Wednesday, July 22, 2015

( Bagian 3 ) Mengimani Sifat-sifat Allah : Isu Tentang Tasybih dan Musyabihah

Salah satu hal yang aneh di masa sekarang, adalah apabila anda berkata : “Allah memiliki dua tangan” atau : “Allah memiliki wajah”, atau : “Allah tertawa” Atau : “Allah ada di atas”, dan perkataan2 yang semisal saat menetapkan shifat2 Allah sebagaimana Allah dan Rasul-Nya tetapkan sendiri di dalam Al-Quran dan Sunnah yang shahih, maka tidak lama kemudian sebagian orang (meski tidak semua) yang menyebut dirinya sebagai Aswaja, dan mengaku sebagai bagian dari Asy’ariyah atau Maturidiyah akan menggelari anda dengan sebutan : “Musyabihah.” atau bahkan "Mujasimah", yakni anda akan dianggap telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, sebab mereka menganggap penetapan2 shifat seperti itu sebagai tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk), atau dianggap telah men-jismkan Allah. Dan ini merupakan salah satu diantara syubhat2 bathil dari orang yang menyebut dirinya aswaja, atau mengaku sebagai bagian dari Asy’ariyah atau Maturidiyah. 
Untuk mengetahui dan memahami masalah ini dengan jernih, benar dan rinci, kita perlu kembali dulu ke masa lalu, yakni masa hidupnya ulama2 salaf dan ulama2 setelahnya yang dekat masanya dengan ulama2 salaf, saat syubhat tasybih ini pertama kali dimunculkan oleh orang2 Jahmiyah, Mu’tazilah, dan kalangan Ahlul-Bid’ah pengingkar shifat2 Allah lainnya di masa itu.  
Untuk itu, insya Allah kita akan mengkaji serta mempelajari poin-poin penting terkait masalah ini sehingga –insya Allah- kita akan mengetahui bahwa syubhat tasybih ala aswaja ini hanyalah sampah yang didaur ulang dari syubhat yang sama yang dahulu dihembuskan oleh oleh orang2 Jahmiyah, Mu’tazilah, dan kalangan Ahlul-Bid’ah pengingkar shifat2 Allah lainnya terhadap diri ulama2 salaf Ahlus-Sunnah sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap ulama2 salaf Ahlus-Sunnah yang menetapkan shifat2 Allah itu sebagaimana dikabarkan di dalam Al-Quran dan Sunnah yang shahih.
Insya Allah, kita akan bagi pembahasan ini kepada beberapa poin,………

Poin Pertama : Apa itu Tasybih?

Al-Hafizh Abul-Qasim al-Ashbahani rahimahullah mengatakan :
وأما التشبيه : فهو مصدر شبه يشبه تشبيهاً ، يقال : شبهت الشيء بالشيء أي مثلته به ، وقسته عليه ، إما بذاته أو بصفاته ، أو بأفعاله
“Adapun Tasybih, maka ia adalah mashdar dari syabbaha yusyabbihu tasybiihan.
Dikatakan : “Aku menyerupakan sesuatu dengan sesuatu, yakni aku sepertikan ia dengannya dan aku bandingkan ia dengannya, adakalanya pada dzat-nya, atau pada shifatnya ataupun pada perbuatannya.”
(Al-Hujjah 1/306) 

Apa yang didefiniskan oleh Al-Hafizh Abul-Qasim di atas adalah jelas yakni bahwa tasybih itu terjadi jika ada seseorang yang menyerupakan sesuatu dengan sesuatu, entah pada dzat-nya, atau pada shifatnya ataupun pada perbuatannya.
Misalnya seseorang berkata atau meyakini bahwa : “Tangan Zaid adalah seperti tangan Ahmad.”, atau : “Wajah Zaid seperti wajah Ahmad.”, atau : “Tertawanya Zaid seperti tertawanya Ahmad.”, atau : “Berjalannya Zaid seperti berjalannya Ahmad.”, dan yang semisalnya. 

Seperti inilah tasybih, dan orang yang melakukan tasybih disebut dengan musyabihah, dan seperti inilah yang dikemukakan oleh ulama2 salaf dan ulama yang sesudahnya.
Imam At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan :
وقال إسحق بن إبراهيم إنما يكون التشبيه إذا قال يد كيد أو مثل يد أو سمع كسمع أو مثل سمع فإذا قال سمع كسمع أو مثل سمع فهذا التشبيه
"Ishaq bin Ibrahim rahimahullah mengatakan : “Hanyalah tasybih itu terjadi apabila seseorang mengatakan : “Tangan bagaikan tangan yang lain”, atau : “Tangan seperti tangan yang lain“ atau mengatakan : “Pendengaran bagaikan pendengaran yang lain” atau : “Pendengaran seperti pendengaran yang lain.”, sehingga jika dia mengatakan “Pendengaran seperti pendengaran yang lain.”, maka seperti inilah tasybih.
(Sunan At-Tirmidzi 3/50)

Hal semisal diriwayatkan dari imam Ahmad rahimahullah sebagaimana dikatakan oleh ibnul-Qayim al-Jauziah rahimahullah :
قلت ( له ) : والمشبه ما تقول ؟ قال : من قال : بصر كبصري ويد كيدي وقدم كقدمي فقد شبه الله سبحانه بخلقه
“Hanbal berkata kepada imam Ahmad rahimahullah : “Apa pendapatmu tentang musyabihah?”
Imam Ahmad rahimahullah menjawab : “Barangsiapa yang mengatakan : “Penglihatan seperti penglihatanku, tangan seperti tanganku, atau kaki seperti kakiku”, maka ia telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.”
(Ijtima’ al-Juyusy 1/213)

Ibnu Syaqla rahimahullah mengatakan :
المشبه الذي يقول: وجه كوجهي ويد كيدي
“Musyabihah adalah mereka yang mengatakan : “Wajah seperti wajahku, atau tangan seperti tanganku.”
(Thabaqat al-Hanabilah 3/239)

Na'am, seperti inilah tasybih.

Adapun, jika seseorang hanya berkata dan hanya meyakini –misalnya- : “Si fulan memiliki wajah.”, atau : “Si fulanah memiliki tangan.”, atau : “Si fulan sedang berjalan.”, atau : “Si fulanah tertawa.” tanpa dikatakan : “Seperti…,” atau : ”Bagaikan….,” dan semisalnya, maka yang seperti ini sama sekali bukan tasybih. Sedikitpun bukan.
Akan tetapi itu semua hanyalah sekedar penetapan shifat, bahwa si fulan itu memiliki wajah, si fulanah itu memiliki tangan, si fulan berjalan, dan sebagainya, tanpa adanya penyerupaan dengan yang lainnya.

Nah, untuk hal yang kedua ini Imam At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan :
وأما إذا قال كما قال الله تعالى يد وسمع وبصر ولا يقول كيف ولا يقول مثل سمع ولا كسمع فهذا لا يكون تشبيها
Ishaq bin Ibrahim rahimahullah mengatakan : “Adapun jika ada seseorang yang mengatakan sebagaimana firman Allah berkenaan dengan tangan, pendengaran, penglihatan tapi dia tidak mengatakan : “Bagaimana….” dan tidak pula mengatakan : “Seperti pendengaran…..” atau : “Bagaikan pendengaran..…”, maka jika seperti ini tidaklah dikatakan tasybih.”
(Sunan At-Tirmidzi 3/50)

Dan yang seperti ini bukanlah tasybih.
So, seperti inilah yang ditetapkan oleh ulama2 salaf dan yang setelahnya, yakni menetapkan shifat2 itu tanpa mengatakan dan meyakini : “Seperti…” atau : “Bagaikan…..”, dan yang semisalnya.

Al-Hafizh 'Utsman bin Sa'id Ad-Darimi rahimahullah (dan beliau adalah salah seorang murid dari Ishaq bin Ibrahim rahimahullah yang perkataannya dinukilkan oleh imam At-Tirmidzi rahimahullah di atas, dan juga murid dari imam Ahmad rahimahullah dan Yahya bin Ma’in rahimahullah) mengatakan:
وكما ليس كمثله شيء ليس كسمعه سمع ولا كبصره بصر
“Sehingga sebagaimana tidak ada yang serupa dengan dia, maka tidak ada pendengaran yang seperti pendengaran-Nya, dan tidak pula ada penglihatan yang seperti penglihatan-Nya.”
(An-Naqd al-Imam Ad-Darimi ‘alal-Marisyi al-Jahmiy 1/308)

Ibnu Asram rahimahullah mengatakan :
وقد أخبرنا الله عز و جل في كتابه ووصف نفسه في كتابه قال الله تعالى ليس
كمثله شيء وهو السميع البصير ثم أخبر عن خلقه قال عز و جل فجعلناه سميعا بصيرا فهذه صفة من صفات الله
أخبرنا أﻧﻬا في خلقه غير أنا لا نقول إن سمعه كسمع الآدميين ولا بصره كأبصارهم
“Sungguh Dia telah mengabarkan kepada kami di dalam kitab-Nya dan Dia shifati Diri-nya sendiri bahwa : “Tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Kemudian Dia juga mengabarkan tentang makhluk-Nya dengan firman-Nya : “Maka Kami jadikan dia dapat mendengar dan dapat melihat.”
Dan Allah mengabarkan bahwa shifat2 diantara shifat2-Nya ini (yakni mendengar dan melihat) juga terdapat pada makhluk-Nya. Hanya saja kami tidak mengatakan bahwa: “Pendengaran Allah seperti pendengaran bani Adam”, dan tidak pula kami katakan bahwa : “Pengilihatan Allah seperti penglihatan bani Adam.”
(At-Tanbih halaman 48)

Akan tetapi, orang2 jahil dari kalangan Jahmiyah, Mu’tazilah, dan kalangan Ahlul-Bid’ah pengingkar shifat2 Allah lainnya, dengan alasan tanzih dan ta'zim, maka mereka menetapkan kaidah tasybih versi mereka sendiri yang berasal dari kejahilan diri mereka, yang sangat-sangat bertentangan dengan ulama2 salaf.
Mereka menetapkan kaidah yang bathil bahwa barangsiapa yang menetapkan shifat2 Allah, meskipun hanya menetapkan shifat2 tersebut tanpa mengatakan : “Seperti….”, atau : “Bagaikan…”, maka ia tetaplah dianggap telah melakukan tasybih, dan kemudian mereka tetapkan sebagai musyabihah. 
Dan kaidah ini sangat jelas bathilnya.

Sebab bagaimana mungkin jika ada seseorang yang berkata –misalnya- : “Zaid memiliki dua tangan.” lalu dianggap telah menyerupakan Zaid dengan Ahmad –misalnya-, padahal tidak se-hurufpun nama Ahmad disebut-sebut??
Atau bagaimana mungkin jika ada seseorang yang berkata –misalnya- : “Zaid memiliki wajah” lalu dianggap telah menyerupakan Zaid dengan nabi Yusuf –misalnya-, padahal tidak se-hurufpun nama Nabi Yusuf ‘alaihissalaam disebut-sebut??
Maka, bagaimana mungkin ketika para ulama salaf berkata :  "Allah memiliki dua tangan" atau : "Allah memiliki wajah" atau : "Allah ada di atas 'Arsy", kemudian malah mereka tetapkan sebagai musyabihah??
Ini jelas bathilnya dan tidaklah kaidah bathil seperti ini dahulu ditetapkan oleh orang2 Jahmiyah, Mu'tazillah dan yang semisalnya melainkan atas dasar kejahilan.

Dan masalah ini, telah direkam dan dicatat dengan baik oleh para ulama Ahlus-Sunnah, baik dari kalangan salaf maupun ulama2 yang sesudahnya.
Diantaranya, Ibnu Khuzaimah rahimahullah yang mengatakan :
ولو لزم –ياذوى الحجا أهل السنة والآثار إذا أثبتوا لمعبودهم يدين كما ثبتهما الله لنفسه وثبتوا له نفساً (عز وجل)، وأنه سميع بصير، يسمع ويرى، ما ادعي هؤلاء الجهلة عليهم أنهم مشبهة، للزم كل من سمى الله ملكاً أو عظيماً ورؤوفاً ورحيماً، وجباراً، ومتكبراً، وأنه قد شبه خالقه (عز وجل) بخلقه،
“Kalau saja Ahlus-Sunah dan atsar saat mereka menetapkan dua tangan untuk Rabb yang mereka sembah sebagaimana hal ini ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya, dan mereka juga menetapkan nafs 'Azza wa Jalla, dan bahwa Allah itu adalah sami'un bashiirun, Dia mendengar dan melihat, maka hal ini melazimkan seperti apa yang didakwakan oleh orang2 jahil (Jahmiyah) bahwa Ahlus-Sunnah dan atsar itu adalah musyabihah, maka hal ini tentu melazimkan pula bahwa setiap orang yang menyebut Allah dengan Malik, 'Azim, Ra-uf, Rahim, Jabar, atau Mutakabbir, bahwa mereka juga telah menyerupakan Allah 'Azza wa Jalla dengan makhluk-Nya."
(At-Tauhid 1/65)

Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah mengatakan :
وأما الجهمية والمعتزلة والخوارج فكلهم ينكرها ولا يحمل منها شيئا على الحقيقة ويزعمون أن من أقر بها مشبه
“Adapun Jahmiyah, Mu’tazilah, dan Khawarij, maka mereka semua mengingkari shifat2 Allah dan tidak membawakan shifat2 itu kepada hakikinya, dan mereka menyangka bahwa barangsiapa yang menetapkan shifat Allah secara hakiki adalah musyabihah.”
(At-Tamhid 7/145)

Dan yang lainnya.
So, dari poin pertama ini, semoga kita dapat memahami akar permasalahannya dengan jelas, yakni darimana syubhat tasybih dan tuduhan musyabihah ini berasal, dan seperti apa kejahilan dan kebathilan kaidah tasybih orang2 Jahmiyah, Mu'tazilah dan yang semisalnya dahulu yang kemudian terbawa sampai sekarang dan menjadi isu favorit sebagian orang yang menyebut dirinya Aswaja.

Point Kedua : Contoh peristiwa tentang tuduhan tasybih dari orang2 Jahmiyah, Mu’tazilah, dan kalangan Ahlul-Bid’ah pengingkar shifat2 Allah lainnya terhadap ulama Ahlus-Sunnah

Dalam artikel sebelumnya yakni Isu Tentang Tasybih dan Musyabihah (1) , telah disampaikan bahwa tasybih menurut ulama Ahlus-Sunnah itu hanya terjadi jika ada seseorang yang menyerupakan sesuatu dengan sesuatu, entah pada dzat-nya, atau pada shifatnya ataupun pada perbuatannya.

Misalnya seseorang berkata atau meyakini bahwa : “Tangan Allah adalah seperti tangan Ahmad.”, atau : “Wajah Allah seperti wajah Ahmad.”, atau : “Tertawanya Allah seperti tertawanya Ahmad.”, dan yang semisalnya.
Akan tetapi, orang2 jahil dari kalangan Jahmiyah, Mu’tazilah, dan kalangan Ahlul-Bid’ah pengingkar shifat2 Allah lainnya, dengan alasan tanzih dan ta'zim, maka mereka menetapkan kaidah tasybih versi mereka sendiri barangsiapa yang menetapkan shifat2 Allah (bahwa Allah memiliki tangan, memiliki kaki, memiliki wajah, tertawa, mendengar, dan sebagainya) meskipun hanya menetapkan shifat2 tersebut tanpa mengatakan : “Seperti….”, atau : “Bagaikan…”, maka ia tetaplah dianggap telah melakukan tasybih, dan kemudian mereka tetapkan sebagai musyabihah. 
Nah, untuk menggambarkan hal ini secara lebih jelas, maka kita akan melihat contoh peristiwa yang terjadi di masa lalu, yaitu dialog ringkas yang terjadi antara seorang ulama Ahlus-Sunnah, yakni ibnu Syaqila rahimahullah dengan seorang yang dipanggil dengan Abu Sulaiman Ad-Damsyiqi dalam beberapa masalah shifat Allah.

Masalah Kaki Allah.

Ibnu Syaqila rahimahullah berkata :
فقال لي منكراً لقولي : من يقول رجل ؟. فقلت : أبو هريرة عن النبي - صلى الله عليه وسلم - فقال: من عن أبي هريرة؟ فقلت : همام فقال: من عن همام؟ فقلت: معمر فقال: من عن معمر؟ فقلت: عبد الرزاق فقال لي: من عن عبد الرزاق؟ فقلت له: أحمد بن حنبل فقال لي: عبد الرزاق كان رافضياً. فقلت له: من ذكر هذا عن عبد الرزاق؟ فقال لي: يحيى بن معين. فقلت له: هذا تخرص على يحيى إنما قال يحيى: كان يتشيع ولم يقل رافضياً . فقال لي: الأعرج عن أبي هريرة: بخلاف ما قاله همام. قلت له: كيف؟ قال: لأن الأعرج قال: " يضع قدمه " . فقلت له: ليس هذا ضد ما رواه همام وإنما قال هذا " قدم " وقال هذا " رجل " وكلاهما واحد
"Dengan nada mengingkari, dia berkata kepadaku : "Siapa yang meriwayatkan tentang "kaki" ?"
Aku (ibnu Syaqila) menjawab : "Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam."
Dia berkata : "Siapa yang meriwayatkan dari Abu Hurairah?
Aku (ibnu Syaqila) menjawab : "Hammam."

Dia berkata : "Siapa yang meriwayatkan dari Hammam?"
Aku (ibnu Syaqila) menjawab : "'Abdurrazaq."
Dia berkata : "Siapa yang meriwayatkan dari 'Abdurrazaq?"

Aku (ibnu Syaqila) menjawab : "'Ahmad bin Hanbal."

Lalu dia berkata padaku : "'Abdurrazaq adalah seorang Rafidhah."

Maka aku katakan padanya : "Siapa yang mengatakan tentang 'Abdurrazaq bahwa dia adalah seorang Rafidhah?"
Dia menjawab : "Yahya bin Ma'in."
Maka aku katakan padanya : "Ini adalah kedustaan atas Yahya bin Ma'in. Beliau hanya mengatakan kalau 'Abdurrazaq adalah tasyayu' dan tidak pernah mengatakan kalau 'Abdurrazaq adalah Rafidhah."
Lalu dia berkata padaku : "Al-A'raj dari Abu Hurairah telah menyelisihi riwayatnya Hammam."
Aku bertanya kepadanya : "Bagaimana bisa?"
Dia menjawab : "Sebab Al-A'raj meriwayatkan dengan redaksi "Meletakan qadam-Nya."
Maka, aku katakan kepadanya : "Itu bukanlah penyelisihan atas apa yang diriwayatkan oleh Hammam. Akan tetapi itu hanyalah sekedar seorang perawi meriwayatkan : "Rijlun (kaki)", sedangkan yang lainnya meriwayatkan : "Qadamun (kaki)", sedangkan makna keduanya adalah satu."

(Thabaqat al-Hanabilah 3/230-231)

Dari sebagian dialog ini ada salah satu faidah penting yang dapat kita petik, yaitu bahwa sebenarnya Abu Sulaiman Ad-Damsyiqi itu juga sama2 mengetahui tentang hadits2 yang berbicara tentang shifat2 Allah, bahkan tahu juga tentang seluk beluk perawi dan lafazh2 periwayatannya.

Akan tetapi yang kemudian membedakan diantara ibnu Syaqila rahimahullah dan Abu Sulaiman ini adalah bahwa ibnu Syaqila rahimahullah menjadikan hadits2 tersebut sebagai hujjah dalam penetapan shifat2 Allah, sedangkan Abu Sulaiman berusaha sebisa mungkin mengingkarinya.

Dan kebiasaan seperti ini masih terus ada sampai sekarang.

Misalnya, adanya sebagian orang yang berusaha mati2an untuk mengingkari hadits2 tentang ru'yah dan juga hadits tentang "dimana Allah." 



Masalah Jari-jari Allah


Ibnu Syaqila rahimahullah berkata :
ثم قال لي: والأصابع في حديث ابن مسعود تقول به؟ 
فقلت له: حديث ابن مسعود صحيح من جهة النقل رواه الناس ورواه الأعمش عن إبراهيم عن علقمة عن عبد الله.
فقال لي: هذا قاله اليهودي.
فقلت له: لم ينكر رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قوله قد ضحك رسول الله - صلى الله عليه وسلم - حتى بدت نواجذه تصديقاً لقوله 

"Kemudian dia berkata kepadaku : "Hadits ibnu Mas'ud tentang jari2 Allah, apakah engkau berpendapat dengannya?"

Maka aku katakan kepadanya : "Hadits ibnu Mas'ud radhiyallaahu 'anhu adalah hadits yang shahih dari sisi penukilan dan hadits itu telah diriwayatkan oleh orang2. Hadits itu diriwayatkan oleh Al-A'masiy dari Ibrahim dari 'Alqamah dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallaahu 'anhu."

Kemudian dia berkata kepadaku : "Itu adalah perkataannya orang Yahudi."

Aku katakan kepadanya : "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidaklah mengingkarinya. Bahkan beliau tertawa sehingga nampak gigi seri beliau sebagai pembenaran atas perkataan tersebut."

(Thabaqat al-Hanabilah 3/231)

Lalu.....Abu Sulaiman mengatakan :

هذا ظن من ابن مسعود أخطأ فيه.

فقلت له: هذا قول من يروم هدم الإسلام والطعن على الشرع 
"Hadits itu adalah prasangka dari ibnu Mas'ud dan dia telah salah tentang hadits itu."
Maka aku (ibnu Syaqila) katakan kepadanya : "Perkataanmu ini adalah perkataan orang yang bermaksud merobohkan Islam dan tuduhan terhadap asy-syar'i." 
(Thabaqat al-Hanabilah 3/232)

Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman di atas...
Hanya karena hadits tersebut tidak bersesuaian dengan madzhabnya, maka dia tidak segan-segan untuk menuduh perawi haditsnya yakni seorang sahabat besar seperti ibnu Mas'ud radhiyallaahu 'anhu telah meriwayatkan hadits hanya berdasarkan prasangka belaka!!

Dan ini adalah kebiasaan jelek yang terus ada sampai sekarang.
Sebagian orang jahil di masa sekarang tidak segan-segan menuduh para ulama besar dari kalangan salaf dengan sebutan mujasimah, dan musyabihah, hanya karena 'Aqidah dan perkataan para ulama salaf tersebut tidak sesuai dengan hawa nafsunya, tidak sesuai dengan 'aqidahnya.
Tidak kurang dari Imam Ahmad rahimahullah, Abu Zur'ah rahimahullah, ibnu Khuzaimah rahimahullah, 'Utsman ad-Darimi rahimahullah, Ishaq bin Ruhawaih rahimahullah, Ad-Daruquthni rahimahullah, adalah sebagian ulama salaf yang tidak lepas dari tuduhan mujasimah dan musyabihah dari sebagian orang2 yang jahil di masa sekarang.

Pada akhirnya, Abu Sulaiman ad-Damsyiqi kemudian menuduh ibnu Syaqila rahimahullah sebagai.........Musyabihah.

Ibnu Syaqila rahimahullah berkata :

فقال لي: أنتم المشبهة ..

"Maka dia berkata kepada : "Engkau adalah seorang musyabihah."

 (Thabaqat al-Hanabilah 3/239)
Kemudian, atas tuduhan bathil ini, ibnu Syaqila rahimahullah kemudian mengatakan :
حاشا لله المشبه الذي يقول: وجه كوجهي ويد كيدي فأما نحن فنقول: له وجه كما أثبت لنفسه وجها وله يد كما أثبت لنفسه يداً وليس كمثله شئ وهو السميع البصير
"Maha Suci Allah. Al-Musyabihah adalah mereka yang mengatakan : "Wajah seperti wajahku dan tangan seperti tanganku." sedangkan kami hanya mengatakan : "Allah memiliki wajah sebagaimana dia tetapkan wajah itu untuk diri-Nya". Dan Dia memiliki tangan sebagaimana Dia tetapkan tangan itu untuk diri-Nya, sedangkan tidak ada yang serupa dengan Dia, dan Dia adalah Maha Mendengar Maha Melihat."
(Thabaqat al-Hanabilah 3/239)

So, demikianlah......

Meski ibnu Syaqla rahimahullah tidak pernah mengatakan ataupun menetapkan bahwa kaki Allah itu adalah seperti kaki fulan, atau jari Allah itu seperti jari fulan, ataupun tangan Allah itu seperti tangan fulan, dan meski yang beliau tetapkan itu adalah hanya sebatas shifat-Nya saja, yakni bahwa Allah itu memiliki tangan, bahwa Allah itu memiliki kaki, bahwa Allah itu memiliki wajah dan sebagainya, akan tapi, Abu Sulaiman tetaplah menganggap penetapan itu sebagai tasybih dan menuduh ibnu Syaqla rahimahullah sebagai seorang musyabihah.

Dan hal ini, persis sebagaimana terjadi di masa sekarang.......

Apabila di masa sekarang anda berkata : “Allah memiliki dua tangan” atau : “Allah memiliki wajah”, atau : “Allah tertawa” Atau : “Allah ada di atas”, dan perkataan2 yang semisal saat menetapkan shifat2 Allah sebagaimana Allah dan Rasul-Nya tetapkan sendiri di dalam Al-Quran dan Sunnah yang shahih, maka tidak lama kemudian sebagian orang (meski tidak semua) yang menyebut dirinya sebagai Aswaja, dan mengaku sebagai bagian dari Asy’ariyah atau Maturidiyah akan menggelari anda dengan sebutan : “Musyabihah.” atau bahkan "Mujasimah", yakni anda akan dianggap telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, sebab mereka menganggap penetapan2 shifat seperti itu sebagai tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk), atau dianggap telah men-jismkan Allah, padahal tidaklah tuduhan seperti ini melainkan keluar disebabkan kejahilan mereka tentang apa itu tasybih.

Kejahilan seperti ini pernah diisyaratkan oleh ibnu Khuzaimah rahimahullah dengan perkataan beliau :

 أفيلزم –ذوي الحجا- عند هؤلاء الفسقة أن من ثبت لله ما ثبت الله في هذا الآي أن يكون مشبهاً خالقه بخلقه، حاش لله أن يكون هذا تشبيهاً كما ادعوا لجهلهم بالعلم.

"Apakah hal ini melazimkan bagi orang2 fasik itu bahwa siapa saja yang menetapkan untuk Allah apa2 yang Allah tetapkan untuk dirinya di dalam ayat2 ini adalah seorang yang telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya??
Maha Suci Allah jika hal seperti ini adalah tasybih sebagaimana didakwakan oleh orang2 yang jahil dengan ilmu."
(Kitabut-Tauhid 1/56)

Dan beliau rahimahullah juga berkata : 

لزعمكم- ياجهلة أن من قال –من أهل السنة والآثار، القائلين بكتاب ربهم وسنة نبيهم صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلَّهِ ‘ وجه وعينان، ونفس، وإن الله يبصر ويرى ويسمع: أنه مشبه خالقه بالمخلوقين. 
"Atas prasangka kalian duhai orang2 jahil, bahwa barangsiapa diantara Ahli Sunnah dan atsaryang berbicara berdasarkan Kitab Rabb mereka dan Sunnah Nabi mereka tentang Wajah, Dua Mata, Nafs, dan sesungguhnya Allah itu Melihat dan dapat dilihat dan Dia juga Mendengar,berarti dia telah menyerupakan Allah dengan makhluk."
(Kitabut-Tauhid 1/57)
  
Nah, adakah diantara kita yang tertarik ingin ikut2an jahil seperti orang2 Jahmiyah dahulu, dan seperti sebagian orang di masa sekarang dengan jargon musyabihah dan mujasimah beserta kaidah2 bathil buatan mereka??
Kalau saya, sedikitpun tidak tertarik. 


Artikel terkait dan perlu dibaca :


( Bagian 1 ) Mengimani Sifat-sifat Allah : Bingung Tentang ( Keberadaan ) Rabbnya ?
( Bagian 2 ) Mengimani Sifat-sifat Allah : Isu tentang tajsim dan mujasimah


8 komentar:

Assalamu'alaykum, apa kabar kang? sehat?
Kang, kok gak dilanjut lagi di myquran? kan domain myquran.or.id nya normal
O iya kang tanya, adakah pembagian secara jelas bahwa ayat/hadits ini mutasyabih atau muhkamat dari Nabi dan Shahabatnya?
Dan terkait dengan isu Mutasyabih dan Muhkamat, yang mutasyabih dan muhkamat apakah ada batasan nya atau bagaimana?...misalnya tentang Shifat nya Muhkam, yg mutasyabih adalah Kayf nya...(kalau gak salah akang pernah kutip pernyataan Imam Ahmad tentang yg dianggap Mutasyabih/muhkamat gitu, saya lupa penjelasan lengkapnya)

Bagaimana dengan atsar ini:

21059 - أخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن بن طاووس عن أبيه قال سمعت رجلا يحدث ابن عباس بحديث أبي هريرة هذا فقام رجل فانتقض فقال ابن عباس ما فرق هؤلاء يجدون [رقة] عند محكمه ويهلكون عند متشابهه

Mohon penjelasan nya ya kang

Ditunggu lanjutan tulisan Isu Jism nya juga kang....
Barakallahu Fiik
NB: Sistem komentarnya apa gak bisa dibuat lebih mudah kang...hehehe
Al-Muzaniy20 Agustus 2014 19.44

Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh kang.
Alhamdulillah, saya dalam keadaan baik dan sehat.
Langsung saja….

1. Adakah pembagian secara jelas bahwa ayat/hadits ini mutasyabih atau muhkamat dari Nabi dan Shahabatnya?

Jawab :

Saya tidak mengetahuinya kang.

2. Terkait dengan isu Mutasyabih dan Muhkamat, yang mutasyabih dan muhkamat apakah ada batasan nya atau bagaimana?...misalnya tentang Shifat nya Muhkam, yg mutasyabih adalah Kayf nya...(kalau gak salah akang pernah kutip pernyataan Imam Ahmad tentang yg dianggap Mutasyabih/muhkamat gitu, saya lupa penjelasan lengkapnya)?

Jawab :

Pertama, bahwa satu hal yang pokok yang perlu dipegang dalam masalah ini adalah bahwa baik semua atau sebagian ayat2 atau hadits2 shifat itu termasuk mutasyabihat ataupun muhkamat, maka semuanya itu diketahui maknanya, yakni diketahui dengan ilmu.
Ini merupakan satu hal yang pokok.
Kedua, karena semua itu diketahui maknanya, maka sebenarnya tidak penting lagi bagi kita untuk memperdebatkan tentang apakah itu termasuk mutasyabihat ataukah muhkamat.
Mengapa?
Karena itu bukanlah hal yang pokok.
Sama sekali tidak penting bagi kita untuk memperdebatkan tentang mutasyabihat dan muhkamatnya, setelah jelas bahwa ayat2 dan hadits2 itu memang diketahui maknanya.
Al-Muzaniy20 Agustus 2014 19.51

Ketiga, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat beliau radhiyallaahu ‘anhum, dan para imam kaum muslimin setelahnya, maka beliau semua memahami shifat2 Allah, mengetahui makna ayat2 dan hadits2 yang membicarakan shifat2 itu dengan benar kemudian beriman kepada semuanya tanpa terkecuali.
Adapun ahlul-bid’ah (misalnya Jahmiyah), maka mereka memahami ayat2 dan hadits2 shifat itu dengan cara yang salah, memaknainya dengan cara yang salah, dan kemudian mereka sebarkan pemahaman salah mereka itu untuk menimbulkan fitnah diantara manusia.
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan :

الجهم وشيعته دعوا الناس إلى المتشابه من القرآن والحديث فضلوا وأضلوا بكلامهم بشرا كثيرا 

“Al-Jahm (bin Shafwan) dan pengikutnya menyeru manusia kepada ayat2 mutasyabih dalam al-Quran dan hadits sehingga merekapun menjadi sesat dan menyesatkan banyak manusia dengan perkataan2 mereka.”

(Ar-Radd ‘alal-Jahmiyah hal.92-93)

Beliau rahimahullah juga mengatakan :

فإذا سمع الجاهل قولهم يظن أنهم من أشد الناس تعظيما لله ولا يعلم أنهم إنما يعود قولهم إلى ضلالة وكفر
“Apabila orang yang jahil mendengar perkataan mereka (Jahm bin Shafwan dan pengikutnya), maka orang jahil itu akan menyangka bahwa mereka adalah orang2 yang paling mengagungkan Allah, dan tidaklah orang yang jahil itu akan mengetahui bahwa perkataan mereka itu bahkan hanya kembali kepada kesesatan dan kekafiran.”
(Ar-Radd ‘alal-Jahmiyah hal.100)
Padahal, kalaulah mereka mau mengikuti bagaimana para sahabat radhiyallaahu ‘anhum, dan para imam kaum muslimin setelahnya dalam memahami ayat2 seperti itu, maka niscaya mereka tidak akan menyimpang seperti itu.
Adapun salah satu sebab penyimpangan mereka itu adalah karena mereka berkutat dalam ayat2 mutasyabih itu dengan mengingkari makna ayat2 yang muhkam.
Kita ambil satu contoh dalam hal ini, yakni dalam masalah Kalam Allah.
Allah telah berfirman :
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah.”
(Q.S At-Taubah ayat 6)
Dan ayat ini adalah ayat yang dengan terang menjelaskan bahwa Al-Quran itu adalah kalam Allah, ucapan Allah, dan bukanlah makhluk sebab Allah sendiri telah menyebut Al-Quran yang dibacakan itu dengan kalamullah.
Adapun Jahm dan pengikut2nya, sudah diketahui bersama bahwa mereka mengingkari Al-Quran itu adalah kalam Allah dan malah meyakini kalau Al-Quran itu adalah makhluk.
Diantara alasan2 keyakinan mereka itu adalah ayat yang mutasyabih semisal firman Allah :
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab.”
(Q.S Az-Zukhruf ayat 3)
Mereka mengatakan bahwa “menjadikan (ja’la)” Al-Quran itu berarti bahwa Al-Quran itu adalah sesuatu yang dijadikan, sedangkan setiap yang dijadikan itu adalah makhluk.
Padahal, makna ja’la (menjadikan) dalam ayat itu bukanlah seperti itu, akan tetapi ja’ala (menjadikan) di sana hanya sedang menunjukan satu perbuatan Allah.
Disinilah salahnya....
Mereka meninggalkan firman Allah :
"....maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah.”
Yang terang2an menetapkan kalau Al-Quran yang didengar itu adalah kalam Allah.
Dan mereka malah berkutat dengan firman Allah :
"Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab."
Yang sama sekali tidak sedang menunjukan kalau Al-Quran itu adalah sesuatu yang diciptakan (atau makhluk), sebab kata ja'ala sendiri memang sama sekali tidak selalu menunjukan penciptaan.
Al-Muzaniy20 Agustus 2014 20.23

3. Bagaimana dengan atsar ini:
21059 - أخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن بن طاووس عن أبيه قال سمعت رجلا يحدث ابن عباس بحديث أبي هريرة هذا فقام رجل فانتقض فقال ابن عباس ما فرق هؤلاء يجدون [رقة] عند محكمه ويهلكون عند متشابهه
Mohon penjelasan nya ya kang

Jawab :

Maaf kang, tapi saya belum bisa menangkap maksud antum....

Yang ingin dijelaskan dari atsar itu dalam hal apanya kang?
Al-Muzaniy20 Agustus 2014 20.27

4. Kang, kok gak dilanjut lagi di myquran? kan domain myquran.or.id nya norma
Hehehehe....
MyQuran untuk sementara rehat dulu kang.

Sekarang ini sedang berusaha mengumpulkan dulu tulisan2 pribadi yang banyak terserak dan menyatukannya di blog ini....

Insya Allah kedepannya MyQuran bisa dilanjut. 

5. Ditunggu lanjutan tulisan Isu Jism nya juga kang....

Insya Allah, tentang isu jism, nanti akan saya lengkapi.

Sip lah, semoga banyak manfaatnya
Kang, untuk point ke 4
apa sebenarnya yang dimaksud dari Riwayat Abdurrazaq? dan pernyataan Ibnu Abbas tersebut, khususnya terkait kata Mutasyabih nya apa yang dimaksud oleh Ibnu Abbas?..

Apakah kata "Mutasyabih" tersebut sekedar menjelaskan ketidak jelasan/samar/banyak arti atau memang Ibnu Abbas mengklasifikasikan adanya Hadits Shifat yang Mutasyabih dan Hadits Shifat yang Muhkam?

istilah muhkam dan mutasyabih disini artinya jelas dan tidak jelas/banyak arti (khususnya seperti yang dipahami oleh Saudara di sebelah)

Mohon dijelaskan ya kang 


Pertama :
Tentang perkataan ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhu :

Maa faraqu haulaa-i (Apa yang mengkhawatirkan mereka)?

Maka, ini adalah celaan ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhu kepada orang2 yang merasa keberatan atau tidak mau menerima tentang hadits2 shifat.

Syaikh al-'Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang perkataan ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhu itu bahwa :

ما خوف هؤلاء من إثبات الصفة التي تليت عليهم وبلغتهم، لماذا لا يثبتونها لله عز وجل كما أثبتها الله لنفسه وأثبتا له رسوله؟ 

"Maksudnya adalah : "Apa yang mereka khawatirkan dalam hal penetapan shifat2 Allah yang dibacakan dan disampaikan kepada mereka. Mengapa mereka tidak mau menetapkan shifat2 itu kepada Allah sebagaimana shifat2 itu ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya sendiri dan ditetapkan pula oleh Rasul-Nya?"

(Al-Qaulul-Mufid 2/303-304)
Al-Muzaniy25 Agustus 2014 20.18
Kedua :
Tentang masalah hadits yang mutasyabih....
Ya, merupakan sesuatu yang ma'lum jika ada ulama salaf (misalnya imam Ahmad rahimahullah) yang telah menetapkan bahwa diantara hadits ataupun ayat2 Al-Quran tentang shifat2 Allah itu maka terdapat pula hadits ataupun ayat2 yang mutasyabih.

So, kalaulah dikatakan bahwa menurut ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhu hadits2 shifat itu ada yang mutasyabih, maka tidak ada masalah dalam hal ini.

Akan tetapi, apa yang dikatakan mustasyabih di sini bukanlah mutasyabih sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang di zaman sekarang. Akan tetapi mutasyabih yang dimaksud adalah bahwa ayat atau hadits tersebut sebenarnya memiliki makna yang jelas, dan hanya samar maknanya bagi orang2 yang tidak dapat memahaminya.

Syaikhul-Islam ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan :

ذكر أحمد أن الجهم اعتمد من القرآن على ثلاث آيات تشتبه معانيها على من لا يفهمها

"Imam Ahmad telah menyebutkan bahwa Jahm (bin Shafwan) berpegang kepada 3 ayat Al-Quran yang samar maknanya bagi orang2 yang tidak memahaminya."
(Dar-u Ta'arudh al'Aql wa An-Naql 2/414-415)
3 ayat yang dijadikan ushul oleh Jahm dan pengikutnya itu adalah firman Allah : "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata." yang digunakan oleh mereka untuk menafikan ru'yah.
Lalu firman Allah : "Tidak ada yang serupa dengan Dia." yang digunakan oleh Jahm dan pengikutnya untuk menafikan shifat2 Allah.
Dan firman Allah : "Dia-lah Allah yang di langit dan di bumi." yang digunakan oleh Jahm dan pengikutnya untuk menafikan ketinggian Allah di atas 'Arsy dan terpisahnya Allah dari semua makhluk-Nya.
Nah, ke-3 ayat di atas disebut sebagai ayat yang mutasyabih menurut imam Ahmad rahimahullah, akan tetapi makna2 ayat tersebut sebenarnya jelas bagi orang2 yang memahaminya dengan benar.
Dan imam Ahmad rahimahullah sendiri termasuk salah satu ulama yang mengetahui makna yang jelas dan benar dari ayat2 tersebut.
Kita ambil contoh firman Allah : "Dia-lah Allah yang di langit dan di bumi." (Q.S Al-An'am ayat 3)
Ayat ini adalah ayat mutasyabih, dan bagi orang2 seperti Jahm bin Shafwan dan pengikutnya, maka ayat ini tidak bisa mereka pahami dengan benar, sehingga mereka mengatakan bahwa ayat ini berarti bahwa Allah itu ada di langit sekaligus di bumi, tidak menyatu tapi juga tidak terpisah.
Maka, imam Ahmad rahimahullah membantah mereka dan menjelaskan makna yang benar dari ayat ini, yaitu :
وإنما معنى قول الله جل ثناؤه وهو الله في السموات وفي الارض يقول هو إله من في السموات وإله من في الأرض وهو على العرش وقد أحاط علمه بما دون العرش ولا يخلو من علم الله مكان 
"Makna dari firman Allah : "Dia-lah Allah yang di langit dan di bumi." hanyalah bahwa Dia adalah ilah bagi yang ada di langit dan juga ilah bagi yang ada di bumi, sedangkan Dia ada di atas 'Arsy.
Ilmu Allah meliputi apa yang ada di bawah 'Arsy dan tidak ada satupun tempat yang tersembunyi dari ilmu Allah."
(Ar-Radd 'alal-Jahmiyah hal : 148-149)
Dengan ini menjadi jelaslah bahwa apa yang dikatakan mutasyabih itu meskipun samar bagi sebagian orang, tapi sebenarnya ayat2 tersebut memiliki makna yang jelas dan dapat dipahami oleh sebagian orang yang memiliki ilmu.
Jika demikian, maka kalaulah ada yang mengatakan bahwa ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhu menganggap adanya hadits2 yang mutasyabih, maka tentu saja bagi beliau sendiri hadits2 tersebut adalah jelas maknanya dan beliau dapat mengetahui makna yang benar dari hadits2 itu.
Yah, kurang lebih seperti itulah kang.
Wallaahu a'lam.