Sunday, August 30, 2015

Turunya Allah ke Langit Dunia ( Bagian 3/ Comments )

65 Comments Already :

Yusuf Abu Ubaidah - May 6th, 2010 at 12:52 pm
Untuk akhi w. Kassim.
1. Anda mengakui sendiri bahwa bantahan anda tidak ilmiyah, yaitu dalam ucapan anda “Maka untuk menolaknya pun tidak perlu ilmiyah”. Maka saya sarankan kepada saudara untuk lebih mempelajari lagi. Barangkali ini adalah komentar terakhir saya. Dan bila anda berkomentar lagi tanpa bukti ilmiyah, maka saya mohon maaf bila saya meminta kepada admin untuk tidak mencantumkan komentar antum, karena kami tidak ingin membuang-buang waktu dengan perdebatan yang tidak ilmiyah.
2. Sepertinya syubhat yang melekat di pikiran saudara untuk menolak hadits ini adalah karena bumi ini bulat sehingga mustahil karena Allah turun seprtiga malam terakhir, bahkan anda berani mengatakan mungkin ulama tidak mengetahui geografi bumi itu bulat, bahkan lebih konyol lagi anda sampai mengaka..maka Tuhanlah yang tidak tahu bahwa bumi ini bulat. Astaghfirullah, kok ada ya orang muslim ngomong kayak gini?! Jujur, geli bulu kudukku membaca ucapan kotor seperti itu. Bagaimana anda mengatakan bahwa ulama tidak mengetahui bahwa bumi itu bulat, sedangkan mereka telah bersepakat kalau bumi itu bulat sbelum anda dilahirkan oleh ibu anda ke muka bumi. Imam Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya “Al-Fishol fil Milal wa Nihal” Juz 2 hal 97: “Pasal penjelasan bulatnya bumi. Tidak ada satupun alim dari imam kaum muslimin -semoga Allah meridhoi mereka- yang mengingkari bulatnya bumi, dan tidak dijumpai bantahan satu kalimatpun dari salah seorang mereka, bahkan Al-Qur’an dan hadits telah menguatkan tentang bulatnya bumi…”
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa Juz 6 hal. 586 menjelaskan bahwa ijma’ (kesepakatan) ini telah dinukil oleh mayoritas para ulama’ kaum muslimin seperti Abul Husain Ahmad bin Ja’far Al-Munadi, Imam Abu Muhammad bin Hazm, Abul Faroj bin Jauzi. Para ulama tersebut menyandarkan pendapatnya dari para sahabat dan tabi’in. Mereka juga berdalil dengan Al-Qur’an dan Hadits”.
Nah, apakah setelah ini anda masih mengira bahwa ulama tidak mengerti geografi bumi itu bulat?!! Ataukah -maaf- anda yang asal bunyi tanpa bukti?!!
Adapun ucapan anda “maka Allah yang tidak tahu bahwa bumi ini bulat”. Ya kaumku, apa yang harus kita lakukan terhadap orang yang mengatakan ucapan kotor bahkan kufur ini?!! Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.
3. Syubhat yang melekat di pikiran anda ini adalah karena menggambarkan sifat turun bagi Allah itu seperti turunnya makhluk yang perlu pindah, gerak dll, sehingga anda memustahilkannya. Sudah sering saya katakan berkali-kali kepada anda: “Hilangkanlah pikiran seperti ini!! Jangan gambarkan Allah seperti makhluk!! Kewajiban kita hanya iman, adapun bagaimananya serahkan kepada Allah!!! karena tidak ada yang serupa dengan Allah sesuatupun. Dan anda juga belum menjawab pertanyaan saya dan semoga sekarang anda menjawabnya tanpa belok ke mana-mana: Apakah anda pecaya Allah itu ada? Tapi apakah anda tahu bagaimana Dzat Allah itu? Jawablah!!! Saya tidak perlu mengulang bantahan lagi yang sudah saya paparkan sebelumnya.
3. Ucapan anda mengomentari ucapan Imam Ahmad bin Hanbal “Barangsiapa menolak hadits Nabi maka dia di ambang kehancuran”. Anda berkata: Apakah itu bukti semi kehancuran negeri seperti indonesia ini karena menolak hadits. Kami jawab: Ya, tidak mustahil kalau sebab kemunduran dan kekacauan adalah karena adanya sebagian rakyat Indonesia yang menolak hadits shohih seperti anda ini -kecuali kalau anda mau bertaubat-.
Saudaraku, menolak hadits shohih sangat berbahaya sekali, sampai-sampai dahulu para ulama menghukumnya agar dibunuh. Imam Syafi’I bercerita: “Saya pernah berdebat dengan al-Marrisi tentang undian, lalu dia mengatakan bahwa undian adalah perjudian!! Maka saya dating kepada Abul Bakhtari seraya aku katakana padanya: “Aku mendengar al-Marrisi mengatakan bahwa undian adalah perjudian!! Lalu dia mengatakan: “Wahai Abu Abdillah (kunyah Imam Syafi’i), datangkanlah saksi lainnya lalu saya akan membunuhnya”. Dalam lafadz lainnya: “Datangkanlah saksi lainnya, niscaya saya akan mengangkatnya di atas pohon lalu menyalibnya”. (Diriwayatkan Al-Khollal dalam As-Sunnah 1735 dan Al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikhnya 7/60 dengan sanad yang shohih).
Maaf, bukan maksud kami meminta agara anda dihukum mati. Tapi hanya menjelaskan bahwa hukuman bagi orang yang menolak hadits sangatlah berat menurut ulama. Kami tetap mengharap dan berdoa agar anda mendapat hidayah karena kami yakin bahwa orang-orang seperti anda mengatakan seperti itu hanyalah karena kejahilan semata. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua. Amiin.

Andri Subandrio - May 31st, 2010 at 10:49 am
Seluruh permukaan bumi akan selalu pada keadaan dan waktu sepertiga malam secara berurutan , kalau Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir berarti Dia gak pernah naik langit ke langit bukan dunia, wallahu a’lam bishawab.

Sebetulnya dalam mengabulkan sesuatu atau tidak mengabulkan sesuatu Allah tidak perlu turun atau naik, dengan kehendak Nya, di manapun (tempat menurut Allah) Allah maha Kuasa untuk berbuat apapun, Innallaaha ‘alaa kuli syai-in qadiir

El-Muqtashida - June 7th, 2010 at 7:18 am
سبحانك اللهم و بحمدك أشهد أن لاإله إلا أن أستغفرك و أتوب إليك

Imam Nawawi - June 28th, 2010 at 9:42 am
1- Imam Abu hanifah:

لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه

Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah

“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’ala ber istiwa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak berada/menetap di atas Arasy, Dialah yg menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain, sudah pasti Dia tidak mampu mencipta dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum dicipta Arasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”.

Amat jelas di atas bahwa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam (duduk) Allah di atas Arasy.

Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.

2-Imam Syafii:

انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير

terjemahnya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari zaman azali) dan tempat (sewaktu) belum diciptanya (tempat), kemudian Allah menciptakan tempat dan Dia tetap dengan sifat-Nya yang azali itu sebagaimana sebelum terciptanya tempat, tidak mungkin Allah (mengalami) perubahan (dg butuh tempat). Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 hal. 23
3-Imam Ahmad bin Hanbal :

-استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر

Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifa’i dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.

وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه

Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahwa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya (Imam Ahmad) Kitab Fatawa Haditsiah karangan Ibn Hajar al- Haitami

4- Imam Malik :

الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة

Maknanya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif (bentuk) tidak diterima akal, dan iman dengannya wajib, dan bertanya tentangnya (bagaimana istiwanya Allah) adl bid’ah (dlolalah).

lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa (لاستواء) bukan memberikan makna dhahir jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar)

Kesimpulan:

dengan memperhatikan fatwa ke 4 imam madzhab Ahlussunnah wal jama’ah di atas, maka jelas aqidah mereka adalah aqidah yg benar dan lurus, menolak tajsim dan menolak pemberian sifat yang seperti makhluk-Nya seperti bertempat atau ada di arah tertentu.

Allah sudah ada sejak zaman azali (zaman sebelum terciptanya seluruh makhluk) dan kelak Allah tetap ada saat kiamat (zaman musnahnya seluruh makhluk), maka bisa kita pahami di zaman azali dan saat kiamat, langit dan arsy tidak ada, dan Allah tetap ada, mustahil bagi Allah mempunyai sifat butuh terhadap makhluk, seperti butuh tempat yaitu ‘Arsy, kalau Allah butuh tempat, maka tdk bisa disebut Tuhan, karena dg butuh akan tempat menunjukkan Dia lemah, dan mustahil Tuhan bersifat lemah.

semoga kita semua selalu dalam aqidah yang benar dan lurus, tidak sampai terpengaruh dg aqidah sesat mujassimah wahhaby yg menganggap Allah bertempat di atas ‘Arsy atau bertempat di atas langit. karena aqidah ini aqidah sesat, sangat mustahil langit dan Arsy yg merupakan makhluk Allah yg kecil dan terbatas (bagi Allah) menjadi tempat Dzat Yang Maha Besar, Yang Ke-besar-an-Nya tidak terbatas.

Ibnu Abi Irfan - June 28th, 2010 at 6:26 pm
Asy Syafi’i berkata : “Apabila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”

hamba yg dho'if - June 28th, 2010 at 7:25 pm
Amin ya akh Nawawi…

Semoga kita semua jg terhindar dari akidah asy’ariyah yg menyebutkan bahwa Allah Ta’ala ada dimana-mana…Amin ya Robbal alamin

Zaenal Arifin - July 3rd, 2010 at 11:16 am
Ana Mencukupkan diri bahwa ana beriman turunnya Allah kelangit dunia, tentang bagaimana turunnya itu urusan Alllah, Allah maha kuasa atas segala sesuatu,
Zaenal Arifin - July 3rd, 2010 at 11:19 am
izin share artkel di blag ana.

Abu Aisyah - July 6th, 2010 at 1:41 pm
Buat yang mengaku Imam Nawawi:

Inilah Perkataan Ulama 4 Madzhab yang ana yakini:

1. Sikap Keras Abu Hanifah Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah

Imam Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar,

من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر

“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.” [Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy.]

Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-, beliau berkata,

سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم

Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”.[QS. Thaha: 5.] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995.]

2. Imam Malik bin Anas, Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit

Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,

الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء

“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 138.]

Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,

جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به فأخرج

“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”[QS. Thaha: 5.]. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,

الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ

“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar.[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 378.]

Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.

3. Imam Asy Syafi’i -yang menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit

Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata,

القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد

“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165]

4. Imam Ahmad bin Hambal Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya

Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”[Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 176. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189.]

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,

ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض

“Apa makna firman Allah,

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ

“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.”[QS. Al Hadiid: 4]

مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.”[QS. Al Mujadilah: 7]

Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.”

Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,

قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116]

Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya,

كيف نعرف ربنا

“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab,

في السماء السابعة على عرشه

“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,

هكذا هو عندنا

“Begitu juga keyakinan kami.”[Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118]

Kami tutup tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan Abu Nu’aim Al Ash-bahani, penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah berkata, “Metode kami (dalam menetapkan sifat Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As Sunnah dan ijma’ (konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang dipegang oleh mereka (para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan mereka meyakini bahwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Mereka menetapkan hal ini tanpa melakukan takyif (menyatakan hakekat sifat tersebut), tanpa tamtsil (memisalkannya dengan makhluk) dan tanpa tasybih (menyerupakannya dengan makhluk). Allah sendiri terpisah dari makhluk dan makhluk pun terpisah dari Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur dengan makhluk-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan bukan menetap di bumi ini bersama makhluk-Nya.”[Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/60, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.]

Kesimpulannya:

Orang yang menuduh Salafiyun sebagai Wahhaby mujassimah adalah orang yang tidak paham dengan apa yang mereka tuduhkan….. Betul Tidak????!

Ravi Abadi - July 9th, 2010 at 10:04 am
Begitulah saudara kita Imam Nawawi ini. Di facebook pun, beliau sibuk menebar syubhat dan kebencian terhadap ikhwan2 bermanhaj salaf. Oleh beliau semua dibalik, yang bid’ah menjadi sunnah, yang sunnah di bilang bid’ah.
Maka inilah ciri khas Asy Ariyah maturidiyyah.
Allahul musta’an.

Ibnu Abi Irfan - July 9th, 2010 at 5:28 pm
demikian pula aqidah para sahabat radhiallohu ‘anhum

1.     Abu Bakr As Shiddiq radliyallohu ‘anhu
Ketika Rosululloh shollallaahu ‘alaihi wasallam meninggal, Abu Bakr As Shiddiq rodliyallohu ‘anhu menyatakan: “Wahai sekalian manusia! Jika Muhammad adalah sesembahan kalian yang kalian sembah, sesungguhnya sesembahan kalian telah mati. Jika sesembahan kalian adalah Yang berada di atas langit, maka sesungguhnya sesembahan kalian tidak akan mati.” (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah)

2.     Abdulloh bin Mas’ud rodliyallohu ‘anhu
Ibnu Mas’ud rodliyallohu ‘anhu menyatakan: “Antara langit dunia dengan (langit) berikutnya sejauh perjalanan 500 tahun, dan antara 2 langit sejauh perjalanan 500 tahun, antara langit ke-7 dengan Al Kursiy 500 tahun, antara Al Kursiy dengan air 500 tahun, dan ‘Arsy di atas air, dan Alloh Ta’ala di atas ‘Arsy dalam keadaan Dia Maha Mengetahui apa yang terjadi pada kalian” (diriwayatkan oleh Ad Darimi)

3. Zainab bintu Jahsy radliyallohu ‘anha
Dari Anas bin Malik rodliyallohu ‘anhu, bahwa Zainab binti Jahsy radliyAllohu ‘anha berbangga terhadap istri-istri Nabi yang lain, ia berkata: “Kalian dinikahkah oleh keluarga kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Alloh dari atas tujuh langit”. Dalam lafadz lain beliau berkata: “Sesungguhnya Alloh telah menikahkan aku di atas langit.” (diriwayatkan oleh Al Bukhori)

4. Abdulloh bin Abbas rodliyallohu ‘anhu
Sahabat Nabi yang merupakan pakar tafsir AlQur’an ketika menafsirkan firman Alloh tentang ucapan Iblis yang akan mengepung manusia dari berbagai penjuru. Iblis menyatakan sebagaimana diabadikan oleh Alloh dalam Al Quran:
ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ
“Kemudian sungguh-sungguh aku akan mendatangi mereka dari arah depan mereka, dan dari belakang mereka, dan dari kanan dan kiri mereka” (QS Al A’raaf [7]:17).
Abdulloh bin Abbas rodliyallohu ‘anhu menyatakan: “Iblis tidak bisa mengatakan: ‘(mendatangi mereka) dari atas mereka’, karena dia tahu bahwa Alloh berada di atas mereka.” (diriwayatkan oleh Al Lalika’i)

5. Abdulloh bin Umar rodliyallohu ‘anhu
Dari Zaid bin Aslam rohimahulloh beliau berkata: “Ibnu Umar melewati seorang penggembala (kambing), kemudian beliau bertanya: ‘Apakah ada kambing yang bisa disembelih?’ Penggembala itu menyatakan: ‘Pemiliknya tidak ada di sini’. Ibnu Umar rodliyallohu ‘anhu menyatakan: ‘Katakan saja bahwa kambing tersebut telah dimangsa serigala’. Kemudian penggembala kambing tersebut menengadahkan pandangannya ke langit dan berkata: ‘Kalau demikian, di mana Alloh?’ Maka Ibnu Umar rodliyallohu ‘anhu berkata: ‘Demi Alloh, aku lebih berhak untuk bertanya: Di mana Alloh? (daripada kamu)’ Sehingga kemudian Ibnu Umar membeli penggembala dan kambingnya, memerdekakan penggembala tersebut dan memberikan padanya satu kambing itu” (diriwayatkan oleh Ath Thobroni)

Abu 'Abdillah - July 12th, 2010 at 10:23 am
Alhamdulillah atas ilmu yang bermanfa’at ini yang menambah keimanan dan keyakinan kita. Jazakumullah Khairan. Kepada Abu ‘Aisyah dan Ibnu Abi Irfan bisa tolong dimuat juga komentarnya di halaman Tahukah Anda di Mana Allah?

Abu Asyraf - July 24th, 2010 at 3:12 pm
Kutip “…. Kalau dia berkata: Kita tetapkan sifat melihat dan mendengar bagi Allah tetapi sama seperti makhlukNya. Kita jawab: Demikian pula kita tetapkan turunnya Allah tetapi tidak sama seperti makhlukNya…”
Sepertinya ada kata “tidak” yang kurang dari kalimat diatas (saya beri tanda [ ]): “…. Kalau dia berkata: Kita tetapkan sifat melihat dan mendengar bagi Allah tetapi [tidak] sama seperti makhlukNya. Kita jawab: Demikian pula kita tetapkan turunnya Allah tetapi tidak sama seperti makhlukNya…”
Walloohua’lam.

jamal - October 28th, 2010 at 5:28 pm
inilah sifat yang paling utama dan menonjol dari kaum WAHHABI yang mengaku salafi.
menganggap diri dan pendapatnya paling benar…kalian tak tau apa apa tentang hakekat,karena kalian hanya textbook…saya kira kalian dalam menyembah Allah juga masih di hinggapi sifat RAGU.karena kalian tidak tau siapa yang menyembah dan siapa yang di sembah.

hamba yg dho'if - November 15th, 2010 at 3:54 pm
Allahul Musta’an

@jamal…
Saya berlindung kepada Allah Ta’ala dari tuduhan yg kamu berikan bahwa kaum wahabi ragu2 dalam menyembah Allah…Astaghfirullah…Na’udzubillahi min dzalik, sungguh berat dan besar perkara tuduhan kamu…..
Rupanya inikah ajaran ahli hakekat??? seenaknya menuduh2 org sembarangan tanpa bukti, seenaknya menuduh2 org yg diluar ajarannya itu ragu dalam menyembah Allah? Astaghfirullah…org yg menuduh hendaknya mendatangkan bukti bila tidak mau disebut fitnah. Hebat memang ahli hakekat itu, beruntunglah saya lebih memilih textbook.

Aqil Fikri - October 10th, 2011 at 8:28 am
pengertian langit dunia seperti apa ustadz

Warkoper - October 10th, 2011 at 9:02 am
عن النبي صلى الله عليه وسلّم.
(ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة). هذا من المتشابه الذي يسكت عن الخوض فيه وإن كان لا بد فأولى ما يقال فيه ما في رواية النسائي: إن «الله يمهل حتى يمضي شطر الليل ثم يأمر منادياً يقول: هل من داع فيستجاب له»، فالمراد إذن نزول أمره، أو الملك بأمره. وذكر ابن فورك أن بعض المشايخ ضبطه ينزل بضم أوله على حذف المفعول أي ينزل ملكاً. قال الباجي: وفي العتبية سألت مالكاً عن الحديث الذي جاء في جنازة سعد بن معاذ في العرش فقال: لا تتحدثن به وما يدعو الإنسان إلى أن يحدث به وهو يرى ما فيه من التغرير

Kitab Tanwirul khawalik oleh Imam Jalaluddin Al Suyuthi Juz 1 hal 39

Kenapa Anda suka membicarakan hal2 seperti ini?

Luqman - November 1st, 2011 at 1:15 pm
Sabtu, 17 September 2011
Dalil Hadits Ahad Tidak Absah Digunakan Dalil Dalam Perkara Akidah

Argumentasi Kokoh: Hadits Ahad Tidak Absah Digunakan Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah

1. Ijma’ shahabat tatkala mengumpulkan al-Quran al-Kariim.

Bila anda perhatikan dengan seksama proses pengumpulan al-Quran dalam mushhaf Imam, maka anda akan berkesimpulan bahwa riwayat ahad tidak bisa digunakan hujjah dalam perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan (aqidah). Bahkan, meyakini bahwa khabar ahad harus diyakini dan wajib dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah akan berimplikasi serius bagi kesempurnaan pokok ‘aqidah Islam.

Kita telah memahami bahwa al-Quran merupakan salah satu pokok keimanan bagi kaum muslim. Seorang mukmin tidak boleh meragukan keotentikan dan kesempurnaan al-Quran. Al-Quran yang dimaksud di sini adalah al-Quran yang terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy. Apabila ada riwayat yang dianggap al-Quran, namun tidak diriwayatkan dengan jalan mutawatir, maka riwayat itu tidak boleh diyakini sebagai al-Quran –sebagai pokok ‘aqidah umat Islam.

Al-Quran yang sampai ke tangan kita, seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai al-Quran, tidak boleh diyakini sebagai Al-Quran. Para shahabat sendiri tidak pernah melembagakan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-Quran ke dalam mushaf Imam.

Kenyataan ini saja sudah cukup untuk menggugurkan wajibnya menjadikan riwayat ahad sebagai hujjah dalam masalah ‘aqidah. Sebab, al-Quran adalah pokok dan sumber ‘aqidah kaum muslim. Sementara itu, semua yang tertulis di dalam mushhaf Imam tidak diriwayatkan kecuali secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai al-Quran sama sekali tidak ditulis, bahkan harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran.

Pakar ‘ulumul Quran, al-Hafidz al-Suyuthiy dalam kitab al-Itqan fi ‘Uluum al-Quran menyatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa semua bagian dari al-Quran harus (wajib) mutawatir, baik dari sisi pokoknya, bagian-bagiannya, tempatnya, topiknya dan urut-urutannya. Kalangan pen-tahqiq ahlu sunnah juga berpendapat bahwa al-Quran harus diriwayatkan secara qath’iy (mutawatir). Sebab, biasanya sesuatu yang menghasilkan kepastian harus mutawatir. Sebab, al-Quran adalah mukjizat agung yang menjadi pokok agama yang lurus (ashl al-diin al-qawiim). Ia juga sebagai shirath al-mustaqim (jalan yang lurus), baik pada aspek global, maupun terperincinya. Adapun, riwayat yang diriwayatkan secara ahad dan tidak mutawatir , maka secara qath’iy ia bukan merupakan bagian dari al-Quran. Sebagian besar kalangan ushuliyyin berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat penetapan apakah riwayat tersebut termasuk al-Quran.“ (Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, juz I, ed. III, 1951, Daar al-Fikr, hal.79.)

Sebagian besar ‘ulama ushul, sebagaimana pendapat al-Hafidz al-Suyuthiy berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat bagi itsbat (penetapan), apakah suatu riwayat dianggap sebagai bagian dari al-Quran atau tidak. Mereka berpendapat, bahwa riwayat-riwayat ahad yang dinyatakan sebagai al-Quran tidak boleh diyakini sebagai al-Quran secara pasti. Ini menunjukkan bahwa khabar ahad tidak boleh digunakan hujjah untuk menetapkan al-Quran. Al-Quran adalah pokok dari keyakinan kaum muslim. Mengingkari al-Quran, atau meyakini bahwa al-Quran telah mengalami penambahan ataupun pengurangan adalah keyakinan bathil yang harus dijauhi oleh orang-orang beriman. Walhasil, keterangan-keterangan ini telah membuktikan bahwa, hadits ahad tidak bisa digunakan sebagai hujjah dalam perkara ‘aqidah (keyakinan). Al-quran adalah pokok keimanan kaum muslim, dan ia harus ditetapkan dengan riwayat-riwayat yang mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran.

Berikut ini kami ketengahkan riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-Quran, akan tetapi tidak boleh diyakini sebagai al-Quran:
· Bukhari dalam kitab Tarikhnya menyatakan sebuah riwayat dari Hudzaifah, ia berkata, artinya” Saya pernah membaca surat al-Ahzab pada masa Nabi Saw. dan tujuh puluh ayat daripadanya saya sudah lupa, dan saya tidak mendapatkannya di dalam al-Quran sekarang.’[Durr al-Mantsur, jilid 5, hal. 180.]
Riwayat ini adalah riwayat ahad. Seandainya riwayat ini bisa digunakan hujjah dalam masalah ‘aqidah, tentu kita harus meyakini juga bahwa surat al-Ahzab yang tertuang dalam mushhaf Imam, tidak lengkap. Sebab, ada 70 ayat dalam surat al-Ahzab yang telah hilang. Padahal, keyakinan semacam ini tentu akan berakibat fatal bagi kebersihan dan keotentikan al-Quran al-Karim sebagai kalamullah dan mukjizat terbesar dari Rasulullah Saw.. Meyakini riwayat ini sama artinya menuduh al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan).
· Riwayat semacam ini juga diketengahkan oleh Abu Ubaid di dalam al-Fadlaail dan Ibnu Mardawaih dari ‘Aisyah, ia menyatakan, “Pada masa Nabi Saw., surat al-Ahzab dibaca sebanyak dua ratus ayat. Akan tetapi, ketika ‘Utsman menulis mushhaf dia tidak bisa mendapatkannya kecuali sebagaimana yang ada sekarang ini.” [al-Itqan, jilid II, hal.25, lihat juga Duur al-Mantsur, jilid 5; hal.180]
Seandainya riwayat ahad ini harus diyakini, maka lebih dari separuh surat al-Ahzab telah hilang, tepatnya seratus dua puluh tujuh ayat telah hilang dari surat al-ahzab. Sebab, surat al-Ahzab yang ada di dalam Al-Quran hanya sampai tujuh puluh tiga ayat. Walhasil, riwayat ini tidak boleh diyakini bahkan harus ditolak untuk dijadikan hujjah dalam masalah ‘aqidah. Seorang muslim dilarang sama sekali meyakini bahwa ada ayat Quran yang tidak terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy.
· Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, di sana disebutkan, “Abu Bakar ra. memerintah seorang mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul Mukminin berkata, “Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku! (Hafidzu ‘ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha…). Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, “Tulislah, hafidzu…wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-’ashr..”. ‘Umar ra. bertanya, “Apakah kamu punya saksi?” Hafshah menjawab, “Tidak!”. ‘Umar berkata, “Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti.”
Riwayat Hafshah ini juga tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Sebab, ia adalah khabar ahad. Padahal, riwayat-riwayat ahad tidak boleh diyakini sebagai bagian al-Quran. Sebab, jika riwayat ini diyakini sama artinya meyakini bahwa al-Quran telah mengalami pengurangan, karena tidak mencantumkan lafadz “al-‘ashr”.
· Imam Malik meriwayatkan dalam al-Muwatha’, dan Ibnu Dawud dalam Mashahif dari Ummul Mukminin ‘Aisyah ra., ia berkata, “Telah turun ayat tentang 10 (kali isapan) susuan yang mengharamkan (menjadikan mahram), kemudian dihapus dengan 5 kali (isapan) susuan. Kemudian Rasulullah Saw. meninggal, sedangkan beliau menyatakan ia adalah al-Quran.” Namun demikian, tak seorangpun shahabat yang memperhatikan riwayat ini. Mereka tidak menulisnya di dalam Mushhaf.
· Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dalam Mashahif, al-Haakim, dan selain keduanya dari Mushhaf-nya Ubay bin Ka’ab, ia menuturkan ayat tentang kifarah (denda) budak. Di dalam mushhaf-nya Ubay tersebut disebutkan, “fa shiyaam tsalaats ayaam mutatabi’aat fi kifaarat al-yamiin”[berpuasa tiga hari berturut-turut untuk kifarat al-yamin].”
Akan tetapi, riwayat ini juga tidak dicantumkan ke dalam mushhaf imam, sebab riwayat tersebut adalah khabar ahad. Riwayat ini juga tidak boleh dianggap sebagai al-Quran. Sebab, seandainya ia harus diyakini, maka al-Quran yang terlembaga di dalam mushhaf ‘Utsmaniy tidak lagi otentik, alias telah mengalami pengurangan. Dalam masalah ini, Imam Syafi’iy menolak riwayat ini, sebab ia dinukil dengan jalan ahad [lihat al-Ihkam fi Ushul al-Ahkaam, al-Amidiy]
· Imam Ahmad, Haakim dari Katsir bin Shalat, ia berkata, “Adalah Ibn al-’Ash dan Zaid bin Tsabit sedang menulis mushhaf. Lalu, sampailah mereka kepada ayat ini, maka Zaid berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “al-Syaikh wa syaikhaat idza zanaya [kakek dan nenek jika berzina].”, ‘Umar berkata, “Bukankah engkau tahu bahwa seorang kakek, jika ia tidak muhshon akan dijilid, sedangkan jika seorang pemuda berzina, dan ia muhshon, maka dirajam”.
· Dalam riwayat Muwatha’ ‘Umar berkata dalam khutbahnya, “Seandainya bukan karena orang-orang mengatakan bahwa ‘Umar bin Khaththab telah menambah Kitabullah, sungguh aku akan menulisnya (ayat rajam), sungguh kami telah membacanya”.
Namun demikian, riwayat ini bukanlah al-Quran dan tidak boleh diyakini sebagai ayat yang dihapus (mansukh). Sebab, riwayat ini adalah khabar ahad. Kita telah memahami bahwa khabar ahad tidak menghasilkan apapun kecuali hanya sekedar dzan saja. Al-Quran tidak ditetapkan kecuali dengan jalan kepastian (qath’iy), bukan dzan. Padahal, al-Quran adalah salah satu rukun dari rukun-rukun ‘aqidah yang harus diimani baik yang global maupun yang rinci. Seandainya riwayat ini bisa digunakan hujjah dalam masalah keyakinan (‘aqidah) tentu kita harus meyakini bahwa mushhaf ‘Utsmaniy tidak lagi otentik. Sebab, mereka tidak melembagakan ayat rajam yang disampaikan oleh ‘Umar ra. di dalam mushhaf ‘Utsmaniy.
· Ada pula riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad, al-Bazari, Thabarani, Ibnu Mardawaih dengan jalan shahih dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, bahwa Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas tidak memasukkan al-Mu’awidzatain (surat al-Falaq dan al-Naas) dari mushhaf-nya. Keduanya menyatakan bahwa al-Quran tidak tercampur dengan sesuatu yang bukan dari Kitabullah. Menurut kedua shahabat itu, al-mu’awidzatain bukan termasuk al-Quran, namun hanya perintah Allah kepada Nabi Saw. untuk berlindung dengan keduanya”.
· Imam Fakhr al-Raziy menuturkan, bahwa sebagian kitab-kitab terdahulu telah menyebutkan bahwa Ibnu Mas’ud telah mengingkari surat al-Fatihah dan al-Mu’awidzatain sebagai bagian dari al-Quran. (al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79)
Imam Nawawiy dalam Syarh al-Muhadzdzab menyatakan: Seluruh kaum muslim telah bersepakat bahwa, al-Mu’awidzatain dan al-Fatihah merupakan bagian dari al-Quran. Siapa saja yang mengingkari keduanya [sebagai bagian dari al-Quran] telah terjatuh dalam kekafiran. Sedangkan riwayat yang dinukil dari Ibnu Mas’ud adalah bathil, dan sama sekali tidak shahih.
Al-Bazariy menyatakan, “Tidak ada seorangpun dari kalangan shahabat yang mengikuti Ibnu Mas’ud. Telah disahkan dari Nabi Saw., bahwa beliau Saw. membaca keduanya dalam sholat, dan mu’awidzatain ditetapkan dalam mushhaf. Walhasil, para shahabat ra. menolak khabar dari shahabat Ibnu Mas’ud ra., karena ia adalah khabar ahad yang tidak sampai kepada derajat mutawatir dan qath’iy.
Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Qadh al-Ma’aliy Tatmiim al-Majaliy, berkata, “Riwayat ini merupakan pendustaan atas nama Ibnu Mas’ud.” [al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79]
Ibnu Hajar dalam Syarh al-Bukhari menyatakan: “Telah dishahihkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia telah mengingkari al-Mu’awidzatain.” Riwayat senada juga dituturkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hibban, bahwa Ibnu Mas’ud tidak menulis al-Mu’awidzatain di dalam mushhaf-nya. [Al-Hafidz al-Suyuthiy, Al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79]
Lalu, apakah berdasarkan riwayat ahad ini, anda akan menarik kesimpulan bahwa al-Mu’awidzatain bukanlah bagian dari al-Quran? Seandainya anda menyatakan, bahwa riwayat Ibnu Mas’ud ini harus diyakini, tentunya al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan). Seandainya kita menyatakan, bahwa hadits ahad yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ini tidak boleh diyakini, maka anda telah menyelamatkan al-Quran dari adanya tahrif.

Seluruh riwayat di atas telah menunjukkan kepada kita bahwa, riwayat ahad tidak boleh digunakan hujjah untuk membangun pokok keimanan. Perilaku para shahabat untuk tidak melembagakan riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran merupakan bukti nyata, bahwa khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah.

2. Para shahabat telah mensyaratkan jumlah tertentu pada saat melembagakan al-Quran di dalam mushhaf Imam.

Kami juga akan memaparkan riwayat-riwayat yang menyatakan, bahwa tatkala mengumpulkan al-Quran al-Karim pada masa Abu Bakar ra., para shahabat telah mensyaratkan jumlah tertentu, hingga riwayat mereka dianggap sebagai al-Quran.

· Ibnu Abi Dawud dalam Mashahif dari Abu Bakr, meriwayatkan, “Sesungguhnya Abu Bakar memerintahkan kepada ‘Umar dan Zaid ra. agar keduanya duduk di pintu masjid, dan memerintahkan keduanya agar siapapun yang membawa sesuatu dari al-Quran dengan membawa dua orang saksi, maka keduanya harus mencatatnya”.

· Dari jalan Ibnu Sa’ad, ia berkata,” Keduanya duduk di pintu masjid, dan tak seorangpun yang membawa sesuatu dari Al-Quran yang disaksikan oleh dua orang, kecuali akan ditulis dan tidak akan diingkari oleh keduanya”.

· Menurut Ibnu Abu Dawud dalam Mashahif dari Yahya bin ‘Abd al-Rahman bin Haatib berkata, ‘Umar berkata, “Siapa saja yang menyimpan sesuatu –al-Quran– dari Rasulullah, maka serahkanlah. Sedangkan para shahabat menulis ayat-ayat Quran dalam shuhuf, batu tulis, tulang. ‘Umar ra. tidak menerima apapun dari seseorang, sampai orang tersebut menghadirkan dua orang saksi”.

· Dari jalan Ibn Sa’ad dan Ibn Abi Dawud dan Ahmad bin Hanbal dan selainnya, dari Khuzaimah bin Tsabit berkata, “Saya menyampaikan ayat (laqad jaa`akum) kepada ‘Umar ra. dan Zaid bin Tsabit. Zaid bertanya, siapakah orang yang menyaksikan bersamamu.. Saya menjawab, “Demi Allah saya tidak tahu!” ‘Umar berkata, “Saya menyaksikan hal itu bersamamu”.

· Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir dan selainnya meriwayatkan dari ‘Ubaid bin ‘Umair, bahwa ia berkata, “Umar tidak menerima satu ayat dari Kitabullah sampai ada dua orang saksi yang menyaksikan”.

· Dalam shahih Bukhari dan Ibnu Abi Dawud dan selain keduanya dari Zaid bin Tsabit berkata, “Ketika kami menulis Mushhaf, saya kehilangan sebuah ayat dari kitabullah, di mana aku pernah mendengarnya dari Rasulullah Saw., dan aku menemukannya pada Khuzaimah bin Tsabit “Minal mukminiin rijaalun.. “, sedangkan Khuzaimah memiliki dua orang saksi. Rasulullah Saw. membolehkan persaksian dengan saksi dua orang”.

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan, bahwa para shahabat telah menetapkan syarat-syarat tertentu tatkala melembagakan al-Quran dalam mushhaf ‘Utsmaniy. Seandainya, khabar ahad bisa dijadikan hujjah dalam pelembagaan al-Quran, tentu para shahabat tidak perlu mensyaratkan dua orang saksi. Jikalau berita satu orang bisa digunakan sandaran untuk menetapkan pokok ‘aqidah (al-Quran) tentu para shahabat tidak perlu lagi mensyaratkan dua orang saksi. Akan tetapi, para shahabat menolak untuk melembagakan khabar yang diklaim sebagai al-Quran jika tidak mendatangkan dua orang saksi dan mendatangkan bukti otentik lainnya.

Perhatikan riwayat berikut ini:

· Dalam shahih Bukhari, Zaid berkata, “Saya kehilangan satu ayat dari surat al-Ahzab, kemudian aku mendapatkannya pada Khuzaimah, karena ia menyimpannya. Seandainya tidak, tentu hilanglah ayat tersebut. Kemudian ayat tersebut ditulis.

· Dalam riwayat Ibnu Abi Dawud dari ‘Umar, ia berkata, “Barangsiapa mendapatkan dari Rasulullah sesuatu dari al-Quran, maka serahkanlah”. Perawi berkata, “Mereka menulis dalam shuhuf, batu, dan tulang”.

Riwayat di atas menunjukkan dengan pasti, bahwa para shahabat ra. tidak mencantumkan satupun ayat dalam mushhaf kecuali bisa dipastikan bahwa ayat tersebut adalah al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah Saw.

· Imam al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, di sana disebutkan, “Abu Bakar ra. memerintah seorang mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul Mukminin berkata, “Jika kalian sampai pada ayat ini , beritahulah aku! (Hafidzu ‘ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha…). Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah berkata, “Tulislah, hafidzu…wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-’ashr..”. ‘Umar ra. bertanya, “Apakah kamu punya saksi?” Hafshah menjawab, “Tidak!”. ‘Umar berkata, “Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti.”

Berdasarkan riwayat ini, kita tidak mungkin lagi menyatakan bolehnya membangun pokok keimanan dengan khabar ahad. Riwayat di atas telah menunjukkan, bahwa ‘Umar telah menolak khabar yang disampaikan oleh Hafshah. Sebab, Hafshah tidak memiliki saksi. Seandainya khabar ahad bisa diterima untuk menetapkan al-Quran tentu ‘Umar ra. akan menulis khabar Hafshah di dalam mushhaf.

3. Argumentasi ‘Aqliyyah

Secara ‘aqliy, ketika anda menyaksikan suatu peristiwa secara langsung, dan terlibat di dalamnya, anda pasti akan meyakini kebenaran peristiwa yang anda saksikan tersebut. Sebab, peristiwa tersebut meyakinkan dari sisi anda. Namun, ketika anda menyampaikan peristiwa itu kepada orang yang tidak menyaksikannya secara langsung, tentu orang itu tidak langsung mempercayai ucapan anda, meskipun anda sangat meyakini peristiwa itu. Peristiwa tersebut hanya meyakinkan dari sisi anda, namun tidak bagi orang yang tidak menyaksikan peristiwa itu secara langsung. Di sinilah pentingnya itsbat (penetapan) terhadap apa yang anda sampaikan, apakah berita yang anda sampaikan itu benar-benar meyakinkan atau tidak.

Hal ini tidak ubahnya dengan kesaksian yang diberikan seorang saksi kepada seorang qadliy. Seorang saksi harus membangun kesaksiannya dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Ia tidak boleh bersaksi, kecuali jika ia menyaksikan kejadiannya secara langsung, meyakinkan dan pasti. Sebab Rasulullah Saw. bersabda,
“Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika tidak, maka tinggalkanlah”. (Lihat pada Ahmad al-Da’ur, al-Ahkaam al-Bayyinaat, hal.6, 1965, tanpa penerbit)

Namun demikian, apa yang disaksikan oleh seorang saksi hanya meyakinkan dari sisi saksi saja, tidak bagi qadliy. Ketika qadli menerima kesaksian seorang saksi, tidak secara otomatis “kesaksian itu” meyakinkan dari sisi qadliy –meskipun, kesaksian itu meyakinkan dari sisi saksi. Bahkan, seorang qadliy tidak harus menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian seorang saksi. Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu Salamah, Nabi Saw. bersabda:

“Sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-masalah yang kalian perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau daripada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api neraka” (Hadits Riwayat Mutafaq ‘Alaih).

Nash ini menunjukkan, bahwa Rasulullah Saw. memutuskan perkara berdasarkan prasangkanya. Kesaksian yang diberikan oleh saksi hanya meyakinkan dari sisi saksi, tidak bagi qadliy. Buktinya, Rasulullah Saw. menyatakan kemungkinan adanya vonis yang salah. Seandainya, berita yang disampaikan seorang saksi juga meyakinkan dari sisi qadliy, tentu Rasulullah Saw. tidak akan menyatakan kemungkinan adanya kesalahan dalam hal vonis.

Bahkan, Rasulullah Saw. telah menyatakan dengan jelas, bahwa seorang hakim itu memutuskan sesuatu berdasarkan dzan, bukan sekadar dengan keterangan yang disampaikan oleh seorang saksi.

Dari ‘Amru bin al-‘Ash, beliau mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Jika seorang hakim memutuskan suatu perkara, lantas ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Namun, jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad, dan ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.

Kenyataan seperti ini, sama persis dengan si anu yang menyampaikan sebuah khabar kepada si fulan. Meskipun khabar itu meyakinkan dari sisi si anu, namun dari sisi si fulan, khabar itu tidaklah meyakinkan. Oleh karena itu, si fulan bisa menolak, atau menerima berita dari si anu.

Namun demikian, jika berita itu telah masyhur dan meyakinkan, maka dengan sendirinya, siapapun yang menyampaikan berita itu, wajib kita yakini. Secara ‘aqliy khabar yang disampaikan seseorang atau lebih yang tidak mengantarkan kepada keyakinan, hanya akan menghasilkan dzan belaka, tidak meyakinkan.

Seluruh keterangan di atas menunjukkan bahwa akal bisa menetapkan bahwa berita yang disampaikan secara ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan belaka.

Dari Buku: MELURUSKAN AQIDAH KITA HADITS AHAD TIDAK BOLEH DIJADIKAN HUJJAH DALAM PERKARA AQIDAH ; Syamsuddin Ramadlan

Mohon Komentarnya?

Abu Ridho - January 6th, 2012 at 6:13 pm
Assalammu’alaikum Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Saudaraku seiman yang diberkahi, Allah mewahyukan kepada Nabi-Nya untuk mengabarkan kepada hamba-Nya hadits diatas : “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir”.

Sebagian dari saudara kita bertanya tentang “Bagaimana Allah turun ke langit dunia” dengan akal sebagai tolok ukurnya. Padahal telah jelas petunjuk Allah agar tidak berfikir tentang Dzat-Nya, namun berfikirlah tentang perbuatan-Nya pada firman Allah :

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.’” (Ali ‘Imran: 191).

Selaras dengan itu, Nabi Salallah Alayhi Wa Salam melarang kita untuk berfikir tentang Dzat Allah :

“Berfikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat Allah.”
(Hasan, Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah [1788]).

Bagaimana Allah turun ke langit dunia, merupakan hal ghaib bagian dari masalah aqidah. Dalam masalah ini tentu akal sangat sangat sangat terbatas untuk menjangkaunya. Oleh karena itu gunakankanlah iman dalam soal ini.

Bagi yang memaksakan untuk berfikir tentang Dzat Allah, ingat kata-kata orang Betawi : “nggak mungkin Choi” alias “Kagak bakalan nyambung Choi”.

Wassalam.

Acha Nirina - February 3rd, 2012 at 5:51 am
lagi2 nih si bapak ustat sok bener sendiri padahal otaknya masih bahlul ente

pakek bahas alloh kek tuhan kek siang malam kek dalil kek??

pak belom lulus SD yaaah bahlul bgt pantesan org muslim yg tolol.

pak ustat taw ga sih ente di bumi ntu kan waktu berbeda-beda jd kluw di irian jam 9 malem di bali jam 8 malem di jawa jam 7 malem di aceh jam 6 malem trus apalagi deh di amrik sono bedanya wktunya satu hari ma di wktu di indo.

kluw alloh turunnya cuman tiap malem aza berarti turunx gmn dunx sedangkan di bumi wktx beda di guwa siang di elo malem??

makanya pak kluw mw ngejelasin tuh pake otak alias mikir jgn pakek pantat para imam yg otakx bego lebih bego drpd anak tk di jepang udh ngerti nama2 benda laut

xixixixixixix

PIZZ

Dada Chandra Ramadhan - May 6th, 2012 at 10:59 am
Ustadz, saya boleh tanya gak?
Cuman dua pertanyaan aja nih, Ustadz!

1] Apakah Allah terikat dengan ruang dan waktu sebagaimana materi (fisik)?

2] Kalau misalkan Allah turunnya hanya malam saja, lantas bagaimanakah dengan terjadinya perbedaan waktu di permukaan bumi ini, Ustadz?

abu hasan - May 22nd, 2012 at 9:02 pm
@acha nirina:
Na’udzubillahi min dzalik… Andalah yang ga pake otak… Sekarang coba pikirkan dengan logika :
Apa Allah menciptakan segala sesuatu dan berkuasa atas segala sesuatu? Tentu saja jawabannya “IYA”

Jika begitu, maka elemen yang bernama “waktu” juga termasuk ciptaan Allah. Bagaimana bisa membandingkan kuasa Allah yang Maha Segalanya dengan elemen “waktu” (pagi, siang, sore di belahan muka bumi) yang jelas-jelas ciptaan-Nya???

Bagaimana bisa membandingkan kuasa Allah sang “khaliq” dengan “waktu” yg cuma makhluk? itu sama saja Anda menganggap Allah tidak berkuasa atas makhluk ciptaan-Nya yaitu “waktu” dan secara langsung Anda MENOLAK firman Allah dalam Al-Quran :
“Sesungguhnya Allah itu Berkuasa atas segala sesuatu” (Q.S Al-Baqarah: 20)
“Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah : 29)