[ IT ] : Interlude of Topics
(dikutip dari buku : DARI MADINAH HINGGA KE RADIORODJA
(Mendulang Pelajaran Akhlak dari Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr, hafizhahullah)
Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda
Oleh: Abu Abdil Muhsin Firanda
Mengenai Syaikh Abdurrozzaq, sebagaimana pengakuan sebagian teman yang pernah
dekat dengan beliau, bahwasanya beliau bukanlah orang yang paling ‘alim di kota
Madinah, bahkan bukan pula orang yang paling ‘alim di Universitas Islam
Madinah, karena pada kenyataannya masih banyak ulama lain lebih unggul daripada
beliau dari sisi keilmuan. Akan tetapi yang menjadikan beliau istimewa di hati
para mahasiswa adalah perhatian beliau terhadap amal, takwa, dan akhlak. Hal
ini tidak mengherankan karena seringkali wejangan-wejangan beliau tentang
perhatian pada mengamalkan ilmu.
Selama kurang
lebih 9 tahun, beliau mengajar sebuah kitab tentang adab karya Imam Al-Bukhari
yang berjudul Al-Adab Al-Mufrad di masjid Universitas Islam Madinah, setiap
hari Kamis setelah shalat Shubuh. Selama tiga tahun beliau mengajar kitab yang
sama di Masjid Nabawi. Ini semua menunjukkan perhatian beliau terhadap adab dan akhlak
mulia. Bahkan, saat beliau mengisi di Radiorodja dan waktu itu tidak ada
materi yang siap untuk disampaikan, serta kebetulan salah seorang pembawa acara
ingin ada pengajian khusus tentang tanya jawab dengan diberi sedikit mukadimah,
maka beliau langsung setuju, dan mukadimah yang beliau bawakan adalah tentang
pentingnya mengamalkan ilmu.
Orang yang Tidak Shalat Shubuh Berjamaah
Bukanlah Penuntut Ilmu
Syaikh Abdurrozaq pernah mengunjungi suatu kampung yang terkenal memiliki
banyak penuntut ilmu. Maka beliau pun shalat di masjid tersebut. Di sana,
beliau bertemu seorang kakek, lantas beliau berkata seraya memberi kabar
gembira kepada sang Kakek, “Masya Allah, kampung Kakek banyak sekali penuntut
ilmu.”
Tapi, sang Kakek malah menimpali dengan perkataan sinis, “Tidak ada tullabul
‘ilm (para penuntut ilmu) di kampung ini. Sebab, orang yang tidak shalat shubuh
berjamaah bukan penuntut ilmu!”
Syaikh Abdurrozaq tertegun mendengar kalimat sang Kakek. Rupanya benar, banyak
penuntut ilmu di kampung tersebut tidak menghadiri shalat shubuh berjamaah.
Syaikh pun membenarkan perkataan sang Kakek, “Anda benar, bahwa ilmu itu untuk
diamalkan. Bahkan bisa jadi kita mendapatkan seorang penuntut ilmu semalam
suntuk membahas tentang hadits-hadits Nabi yang menunjukkan keutamaan shalat
Shubuh secara berjamaah, bahkan bisa jadi dia menghafalkan hadits-hadits
tersebut di luar kepalanya. Akan tetapi tatkala tiba waktu mengamalkan
hadits-hadits yang dihafalkannya itu, dia tidak mengamalkannya, malah
ketiduran, tidak shalat shubuh berjamaah.”
Memang benar bahwasanya tujuan dari menuntut ilmu adalah untuk diamalkan.
Rasulullah saw. bersabda:
القُرْآنُ
حُجَّةٌ
لَكَ
أَوْ
عَلَيْكَ
Al-Quran akan
menjadi hujjah (yang akan membela) engkau atau akan menjadi bumerang yang akan
menyerangmu. (HR
Muslim no 223)
Saya teringat nasihat Syaikh Utsaimin yang disampaikan di hadapan para
mahasiswa Universitas Islam Madinah, bahwasanya ilmu itu hanya akan memberi dua
pilihan, dan tidak ada pilihan ketiga, yaitu: [1] menjadi pembela bagi
pemiliknya atau [2] akan menyerangnya pada hari kiamat jika tidak diamalkan.
Oleh karena itu, hendaknya seseorang tidak menuntut ilmu hanya untuk menambah
wawasannya, tetapi dengan niat untuk diamalkan agar tidak menjadi bumerang yang
akan menyerangnya pada hari kiamat kelak.
Marilah kita renungkan…!
Sudah
berapa lama kita ikut pengajian?
Sudah berapa kitab yang kita baca?
Sudah berapa muhadhorah yang kita dengarkan?
Sudah berapa kitab yang kita baca?
Sudah berapa muhadhorah yang kita dengarkan?
Sungguh suatu kenikmatan ketika seseorang bisa aktif ikut pengajian, akan
tetapi apakah kita siap untuk menjawab pertanyaan yang pasti akan ditanyakan
kepada kita semua, sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw.:
وعَنْ
عِلْمِهِ,
مَاذَا
عَمِلَ
فِيهِ؟
“Dia akan
ditanyakan tentang ilmunya, apa yang telah diamalkan dari ilmunya?”
Syaikh Abdurrozzaq menjelaskan bahwa seseorang yang telah banyak mengumpulkan
ilmu lantas tidak diamalkan maka hal ini menunjukkan ada niatnya yang tidak
beres. Sungguh menyedihkan jika kita, ahlus sunah, yang seharusnya memberi
perhatian besar terhadap ilmu akidah, baik penanaman akidah maupun pembenahan
akidah-akidah yang menyimpang di masyarakat, namun ilmu akidah tidak tercermin
pada amalan shalih kita.
Syaikh Abdurrozzaq berkata: “Aku ingin mengingatkan sebuah perkara yang
terkadang kita melalaikannya tatkala kita mempelajari ilmu aqidah. Ibnul Qoyyim
rahimahullah berkata:
كُلُّ
عِلْمٍ
وَعَمَلٍ
لاَ
يَزِيْدُ
الإِيمَانَ
واليَقِيْنَ
قُوَّةً
فَمَدْخُوْلٌ،
وَكُلُّ
إِيمَانٍ
لاَ
يَبْعَثُ
عَلَى
الْعَمَلِ
فَمَدْخُوْلٌ
Setiap ilmu
dan amal yang tidak menambah kekuatan dalam keimanan dan keyakinan maka telah
termasuki (terkontaminasi), dan setiap iman yang tidak mendorong untuk beramal
maka telah termasuki (tercoreng).( Al Fawaid 86)
Maksud “telah termasuki” dari perkataan Ibnul Qoyyim yaitu telah
termasuki sesuatu; baik riya, tujuan duniawi, atau yang semisalnya, maka ilmu
tersebut tidak akan bermanfaat dan tidak akan diberkahi. Oleh karena itu, niat
yang baik merupakan perkara yang harus, baik dalam mempelajari akidah ataupun
ilmu agama yang lain secara umum.
Jika seseorang mempelajari ilmu akidah hendaknya dia tidak mempelajarinya
sekadar menambah telaah dan memperbanyak wawasan, tetapi hendaknya karena
akidah merupakan bagian dari agama Allah yang diperintahkan Allah kepada para
hamba-Nya, serta menyeru mereka kepada-Nya dan menciptakan mereka karena akidah
dan dalam rangka merealisasikannya. Maka hendaknya ia berijtihad (berusaha
keras) untuk memahami dalil-dalilnya dan ber-taqarrub kepada Allah dengan
mengimaninya dan menanamkannya dalam hatinya. Jika dia mempelajari akidah
dengan niat seperti ini maka akan memberikan buah yang sangat besar, dan akan
memengaruhinya dalam perbaikan sikap, amal, dan akhlak dalam seluruh
kehidupannya.
Jika seseorang mempelajari akidah hanya untuk jidal dan perdebatan, dengan
tanpa memerhatikan sisi penyucian jiwa dengan keimanan, keyakinan, serta rasa
tenang dengan akidah tersebut, maka tidak akan membuahkan hasil apa-apa.
Di antara contoh tentang perkara ini -- yang berkaitan dengan iman kepada
melihat Allah di akhirat kelak -- sabda Nabi saw:
إِنَّكُمْ
سَتَرَوْنَ
رَبَّكُمْ
يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
كَمَا
تَرَوْنَ
الْقَمَرَ
،
لاَ
تُضَامُونَ
ـ
وفي
رواية:”لا تُضارُّون”، وفي رواية:”لا تُضَامُّون”ـ في رؤيته، فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَلاَّ تُغْلَبُوْا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وّقَبْلَ غُرُوْبِهَا فَافْعَلُوا ، ثُمَّ قَرَأَ: وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ
Sesungguhnya
kalian akan melihat Rabb kalian pada hari kiamat sebagaimana kalian melihat
bulan. Kalian tidak akan tertutupi oleh awan, (dalam riwayat yang lain: kalian
tidak akan saling mencelakakan; dalam riwayat yang lain: kalian tidak
akan saling berdesak-desakan), maka jika kalian mampu melaksanakan shalat sebelum
terbit matahari dan sebelum terbenam matahari maka lakukanlah.”
Kemudian Nabi membaca firman Allah:
وَسَبِّحْ
بِحَمْدِ
رَبِّكَ
قَبْلَ
طُلُوعِ
الشَّمْسِ
وَقَبْلَ
الْغُرُوبِ
Dan
bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya). (Q.S. Qaf: 39 )
Maksud Nabi adalah shalat Shubuh dan shalat Asar.
Perhatikanlah keterkaitan antara akidah dan amal. Nabi menyebutkan kepada para
sahabat perkara akidah, yaitu beriman kepada melihat Allah. Lalu Nabi
menyebutkan kepada mereka tentang amal yang merupakan buah dari akidah yang
benar, maka Nabi berkata kepada mereka: “Jika kalian mampu untuk tidak
terluputkan….”
Jika ada seseorang mempelajari hadits-hadits tentang iman kepada melihat Allah,
lantas meneliti jalan hadits serta sanad-sanadnya, lalu dia mendebat para ahlul
kalam dan membantah syubhat-syubhat seputar hal ini, kemudian ternyata dia
begadang dan akhirnya meninggalkan shalat Shubuh, bisa jadi shalat Shubuh
tersebut tidak ada nilainya di sisi-Nya. Sang muadzin telah mengumandangkan
adzan untuk shalat, “As-Shalatu khairun minan naum,” (Shalat itu lebih baik
dari pada tidur) namun kondisinya menunjukkan seakan-akan dia berkata, “Tidur
lebih baik daripada shalat.” Maka, mana pengaruh akidah pada sikapnya?
Kita mohon kepada Allah keselamatan.
Orang seperti ini perlu memperbaiki niat dan tujuannya dalam mempelajari akidah
agar bisa membuahkan hasil yang diharapkan, maka terwujudkanlah pengaruh yang
baik yang barakah baginya. Seorang muslim semestinya mempelajari akidah karena itu
adalah akidah dan agamanya yang Allah telah memerintahkan dia untuk
mengamalkannya. Dan hendaknya dia bersungguh-sungguh agar ilmu akidahnya
tersebut bisa memberi pengaruh pada diri, ibadah, dan taqarrub-nya kepada
Allah.” (Tadzkiratul Mu’tasi Syarh Akidah, Al-Hafizh Abdul Ghaniy Al-Maqdisi;
hal 21-22)
Marilah kita bercermin dan menginstropeksi diri kita, apakah dengan semakin
bertambahnya ilmu kita demikian juga bertambah amalan kita? Ataukah
bertambahnya ilmu justru membuat kita semakin malas dalam beramal? Bukankah
kita masih ingat, di awal-awal mengenal pengajian, semangat kita begitu besar
dalam menjalankan sunah-sunah Nabi, akan tetapi kenapa ada sebagian dari kita
dengan semakin bertambahnya ilmu justru semakin sedikit beramal? Bahkan, ada
pula sebagian kita setelah mengetahui beberapa amalan hukumnya sunah (mustahab)
dan tidak wajib, malah terdorong untuk meninggalkan amalan tersebut.
Bertambahnya ilmu justru mengantarkannya untuk meninggalkan amalan. Bukankah
bisa jadi karena terbiasa meninggalkan amalan-amalan sunah akhirnya
perkara-perkara yang wajib pun bisa ditinggalkan?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah berkata:
وَإِذَا
أَصَرَّ
عَلَى
تَرْكِ
مَا
أُمِرَ
بِهِ
مِنْ
السُّنَّةِ
وَفِعْلِ
مَا
نُهِيَ
عَنْهُ
فَقَدْ
يُعَاقَبُ
بِسَلْبِ
فِعْلِ
الْوَاجِبَاتِ
حَتَّى
قَدْ
يَصِيرُ
فَاسِقًا
أَوْ
دَاعِيًا
إلَى
بِدْعَةٍ
“Seseorang jika terus meninggalkan sunah yang diperintahkan dan melakukan
perkara yang terlarang maka bisa jadi dia dihukum (oleh Allah) dengan
meninggalkan hal-hal yang wajib, hingga akhirnya bisa jadi ia menjadi orang
fasik atau orang yang menyeru kepada bid’ah.” (Majmu’ Al-Fatawa 22/306)
Marilah kita cek hati dan ketakwaan kita, apakah dengan bertambah ilmu setelah
sekian tahun ikut pengajian, maka ketakwaan dan keimanan kita semakin berkobar,
ataukah malah semakin kendor? Jika ternyata kita semakin malas beramal dan
semakin lemah iman kita maka ingatlah nasihat Syaikh Abdurrozzaq tadi
bahwasanya niat kita selama ini ternyata terkontaminasi dan ternodai dengan
penyakit-penyakit hati; baik riya, ujub, atau tujuan-tujuan duniawi lainnya.
Allahul musta’an.
Ilmu adalah Pohon, dan Amal adalah Buahnya
Para pembaca yang budiman, tahukah Anda bahwa ilmu bukanlah ibadah yang
independen? Ilmu hanya disebut ibadah dan terpuji apabila ilmu tersebut
membuahkan amalan. Jika ilmu tidak membuahkan amal maka jadilah tercela dan
akan menyerang pemiliknya. Hal ini dijelaskan dengan tegas oleh Al-Imam
Asy-Syathibi dalam kitabnya yang luar biasa Al-Muwafaqat. Beliau berkata:
أَنَّ
كُلَّ
عِلْمٍ
لا
يُفيد
عَمَلاً؛
فَلَيْسَ
فِي
الشَّرعِ
مَا
يَدُلُّ
عَلَى
استِحسَانِه
“Semua ilmu yang tidak membuahkan amal maka tidak dalam syariat satu dalil pun
yang menunjukkan akan baiknya ilmu tersebut.” (Al-Muwafaqat 1/74)
Oleh karena itu, semua dalil yang berkaitan dengan keutamaan ilmu dan penuntut
ilmu semuanya harus dibawakan kepada ilmu yang disertai dengan amal.
Firman Allah:
قُلْ
هَلْ
يَسْتَوِي
الَّذِينَ
يَعْلَمُونَ
وَالَّذِينَ
لا
يَعْلَمُونَ
إِنَّمَا
يَتَذَكَّرُ
أُولُو
الألْبَابِ
(٩)
“Katakanlah:
‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S. Az-Zumar: 9)
شَهِدَ
اللَّهُ
أَنَّهُ
لا
إِلَهَ
إِلا
هُوَ
وَالْمَلائِكَةُ
وَأُولُو
الْعِلْمِ
قَائِمًا
بِالْقِسْطِ
لا
إِلَهَ
إِلا
هُوَ
الْعَزِيزُ
الْحَكِيمُ
(١٨)
Allah
menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah),
yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu), tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Q.S. Ali Imran: 18)
يَرْفَعِ
اللَّهُ
الَّذِينَ
آمَنُوا
مِنْكُمْ
وَالَّذِينَ
أُوتُوا
الْعِلْمَ
دَرَجَاتٍ
Niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. (Q.S. Al-Mujadalah: 11)
Demikian juga semisal hadits Nabi saw.:
من
يُرِدِ
اللهُ
به
خيرًا
يُفَقِّهْهُ
فِي
الدِّيْنِ
Barang
siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan membuat dia faqih
(paham) tentang ilmu agama.
Maksudnya adalah orang yang dikendaki kebaikan oleh Allah adalah orang yang
diberi ilmu dan mengamalkan ilmunya. Adapun orang yang berilmu dan tidak
mengamalkan ilmu maka tercela, karena jelas ilmunya akan menjadi bumerang
baginya.
Asy-Syathibi rahimahullah membawakan banyak dalil yang menunjukkan akan hal
itu. Beliau berkata: “Sesungguhnya ruh ilmu adalah amal. Jika ada ilmu tanpa
amal maka ilmu tersebut kosong dan tidak bermanfaat. Allah telah berfirman:
إِنَّمَا
يَخْشَى
اللَّهَ
مِنْ
عِبَادِهِ
الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya
yang takut kepada Allah adalah para ulama. (Q.S. Fathir: 28)
Dan Allah juga berfirman:
وَإِنَّهُ
لَذُو
عِلْمٍ
لِمَا
عَلَّمْنَاهُ
Dan
Sesungguhnya Dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. (Q.S. Yusuf: 68)
Qatadah berkata: “Maksudnya adalah لَذُو عَمَلٍ بِمَا عَلَّمْنَا dia mengamalkan ilmu yang Kami
ajarkan kepadanya…” (Al-Muwafaqat 1/75).
Dan yang paling menunjukkan akan hal ini adalah hadits Nabi saw:
لاَ
تَزُوْلُ
قَدَمَا
الْعَبْدِ
يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
حَتىَّ
يُسأَلَ
عَنْ
خَمْسِ
خِصَالٍ”،
“Tidak akan bergerak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ditanya
tentang lima perkara.” Di antara lima perkara tersebut yang disebutkan oleh
Nabi saw.: وعَنْ عِلْمِهِ, مَاذَا عَمِلَ فِيهِ؟ “ Dia akan ditanyakan tentang ilmunya, apa yang telah
diamalkan dari ilmunya?”
Pernah ada seseorang yang bertanya (masalah agama) kepada Abu Ad-Darda’, maka
Abu Ad-Darda’ berkata kepadanya: “Apakah semua masalah agama yang kau tanyakan
kau amalkan?” Orang itu menjawab: “Tidak.” Maka Abu Ad-Darda’ menimpalinya:
“Apa yang engkau lakukan dengan menambah hujjah yang akan menjadi bumerang
bagimu?” (Al-Muwaafaqaat 1/82 sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil-Bar dalam
Al-Jami’ no 1232).
Oleh karena itu, sungguh indah kesimpulan yang disampaikan oleh Asy-Syathibi
dalam perkataannya: “Dan dalil akan hal ini (bahwasanya ilmu hanyalah wasilah
untuk amal dan bukan tujuan) terlalu banyak. Semuanya memperkuat bahwa ilmu
merupakan sebuah wasilah (sarana) dan bukan tujuan langsung jika ditinjau dari
kacamata syariat. Akan tetapi, ilmu hanyalah wasilah untuk beramal. Maka semua
dalil yang menunjukkan akan keutamaan ilmu hanyalah berlaku bagi ilmu yang
disertai dengan amalan. Dan kesimpulannya bahwasanya seluruh ilmu syar’i
tidaklah dituntut (dalam syariat) kecuali dari sisi sebagai sarana untuk
mencapai sesuatu yaitu amal.” (Al-Muwafaqat 1/83-85)
Sungguh indah wasiat Al-Khathib al-Baghdadi kepada para penuntut ilmu:
إِنِّي
مُوصِيكَ
يَا
طَالِبَ
الْعِلْمِ
بِإِخْلَاصِ
النِّيَّةِ
فِي
طَلَبِهِ،
وَإِجْهَادِ
النَّفْسِ
عَلَى
الْعَمَلِ
بِمُوجَبِهِ،
فَإِنَّ
الْعِلْمَ
شَجَرَةٌ
وَالْعَمَلَ
ثَمَرَةٌ،
وَلَيْسَ
يُعَدُّ
عَالِمًا
مَنْ
لَمْ
يَكُنْ
بِعِلْمِهِ
عَامِلًا،
... وَمَا
شَيْءٌ
أَضْعَفُ
مِنْ
عَالِمٍ
تَرَكَ
النَّاسُ
عِلْمَهُ
لِفَسَادِ
طَرِيقَتِهِ
،
وَجَاهِلٍ
أَخَذَ
النَّاسُ
بِجَهْلِهِ
لِنَظَرِهِمْ
إِلَى
عِبَادَتِهِ
...
وَالْعِلْمُ
يُرَادُ
لِلْعَمَلِ
كَمَا
الْعَمَلُ
يُرَادُ
لِلنَّجَاةِ
،
فَإِذَا
كَانَ
الْعَمَلُ
قَاصِرًا
عَنِ
الْعِلْمِ،
كَانَ
الْعِلْمُ
كَلًّا
عَلَى
الْعَالِمِ
،
وَنَعُوذُ
بِاللَّهِ
مِنْ
عِلْمٍ
عَادَ
كَلًّا،
وَأَوْرَثَ
ذُلًّا،
وَصَارَ
فِي
رَقَبَةِ
صَاحِبِهِ
غَلًّا
،
قَالَ
بَعْضُ
الْحُكَمَاءِ:
الْعِلْمُ
خَادِمُ
الْعَمَلِ،
وَالْعَمَلُ
غَايَةُ
الْعِلْمِ
Aku memberi
wasiat kepadamu wahai penuntut ilmu untuk mengikhlaskan niat dalam menuntut
ilmu dan berusaha keras untuk mengamalkan konsekuensi ilmu. Sesungguhnya ilmu
adalah pohon dan amal adalah buahnya. Seseorang tidak akan dianggap alim bila
tidak mengamalkan ilmunya. Tidak ada yang lebih lemah dari kondisi seorang alim
yang ditinggalkan ilmunya oleh masyarakat karena jalannya (yang kosong dari
amal) dan seorang yang jahil yang diikuti kejahilannya oleh masyarakat karena
melihat ibadahnya.”
Tujuan
ilmu adalah amal, sebagaimana tujuan amal adalah keselamatan. Jika ilmu kosong
dari amal maka ilmu itu akan menjadi beban (bumerang) bagi pemiliknya. Kita
berlindung kepada Allah dari ilmu yang menjadi beban (bumerang) dan
mendatangkan kehinaan, dan akhirnya menjadi belenggu di leher pemiliknya.
Sebagian
ahli bijak berkata, “Ilmu adalah pembantu bagi amal, dan amal adalah puncak
dari ilmu.” (Iqtidhaul
Ilmi Al-’Amal 14-15)
Semangat Beramal
Mengalahkan Kelelahan dan Kelemahan
Syaikh Abdurrozaq bercerita, “Suatu ketika aku pernah shalat Tarawih di Masjid
Nabawi. Dulu, setiap malam bulan Ramadhan, para imam Masjid Nabawi membaca tiga
juz dari Al-Quran dangan bacaan tartil. Berbeda dengan sekarang di mana para
imam hanya membaca satu juz. Ketika itu, aku shalat dan ternyata di hadapanku
ada seorang dari Indonesia yang juga ikut shalat malam. Yang menarik
perhatianku, ternyata orang tersebut kakinya buntung satu. Tatkala berdiri dia
hanya bertopang pada satu kakinya. Sungguh menakjubkan, kita yang memiliki dua
kaki merasa kelelahan menunggu imam menyelesaikan bacaan tiga juz dalam sepuluh
rakaat, sementara orang Indonesia ini meskipun hanya bertopang pada satu kaki
tetapi semangatnya yang begitu luar biasa; sama sekali tidak bergeming selama
shalat, tidak terjatuh atau tertatih-tatih. Keimanan yang luar bisa yang
menjadikannya kuat untuk bertahan berjam-jam melaksanakan shalat Tarawih.”
Kisah yang luar biasa ini beberapa kali saya dengar dari Syaikh tatkala
memotivasi murid-muridnya untuk semangat beramal. Timbul kebanggaan dalam diri
saya mengetahui orang yang beliau contohkan itu berasal dari Indonesia, namun
sekaligus timbul rasa malu dalam diri saya, mengapa saya tidak semangat
beribadah seperti orang yang buntung tersebut?
Manhaj Nabi??!!
Suatu ketika saat Syaikh mengisi pengajian, ada orang yang bertanya kepada
beliau, “Ya Syaikh, bagaimanakah manhaj Nabi?”
Pertanyaan ini unik karena diajukan saat santer-santernya fitnah
tahdzir-mentahdzir di Arab Saudi, dan orang tersebut tentunya berniat baik
ingin mengetahui bagaimanakah manhaj yang benar sehingga ia bisa berada di atas
manhaj yang lurus sehingga selamat di tengah badai tahdzir dan fitnah. Namun,
apa jawaban Syaikh?
Beliau berkata, “Manhaj Nabi sudah jelas dan diketahui. Nabi bangun tengah
malam lantas shalat malam. Menjelang shubuh beliau bersahur, lalu beristighfar
menunggu shubuh. Kemudian beliau shalat Shubuh berjamaah. Setelah itu beliau
duduk di masjid, berdzikir hingga waktu syuruq, lalu shalat dua rakaat. Jika
tiba waktu dhuha beliau shalat Dhuha, dan seterusnya. Beliau bersedekah,
mengunjungi orang sakit, membantu orang yang kesusahan, menjamu tamu… dan
seterusnya. Manhaj beliau ma’ruf.”
Demikian kira-kira jawaban beliau. Jawaban yang mengingatkan sebagian kita yang
menyukai tahdzir-mentahdzir agar jangan lupa beramal. Jangan sampai kita yang
mengaku di atas manhaj yang benar dan memberikan porsi yang besar terhadap
manhaj, lantas lalai dari beramal shalih. Jangan sampai kita yang semangat
mentahdzir kesalahan orang lain, ternyata orang yang kita tahdzir tersebut
lebih perhatian terhadap amal daripada kita.
Saya teringat nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap orang
yang suka mentahdzir tapi kurang suka beramal, sementara orang yang ditahdzir
justru lebih semangat dalam beramal.
Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan banyak orang-orang yang mengingkari bid’ah-bid’ah
ibadah dan adat, engkau dapati mereka muqashir (kurang) dalam mengerjakan
sunah-sunah dari hal yang berkaitan dengan ibadah, atau dalam ber-amar makruf,
menyeru manusia untuk mengerjakan sunah-sunah tersebut (yang berkaitan dengan
ibadah). Dan, mungkin saja keadaan mereka, yang mengingkari bid’ah namun tidak
mengerjakan banyak sunah Nabi, justru lebih buruk dari keadaan orang yang
melakukan ibadah yang bercampur dengan suatu kemakruhan (Maksud ibnu Taimiyyah
dengan kemakruhan di sini adalah kebid’ahan sebagaimana sangat jelas dalam
penjelasan beliau sebelumnya-pen). Bahkan, agama itu adalah amar makruf dan
nahi mungkar, dan tidak bisa tegak salah satu dari keduanya kecuali jika
bersama dengan yang lainnya. Maka tidaklah dilarang suatu kemungkaran kecuali
diperintahkan suatu kemakrufan.” (Iqtidho’ As-Shirootil Mustaqiim II/126.)
Madinah, 19 04 1432 H / 24 03 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda
www.firanda.com