maka Kami jadikan dia dapat mendengar dan dapat melihat.”
Dan Allah mengabarkan bahwa shifat2 diantara shifat2-Nya ini (yakni
mendengar dan melihat) juga terdapat pada makhluk-Nya. Hanya saja kami tidak
mengatakan bahwa: “Pendengaran Allah seperti pendengaran bani Adam”, dan tidak
pula kami katakan bahwa : “Pengilihatan Allah seperti penglihatan bani Adam.”
(At-Tanbih halaman 48)
Akan tetapi, orang2 jahil dari kalangan Jahmiyah, Mu’tazilah, dan
kalangan Ahlul-Bid’ah pengingkar shifat2 Allah lainnya, dengan alasan tanzih
dan ta'zim, maka mereka menetapkan kaidah tasybih versi mereka sendiri yang
berasal dari kejahilan diri mereka, yang sangat-sangat bertentangan dengan
ulama2 salaf.
Mereka menetapkan kaidah yang bathil bahwa barangsiapa yang menetapkan shifat2
Allah, meskipun hanya menetapkan shifat2 tersebut tanpa mengatakan :
“Seperti….”, atau : “Bagaikan…”, maka ia tetaplah dianggap telah melakukan
tasybih, dan kemudian mereka tetapkan sebagai musyabihah.
Dan kaidah ini sangat jelas bathilnya.
Sebab bagaimana mungkin jika ada seseorang yang berkata –misalnya- :
“Zaid memiliki dua tangan.” lalu dianggap telah menyerupakan Zaid dengan Ahmad
–misalnya-, padahal tidak se-hurufpun nama Ahmad disebut-sebut??
Atau bagaimana mungkin jika ada seseorang yang berkata –misalnya- :
“Zaid memiliki wajah” lalu dianggap telah menyerupakan Zaid dengan nabi Yusuf
–misalnya-, padahal tidak se-hurufpun nama Nabi Yusuf ‘alaihissalaam
disebut-sebut??
Maka, bagaimana mungkin ketika para ulama salaf berkata :
"Allah memiliki dua tangan" atau : "Allah memiliki wajah"
atau : "Allah ada di atas 'Arsy", kemudian malah mereka tetapkan
sebagai musyabihah??
Ini jelas bathilnya dan tidaklah kaidah bathil seperti ini dahulu
ditetapkan oleh orang2 Jahmiyah, Mu'tazillah dan yang semisalnya melainkan atas
dasar kejahilan.
Dan masalah ini, telah direkam dan dicatat dengan baik oleh para ulama
Ahlus-Sunnah, baik dari kalangan salaf maupun ulama2 yang sesudahnya.
Diantaranya, Ibnu Khuzaimah rahimahullah yang mengatakan :
ولو لزم –ياذوى الحجا أهل السنة والآثار إذا أثبتوا
لمعبودهم يدين كما ثبتهما الله لنفسه وثبتوا له نفساً (عز وجل)، وأنه سميع بصير،
يسمع ويرى، ما ادعي هؤلاء الجهلة عليهم أنهم مشبهة، للزم كل من سمى الله ملكاً أو
عظيماً ورؤوفاً ورحيماً، وجباراً، ومتكبراً، وأنه قد شبه خالقه (عز وجل) بخلقه،
“Kalau saja Ahlus-Sunah dan atsar saat mereka menetapkan dua tangan
untuk Rabb yang mereka sembah sebagaimana hal ini ditetapkan oleh Allah untuk
diri-Nya, dan mereka juga menetapkan nafs 'Azza wa Jalla, dan bahwa Allah itu
adalah sami'un bashiirun, Dia mendengar dan melihat, maka hal ini melazimkan
seperti apa yang didakwakan oleh orang2 jahil (Jahmiyah) bahwa Ahlus-Sunnah dan
atsar itu adalah musyabihah, maka hal ini tentu melazimkan pula bahwa setiap
orang yang menyebut Allah dengan Malik, 'Azim, Ra-uf, Rahim, Jabar, atau
Mutakabbir, bahwa mereka juga telah menyerupakan Allah 'Azza wa Jalla dengan
makhluk-Nya."
(At-Tauhid 1/65)
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah mengatakan :
وأما الجهمية
والمعتزلة
والخوارج
فكلهم
ينكرها
ولا
يحمل
منها
شيئا
على
الحقيقة
ويزعمون
أن
من
أقر
بها
مشبه
“Adapun Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Khawarij, maka mereka semua
mengingkari shifat2 Allah dan tidak membawakan shifat2 itu kepada hakikinya,
dan mereka menyangka bahwa barangsiapa yang menetapkan shifat Allah secara
hakiki adalah musyabihah.”
(At-Tamhid 7/145)
Dan yang lainnya.
So, dari poin pertama ini, semoga kita dapat memahami akar
permasalahannya dengan jelas, yakni darimana syubhat tasybih dan tuduhan
musyabihah ini berasal, dan seperti apa kejahilan dan kebathilan kaidah tasybih
orang2 Jahmiyah, Mu'tazilah dan yang semisalnya dahulu yang kemudian terbawa
sampai sekarang dan menjadi isu favorit sebagian orang yang menyebut dirinya
Aswaja.
Point Kedua : Contoh peristiwa tentang tuduhan tasybih dari
orang2 Jahmiyah, Mu’tazilah, dan kalangan Ahlul-Bid’ah pengingkar shifat2 Allah
lainnya terhadap ulama Ahlus-Sunnah
Dalam artikel sebelumnya yakni Isu Tentang Tasybih dan Musyabihah (1) , telah disampaikan bahwa tasybih menurut ulama
Ahlus-Sunnah itu hanya terjadi jika ada seseorang yang menyerupakan sesuatu
dengan sesuatu, entah pada dzat-nya, atau pada shifatnya ataupun pada
perbuatannya.
Misalnya seseorang berkata
atau meyakini bahwa : “Tangan Allah adalah seperti tangan Ahmad.”, atau :
“Wajah Allah seperti wajah Ahmad.”, atau : “Tertawanya Allah seperti tertawanya
Ahmad.”, dan yang semisalnya.
Akan tetapi, orang2 jahil
dari kalangan Jahmiyah, Mu’tazilah, dan kalangan Ahlul-Bid’ah pengingkar
shifat2 Allah lainnya, dengan alasan tanzih dan ta'zim, maka mereka menetapkan
kaidah tasybih versi mereka sendiri barangsiapa yang menetapkan shifat2 Allah
(bahwa Allah memiliki tangan, memiliki kaki, memiliki wajah, tertawa,
mendengar, dan sebagainya) meskipun hanya menetapkan shifat2 tersebut tanpa
mengatakan : “Seperti….”, atau : “Bagaikan…”, maka ia tetaplah dianggap telah
melakukan tasybih, dan kemudian mereka tetapkan sebagai musyabihah.
Nah, untuk menggambarkan
hal ini secara lebih jelas, maka kita akan melihat contoh peristiwa yang
terjadi di masa lalu, yaitu dialog ringkas yang terjadi antara seorang ulama
Ahlus-Sunnah, yakni ibnu Syaqila rahimahullah dengan seorang yang dipanggil
dengan Abu Sulaiman Ad-Damsyiqi dalam beberapa masalah shifat Allah.
Masalah Kaki Allah.
Ibnu Syaqila rahimahullah berkata :
فقال لي
منكراً
لقولي
: من
يقول
رجل
؟. فقلت : أبو هريرة
عن
النبي
- صلى
الله
عليه
وسلم
- فقال:
من
عن
أبي
هريرة؟
فقلت
: همام
فقال:
من
عن
همام؟
فقلت:
معمر
فقال:
من
عن
معمر؟
فقلت:
عبد
الرزاق
فقال
لي:
من
عن
عبد
الرزاق؟
فقلت
له:
أحمد
بن
حنبل
فقال
لي:
عبد
الرزاق
كان
رافضياً. فقلت له: من
ذكر
هذا
عن
عبد
الرزاق؟
فقال
لي:
يحيى
بن
معين. فقلت له: هذا
تخرص
على
يحيى
إنما
قال
يحيى:
كان
يتشيع
ولم
يقل
رافضياً
. فقال لي: الأعرج
عن
أبي
هريرة:
بخلاف
ما
قاله
همام. قلت له: كيف؟
قال:
لأن
الأعرج
قال:
" يضع قدمه " . فقلت له: ليس
هذا
ضد
ما
رواه
همام
وإنما
قال
هذا
" قدم " وقال هذا
" رجل " وكلاهما واحد
"Dengan nada
mengingkari, dia berkata kepadaku : "Siapa yang meriwayatkan tentang
"kaki" ?"
Aku (ibnu Syaqila) menjawab
: "Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa
sallam."
Dia berkata : "Siapa
yang meriwayatkan dari Abu Hurairah?
Aku
(ibnu Syaqila) menjawab : "Hammam."
Dia
berkata : "Siapa
yang meriwayatkan dari Hammam?"
Aku (ibnu Syaqila) menjawab : "'Abdurrazaq."
Dia berkata : "Siapa yang meriwayatkan dari 'Abdurrazaq?"
Aku (ibnu Syaqila) menjawab : "'Abdurrazaq."
Dia berkata : "Siapa yang meriwayatkan dari 'Abdurrazaq?"
Aku
(ibnu Syaqila) menjawab : "'Ahmad bin Hanbal."
Lalu
dia berkata padaku : "'Abdurrazaq adalah seorang Rafidhah."
Maka
aku katakan padanya : "Siapa yang mengatakan tentang 'Abdurrazaq bahwa dia
adalah seorang Rafidhah?"
Dia
menjawab : "Yahya bin Ma'in."
Maka
aku katakan padanya : "Ini adalah kedustaan atas Yahya bin Ma'in. Beliau
hanya mengatakan kalau 'Abdurrazaq adalah tasyayu' dan tidak pernah mengatakan
kalau 'Abdurrazaq adalah Rafidhah."
Lalu
dia berkata padaku : "Al-A'raj dari Abu Hurairah telah menyelisihi
riwayatnya Hammam."
Aku
bertanya kepadanya : "Bagaimana bisa?"
Dia
menjawab : "Sebab Al-A'raj meriwayatkan dengan redaksi "Meletakan
qadam-Nya."
Maka,
aku katakan kepadanya : "Itu bukanlah penyelisihan atas apa yang
diriwayatkan oleh Hammam. Akan tetapi itu hanyalah sekedar seorang perawi
meriwayatkan : "Rijlun (kaki)", sedangkan yang lainnya meriwayatkan :
"Qadamun (kaki)", sedangkan makna keduanya adalah satu."
(Thabaqat al-Hanabilah
3/230-231)
Dari
sebagian dialog ini ada salah satu faidah penting yang dapat kita petik, yaitu
bahwa sebenarnya Abu
Sulaiman Ad-Damsyiqi itu juga sama2 mengetahui tentang hadits2 yang berbicara
tentang shifat2 Allah, bahkan tahu juga tentang seluk beluk perawi dan lafazh2
periwayatannya.
Akan
tetapi yang kemudian membedakan diantara ibnu Syaqila rahimahullah dan Abu
Sulaiman ini adalah bahwa ibnu
Syaqila rahimahullah menjadikan hadits2 tersebut sebagai hujjah dalam penetapan
shifat2 Allah, sedangkan Abu Sulaiman berusaha sebisa mungkin mengingkarinya.
Dan
kebiasaan seperti ini masih terus ada sampai sekarang.
Misalnya,
adanya sebagian orang yang berusaha mati2an untuk mengingkari hadits2 tentang
ru'yah dan juga hadits tentang "dimana Allah."
Masalah Jari-jari Allah
Ibnu
Syaqila rahimahullah berkata :
ثم
قال لي: والأصابع في حديث ابن مسعود تقول به؟
فقلت له: حديث ابن مسعود صحيح من جهة النقل رواه الناس
ورواه الأعمش عن إبراهيم عن علقمة عن عبد الله.
فقال لي: هذا قاله اليهودي.
فقلت له: لم ينكر رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قوله
قد ضحك رسول الله - صلى الله عليه وسلم - حتى بدت نواجذه تصديقاً لقوله
"Kemudian dia berkata
kepadaku : "Hadits ibnu Mas'ud tentang jari2 Allah, apakah engkau
berpendapat dengannya?"
Maka
aku katakan kepadanya : "Hadits ibnu Mas'ud radhiyallaahu 'anhu adalah
hadits yang shahih dari sisi penukilan dan hadits itu telah diriwayatkan oleh
orang2. Hadits itu diriwayatkan oleh Al-A'masiy dari Ibrahim dari 'Alqamah dari
'Abdullah bin Mas'ud radhiyallaahu 'anhu."
Kemudian
dia berkata kepadaku : "Itu adalah perkataannya orang Yahudi."
Aku
katakan kepadanya : "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidaklah
mengingkarinya. Bahkan beliau tertawa sehingga nampak gigi seri beliau sebagai
pembenaran atas perkataan tersebut."
(Thabaqat
al-Hanabilah 3/231)
Lalu.....Abu
Sulaiman mengatakan :
هذا
ظن من ابن مسعود أخطأ فيه.
فقلت له: هذا قول من يروم هدم الإسلام والطعن على الشرع
"Hadits
itu adalah prasangka dari ibnu Mas'ud dan dia telah salah tentang hadits
itu."
Maka
aku (ibnu Syaqila) katakan kepadanya : "Perkataanmu ini adalah perkataan
orang yang bermaksud merobohkan Islam dan tuduhan terhadap asy-syar'i."
(Thabaqat
al-Hanabilah 3/232)
Perhatikanlah
apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman di atas...
Hanya
karena hadits tersebut tidak bersesuaian dengan madzhabnya, maka dia tidak
segan-segan untuk menuduh perawi
haditsnya yakni seorang
sahabat besar seperti ibnu Mas'ud radhiyallaahu 'anhu telah meriwayatkan hadits
hanya berdasarkan prasangka belaka!!
Dan
ini adalah kebiasaan jelek yang terus ada sampai sekarang.
Sebagian
orang jahil di masa sekarang tidak segan-segan menuduh para ulama besar dari
kalangan salaf dengan sebutan mujasimah, dan musyabihah, hanya karena 'Aqidah
dan perkataan para ulama salaf tersebut tidak sesuai dengan hawa nafsunya,
tidak sesuai dengan 'aqidahnya.
Tidak
kurang dari Imam Ahmad rahimahullah, Abu Zur'ah rahimahullah, ibnu Khuzaimah
rahimahullah, 'Utsman ad-Darimi rahimahullah, Ishaq bin Ruhawaih rahimahullah,
Ad-Daruquthni rahimahullah, adalah sebagian ulama salaf yang tidak lepas dari
tuduhan mujasimah dan musyabihah dari sebagian orang2 yang jahil di masa
sekarang.
Pada
akhirnya, Abu Sulaiman ad-Damsyiqi kemudian menuduh
ibnu Syaqila rahimahullah sebagai.........Musyabihah.
Ibnu Syaqila rahimahullah
berkata :
فقال
لي: أنتم المشبهة ..
"Maka dia berkata kepada : "Engkau adalah seorang
musyabihah."
(Thabaqat al-Hanabilah 3/239)
Kemudian, atas tuduhan bathil ini, ibnu Syaqila rahimahullah kemudian
mengatakan :
حاشا لله المشبه الذي
يقول: وجه كوجهي ويد كيدي فأما نحن فنقول: له وجه كما أثبت لنفسه وجها وله يد كما أثبت
لنفسه يداً وليس كمثله شئ وهو السميع البصير
"Maha Suci Allah.
Al-Musyabihah adalah mereka yang mengatakan : "Wajah seperti wajahku dan
tangan seperti tanganku." sedangkan kami hanya mengatakan : "Allah
memiliki wajah sebagaimana dia tetapkan wajah itu untuk diri-Nya". Dan Dia
memiliki tangan sebagaimana Dia tetapkan tangan itu untuk diri-Nya, sedangkan
tidak ada yang serupa dengan Dia, dan Dia adalah Maha Mendengar Maha
Melihat."
(Thabaqat al-Hanabilah
3/239)
So,
demikianlah......
Meski ibnu Syaqla
rahimahullah tidak pernah mengatakan ataupun menetapkan bahwa kaki Allah itu
adalah seperti kaki fulan, atau jari Allah itu seperti jari fulan, ataupun
tangan Allah itu seperti tangan fulan, dan meski yang beliau tetapkan itu adalah
hanya sebatas shifat-Nya saja, yakni bahwa Allah itu memiliki tangan, bahwa
Allah itu memiliki kaki, bahwa Allah itu memiliki wajah dan sebagainya, akan
tapi, Abu Sulaiman tetaplah menganggap penetapan itu sebagai tasybih dan
menuduh ibnu Syaqla rahimahullah sebagai seorang musyabihah.
Dan
hal ini, persis sebagaimana terjadi di masa sekarang.......
Apabila
di masa sekarang anda berkata : “Allah memiliki dua tangan” atau : “Allah
memiliki wajah”, atau : “Allah tertawa” Atau : “Allah ada di atas”, dan perkataan2
yang semisal saat menetapkan shifat2 Allah sebagaimana Allah dan Rasul-Nya
tetapkan sendiri di dalam Al-Quran dan Sunnah yang shahih, maka tidak lama
kemudian sebagian orang (meski tidak semua) yang menyebut dirinya sebagai
Aswaja, dan mengaku sebagai bagian dari Asy’ariyah atau Maturidiyah akan
menggelari anda dengan sebutan : “Musyabihah.” atau bahkan
"Mujasimah", yakni anda akan dianggap telah menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya, sebab mereka menganggap penetapan2 shifat seperti itu sebagai tasybih
(penyerupaan Allah dengan makhluk), atau dianggap telah men-jismkan Allah,
padahal tidaklah tuduhan seperti ini melainkan keluar disebabkan kejahilan
mereka tentang apa itu tasybih.
Kejahilan
seperti ini pernah diisyaratkan oleh ibnu Khuzaimah rahimahullah dengan
perkataan beliau :
أفيلزم –ذوي الحجا- عند هؤلاء الفسقة أن من ثبت
لله ما ثبت الله في هذا الآي أن يكون مشبهاً خالقه بخلقه، حاش لله أن يكون هذا
تشبيهاً كما ادعوا لجهلهم بالعلم.
"Apakah
hal ini melazimkan bagi orang2 fasik itu bahwa siapa saja yang menetapkan untuk
Allah apa2 yang Allah tetapkan untuk dirinya di dalam ayat2 ini adalah seorang
yang telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya??
Maha Suci Allah jika hal seperti ini adalah tasybih sebagaimana didakwakan oleh
orang2 yang jahil dengan ilmu."
(Kitabut-Tauhid
1/56)
Dan
beliau rahimahullah juga berkata :
لزعمكم-
ياجهلة أن من قال –من أهل السنة والآثار، القائلين بكتاب ربهم وسنة نبيهم صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلَّهِ ‘ وجه وعينان، ونفس، وإن الله يبصر ويرى ويسمع:
أنه مشبه خالقه بالمخلوقين.
"Atas
prasangka kalian duhai orang2 jahil, bahwa barangsiapa diantara
Ahli Sunnah dan atsaryang berbicara berdasarkan Kitab Rabb mereka dan Sunnah
Nabi mereka tentang Wajah, Dua Mata, Nafs, dan sesungguhnya Allah itu Melihat
dan dapat dilihat dan Dia juga Mendengar,berarti dia telah menyerupakan Allah
dengan makhluk."
(Kitabut-Tauhid
1/57)
Nah,
adakah diantara kita yang tertarik ingin ikut2an jahil seperti orang2 Jahmiyah
dahulu, dan seperti sebagian orang di masa sekarang dengan jargon musyabihah
dan mujasimah beserta kaidah2 bathil buatan mereka??
Kalau
saya, sedikitpun tidak tertarik.
Artikel terkait dan perlu dibaca :
( Bagian 1 ) Mengimani
Sifat-sifat Allah : Bingung Tentang ( Keberadaan ) Rabbnya ?
( Bagian 2 ) Mengimani
Sifat-sifat Allah : Isu tentang tajsim dan mujasimah
8 komentar:
Assalamu'alaykum, apa kabar
kang? sehat?
Kang, kok gak dilanjut lagi di myquran? kan domain myquran.or.id nya normal
O iya kang tanya, adakah pembagian secara jelas bahwa ayat/hadits ini mutasyabih atau muhkamat dari Nabi dan Shahabatnya?
Dan terkait dengan isu Mutasyabih dan Muhkamat, yang mutasyabih dan muhkamat apakah ada batasan nya atau bagaimana?...misalnya tentang Shifat nya Muhkam, yg mutasyabih adalah Kayf nya...(kalau gak salah akang pernah kutip pernyataan Imam Ahmad tentang yg dianggap Mutasyabih/muhkamat gitu, saya lupa penjelasan lengkapnya)
O iya kang tanya, adakah pembagian secara jelas bahwa ayat/hadits ini mutasyabih atau muhkamat dari Nabi dan Shahabatnya?
Dan terkait dengan isu Mutasyabih dan Muhkamat, yang mutasyabih dan muhkamat apakah ada batasan nya atau bagaimana?...misalnya tentang Shifat nya Muhkam, yg mutasyabih adalah Kayf nya...(kalau gak salah akang pernah kutip pernyataan Imam Ahmad tentang yg dianggap Mutasyabih/muhkamat gitu, saya lupa penjelasan lengkapnya)
Bagaimana dengan atsar ini:
21059 - أخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن بن طاووس عن أبيه قال سمعت رجلا يحدث ابن عباس بحديث أبي هريرة هذا فقام رجل فانتقض فقال ابن عباس ما فرق هؤلاء يجدون [رقة] عند محكمه ويهلكون عند متشابهه
Mohon penjelasan nya ya kang
Ditunggu lanjutan tulisan Isu Jism nya juga kang....
Barakallahu Fiik
NB: Sistem komentarnya apa gak bisa dibuat lebih mudah kang...hehehe
Al-Muzaniy20 Agustus 2014 19.44
Al-Muzaniy20 Agustus 2014 19.44
Wa’alaikumussalaam
warahmatullah wabarakaatuh kang.
Alhamdulillah, saya dalam keadaan baik dan sehat.
Langsung saja….
Langsung saja….
1. Adakah pembagian secara jelas bahwa ayat/hadits ini mutasyabih atau
muhkamat dari Nabi dan Shahabatnya?
Jawab :
Saya tidak mengetahuinya kang.
2. Terkait dengan isu Mutasyabih dan Muhkamat, yang mutasyabih dan muhkamat
apakah ada batasan nya atau bagaimana?...misalnya tentang Shifat nya Muhkam, yg
mutasyabih adalah Kayf nya...(kalau gak salah akang pernah kutip pernyataan
Imam Ahmad tentang yg dianggap Mutasyabih/muhkamat gitu, saya lupa penjelasan
lengkapnya)?
Jawab :
Pertama, bahwa satu hal yang pokok yang perlu dipegang dalam masalah ini
adalah bahwa baik semua atau sebagian ayat2 atau hadits2 shifat itu termasuk
mutasyabihat ataupun muhkamat, maka semuanya itu diketahui maknanya, yakni
diketahui dengan ilmu.
Ini merupakan satu hal yang pokok.
Kedua, karena semua itu diketahui maknanya, maka sebenarnya tidak
penting lagi bagi kita untuk memperdebatkan tentang apakah itu termasuk
mutasyabihat ataukah muhkamat.
Mengapa?
Karena itu bukanlah hal yang pokok.
Sama sekali tidak penting bagi kita untuk memperdebatkan tentang mutasyabihat
dan muhkamatnya, setelah jelas bahwa ayat2 dan hadits2 itu memang diketahui
maknanya.
Al-Muzaniy20 Agustus 2014 19.51
Al-Muzaniy20 Agustus 2014 19.51
Ketiga, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat
beliau radhiyallaahu ‘anhum, dan para imam kaum muslimin setelahnya, maka
beliau semua memahami shifat2 Allah, mengetahui makna ayat2 dan hadits2 yang
membicarakan shifat2 itu dengan benar kemudian beriman kepada semuanya tanpa
terkecuali.
Adapun ahlul-bid’ah (misalnya Jahmiyah), maka mereka memahami ayat2 dan hadits2
shifat itu dengan cara yang salah, memaknainya dengan cara yang salah, dan
kemudian mereka sebarkan pemahaman salah mereka itu untuk menimbulkan fitnah
diantara manusia.
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan :
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan :
الجهم
وشيعته
دعوا
الناس
إلى
المتشابه
من
القرآن
والحديث
فضلوا
وأضلوا
بكلامهم
بشرا
كثيرا
“Al-Jahm (bin Shafwan) dan pengikutnya menyeru manusia kepada ayat2 mutasyabih
dalam al-Quran dan hadits sehingga merekapun menjadi sesat dan menyesatkan
banyak manusia dengan perkataan2 mereka.”
(Ar-Radd ‘alal-Jahmiyah hal.92-93)
Beliau rahimahullah juga mengatakan :
فإذا
سمع
الجاهل
قولهم
يظن
أنهم
من
أشد
الناس
تعظيما
لله
ولا
يعلم
أنهم
إنما
يعود
قولهم
إلى
ضلالة
وكفر
“Apabila orang yang jahil mendengar perkataan mereka (Jahm bin Shafwan dan
pengikutnya), maka orang jahil itu akan menyangka bahwa mereka adalah orang2
yang paling mengagungkan Allah, dan tidaklah orang yang jahil itu akan
mengetahui bahwa perkataan mereka itu bahkan hanya kembali kepada kesesatan dan
kekafiran.”
(Ar-Radd ‘alal-Jahmiyah hal.100)
Padahal, kalaulah mereka mau mengikuti bagaimana para sahabat radhiyallaahu
‘anhum, dan para imam kaum muslimin setelahnya dalam memahami ayat2 seperti
itu, maka niscaya mereka tidak akan menyimpang seperti itu.
Adapun salah satu sebab penyimpangan mereka itu adalah karena mereka berkutat
dalam ayat2 mutasyabih itu dengan mengingkari makna ayat2 yang muhkam.
Kita ambil satu contoh dalam hal ini, yakni dalam masalah Kalam Allah.
Allah telah berfirman :
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah.”
(Q.S At-Taubah ayat 6)
Dan ayat ini adalah ayat yang dengan terang menjelaskan bahwa Al-Quran itu
adalah kalam Allah, ucapan Allah, dan bukanlah makhluk sebab Allah sendiri
telah menyebut Al-Quran yang dibacakan itu dengan kalamullah.
Adapun Jahm dan pengikut2nya, sudah diketahui bersama bahwa mereka mengingkari
Al-Quran itu adalah kalam Allah dan malah meyakini kalau Al-Quran itu adalah
makhluk.
Diantara alasan2 keyakinan mereka itu adalah ayat yang mutasyabih semisal
firman Allah :
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab.”
(Q.S Az-Zukhruf ayat 3)
Mereka mengatakan bahwa “menjadikan (ja’la)” Al-Quran itu berarti bahwa
Al-Quran itu adalah sesuatu yang dijadikan, sedangkan setiap yang dijadikan itu
adalah makhluk.
Padahal, makna ja’la (menjadikan) dalam ayat itu bukanlah seperti itu, akan
tetapi ja’ala (menjadikan) di sana hanya sedang menunjukan satu perbuatan
Allah.
Disinilah salahnya....
Mereka meninggalkan firman Allah :
"....maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah.”
Yang terang2an menetapkan kalau Al-Quran yang didengar itu adalah kalam Allah.
Dan mereka malah berkutat dengan firman Allah :
"Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab."
Yang sama sekali tidak sedang menunjukan kalau Al-Quran itu adalah sesuatu yang
diciptakan (atau makhluk), sebab kata ja'ala sendiri memang sama sekali tidak
selalu menunjukan penciptaan.
Al-Muzaniy20 Agustus 2014 20.23
Al-Muzaniy20 Agustus 2014 20.23
3. Bagaimana dengan atsar ini:
21059 - أخبرنا عبد
الرزاق عن معمر
عن بن طاووس عن
أبيه قال سمعت
رجلا يحدث ابن
عباس بحديث أبي
هريرة هذا فقام
رجل فانتقض فقال
ابن عباس ما
فرق هؤلاء يجدون
[رقة] عند محكمه
ويهلكون عند متشابهه
Mohon penjelasan nya ya kang
Mohon penjelasan nya ya kang
Jawab :
Maaf kang, tapi saya belum bisa menangkap maksud antum....
4. Kang, kok gak
dilanjut lagi di myquran? kan domain myquran.or.id nya norma
Hehehehe....
MyQuran untuk sementara rehat dulu kang.
MyQuran untuk sementara rehat dulu kang.
Sekarang ini sedang berusaha mengumpulkan dulu tulisan2 pribadi yang banyak
terserak dan menyatukannya di blog ini....
Insya Allah kedepannya MyQuran bisa dilanjut.
5. Ditunggu lanjutan tulisan Isu Jism nya juga kang....
Insya Allah, tentang isu jism, nanti akan saya lengkapi.
Sip lah, semoga banyak manfaatnya
Kang, untuk point ke 4
apa sebenarnya yang dimaksud dari Riwayat Abdurrazaq? dan pernyataan Ibnu Abbas tersebut, khususnya terkait kata Mutasyabih nya apa yang dimaksud oleh Ibnu Abbas?..
apa sebenarnya yang dimaksud dari Riwayat Abdurrazaq? dan pernyataan Ibnu Abbas tersebut, khususnya terkait kata Mutasyabih nya apa yang dimaksud oleh Ibnu Abbas?..
Apakah kata "Mutasyabih" tersebut sekedar menjelaskan ketidak
jelasan/samar/banyak arti atau memang Ibnu Abbas mengklasifikasikan adanya
Hadits Shifat yang Mutasyabih dan Hadits Shifat yang Muhkam?
istilah muhkam dan mutasyabih disini artinya jelas dan tidak jelas/banyak arti
(khususnya seperti yang dipahami oleh Saudara di sebelah)
Mohon dijelaskan ya kang
Pertama :
Tentang perkataan ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhu :
Maa faraqu haulaa-i (Apa yang mengkhawatirkan mereka)?
Maka, ini adalah celaan ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhu kepada orang2 yang
merasa keberatan atau tidak mau menerima tentang hadits2 shifat.
Syaikh al-'Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang perkataan ibnu 'Abbas
radhiyallaahu 'anhu itu bahwa :
ما خوف هؤلاء من إثبات الصفة التي تليت عليهم وبلغتهم، لماذا لا يثبتونها لله عز وجل كما أثبتها الله لنفسه وأثبتا له رسوله؟
"Maksudnya adalah : "Apa yang mereka khawatirkan dalam hal penetapan
shifat2 Allah yang dibacakan dan disampaikan kepada mereka. Mengapa mereka
tidak mau menetapkan shifat2 itu kepada Allah sebagaimana shifat2 itu
ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya sendiri dan ditetapkan pula oleh
Rasul-Nya?"
Kedua :
Tentang masalah hadits yang mutasyabih....
Ya, merupakan sesuatu yang ma'lum jika ada ulama salaf (misalnya imam Ahmad rahimahullah) yang telah menetapkan bahwa diantara hadits ataupun ayat2 Al-Quran tentang shifat2 Allah itu maka terdapat pula hadits ataupun ayat2 yang mutasyabih.
Ya, merupakan sesuatu yang ma'lum jika ada ulama salaf (misalnya imam Ahmad rahimahullah) yang telah menetapkan bahwa diantara hadits ataupun ayat2 Al-Quran tentang shifat2 Allah itu maka terdapat pula hadits ataupun ayat2 yang mutasyabih.
So, kalaulah dikatakan bahwa menurut ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhu hadits2
shifat itu ada yang mutasyabih, maka tidak ada masalah dalam hal ini.
Akan tetapi, apa yang dikatakan mustasyabih di sini bukanlah mutasyabih
sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang di zaman sekarang. Akan tetapi
mutasyabih yang dimaksud adalah bahwa ayat atau hadits tersebut sebenarnya
memiliki makna yang jelas, dan hanya samar maknanya bagi orang2 yang tidak
dapat memahaminya.
Syaikhul-Islam ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan :
ذكر أحمد أن الجهم اعتمد من القرآن على ثلاث آيات تشتبه معانيها على من لا يفهمها
"Imam Ahmad telah menyebutkan bahwa Jahm (bin Shafwan) berpegang kepada 3
ayat Al-Quran yang samar maknanya bagi orang2 yang tidak memahaminya."
(Dar-u Ta'arudh al'Aql wa An-Naql 2/414-415)
3 ayat yang dijadikan ushul oleh Jahm dan pengikutnya itu adalah firman Allah :
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata." yang digunakan oleh
mereka untuk menafikan ru'yah.
Lalu firman Allah : "Tidak ada yang serupa dengan Dia." yang
digunakan oleh Jahm dan pengikutnya untuk menafikan shifat2 Allah.
Dan firman Allah : "Dia-lah Allah yang di langit dan di bumi." yang
digunakan oleh Jahm dan pengikutnya untuk menafikan ketinggian Allah di atas
'Arsy dan terpisahnya Allah dari semua makhluk-Nya.
Nah, ke-3 ayat di atas disebut sebagai ayat yang mutasyabih menurut imam Ahmad
rahimahullah, akan tetapi makna2 ayat tersebut sebenarnya jelas bagi orang2
yang memahaminya dengan benar.
Dan imam Ahmad rahimahullah sendiri termasuk salah satu ulama yang mengetahui
makna yang jelas dan benar dari ayat2 tersebut.
Kita ambil contoh firman Allah : "Dia-lah Allah yang di langit dan di
bumi." (Q.S Al-An'am ayat 3)
Ayat ini adalah ayat mutasyabih, dan bagi orang2 seperti Jahm bin Shafwan dan
pengikutnya, maka ayat ini tidak bisa mereka pahami dengan benar, sehingga
mereka mengatakan bahwa ayat ini berarti bahwa Allah itu ada di langit
sekaligus di bumi, tidak menyatu tapi juga tidak terpisah.
Maka, imam Ahmad rahimahullah membantah mereka dan menjelaskan makna yang benar
dari ayat ini, yaitu :
وإنما معنى قول الله جل ثناؤه وهو الله في السموات وفي الارض يقول هو إله من في السموات وإله من في الأرض وهو على العرش وقد أحاط علمه بما دون العرش ولا يخلو من علم الله مكان
"Makna dari firman Allah : "Dia-lah Allah yang di langit dan di
bumi." hanyalah bahwa Dia adalah ilah bagi yang ada di langit dan juga
ilah bagi yang ada di bumi, sedangkan Dia ada di atas 'Arsy.
Ilmu Allah meliputi apa yang ada di bawah 'Arsy dan tidak ada satupun tempat
yang tersembunyi dari ilmu Allah."
(Ar-Radd 'alal-Jahmiyah hal : 148-149)
Dengan ini menjadi jelaslah bahwa apa yang dikatakan mutasyabih itu meskipun
samar bagi sebagian orang, tapi sebenarnya ayat2 tersebut memiliki makna yang
jelas dan dapat dipahami oleh sebagian orang yang memiliki ilmu.
Jika demikian, maka kalaulah ada yang mengatakan bahwa ibnu 'Abbas
radhiyallaahu 'anhu menganggap adanya hadits2 yang mutasyabih, maka tentu saja
bagi beliau sendiri hadits2 tersebut adalah jelas maknanya dan beliau dapat
mengetahui makna yang benar dari hadits2 itu.
Yah, kurang lebih seperti itulah kang.
Wallaahu a'lam.