Bendera Islam Nusantara Semakin Berkibar
Oleh: Ustadz Yusuf Utsman
Baisa
Bendera Islam Nusantara yang diusung oleh kaum
liberalis semakin berkibar karena mendapat dukungan yang semakin luas, baik
dari tokoh-tokoh liberal secara individual ataupun dari lembaga swasta dan
pemerintah yang semakin dikuasai oleh kalangan liberalis.
Perhelatan besar muktamar NU telah behasil merenggut
perhatian banyak orang, karena dipenuhi dengan hal-hal yang kontroversial,
bahkan menjadi ajang perebutan kepentingan politik dengan menggunakan cara-cara
yang tidak islamy, sehingga membuat Gus Sholah - sebagai tokoh besar mereka
saat ini - menangis dalam meratapi kenyataan yang mengenaskan ini.
Hal yang paling mengejutkan pada muktamar NU kali ini
adalah, diusungnya bendera Islam Nusantara secara terang-terangan sebagai icon
besar-besaran mereka.
Ternyata fenomena ini berlanjut terus sampai kepada
aksi kalangan liberalis yang sedang menjadi para pejabat penting di Kementerian
Agama Pusat.
Pada tanggal 19 agustus 2015 Kementerian Agama melalui
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam dalam surat edaran mereka bernomor :
Dj.I/Dt.I.IV/1/PP.00.9/3012 /2015, menjanjikan program bantuan Rp 50.000.000
bagi setiap penulis yang mundukung Islam Nusantara.
Hal ini menandakan betapa kuatnya pengaruh kalangan
liberalis di kalangan NU dan di Kementerian Agama, sehingga mereka berani
dengan tegar dan terang-terangan mendukung konsep Islam Liberal yang sangat
mengancam kemurnian ajaran Islam ini.
Semestinya mereka bersikap bijak dan proporsional dan
tidak gegabah seperti itu, karena mereka adalah kalangan intelektual yang
mengerti betul kemana arah dari konsep “Islam Nusantara”, atau minimal mereka
menunggu sampai jadi jelas apa yang dimaui? dan apa yang dimaksudkan dengan
“Islam Nusantara”?.
Secara esensial pengamalan Islam pada sebuah komunitas
– di Indonesia misalnya – akan memaknai dua hal yaitu pengamalan idiologi atau
pengamalan budaya.
Islam sebagai konsep idiologi tentunya tidak bisa dinusantarakan, karena datang
dari Alloh dan RosulNya, bukan buatan manusia yang bisa dinamai “budaya”.
Ajaran Islam adalah dien – yang dibahasa indonesiakan
jadi agama – sudah pasti tidak bisa disamaikan dengan budaya, karena budaya
adalah adat istiadat dan peradaban yang dihasilkan oleh akal-budi manusia.
Orang yang ikut-ikutan kepada pemahaman para
orientalis barat akan menganggap agama adalah kultur (culture) yang artinya
budaya.
Justru disinilah letak persimpangan jalan dalam
permasalahan ini, dimana muslimin meyakini bahwa ajaran Islam landasannya
adalah wahyu yang mampu mengantarkan manusia kepada “kebenaran mutlak”.
Sementara kalangan liberalis berpegang teguh dengan
keyakinan para filsuf yang menganggap tidak ada “kebenaran mutlak”, sehingga
yang ada hanyalah pendapat dan penilaian yang bisa benar dan bisan pula salah
(relative).
Kebenaran ajaran Islam dijamin dengan harta dan nyawa
kaum muslimin di seluruh dunia, mereka siap menjadi korban dalam menjamin
kebenaran Islam.
Kekuatan kebenaran ajaran Islam melebihi putusan
majelis hakim di Pengadilan dan melebihi kata mufakat yang terbit pada sidang
DPR dan MPR.
Landasan kebenaran Islam yang pertama adalah Kitab
Alloh yang terjaga kesuciaannya hingga hari ini, tidak ada turut campur manusia
kedalamnya.
Landasan kebenaran Islam yang kedua adalah Al-Hadits
yang ungkapannya datang dari Rosululloh sebagai manusia yang telah terbukti amanah
dan kejujurannya, namun makna dan maksudnya datang dari Alloh yang selalu
menjaga dan melindunginya.
Landasan kebenaran Islam yang ketiga adalah Ijmak atau
kesepakatan para Ulama Mujtahidin, dimana tidak mungkin mereka bersepakat dalam
kesesatan dan kesalahan.
Landasan kebenaran Islam yang keempat adalah hasil
ijtihadnya Para Ulama yang memenuhi syarat untuk berijtihad, sehingga ilmu dan
hikmah mereka dinilai mampu mendekati dan menyerupai kebenaran pada Kitab
Alloh, Al-Hadits dan Ijmak para Ulama.
Keempat landasan inilah yang menjadikan Islam mampu
mempersatukan muslimin dalam hal-hal yang prinsip (Ushul) dan mengantarkan
mereka kapada kesadaran yang tinggi dalam menanggapi perbedaan pendapat dalam
cabang-cabang permasalahan (Furu’).
Sementara Islam Nusantara tidak memiliki Landasan
Kebenaran yang sedemikian ketatnya, konsepnya semata-mata berpijak kepada
budaya pada suatu komunitas, salah satunya adalah Nusantara, sehingga akan
berbeda dengan Islam di Timur Tengah dan lain-lainnya.
Tak ubahnya mereka itu seperti Abrahah yang berambisi
menghancurkan Ka’bah, akibatnya harus berhadapan dengan Alloh Ta'ala.
Begitupula ajaran Islam inipun adalah milik Alloh yang
dijaga dan dilindungi olehNya, maka kaum liberalispun mesti berhadapan dengan
Alloh yang sangat mengetahui kelemahan mereka.*
Sebelum “Islam Nusantara” diusung oleh
orang-orang liberal dan bahkan tampaknya didukung oleh Kementerian Agama,
sebenarnya dapat dilihat ke belakang. Siapa penggagasnya, dan dengan cara apa
dia memasarkannya.
Generasi tua mungkin masih
ingat kasus ramai adanya tokoh yang ingin mengganti Assalamu’alaikum dengan
selamat pagi.
Ilustrasi. Tulisan Jawa:
Aja Dumeh (jangan mentang-mentang). Fotohttp://maskurmambang.com
Umat Islam pun ramai.
Masa’, misalnya orang shalat, mengakhirinya dengan asaalamu’alaikum (tengok ke
kanan), assalamu’alaikum (tengok ke kiri); lalu diganti dengan selamat pagi
(tengok ke kanan), selamat pagi (tengok ke kiri).
Namun tokoh pencetus itu
tetap bertahan dengan mengucapkan: Menurut saya, selamat pagi, selamat sore atau apa kabar itu sama saja Islamnya dengan assalamu ‘alaikum. ….. (Majalah Amanah,
No. 22, 1987, hlm. 39).
Apakah pencetus yang
berupaya mengganti assalamu’alaikum dengan ucapan selamat pagi itu dianggap
sebagai “nabi” Islam Nusantara? Belum ada keterangan.
Untuk menelusuri kelompok
yang akrab dengan pencetus digantinya assalamu’alaikum itu, dan bagaimana
ketidak jujuran mereka, mari kita simak artikel berikut ini.
***
Posted
on Oct 19th, 2008
Intelektual Tapi Dusta dan
Mencaci
Oleh Hartono Ahmad Jaiz
Tabligh Akbar di Masjid
Al-Furqan Dewan Dakwah Jakarta, Jum’at 17 Oktober 2008M/ 17 Syawal 1429H,
membahas tentang dusta Faraq Fouda (orang sekuler Mesir yang dibunuh tukang
ikan, 8 Juni 1992). Sudah berdusta, masih mencaci sahabat Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam lagi.
Asep Sobari, Lc. Peneliti
bidang sejarah di Institute for the Study of
Islamic Thought and
Civilizations (INSISTS) menulis:
MEMUJA FOUDA, MENFITNAH
SAHABAT
Belum lama ini, Yayasan
Wakaf Paramadina bekerjasama
dengan penerbit Dian
Rakyat menerbitkan edisi
Indonesia sebuah buku
berjudul “Kebenaran yang
Hilang : Sisi Kelam
Praktik Politik dan Kekuasaan dalam
Sejarah Kaum Muslimin”,
karya Farag Fouda (Judul
aslinya: al-Haqiqah
al-Ghaybah). Selanjutnya judul
buku ini disingkat KYH.
Dari judulnya, bisa
ditebak, buku ini mengangkat apa
yang oleh penulisnya
disebut sebagai sisi kelam dari
sejarah Islam. Jika kaum
Muslim menyebut zaman
Khulafaurrasyidin sebagai
masa yang ideal, maka Fouda
meggambarkan sebaliknya.
Menurut Fouda, zaman itu
bukanlah masa ideal, tapi
“zaman biasa”. “Tidak
banyak yang gemilang dari
masa itu. Malah, ada
banyak
jejak memalukan.”
(hal.xv).
Mungkin karena itulah,
kaum liberal di Indonesia
sangat bergairah dengan
terbitnya buku ini. Pada
sampul depan ditulis
pujian Prof. Dr. Azyumardi Azra
yang dikenalkan sebagai
Guru Besar Sejarah dan
Direktur Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah.
Terhadap buku ini, Prof.
Azra berkomentar:
“Karya Farag Fouda ini
secara kritis dan berani
mengungkapkan realitas
sejarah pahit pada masa Islam
klasik. Sejarah pahit itu
bukan hanya sering tak
terkatakan di kalangan
kaum Muslim, tapi bahkan
dipersepsikan secara
sangat idealistik dan romantik.
Karya ini dapat menggugah
umat Islam untuk melihat
sejarah lebih objektif,
guna mengambil pelajaran bagi
hari ini dan masa depan”.
Pada sampul belakang,
dimuat komentar Prof. Dr.
Syafi‘i
Maarif yang dikenalkan sebagai Guru Besar
Filsafat Sejarah,
Universitas Nasional Yogyakarta
(UNY). Lebih bergairah
dari Profesor Azra, Profesor
Syafi’i Maarif terkesan begitu terpesona oleh
karya
Faouda ini, sehingga dia
berkomentar:
“Terlalu
banyak alasan mengapa saya menganjurkan Anda membaca buku ini. Satu hal yang
pasti: Fouda menawarkan “kacamata” lain untuk melihat sejarah Islam. Mungkin
Fouda akan mengguncang keyakinan Anda tentang sejarah Islam yang lazim
dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain kecuali meminjam “kacamata” Fouda
untuk memahami sejarah Islam secara lebih autentik, obyektif dan komprehensif” .
Pada bagian lain, Asep
berkomentar:
Fouda menulis bahwa Usman
dimakamkan di areal
pekuburan Yahudi (KYH,
hal. 26). Keterangan tersebut
tidak tercantum dalam
redaksi riwayat al-Waqidi yang
dikutip Fouda. Bahkan juga
tidak terdapat dalam
riwayat-riwayat lain yang
disebut al-Thabari.
Penjelasan
semacam itu tentu sangat fatal, sebab siapa
pun akan membayangkan,
Usman radhiyallahu ‘anhu dimakamkan bukan di
pemakaman Islam, tetapi di
pemakaman Yahudi. Inilah
salah satu fitnah dan
kejahatan besar yang dilakukan
Fouda dalam
melecehkan menantu Rasulullah shalllahu
‘alaihi wa sallam dan
salah satu sahabat Nabi
terkemuka. Maka, aneh sekali,
jika manusia seperti Fouda
ini justru didukung dan
dibanggakan oleh dua
sejarawan terkemuka di Indonesia
seperti Azyumardi Azra dan Syafii Maarif. (insistnet@yahoogrou ps.com, Subject: [INSISTS]
MEMUJA FOUDA, MENFITNAH SAHABAT, Wednesday, October 15, 2008 11:26 AM)
Gerombolan
tidak jujur memuji pemfitnah
Sejatinya yang terjadi
adalah gerombolan orang-orang tidak jujur beramai-ramai mengusung fitnah dari
orang yang tidak jujur pula sambil mencaci sahabat Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Menghadapi yang semacam
ini perlu mengetahui watak mereka. Di antaranya adalah menyembunyikan sesuatu
dan membuat dusta atau pengelabuhan. Contoh kecil yang bergaya obyektif pun
telah terimbas sikap menyembunyikan sesuatu, di antaranya ada dosen IAIN Sunan
Ampel Surabaya, AM, kuliah di Australia. Dia wawancara ke beberapa orang
di Jakarta termasuk saya beberapa waktu lalu untuk karya ilmiyahnya.
Materinya tentang perdebatan antara pemahaman dari Dewan Dakwah terutama
Majalah Media Dakwah berhadapan dengan Paramadina. Ternyata setelah saya baca
hasil postingannya di Paramadina, hanyalah memfokuskan umpatan yang dilontarkan
dalam perdebatan yang berlangsung selama ini. Lafal-lafal semacam pemurtadan
dan semacamnya itu disebut sebagai umpatan. Kemudian disimpulkan, bahwa lantaran
perdebatan itu disertai dengan umpatan, maka hasilnya tidak maksimal. (kurang
lebihnya seperti itu).
Lhah?
Kalau toh dia menyimpulkan
seperti itu ya terserah. Tetapi justru yang disorot sebagai melontarkan umpatan
itu hanya dari Media Dakwah (Dewan Dakwah). AM telah menyembunyikan umpatan
yang jelas-jelas umpatan lagi berdusta yang dilontarkan Nurcholish Madjid (dan
dimuat di Media Dakwah pula, tentu termasuk dia teliti), baik terhadap saya
yang oleh Nurcholish Madjid disebut sebagai wartawan tengik, maupun kepada
Ridwan Saidi yang disebut tainya sendiri tega untuk disuapkan ke orang lain.
(dimuat di Majalah Editor pimpinan Su’bah Asa, ungkapan Nurckholish Madjid
hasil wawancara wartawan Rahmat Hadibae). Itu semua disembunyikan oleh peneliti
dari IAIN Sunan Ampel Surabaya itu. Padahal yang dia bicarakan tentang umpatan.
Lha kok umpatan dari Nurcholish yang sangat jelas itu tidak dia kemukakan?
Jadi yang tampat obyektif
pun menyembunyikan sesuatu, padahal justru yang penting. Sehingga dikesankan,
Nurcholish Madjid itu seolah adalah lembut, sopan dan sebagainya, sedang
lawannya itu kasar, vulgar, garang dan sebagainya. Semua itu adalah … ya
begitulah.
Peristiwa-peristiwa pun
biasanya dapat mereka plintir ataupun gugat. Misalnya, kenapa ini tidak
menghadirkan pihak Nurcholish Madjid? Kenapa hanya satu sisi saja?
Ungkapan itu tak tahu
diri. Ketika mereka menyebarkan cacian terhadap Sahabat Nabi saw, mereka tidak
konfirmasi dulu kepada ahlinya yang jujur. Ketika mereka menyebarkan pujian
kepada penghujat sahabat Nabi saw pun tidak berdampingan untuk dapat dijawab
oleh ahlinya yang jujur. Langsung disebarkan saja tanpa disertakan bantahannya
sama sekali.
Bagaimanapun, kedustaan
secara melek mata pun dilakukan. Bahkan itu saya alami sendiri. Ketika saya
bedah buku yang saya tulis, Ada Pemurtadan di IAIN,
di UIN Jakarta, 16 April 2005, berhadapan dengan Ulil Abshar Abdala dari JIL
(Jaringan Islam Liberal), dan Abd Mouqsith Ghazali dari UIN Jakarta; ternyata
saya difitnah langsung secara dusta. Mouqsith mempertanyakan apakah saya masih
ada imannya, dan di mana akhlaqnya. Dia kemukakan bahwa saya nulis lafal si jompo untuk
isterinya Gus Dur di buku itu. padahal sama sekali tidak ada si jompo dalam
buku yang dia pegang di samping saya itu. Maka tentu saja saya bantah.
Bagaimana ini. Siapa yang dusta? Saya tidak menulis si jompo,
dituduh menulis. Sedang yang mengajak dzikir dengan lafal anjing hu Akbar justru
Mouqsith bela. Ini bagaimana?
Itulah akhlaq mereka.
Ketika kita ada di
sampingnya, dan bukunya pun ada saja mereka dapat membuat-buat dusta untuk
memfitnah. Apalagi kondisi yang lainnya.
Sebagai salah satu
bukti bahwa mereka itu gerombolan dusta dan suka memfitnah, berikut ini saya
ulang kembali contohnya yang menyangkut diri saya.
Dalam buku Hartono Ahmad
Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia dimuat
tentang bukti nyata ketidak jujuran pendiri Paramadina, Nurcholish Madjid,
sebagai berikut:
TOKOH INI TIDAK
JUJUR
Kalimah Thoyyibah Laa ilaaha
illallaah diterjemahkan secara resmi dalam makalah
Dr. Nurcholish Madjid menjadi: Tiada tuhan (t kecil) selain
Tuhan (T besar). Terjemahan ini diprotes
oleh seorang peserta seminar dengan menyebut terjemahan
itu hukumnya haram. Seminar itu diselenggarakan Harian Pelita di
Jakarta, 1 April 1985.
Kemudian
Hartono Ahmad Jaiz (HAJ) mempersoalkan terjemahan
yang ditulis Nurcholish Madjid (NM): “Tiada tuhan
(t kecil) selain Tuhan (T besar)” itu di Harian Pelita, Jakarta,
3 April 1985. Namun belakangan, setelah NM “diadili” di TIM
(Taman Ismail Marzuki) Jakarta oleh Daud Rasyid MA. (alumni
Universitas Kairo) dan Drs. H. Ridwan Saidi (teman NM di HMI) dalam
pengajian 13 Desember 1992, kemudian selama setahun lebih
terjadi polemik. Hingga Prof. Dawam Rahardjo tampak membela mati-matian
terhadap NM. Kabarnya, Dawam sampai mengatakan bahwa semua itu gara-gara
HAJ, yang membuat fitnah terhadap pemikiran Nurcholish.
Dalam suatu pertemuan
syukuran atas suksesnya Azyumardi Azra
meraih gelar doktor dari Universitas Columbia Amerika Setikat, Dawam Rahardjo
selaku pembicara, mengisahkan bahwa tidak ada tulisan NM tentang “Tiada tuhan
selain Tuhan” itu. Jadi itu hanya interpretasi HAJ saja, dan kemudian diberitakan. Kata
Dawam, masalah ini telah ia tanyakan kepada Pak EBA (Endang Basri Ananda) di
LP3ES.
Dalam pertemuan itu,
menurut seorang wartawan Panji Masyarakat, terjadi dialog, dan ada
seorang wartawan Tempo/Gatra mengharapkan untuk mencek
dulu. Belum tentu si wartawan (HAJ) berbuat begitu.
Kabar itu pun HAJ
sampaikan kepada Pak EBA. Kagetlah pak EBA dengan mengucapkan, “Itu
namanya kudung lulang macan”. (Itu namanya berkerudung kulit macan). Maksudnya,
mencatut nama orang lain sebagai tameng. Pak EBA menjelaskan, “Saya tidak
mengatakan begitu. Yang saya katakan, di perpustakaan LP3ES tidak ada makalah
NM itu. Jadi bukan berarti saya menjelaskan bahwa NM tidak menulis seperti
itu.”
Beberapa minggu kemudian,
Dawam Rahardjo menelepon HAJ, menanyakan apakah ada makalah NM yang menulis
“Tidak ada tuhan selain Tuhan” itu. HAJ menjawab, “ada”. Lalu Dawam minta
dicopikan, kemudian diambil oleh utusannya.
Itulah mutu pembela
Nurcholish Madjid, yang diperankan oleh Prof. Dawam Rahardjo. Namun, masih agak
sopan sedikit dibanding Nurcholish Madjid sendiri. Karena Dawam
Rahardjo tidak sampai mengumpat.
Lain dengan Prof. Dr.
Nurcholish Madjid. Justru lebih galak lagi, pakai mengumpat, berbohong, dan
diucapkan kepada orang-orang yang kenal dengan obyek yang dicaci maki. Sedang
Nurcholish bertindak sebagai pembela Gus Dur alias Abdurrahman Wahid, menjelang
jadi Presiden.
Kisahnya, di Departemen
Agama ada acara penandatanganan kerjasama penelitian antara Pascasarjana
Paramadina Mulia dan Departemen Agama (Balitbang). Upacara resmi itu dihadiri
para pejabat Depag dan pimpinan Paramadina Mulia serta sejumlah
wartawan elektronik dan cetak. Di situ Nurcholish menyampaikan kata sambutan,
selaku pimpinan Paramadina. Ketika pembicaraan sampai kepada tentang Gus Dur,
–yang saat itu partai-partai baru setelah reformasi sedang gencar bersiap-siap
untuk kampanye– lalu menyangkut masalah “assalamu’alaikum” yang oleh Gus Dur
mau diganti dengan selamat pagi. Kata Nurcholish, itu semua gara-gara wartawan tengik (tidak langsung
menyebut namanya, tetapi menanyakan kepada hadirin, lalu ada wartawan yang
menyebut nama –Hartono?–) Yaa… kata
Nurcholish. Ya wartawan tengik itu
yang membikin-bikin….
Lalu Nurchlish membuat
cerita bohong. Kata NM, Gus Dur ditanya oleh Pak Siswono Yudohusodo
(salah seorang menteri Orde Baru) bahwa dirinya tidak fasih mengucapkan
assalamu’alaikum, kalau mau berpidato.Lalu dijawab Gus Dur, ya cukup dengan
selamat pagi saja. Tahu-tahu diberitakan oleh wartawan tengik itu bahwa Gus
Dur akan mengganti assalamu’alaikum dengan selamat pagi.
Cerita bohong dan umpatan
Nurcholish Madjid itu dalam tempo kira-kira seperempat jam setelah itu ternyata
sampai di kuping Hartono Ahmad Jaiz (HAJ) lewat beberapa wartawan
diantaranya dari SCTV danPelita. Dan HAJ menjelaskan
kepada penyampai berita itu, bahwa NM itu bohong besar. Karena, HAJ mendengar
itu dari rekaman wawancara Edy Yurnedi wartawan Majalah Amanah yang
mewawancarai Gus Dur, dan juga membaca Majalah Amanah No.
22 tahun 1987 hlm. 39. Isi wawancara itu di antaranya sebagai berikut:
Amanah: Beberapa waktu yang lalu Anda
pernah mempopulerkan istilah “mempribumikan Islam,” apa maksudnya?
Abdurrahman Wahid: Yah, selama
ini kan Islam di Indonesia terlalu melihat kepada Timur Tengah.
Sebagai contoh kalau dulu kita membangun masjid harus memakai kubah. Padahal
bangsa kita sudah memiliki bentuk arsitektur yang lebih sesuai dengan budayanya
sendiri dan mengandung makna yang mendalam. Lalu tentang ucapan assalamu’alaikum, kenapa
kita merasa bersalah kalau tidak mengucapkan assalamu’alaikum. Bukankah ucapan itu bisa
saja kita ganti saja dengan selamat pagi atau apa kabar, misalnya…
Lalu Amanah masih
bertanya:
Amanah: Bukankah itu
(assalamu’alaikum) juga untuk menunjukkan identitas keislaman kita?
Abdurrahman Wahid: Justru di sini saya
nggak setuju. Untuk menunjukkan identitas Islam saja kok harus
begitu. Menurut saya, selamat pagi,
selamat sore atau apa kabar itu sama saja Islamnya dengan assalamu ‘alaikum. ….. (Amanah,
No. 22, 1987, hlm. 39).
Edy
Yurnedi sendiri menjelaskan hal-hal yang ada dalam rekaman wawancara dan yang
ia tulis itu kepada HAJ, di kantor MUI (Majelis Ulama Indonesia) di Abdurrahman Wahid
Jadi, akhlaq Nurcholish
Madjid seperti itu. Untuk mendukung seseorang, sampai berani berbohong,
memfitnah, dan bahkan mengumpat orang lain. Di acara resmi lagi ilmiah. Di
acara penandatanganan kerjasama lembaga-lembaga ilmiah.
Kalau menurut ilmu Rijalul Hadits (tokoh-tokoh/periwayat
hadits Nabi), periwayat yang berani dusta (apalagi terang-terangan berbohong di
depan umum, memfitnah, dan bahkan mengumpat) seperti itu, maka seluruh hadits
yang diriwayatkan si bohong itu jadi batal. Tidak dipakai. Sedang orangnya pun
disebut sebagai pembohong alias tidak jujur.
Hal semacam itu tampaknya
sudah menjadi sikap. Contohnya, ketika NM menjadi pembicara di PBNU tentang
kitab Al-Ibanah karangan Imam Abul Hasan
Al-Asy’ari, NM mengkritik tajam terhadap Asy’ari. Dalam bulan itu pula kemudian
NM jadi pembicara di kalangan Majelis Taklim pimpinan Tutty Alawiyah di YTKI
Jakarta, tentang Asy’ariyah, NM memuji-muji Asy’ari. Lantas ditanya oleh
peserta, kenapa NM di PBNU mengkritik Asy’ari, tetapi di sini memujinya? Lalu
NM berkilah, likulli maqam maqal. Itulah
sikap mencla-menclenya tokoh ini. (red). (Majalah Media Dakwah, Mei
2001). (Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia,halaman
189).
Demikianlah
ketidak jujuran mereka. Maka pas dan klop: Nurcholish Madjid pendiri Paramadina
itu jelas intelektual tapi dusta dan mencaci, kini paramadina-nya menerbitkan
buku Faraq Fouda yang isinya juga dusta dan mencaci, sedang yang dicaci sahabat
Nabi Muhammad saw lagi. Ditambah lagi dengan pemujinya yakni Proffesor Doktor
Azyumardi Azra dan Proffesor Doktor Ahmad Syafii Maarif, memuji pendusta dan
pencaci sahabat Nabi saw. Itulah gerombolan dusta dan mencaci.
Kemungkinan tabligh akbar
di Masjid Dewan Dakwah Jakarta ini akan menakutkan orang-orang yang
merasa dirinya segerombolan dengan Faraq Fouda. Bahkan ketakutan itu pernah
dilontarkan pula oleh Dawam Rahardjo dalam kasus Ulil Abshar Abdalla menulis di
Kompas, 18 November 2002M berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”.
Kemudian Ulil Abshar Abdalla (35 tahun saat itu) kordinator JIL (Jaringan Islam
Liberal) di Jakarta diadukan ke polisi oleh FUUI (Forum Ulama Umat Islam) dari
Bandung pimpinan KH Athian Ali Muhammad Da’i, Desember 2002/ Syawal 1423H,
karena dinilai telah menghina Islam lewat tulisannya itu, di antaranya karena
menegaskan bahwa tidak ada hukum Tuhan.
Dalam
buku Menangkal Bahaya JIL dan FLA (Hartono
Ahmad Jaiz) dikemukakan kekhawatiran Dawam terhadap Ulil, jangan-jangan nasib
Ulil akan seperti Faraq Fouda, di antaranya dengan ‘menasehati’ Ulama:
Pembelaan
Dawam Rahardjo terhadap Ulil Abshar Abdalla agak lain lagi. Ketika di televisi Metro TV,
Senin malam (23/12 2002), Dawam Raharjo yang telah dikecam oleh para ulama
Indonesia dan luar negeri karena menghadirkan penerus nabi palsu Ahmadiyah,
Tahir Ahmad, dari London ke Jakarta tahun 2000 masa pemerintahan Gus Dur ini sok “menasihati” para ulama, agar berhati-hati kalau
berfatwa. Karena seperti kasus di Mesir, kata
Dawam, di antaranya Faraq Fouda (tokoh sekuler tahun 1990-an, model JIL atau
kelompok liberal, pen) dibunuh (oleh tukang ikan di Mesir, 8 Juni 1992) itu di
antaranya karena fatwa ulama, menurut Dawam Rahardjo. Pembelaan Dawam itu
diucapkan di samping Ulil Abshar Abdalla yang berbicara langsung di Metro TV.
Sementara itu Dawam Rahardjo sendiri tidak bisa/ tidak menjawab semprotan KH
Athi’an dari Bandung (lewat telepon) yang mempersoalkan kenapa Dawam
Rahardjo menyebut Al-Qur’an itu filsafat.
Terlepas
dari itu semua, Allah Ta’ala telah mengingatkan:
وَلَيَحْمِلُنَّ أَثْقَالَهُمْ
وَأَثْقَالًا مَعَ أَثْقَالِهِمْ وَلَيُسْأَلُنَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَمَّا
كَانُوا يَفْتَرُونَ(13)
Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa)
mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri,
dan sesungguhnya mereka akan ditanya pada hari kiamat tentang apa yang selalu
mereka ada-adakan. (QS Al-‘Ankabut: 13).
(nahimunkar.com)