Jumat, 14 Agustus 2015, 16:00 WIB
Pada Senin, 30 Maret 2015, kami menghadiri
rapat Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bidang Kesejahteraan Rakyat
(Kesra). Rapat membahas tentang situasi keamanan negara dan kaitannya dengan
pengaruh paham Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Rapat dihadiri oleh berbagai pihak, antara lain, Bareskrim Polri, Densus 88,
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kementerian Agama, Lemhannas,
dan kami sendiri. Rapat ini dipimpin oleh anggota Wantimpres bidang Kesra.
Ada pernyataan yang menarik sekaligus mengejutkan yang disampaikan oleh
Lemhannas dalam forum tersebut. Ia mengatakan bahwa ketahanan nasional
Indonesia saat ini sudah berstatus lampu kuning. Pernyataan ini tentulah bukan
main-main karena disampaikan oleh lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu.
Hanya saja, dia tidak banyak memerinci tentang pernyataannya itu.
Ketika tiba giliran kami berbicara, kami menyampaikan bahwa dalam Islam
terdapat beberapa paham, antara lain, Ahlussunah waljamaah yang di skala
internasional disebut dengan Suni dan di skala nasional disebut juga dengan
Aswaja; Muktazilah; Khawarij; dan Syiah. Sebelum Perang Teluk 1991, hubungan
antara paham-paham itu normal saja. ( tidak ada penghujatan/pelaknatan terhadap Sahabat dan Istri Nabi sevulgar seperti sekarang ini. admin)
Suni merupakan paham mainstream dunia Islam, Syiah terlokalisasi di Iran dan
beberapa negara sekitarnya, Khawarij hanya tinggal sisa-sisa di Aljazair dan
Oman, dan Muktazilah merupakan paham yang belum berbentuk sebuah gerakan.
Setelah Perang Teluk terjadi, paham selain Suni tiba-tiba muncul dengan
bentuknya yang baru hampir di semua negeri Muslim.
Apabila kita melihat sejarah pertumbuhan dan fakta yang berkembang sampai saat
ini, dipastikan bahwa Islam yang dapat hidup berdampingan dan menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah paham Suni atau Ahlussunah waljamaah.
Paham lain, seperti Khawarij dengan gerakan terbarunya yang bernama ISIS, hanya
memberikan satu dari dua pilihan: kita ikut mereka atau kita dibunuh.
Dan celakanya, semua paham itu sering mengklaim dirinya sebagai Ahlussunah
waljamaah. Seperti pernah disiarkan, seorang deklarator ISIS di Indonesia
menegaskan bahwa ISIS adalah Ahlussunah waljamaah, bukan Khawarij. Awal 1990-an
di Malang, Jawa Timur, ada seorang berceramah yang menyatakan bahwa Syiah
adalah bagian dari Ahlussunah waljamaah. Kami juga mendapat info, konon di Cirebon
juga baru saja ada seminar tentang Syiah adalah bagian dari Ahlussunah
waljamaah.
Ada tiga ormas Islam terbesar dan paling berpengaruh di Indonesia yang
mengklaim diri sebagai pengusung Ahlussunah waljamaah. Klaim sebagai pengikut
Ahlussunah waljamaah, Suni, atau Aswaja, tampaknya perlu ditinjau kembali.
Secara organisatoris, barangkali hal itu dapat dibenarkan karena AD/ART
masing-masing menyebutkan hal itu.
Namun, kalau dilihat secara individual, khususnya bagi oknum-oknum ormas-ormas
tersebut, tampaknya klaim sebagai Suni sudah tidak relevan lagi. Ahlussunah
waljamaah adalah kelompok yang dalam beragama mengikuti sunah Nabi dan jamaah
para sahabat. Atau menurut istilah Rasulullah SAW adalah ma ‘alayhi ana wa
ashhabi, yaitu cara beragama yang dipegang oleh Nabi dan para sahabatnya.
Saat ini, banyak oknum dari ormas-ormas Islam yang justru sudah menyimpang dari
paham Ahlussunah waljamaah. Misalnya, ada oknum yang mempromosikan bahwa Syiah
adalah bagian dari Ahlussunah waljamaah. Padahal, sebagian dari Syiah itu
bertuhan kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib atau berkeyakinan bahwa Ali bin Abi
Thalib lebih mulia dari Rasulullah SAW.
Oknum yang berpendapat bahwa semua agama itu mengajarkan adanya surga, tapi
tidak diketahui mana yang benar dari ajaran tersebut. Ada juga oknum yang
berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama akan sama-sama masuk surga. Surga
hanyalah ibarat hotel di mana ada kamar untuk Muslim, kamar untuk Kristiani,
kamar untuk Yahudi, dan lain sebagainya.
Ada juga oknum yang berpendapat bahwa wukuf di Arafah dapat dilakukan kapan
saja dan tidak wajib pada 9 Dzulhijah. Ada juga oknum yang jauh-jauh hari sudah
mendeklarasikan dirinya sebagai calon ketua umum ormasnya, membuat tim sukses,
dan lain sebagainya. Bahkan, ada juga oknum yang menyebarkan political money
untuk memuluskan pencalonan dirinya dan atau orang yang didukungnya, serta ada
juga oknum yang berkolaborasi dengan pihak teroris.
Semua itu tentu bukanlah ajaran Ahlussunah waljamaah atau Aswaja, melainkan
ajaran Aswajah (ahlus su’ wal jah alias orang-orang buruk dan gila pangkat).
Apabila oknum-oknum itu kemudian menjadi petinggi-petinggi ormas Islam di
Indonesia, ketahanan nasional yang dinyatakan oleh Lemhannas tadi sebagai lampu
kuning, akan berubah menjadi lampu merah. Dan, saat itulah kehancuran Islam dan
NKRI datang.
Umat Islam Indonesia wajib belajar dari tragedi Irak, Suriah, Yaman, dan
lain-lain. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada umat Islam Indonesia
sehingga lampu yang akan menyala adalah lampu hijau, bukan lampu merah.
Ali Mustafa Yaqub
Imam Besar Masjid Istiqlal