Satu hal menarik, manakala dalam satu
buletinnya Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI menyebut serangan Saudi ke
pemberontak Houthi Yaman sebagai serangan agen (amerika) untuk membunuhi kaum
Muslimin Yaman. Rasa-rasanya kali ini tak perlu diulas lagi bahwasanya yang
diserang Saudi adalah pemberontak Syiah Houthi, bukan negeri Yaman.
Selanjutnya, penting bagi kita buat mengetahui
hakikat sesungguhnya hubungan Saudi-Amerika. Jika kita perhatikan secara jeli,
sangat sulit buat mengatakan bahwasanya Saudi adalah antek Amerika.
Betapa tidak! Amerika merupakan Negara pendewa sekulerisme, liberalisme,
pluralisme, demokratisme, emansipasi dan segala bentuk kebebasan berekspresi,
sementara Saudi merupakan sebuah negeri yang berazaskan Al-Qur’an dan Sunnah,
penegak panji-panji tauhid, penentang utama paham sepilis (sekulerisme,
pluralism dan liberalisme), serta antidemokrasi.
Amerika dengan dalih pembela HAM membolehkan kaum wanitanya berpakaian
semitelanjang, sementara Saudi mewajibkan kaum wanitanya mengenakan cadar
manakala beraktivitas di luar rumah. Masih lekat di benak kita tentunya,
bagaimana kritikan tajam mantan putra mahkota Saudi, Pangeran Sultan
rahimahullah terhadap paham emansipasi, dimana dengan lugas beliau menyatakan,
“hakikat dari emansipasi sesungguhnya adalah kebebasan menyentuh wanita.” Dan
bukan hanya soal prinsip kenegaraannya yang bertolak belakang 1800.
Kedua negara juga mendakwahkan prinsip-prinsip yang mereka anut ke seantero
penjuru dunia. Amerika dengan gencar menyebarkan dan menyerukan paham
demokrasi, emansipasi, pluralisme, HAM, serta sederet isme-isme lain yang
intinya menekankan kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi tanpa batas.
Sebaliknya, Saudi berada di garda terdepan dalam mendakwahkan Islam yang murni
ke segenap penjuru dunia, dimana prinsip-prinsip Islam yang murni tersebut
sangat bertentangan dengan isme-isme jualan Amerika dan konco-konconya.
Tidak main-main…Saudi bahkan mendirikan lembaga-lembaga Islam di luar negeri
macam LIPIA di Indonesia guna menangkal isme-isme jualan Amerika CS tersebut.
Saudi juga memberikan jatah ribuan beasiswa kepada para pemuda dari berbagai
negara untuk belajar di universitas-universitas Islamnya dengan tujuan
sekembali ke negeri masing-masing, para pemuda tersebut diharapkan tampil
sebagai pendakwah tauhid dan sunnah, yang dengan dakwah itu maka isme-isme
dagangan Amerika menjadi tidak laku.
Nah, kalau macam itu…mana mungkin dua negara yang saling bertarung dalam perang
ideologi dapat dikatakan, salah satunya adalah antek yang lain? Tidak…Amerika
sama sekali tidak pernah menganggap Saudi sebagai sekutu. Yang ada, siasat
politik Saudi-lah yang memaksa Amerika bermuka manis di hadapan negeri tauhid
tersebut.
Saudi, dengan limpahan minyak yang terus menerus mengaliri bawah tanah Jazirah
dapat dengan leluasa ‘menundukkan’ Amerika untuk bersedia menandatangani
beragam kerjasama militer. Ketergantungan Amerika akan minyak Saudi-lah yang
menjadikan Washington dengan cepat tanggap mengikuti instruksi Riyadh guna
mengirimkan bantuan militer besar-besaran untuk mementahkan ambisi Saddam
Hussein yang pada Perang Teluk I berencana menganeksasi negeri tersebut,
setelah Kuwait berhasil dicaploknya.
Begitu pula, tatkala Saudi bersama koalisinya berusaha mengusir pemberontak
Houthi dari Yaman, tak ada jalan lain bagi Amerika selain hanya berposisi
sebagai penonton. Gonggongan PBB dan Rusia yang meminta serangan udara Saudi
dihentikan tidak akan berpengaruh terhadap kebijakan Saudi.
Bahkan PBB pun tidak mampu untuk memaksa Saudi menghentikan serangan gencarnya
terhadap pemberontak Syiah Houthi mengingat Amerika sukses dipasung Saudi
dengan politik minyak-nya.
Alhasil, serangan Saudi terhadap pemberontak Syiah Yaman akan membawa dampak
positif terhadap negeri kayak minyak tersebut.
Pertama, pamor Saudi di kancah internasional bakal kian diperhitungkan.
Kedua, serangan tersebut akan menyibukkan Iran sehingga mau tidak mau negeri
yang didirikan di atas reruntuhan kekaisaran majusi Persia tersebut memfokuskan
diri dalam memasok senjata buat para milisi houthi serta menghambat laju
Syiah-isasi yang kini marak di negeri-negeri Muslim.
Ketiga, serangan Saudi bersama koalisinya terhadap pemberontak Houthi Yaman
sekaligus memperkuat keamanan dalam negeri Saudi dari ancaman Iran. Sekiranya
Yaman yang berbatasan langsung dengan Saudi dibiarkan jatuh ke tangan Syiah
Houthi, dikhawatirkan bakal menjadi batu loncatan Iran dalam mengarahkan
moncong meriamnya ke jantung tanah suci.
Dengan demikian, jelas sudah bahwa Saudi berhasil memperagakan permainan
politik yang teramat cantik. Lewat politik minyaknya, Saudi berhasil
‘menaklukkan’ Amerika dan dengan serangan tiba-tibanya terhadap pemberontak
Houthi yang membuat PBB dan Rusia tak berdaya selain mengecam dan mengecam,
Saudi kian menguatkan eksistensinya sebagai pemimpin dunia Islam.
Permainan cantik, strategi jitu dan pertimbangan politik atas asas
maslahat-mudharat itulah yang tidak pernah diperagakan rezim Taliban yang
semata mendasarkan perjuangan ‘jihad’-nya atas dorongan emosi dan ghirah,
sehingga mereka hanya mampu bertahta di Afghanistan selama 5 tahun! Maka dari
itu, hendaknya mereka yang mengaku sebagai para ‘pejuang khilafah’ merenungkan
hal ini!