Mengapa
tauhid dibagi 3? Mana dalilnya?
Kami katakan:
sesungguhnya pertanyaan ini serupa dengan pertanyaan:
“Dimanakah larangan merokok dalam
Islam? Dalam al-Qur’an? Sehingga merokok dapat dikatakan haram?”
Jawab: jika yang Anda
minta adalah ayat yang bunyinya: “dan telah Kami haramkan merokok bagimu” atau
yang semisalnya, maka tak akan kita jumpai!
Tapi larangan merokok
ada dalam al-Qur’an, termaktub dalam ayat:
“…Janganlah kamu membunuh
dirimu…” (an-Nisaa: 29)
Namun, demikian,
pertanyaan tentang jenis-jenis tauhid tetap sering kita jumpai. Mungkin karena
tidak terbiasanya mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah dan kurang pahamnya
akan bagaimananya suatu dalil digunakan atau suatu kesimpulan diperoleh melalui
sistem pendalilan. Untuk itu kami akan menukilkan sebuah tulisan singkat yang
akan menjawab pertanyaan di atas, yang sejatinya kami ambil dari:
Suatu kesempatan
Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi Al Atsari ditanya mengenai kenapa orang-orang
yang mengatakan bermanhaj dan beraqidah Salaf, membagi tauhid menjadi Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma’ wa Sifat.
Dari manakah pembagian ini, mengingat di dalam Al-Qur’an dan hadits tidak
disebutkan. Dan menurut kami, hal itu tidak didapati pula pada zaman
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun
shahabat. Bukankah pernyataan tersebut termasuk suatu perkara baru (muhdats) dan tidak ada dalilnya?
Maka Syaikh menjawab
bahwa pembagian yang disyaratkan tersebut
kedudukannya seperti pembagian para pakar ilmu Nahwu terhadap
kata dalam bahasa Arab menjadi isim (nama), fi’il (kata kerja) dan harf (imbuhan). Apakah yang demikian itu suatu hal
tercela, padahal sesuai dengan kenyataan dan hakekat perkaranya.
Betapa tepatnya
perkataan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam risalahnya At
Tahdzir hlm. 30 berkisar pembagian tauhid. Kata beliau : “Pembagian ini adalah hasil istiqra (telaah) para ulama Salaf
terdahulu seperti yang diisyaratakan oleh Ibnu Mandah dan Ibnu Jarir Ath
Thabari serta yang lainnya. Hal
ini pun diakui oleh Ibnul Qayim. Begitu pula Syaikh Zabidi dalam Taaj Al Aruus dan Syaikh Syanqithi dalam Adhwa Al-Bayaan, dan
yang lainnya. Semoga Allah merahmati semuanya
Ini adalah hasil telaah yang paripurna dari nash-nash syar’i , seperti yang dikenal
dalam setiap bidang ilmu. Seperti hasil tela’ah pakar ilmu Nahwu terhadap
bahasa Arab menjadi : isim, fi’il dan harf. Dan orang-orang Arab tidak mencela dan melecehkan
para pakar Nahwu tersebut terhadap hasil telaahnya”.
Berkata Syaikh
Al-Baijuri dalam Syarh Jauharah At Tauhid hlm.
97. Firman Allah ; ‘Alhamdulillahir
rabbil ‘alamiin’, mengisyaratkan pada pengakuan ‘Tauhid Rububiyah,
yang konsekuensinya adalah pengakuan terhadap Tauhid Uluhiyah. Adapun
konsekuensi Tauhid Uluhiyah adalah terlaksananya Ubudiyah. Hal ini menjadi
kewajiban pertama bagi seorang hamba untuk mengenal Allah Yang Maha Suci. Kata
beliau selanjutnya : “Kebanyakan surat-surat Al-Qur’an dan ayat-ayatnya
mengandung macam-macam tauhid ini, bahkan Al-Qur’an dari awal hingga akhir
menerangkan dan mengejawantahkan (menjelaskan)”.
Kami katakan :
“Sesungguhnya pembagian tauhid menjadi tiga ini, dikandung dalam banyak surat
di dalam Al Qur’an Al Karim. Yang paling tampak serta paling jelas adalah dalam
dua surat, yaitu Al Fatihah dan An Naas, dimana keduanya adalah pembuka dan
penutup Al Qur’an.
Oleh karena itu
firmanNya Yang Maha Suci ;”Alhamdulillahirrabbil
‘alamiin’, mengandung pengukuhan akan ke-rububiyah-an Allah Jalla wa A’laa terhadap seluruh makhlukNya, dan
firmanNya Yang Maha Suci : ‘Ar
Rahmanir Rahiim Maliki Yaumid Diin’ di disini mengandung pengukuhan
terhadap sifat-sifatNya Yang Maha Tinggi dan nama-namaNya Yang Maha Mulia,
sedangkan firmanNya Yang Maha Suci : ‘Iyaaka
Na’budu Wa Iyaaka Nasta’iin’ di sana mengandung pengukuhan
ke-ubudiyah-an seluruh makhluk kepadaNya dan ke-uluhiyah-an Allah atas mereka.
Kemudian berkata Imam
Ibnu Athiyah (wafat ; 546H) dalam kitabnya Al-Muharrar Al-Wajiiz,
juz I, hlm.75. FirmanNya : ‘Iyaaka
Na’budu’ adalah ucapan seorang yang beriman kepadaNya yang
menunjukkan pengakuan terhadap ke-rububiyah-an Allah, mengingat kebanyakan
manusia beribadah kepada selainNya yang berupa berhala-berhala dan lain
sebagainya”.
Bahkan di dalam Al
Qur’an disebutkan satu ayat yang mengumpulkan seluruh jenis
tauhid tersebut.
“Rabb (yang menguasai) langit
dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah Dia dan
berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang
yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam: 65)
Syaikh Abdurrahman bin
Sa’di rahimahullah (berkata) ketika menerangkan bentuk
pendalilan dari ayat di atas:
“Ayat ini mengandung
prinsip yang agung yaitu: tauhid rububiyah, dan Allah ta’ala adalah Rabb,
Pencipta, Pemberi rezeki, serta Pengatur segala sesuatu, dan tauhid uluhiyah
wal ibadah. Allah ta’ala adalah Sesembahan yang Berhak untuk Diibadahi. Dan
sungguh Rububiyah Allah mewajibkan adanya per-ibadahan serta pentauhidanNya.
Oleh karena itu di dalam ayat tersebut terdapat fa’ dalam
firmanNya. Ini menunjukkan kepada suatu sebab, yang maksudnya: karena Allah
adalah Rabb bagi segala sesuatu maka Allah pula-lah Dzat yang pantas disembah,
maka sembahlah Allah.
Termasuk kandungan
ayat tersebut adalah: berteguh hati di dalam beribadah kepada Allah ta’ala dan
ini merupakan suatu upaya yang kokoh, serta selalu melatih dan menjaga jiwa
agar selalu ber-ibadah kepada Allah ta’ala. Maka termasuk ke dalam hal ini
suatu jenis kesabaran yang paling tinggi. Yaitu sabar di dalam perkara-perkara
yang wajib dan mustahab (disukai dalam syariat), serta sabar dari
perkara-perkara yang haram dan makruh, bahkan masuk kedalamnya sabar dalam
menghadapi berbagai cobaan. Karena sabar terhadap berbagai cobaan tanpa adanya
rasa murka, dan selalu ridha darinya kepada Allah merupakan bentuk ibadah yang
terbesar yang masuk ke dalam firman Allah: “Berteguh hatilah dalam
beribadat kepada-Nya”
Ayat ini juga
menunjukkan bahwa Allah ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang
sempurna, sifat yang penuh dengan ke-agungan, serta kekuasaan yang mulia. Dalam
permasalahan ini tidak ada bagiNya sesuatu yang serupa, sepadan, yang menyamai.
Bahkan Allah ta’ala telah menyendiri dengan kesempurnaan yang mutlak dari
berbagai sudut dan sisi”[2] .
Jadi pembagian tauhid
menjadi 3 tersebut adalah pembagian
secara ilmu dan merupakan hasil telaah seperti yang dikenal dalam kaidah
keilmuan. Barangsiapa yang mengingkarinya berarti tidak ber-tafaquh
terhadap Kitab Allah, tidak mengetahui kedudukan Allah, mengetahui sebagian dan
tidak mengetahui sebagian yang lainnya.
Jadi, apabila ketiga
jenis tauhid ini tidak lengkap atau tidak sempurna diimani oleh seorang hamba,
maka hamba itu tidak sempurna imannya atau bahkan keluar dari Islam (seperti
kaum Quraisy yang mentauhidkan Allah dalam tauhid rububiyah tapi tidak dengan
tauhid uluhiyah)
————————
Sebelumnya pun ada beberapa ulama terdahulu membagi
tauhid ini menjadi dua bagian:
Yang pertama, Tauhid Al Ma’rifat wal Itsbat (Pengenalan
dan Penetapan) yang mengandung 2 tauhid yaitu Tauhid Rububiyah yaitu mengenal
Allah melalui perbuatanNya, dan Tauhid Asma wa Sifat yaitu mengenal Allah
melalui nama dan sifatNya.
Yang kedua, Tauhid Al Iradi Ath Thalabi yaitu
tauhid yang diinginkan dan dituntut, disebut juga tauhid uluhiyah.
————————-
Akan tetapi seiring
semakin jauhnya umat Islam dari ajaran agama, sehingga banyak terjadi
penyimpangan keyakinan di dalam nama dan sifat Allah, maka Tauhid Asma’ wa
Sifat disebutkan secara khusus.
Wallahu a’lam.
Sumber Penulisan:
Al Mukhtashar Al Mufidah fii
Bayaanii Dalaail Aqsaani At Tauhid, Syaikh Abdurrazzaq
bin Abdul Muhsin Al Abbad. Edisi Indonesia: Mengapa Tauhid Dibagi Tiga (Ebook)
Read more: http://cafe-islamicculture.blogspot.com/2012/04/mengapa-tauhid-harus-dibagi-tiga.html#ixzz2InfoVM6z
Beliau berkata, “Sebagian
orang berpendapat bahwa membagi-bagi tauhid menjadi tiga (baca: tauhid
rububiyyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma wa shifat) adalah bid’ah, karena
yang semacam itu tidak diriwayatkan dari Nabishollallohu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Sedangkan apa saja (yang dianggap) bagian dari agama padahal
tidak datang dari Nabi shollallohu
‘alaihi wa sallam, maka itu bid’ah.
Namun ini kita jawab,
maka kita katakan, sesungguhnya banyak perkara sesuatu yang disusun oleh para
ulama yang sebelumnya belum tersusun di masa Ar Rosul ‘alaihish sholatu was salam. Ini tidak perlu dijelaskan lagi.Orang-orang yang membaginya (tauhid)
menjadi tiga tidak mendatangkan sesuatu yang baru, tidak pula mengingkari
keabsahannya. Bahkan mereka membawakannya dari Al Quran & Sunnah, hanya
saja mereka membaginya. Pembagian mereka ini berdasarkan perbedaan manusia di
dalamnya. Sebagaimana yang akan kita terangkan (dalam pembahasan kitab),
insyaAllah.Sekiranya kita menempuh jalan yang ditempuh orang yang nyeleneh ini,
pasti juga kita katakan bahwa syarat-syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib
shalat, rukun-rukun haji, wajib-wjib, dan larangan-larangannya, dan semisalnya,
termasuk perkara bid’ah!Padahal kita tidak menyatakan (pembagian) ini sebagai
bentuk ibadah kepada Allah, akan tetapi kita hanya menyebutkan ini sebagai
bentuk mendekatkan ilmu kepada penuntutnya. Jadi, pembagian ini adalah sarana
bukan tujuan.
Maka yang benar -tidak ragu lagi-, bahwa pembagian tauhid
menjadi tiga macam, dan menyebutkan syarat-syarat, rukun-rukun, wajib-wajib, serta
perusak-perusak dalam ibadah-ibadah; ini semua diperbolehkan karena hanya
sebagai sarana & pendekatan, serta meringkas sesuatu untuk penuntut ilmu.
Kita juga ingat bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam biasa menyebutkan sesuatu dengan bilangan tertentu. Seperti:
‘Tujuh golongan manusia yang Allah naungi dengan naungan-Nya…’ [Riwayat Al
Bukhari (660) & Muslim (1031) dari hadits Abu Hurairah], ‘Tiga golongan
manusia yang tidak Allah ajak bicara di hari kiamat…’ [Riwayat Al Bukhari (2369
& 2672) & Muslim (107) dari hadits Abu Hurairaah], dan semisalnya. Ini
termasuk macam dari pembagian.”
[Syarh
‘Aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah hal. 6-7 cet. ke-4 1431
H, Dar Ibnul Jauzi Mesir]
Faidah:
Syaikh ‘Abdurrozzaq bin ‘Abdul Muhsin Al Badr Al ‘Abbad dalam bukunya yang
sangat bermanfa’at, Al
Mukhtashor Al Mufid fi Bayan Dalail At Tauhid (edisi terj.: Mengapa Tauhid Dibagi Menjadi Tiga pent. Abu ‘Umar
‘Urwah Al Bankawi), menyebutkan beberapa dalil yang menunjukkan pembagian
tauhid, yaitu:
A. Dalil-dalil yang menunjukkan tauhid rububiyyah:
1. Al Fatihah: 1
2. Al A’rof: 54
3. Ar Ro’d: 16
4. Al Mu’minun: 84-89
5. Al Mu’min/Al Ghofir: 64
2. Al A’rof: 54
3. Ar Ro’d: 16
4. Al Mu’minun: 84-89
5. Al Mu’min/Al Ghofir: 64
B. Dalil-dalil yang menunjukkan tauhid uluhiyyah:
1. Al Fatihah: 1
2. Al Fatihah: 4
3. Al Baqoroh: 21
4. Az Zumar: 2-3
2. Al Fatihah: 4
3. Al Baqoroh: 21
4. Az Zumar: 2-3
5. Az Zumar: 14-15
6. Al Bayyinah: 5
C. Dalil-dalil yang menunjukkan tauhid asma’ & shifat:
1. Al Fatihah: 3-4
2. Al Isro': 110
3. Maryam: 65
2. Al Isro': 110
3. Maryam: 65
Dan dalam sebuah ayat (65) di suroh Maryam terdapat pembagian
tauhid menjadi tiga yang sangat nampak jelas, bak matahari di siang bolong.
Ayat tersebut adalah: “(Dia
lah) Robb (baca: pencipta, penguasa, pengatur, dan pemberi rizki) langit-langit
dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya. Maka sembahlah Dia dan
berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kau mengetahui ada sesuatu
yang menyamai-Nya.”
Perhatikanlah pembagian tauhid menjadi tiga dalam satu ayat ini,
yaitu:
1. Firman-Nya, “(Dia lah) Robb
(baca: pencipta, penguasa, pengatur, dan pemberi rizki) langit-langit dan bumi
dan segala yang ada di antara keduanya.” adalah merupakan penetapan macam tauhid yang pertama, tauhid
rububiyyah (mengesakan Allah dalam kaitannya dengan perbuatan Allah Ta’ala)
2. Firman-Nya, “Maka sembahlah
Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya.” adalah macam tauhid yang kedua, yaitu tauhid uluhiyyah
(mengesakan Allah dalam kaitannya dengan perbuatan hamba)
3. Dan firman-Nya, “Apakah kau
mengetahui ada sesuatu yang menyamai-Nya.” adalah macam tauhid yang ketiga, yaitu tauhid asma’ &
shifat. Allahua’lam. []
https://almarwadi.wordpress.com/2012/09/27/klaim-bidahnya-pembagian-tauhid-serta-bantahan-atasnya/
https://almarwadi.wordpress.com/2012/09/27/klaim-bidahnya-pembagian-tauhid-serta-bantahan-atasnya/
Tauhid Dibagi menjadi 3 (tiga) Bagian, Bid'ahkah ?? Sesatkah ??
- Tauhid Rububiyah, yakni meyakini dan mengimani bahwa Allaah adalah satu2nya Pencipta semua makhluk, Allaah adalah satu2nya Pemberi rizki..
- Tauhid Uluhiyah, yakni meyakini HANYA Allaah
satu2nya Dzat yang wajib disembah dan di ibadahi..
- Tauhid Asma wa Sifat, yakni meyakini bahwa
Allaah memiliki nama2 dan sifat yang mulia..
==> Sederhananya begitu, tapi ada sebagian
manusia jahil (dalam artian tidak tahu ilmunya, atau memang tidak mau tahu
ilmunya, atau bisa jadi sudah tahu tapi hatinya tertutup nafsu) yang manganggap
3 bagian tauhid tsb bahwa jumlah tauhid (sesembahan) itu ada 3, bahkan pada
level lebih parah sampai dianggapnya atau disamakannya dengan trinitas ala
kristen. Subhanallaah.
Para Pembenci dakwah tauhid menebarkan tuduhan
bahwa pembagian tauhid menjadi Tauhid Rubbubiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid
Asma’ wa sifat adalah bid’ah dan sesat !! Mereka tak lain hanya ingin
menjauhkan umat dari dakwah tauhid. Mereka tidak sadar atau pura-pura tidak
tahu bahwa sesungguhnya merekapun mengakui bahwa dalam tauhid itu memang ada 3
bagian tidak boleh diingkari.
1. Apakah anda mengakui bahwa Allaah lah
satu-satunya yang Menciptakan, yang memberi rizqi, yang mengatur alam ini ????
Jika ya, maka anda telah mentauhidkan Rubbubiyah Allaah.
2. Apakah anda meyakini bahwa hanya Allaah lah
yang berhak untuk diibadahi ???? Jika ya, maka anda telah mengakui Tauhid
ulluhiyah, yaitu mentauhidkan Allaah dlm ibadah.
3. Apakah anda meyakini bahwa Allah mempunyai
Nama dan sifat Yang Maha Sempurna dan Maha Agung ???? Jika ya, maka anda telah
mengakui Tauhid ‘Asma wa sifat.
Dan, jika anda tidak mengimani satu saja dari
ketiga bagian tauhid tsb diatas, maka anda telah rusak tauhidnya, naudzubillaah
!!
Maka dari jalan manakah kita menolak ketiga
bagian tauhid ini wahai saudaraku ?????
Sebagian mereka pun berkata :
"Lho, tapi kan pembagian spt ini bid'ah,
gak ada di zaman Nabi !!"
Kita katakan :
Banyak pembagian istilah dalam Islam oleh para
ulama yang tujuannya untuk memperjelas agar umat islam lebih mudah memahami.
Contoh :
Pembagian hukum : Wajib, sunnah, mubah, makruh,
haram..
Pemabgian2 tsb juga tidak ada di zaman Nabi,
lantas apakah pembagian tsb bid'ah dan sesat ???
Istilah nama-nama shalat : Shalat tarawaih,
tahiyatul masjid, sukrul wudhu’, dlsb..
Di zaman Nabi tak pernah ada nama-nama sholat
spt ini, lantas apakah pembagian atau penamaan tsb bid'ah dan sesat ????
Demikian juga dengan syarat wajib, syarat sah,
dan rukun dalam ibadah, itu semua adalah syarat2 yang dirumuskan dan dijelaskan
oleh para ulamaa', tak akan pernah ditemui dalam Qur'an maupun hadits tentang
syarat2 semacam itu. Apakah adanya pembagian dan penjelasan syarat2 tsb bid'ah
dan sesat ?????
Jenis-jenis dan pembagian najis : Mukhafafah,
mutawasithah, mugholadhoh. Dan masih banyak pembagian2 dalam Islam yang
tujuannya adalah untuk mempermudah umat dalam memahaminya, apakah semua itu
bid'ah dan sesat ????
Demikian juga dengan pembagian tauhid menjadi 3
bagian, apakah karena tidak dilakukan di zaman Nabi lantas otomatis bid'ah dan
sesat ????
Saudaraku, jika anda pernah baca buku yang
judulnya “Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi”(USMSW), di bagian akhir
disebutkan keterangan tentang fatwa Dewan Fatwa Mesir (Darul Ifta’ Al
Mishriyah), bahwa pembagian tauhid menjadi dua (Uluhiyyah dan Rububiyyah)
merupakan pembagian yang bid’ah dan sesat. Sayangnya, si penulis tidak
mencantumkan teks asli fatwa itu, karena di dalamnya ada tulisan “Syaikh Ibnu
Taimiyyah rahimahullah” (doa dari ulama anggota Darul Ifta’). Sepertinya
(wallahu A'lam) si penulis takut jika doa “rahimahullah” ini dibaca oleh kaum
Muslimin, sehingga dia tidak cantumkan fatwa itu secara penuh. Hanya disebutkan
isinya saja. Subhanallaah, sampai segitunya ya..
Kembali ke soal pembagian tauhid menjadi
Uluhiyyah dan Rububiyyah :
Katanya, pembagian tauhid seperti ini bid’ah,
sesat dan menyesatkan. Banyak yang mengatakan :
“Padahal sesungguhnya, tauhid hanya satu.
Pembagian tauhid seperti faham Wahabi ini adalah akal-akalan mereka untuk
memusyrikkan umat Islam yang bertawasul dengan ibadahnya, bertawasul dengan
kebenaran nabinya, dan bertawasul dengan kebenaran orang saleh ataupun Al
Qur’an al-Karim.” (Lihat USMSW, hal. 324).
Sebenarnya, penolakan terhadap pembagian tauhid
ini sudah terdengar sejak lama. Lengkapnya, pembagian tauhid itu meliputi tiga
sebagaimana sudah kita singgung dalam muqadimah, yaitu :
Tauhid Rububiyyah
Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Asma Wa Shifat
Mereka yang menetangnya mengatakan bahwa hal ini
merupakan pembagian yang bid’ah, yang tidak dikenal di masa Rasulullah dan
Shahabat. Dan ini dianggap hanyalah sebagai akal2an kaum “Salafi Wahabi”
Benarkah pembagian tauhid dengan 3 pembagian itu
merupakan bid’ah ???? Sesat dan menyesatkan ??? Akal-akalan kaum Wahabi ????
Saudaraku, harus kita katakan bahwa :
Pembagian tauhid itu sudah sesuai Syariat Islam,
dan bukan bid’ah (apalagi sampai sesat menyesatkan). Apa yang dituduhkan
sebagian orang dalam topik ini hanyalah pendapat emosional, dalil dan hujjahnya
lemah, dan terkesan dicari-cari belaka. Bahkan lembaga setingkat Dewan Ulama
Mesir sekalipun, kalau pendapatnya keliru, harus diabaikan.
Disini ada beberapa argumentasi yang bisa
disebutkan, yang mana sebagiannya sudah kita singgung dalam muqadimah tulisan :
PERTAMA :
Apa dasarnya menyebut pembagian tauhid (Tauhid
Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Asma Wa Shifat) itu dikatakan bid’ah ???
Katanya, karena pembagian seperti itu tidak
dikenal di masa Nabi dan Shahabat.
Jika demikian, apakah setiap sesuatu yang tidak
ada di masa Nabi lalu dianggap bid’ah ??? Bagaimana dengan penulisan Mushaf Al
Qur’an ??? Apakah penulisan Mushaf ini ada di masa Nabi shallallahu alaihi wa
sallam ??? Penulisan Mushaf baru dikenal di zaman Khalifah Abu Bakar As
Shiddiq, lalu ditulis kembali di masa Khalifah Utsman. Maka penulisan dan
pembukuan Mushaf ini cukup sebagai dalil, bahwa segala sesuatu yang tidak
dilakukan di masa Nabi, tidak otomatis bid’ah.
KEDUA :
Pernahkan Anda mendengar di masa Nabi dan para
Shahabat ada istilah “ilmu hadits”, “musthalah hadits”, “perawi hadits”, “matan
hadits”, “sanad”, “jarah wa ta’dil”, dan lain-lain ??????
Maka di masa Nabi belum ada ilmu baku tentang
hadits Nabi. Ilmu baku seputar hadits muncul di kemudian-kemudian hari,
terutama ketika mulai menyebar hadits-hadits palsu.
Imam Al Bukhari saja hidup sekitar 300 tahun
setelah zaman Nabi. Apakah karena di masa Nabi belum terbentuk struktur ilmu
hadits, lalu kita akan menolak ilmu hadits ??????
Maka tanyakan hal ini kepada manusia-manusia
yang hatinya dipenuhi dendam, kebencian, dan emosi itu !!
KETIGA :
Apa yang dilakukan oleh para ulama akidah dalam
soal pembagian tauhid menjadi 3 istilah, hal itu bukan akal-akalan mereka,
bukan kreasi mereka, bukan ciptaan mereka. Mereka itu hanyalah membuat sebutan
untuk suatu hakikat yang sudah ada. Sekali, membuat atau menjelaskan hal yang
sudah ada !!
Logikanya begini :
Seperti seorang ilmuwan Botani yang menemukan
tumbuhan, lalu tumbuhan itu dinamai dengan nama dia. Maka penamaan ini bukan
lantaran tumbuhan itu tadinya tidak ada, lalu menjadi ada. Tumbuhan itu sudah
ada, tetapi belum ada istilahnya.
Paham ????
Jika penjelasan sesederhanan ini masih tidak
ngerti juga, maka kita tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk lebih
menyederhanakannya..
Nah, dari sini telah jelaslah bahwa pembuatan
istilah ini, hanya untuk memudahkan saja. Hakikat Tauhid Rububiyyah, Tauhid
Uluhiyyah, Tauhid Asma Wa Shifat, semua itu sudah ada, hanya istilahnya belum
dikenal. Maka sebagian ulama perlu membuat istilah tertentu untuk menamai
sesuatu yang sudah ada tersebut agar lebih mudah dipahami oleh umat.
Mungkin Anda bertanya :
“Apa buktinya bahwa semua itu sudah ada, hanya
tinggal dicarikan namanya saja ???”
Maka jawabnya sebagai berikut :
“Alhamdulillah, coba Anda baca Surat An Naas,
coba baca Surat yang sangat dihafal anak-anak itu !!”
Kalau membaca Surat An Naas, disana ada kata :
“Bi Rabbin naas”
“Malikin naas”
“Ilahin naas”
Disini Allaah menyebutkan diri-Nya dengan tiga
sebutan :
Ar Rabb
Al Malik
Al Ilah
Apakah hal ini mengada-ada ????
Dalam Al Qur’an sendiri sudah diyebutkan adanya
istilah-istilah itu. Dengan adanya istilah “Malikin naas” maka bisa diketahui
istilah Tauhid Mulkiyah (tauhid terkait dengan otoritas Allah dalam menentukan
hukum). Jadi istilah Rububiyah, Uluhiyyah, dan Asma Wa Shifat, bukan sesuatu yang
mengada-ada !!
KEEMPAT :
Diceritakan bahwa As Sibawaih pernah ingin
mendalami ilmu hadits, tetapi dia ternyata kurang mampu. Maka dia pun mendalami
ilmu bahasa Arab. Ternyata, bintangnya cemerlang di bidang ilmu kebahasaan ini.
As Sibawaih banyak mengemukakan teori-teori baru seputar ilmu Nahwu (gramatika
bahasa Arab).
Apakah Sibawaih dalam hal ini seorang ahli
bid’ah karena membuat teori-teori yang tak ada di zaman Nabi ????
Saudaraku, apa yang dilakukan As Sibawaih tak
lebih dari membuat ilmu bahasa Arab menjadi lebih teratur, terorganisir, dan
lebih mudah dipelajari.
Maka begitu pulalah ulama-ulama akidah dan pakar
tauhid, mereka ingin lebih memudahkan Ummat Islam dalam memahami, mempelajari,
dan mengamalkan ilmu tauhid. Andaikan ada istilah lain yang lebih baik, lebih
tepat, dan efektif, tidak mengapa digunakan istilah semisal itu.
Dari sini, kita yakin (bagi yang mau berfikir
obyektif dan mengesampingkan rasa benci dan hawa nafsu) cukup mudah untuk
diikuti dan dimengerti penjelasan ini, semoga !!
KELIMA :
Kalau kita ingin memahami Allah Ta’ala secara
sempurna, maka kita harus memasuki ilmu tauhid melalui pintu-pintunya. Dan
pintu ilmu tauhid itu bukan hanya satu saja. Pintu-pintu itu terbuka sesuai
jalan-jalan yang Allaah ajarkan kepada manusia untuk mengenal-Nya.
Contohnya sangat mudah :
Perhatikan doa-doa yang Allah ajarkan melalui Al
Qur’an dan As Sunnah. Sekali lagi, perhatikan doa-doa itu.. Ada kalanya Allah
mengajarkan doa yang dimulai dengan kalimat “Rabbana” (Tuhan Kami) atau “Rabbi”
(Tuhanku). Doa-doa Al Qur’an umumnya dengan istilah ini.
Kemudian ada istilah lain : “Allahumma” (Ya
Allah). Istilah ini sering disebut dalam doa-doa Sunnah. Kemudian ada doa yang
menyebut nama-nama Allah seperti “Ya Hayyu” (wahai yang Maha Hidup), “Ya Qayyum”
(wahai yang Berdiri Sendiri), “Ya Malik”, “Ya Quddus”, “Ya Dzal Jalali Wal
Ikram”, dan lain-lain. Sebagian shalihin ada yang menggunakan doa “Ya Ilahi”
atau “Ya Ilahana”.
Sebutan-sebutan dalam doa ini menjelaskan adanya
pintu-pintu berbeda untuk sampai kepada Allah. Hal ini membuktikan bahwa Allah
ingin dikenal (dimakrifati) oleh Hamba-Nya dari beberapa jalan yang Dia
ajarkan. Kalau hanya ada tauhid Rububiyyah saja, mungkin doa-doa itu seluruhnya
akan dimulai dengan kata “Rabbana” atau “Rabbi”
KEENAM :
Kita semua paham, bahwa : Istilah Rabb dan Ilah
itu memiliki pengertian berbeda.
RABB secara umum diartikan sebagai : Pengatur,
pendidik, atau pemelihara. Maka dari itu, orang-orang yang memberi pengajaran
ilmu sering disebut sebagai Murabbi. Sedangkan ilmu pengajarannya dikenal
sebagai Tarbiyyah.
Sedangkan ILAH maknanya adalah sesembahan.
Siapapun dan apapun yang disembah, ia adalah ilah. Para ulama menjelaskan, ilah
adalah segala sesuatu yang mendominasi kehidupan, dicintai, menjadi tujuan
penghambaan manusia.
Kalau RABB berbicara tentang posisi Allah
sebagai pencipta, pemelihara, pengatur, penjaga, serta penguasa alam semesta.
Maka ILAH berbicara tentang posisi Allah sebagai
pihak satu-satunya yang berhak diibadahi manusia.
Seperti tercermin dalam kalimat, “Laa ilaha illa
Allah.” Dua makna, Rabb dan Ilah ini, menjelaskan posisi yang berbeda, meskipun
keduanya ada pada Dzat yang sama, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Akan semakin lengkap ketika kita juga memahami
Nama-nama Allah dalam Asma’ul Husna. Siapapun yang memahami hal-hal ini, mereka
tidak akan heran dengan sebutan Rububiyyah, Uluhiyyah, Asma Wa Shifat itu.
Tidak akan heran !!
Analoginya begini :
Misalnya tentang Shalat. Siapapun di antara kaum
Muslimin pasti tahu apa itu Shalat. Kita sering mendengar orang berkata :
“Sudahkah Anda Shalat ??? Mari kita laksanakan Shalat. Segera Shalat, waktu
hampir habis.” dlsb.. Kata-kata Shalat sering kita dengar.
Tetapi, kalau kita baca “Bab Shalat” dalam kitab
fiqih atau hadits, disana kita akan mendapati fakta, bahwa Shalat ini ternyata
banyak perinciannya :
- Kata Shalat dalam percakapan sehari-hari lebih
bersifat umum.
- Kalau lebih didalami lagi, ternyata di balik
kata Shalat banyak perincian-perinciannya, semisal tatacaranya, rukunnya,
syarat sahnya, dst.. Dan memang demikianlah adanya..
Jadi, "istilah" Allaah adalah bersifat
umum, maka di balik istilah itu ada perincian-perincian Sifat Allah seperti
yang sering dibahas oleh para ulama. Kalau anak kecil diberitahu, “Allah itu
Maha Esa.” Untuk anak kecil, penjelasan seperti itu sudah cukup. Tetapi untuk
orang dewasa, mereka perlu dijelaskan tentang perincian-perincian Sifat Allah
yang perlu dia ketahuinya.
Kalau sudah belajar Islam, banyak ilmu, akrab
dengan istilah-istilah agama, lalu tidak bisa membedakan antara Allah sebagai
Rabb dan Allah sebagai Ilah, waaaaah sayang sekali.
KETUJUH :
Dalam Al Qur’an banyak dijelaskan tentang
perilaku orang-orang musyrik. Mereka itu kerap kali kalau ditanya, “Siapa
pencipta langit dan bumi ???” Mereka menjawab, “Allah !!” Ayat-ayat demikian
disinggung dalam banyak tempat, antara lain : Surat Yunus ayat 31, Al Mu’minuun
ayat 84-89, Al Ankabuut ayat 61 dan 63, Luqman ayat 25, Az Zunar ayat 38, Az
Zukhruf ayat 87.
Mari kita ambil salah satu contoh ayat-ayat ini
:
“Katakanlah, “Siapa yang memiliki bumi dengan
segala isinya, jika kalian orang-orang yang berakal ?” Mereka akan menjawab,
“Milik Allah.” Katakanlah, “Apakah kalian tidak mengambil pelajaran ?”
Katakanlah, “Siapakah Rabb pemilik langit-langit yang tujuh dan Rabb penguasa
Arasy yang besar ?” Mereka akan menjawab, “Milik Allah.” Katakanlah, “Apakah
kalian tidak merasa takut (kepada Allah) ?” Katakanlah, “Siapakah yang di Tangan-Nya
terdapat kekuasaan atas segala sesuatu; Dia melindungi, tetapi tidak ada yang
terlindungi (dari adzab-Nya), jika kalian benar-benar mengetahui ?” Mereka akan
menjawab, “Milik Allah.” Katakanlah, “(Jika demikian) bagaimana kalianbisa
tertipu ?” (Al Mu’minuun, 84-89)
Ayat-ayat ini menjadi bukti bahwa orang-orang
Arab jahiliyah di masa lalu memang mempercayai Allah, mereka percaya Allah
sebagai Rabb alam semesta. Hal ini dibuktikan dengan kebiasaan bangsa Arab
jahiliyyah melaksanakan “ritual haji” di sekitar Ka’bah. Mereka meyakini bahwa
Ka’bah itu adalah Baitullah (Rumah Allah). Untuk membangun Ka’bah ketika
mengalami kerusakan di masa Nabi masih muda, orang Arab jahiliyyah memakai uang
halal sepenuhnya, tidak dicampur uang haram. Hal ini membuktikan, bahwa mereka
memuliakan Ka’bah itu, mereka sadar, bahwa untuk urusan membangun Ka’bah tidak
boleh memakai uang haram.
Begitu juga saat terjadi peristiwa “pasukan
gajah” di bawah pimpinan Raja Abrahah. Sebagai kuncen Ka’bah, Abdul Muthalib
(kakek Rasulullah) hanya ingin menyelamatkan ternaknya dari amukan pasukan
gajah. Ketika ditanya, mengapa hanya ingin menyelamatkan ternak saja ?? Dia
menjawab, Ka’bah itu sudah ada yang memiliki; maka Pemilik Ka’bah (yaitu Allah)
akan melindungi situs tersebut.
Jawaban Abdul Muthalib ini terbukti. Pasukan
gajah Abrahah hancur oleh burung Ababil yang membawa batu-batu panas. Lihatlah
dalam catatan sejarah yang terkenal itu, sosok Abdul Muthalib pun meyakini
Allah sebagai Rabb (Pelindung Ka’bah).
Namun banyak yang menolak semua ini, terutama
dari kalangan mereka yang menolak pembagian tauhid, dengan beralasan, katanya
pengakuan orang-orang musyrik itu hanya “omong kosong di mulut saja”, padahal
hati mereka sejatinya kufur (lihat buku USMSW).
Pendapat ini sangat aneh. Bagaimana ada “ritual
haji” setiap tahun di Makkah, kalau mereka tak percaya Allah ?????
Bagaimana mereka membangun Ka’bah yang rusak
dengan uang halal, karena hati mereka tidak meyakini sama sekali Kemuliaan
Allah ???
Bagaimana Abdul Muthalib menyerahkan keselamatan
Ka’bah kepada Allah, kalau dia tak mengimani Allah ????
Bahkan, bagaimana bisa Abdul Muthalib menamakan
ayah Rasulullah dengan “Abdullah” kalau dia tak percaya Allah ????
Jadi, kufurnya kaum jahiliyyah Arab kala itu,
bukan karena mereka atheis, tetapi karena mereka MUSYRIK, yaitu membuat
tandingan-tandingan dalam penghambaan mereka kepada Allah. Mereka percaya
kepada Allah, tetapi juga percaya kepada ilah-ilah selain Allah.
Ketika Islam mengajarkan konsep SATU ILAH (yaitu
Allah saja), mereka menolak keras keyakinan seperti itu. Mereka percaya Allah,
tetapi juga percaya ilah-ilah lainnya.
Ketika Islam mengajarkan konsep SATU TUHAN,
seketika orang-orang musyrik merasa heran. Mereka berkata :
“Aja’alal alihah ilahan wahidan ? Inna hadza la
syai’un ‘ujab” (mengapa dia jadikan tuhan-tuhan itu menjadi Tuhan yang satu
saja ? Sungguh semua ini adalah perkara yang sangat mengherankan). [Shaad: 5].
Jadi, kaum musyrikin jahiliyyah Mekah disebut
musyrik bukan karena tidak percaya Allah, tetapi mereka tidak mau hanya
memiliki SATU TUHAN saja. Mereka ingin ada “tuhan kolektif”
Demikianlah yang terjadi dalam kaum musyrikin
Mekkah kala itu, yakni mengimani sebagian tauhid tapi mengingkari bagian tauhid
yang lain.
DELAPAN :
Dalam Al Qur’an dijelaskan juga, orang-orang
musyrik, kalau mereka tertimpa badai di tengah lautan, mereka berdoa kepada
Allah dengan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya.
“Jika mereka naik perahu di lautan, mereka
berdoa dengan memurnikan ketaatan kepada Allah. Namun jika Kami selamatkan mereka
sampai ke darat, mereka pun melakukan perbuatan orang-orang musyrik.” (Al
Ankabuut: 65).
Jadi secara fitrahnya, orang musyrikin pun
mengesakan Allah. Tetapi hal itu dalam momen-momen ketika keadaan mereka
genting. Jika kondisi sudah aman, mereka berbuat kemusyrikan kembali. Hal ini
menjadi bukti tambahan bahwa orang musyrikin bisa membedakan antara Allah
sebagai Ilah dan sebagai Rabb.
Rabb adalah keyakinan umum mereka, namun Ilah
adalah terkait dengan hak-hak Allah untuk diibadahi (seperti dimintai doa).
Demikianlah, dapat disimpulkan bahwa konsep
Tauhid Rububiyyah, Tauhid Uluhiyyah, dan Asma Wa Shifat, semua itu bukan
bid’ah, bukan sesat-menyesatkan, bukan akal-akalan kaum Wahabi, tetapi ia
adalah ajaran Syar’i dalam Islam. Andaikan ada istilah lain yang lebih tepat,
Islami, dan mewakili, tentu istilah itu tidak mengapa dipilih. Tetapi sejauh
kita mempelajari topik-topik ini, maka peristilahan yang sudah dibuat para
ulama selama ini, ia paling dekat kepada kebenaran. Dalilnya adalah Surat An
Naas :
“Rabbin naas”
“Malikin naas”
“Ilahin naas”
Kalau susah memahami, coba hafalkan Surat An
Naas dulu ya.. Kalau masih belum hafal juga, T E R L A L U !!
Semoga Allah memberi kemudahkan untuk
memahaminya.
Wallaahu Ta'ala A'lam bish shawaab.
Artikel terkait perlu dibaca :
Pembagian Tauhid Menurut Ahlus-Sunnah
wal-Jama'ah
Tauhid
Itu Mengesakan Alloh yang Satu, Kok Dibagi Tiga? [Dalil-dalil & Alasan
Pembagian Tauhid, Asal-Usul Pembagian Tauhid, Akibat Tidak Mau Membagi Tauhid
Menjadi 3]
Tauhid Itu Mengesakan Alloh yang
Satu, Kok Dibagi Tiga?