65 Comments Already :
Yusuf Abu Ubaidah - May 6th,
2010 at 12:52 pm
Untuk akhi w. Kassim.
1. Anda mengakui sendiri
bahwa bantahan anda tidak ilmiyah, yaitu dalam ucapan anda “Maka untuk
menolaknya pun tidak perlu ilmiyah”. Maka saya sarankan kepada saudara untuk
lebih mempelajari lagi. Barangkali ini adalah komentar terakhir saya. Dan bila
anda berkomentar lagi tanpa bukti ilmiyah, maka saya mohon maaf bila saya
meminta kepada admin untuk tidak mencantumkan komentar antum, karena kami tidak
ingin membuang-buang waktu dengan perdebatan yang tidak ilmiyah.
2. Sepertinya syubhat yang
melekat di pikiran saudara untuk menolak hadits ini adalah karena bumi ini
bulat sehingga mustahil karena Allah turun seprtiga malam terakhir, bahkan anda
berani mengatakan mungkin ulama tidak mengetahui geografi bumi itu bulat,
bahkan lebih konyol lagi anda sampai mengaka..maka Tuhanlah yang tidak tahu
bahwa bumi ini bulat. Astaghfirullah, kok ada ya orang muslim ngomong kayak
gini?! Jujur, geli bulu kudukku membaca ucapan kotor seperti itu. Bagaimana
anda mengatakan bahwa ulama tidak mengetahui bahwa bumi itu bulat, sedangkan
mereka telah bersepakat kalau bumi itu bulat sbelum anda dilahirkan oleh ibu
anda ke muka bumi. Imam Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya “Al-Fishol fil Milal
wa Nihal” Juz 2 hal 97: “Pasal penjelasan bulatnya bumi. Tidak ada satupun alim
dari imam kaum muslimin -semoga Allah meridhoi mereka- yang mengingkari
bulatnya bumi, dan tidak dijumpai bantahan satu kalimatpun dari salah seorang
mereka, bahkan Al-Qur’an dan hadits telah menguatkan tentang bulatnya bumi…”
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah
dalam Majmu’ Fatawa Juz 6 hal. 586 menjelaskan bahwa ijma’ (kesepakatan) ini
telah dinukil oleh mayoritas para ulama’ kaum muslimin seperti Abul Husain
Ahmad bin Ja’far Al-Munadi, Imam Abu Muhammad bin Hazm, Abul Faroj bin Jauzi.
Para ulama tersebut menyandarkan pendapatnya dari para sahabat dan tabi’in.
Mereka juga berdalil dengan Al-Qur’an dan Hadits”.
Nah, apakah setelah ini anda
masih mengira bahwa ulama tidak mengerti geografi bumi itu bulat?!! Ataukah
-maaf- anda yang asal bunyi tanpa bukti?!!
Adapun ucapan anda “maka
Allah yang tidak tahu bahwa bumi ini bulat”. Ya kaumku, apa yang harus kita
lakukan terhadap orang yang mengatakan ucapan kotor bahkan kufur ini?!! Maha suci
Allah dari apa yang mereka katakan.
3. Syubhat yang melekat di
pikiran anda ini adalah karena menggambarkan sifat turun bagi Allah itu seperti
turunnya makhluk yang perlu pindah, gerak dll, sehingga anda memustahilkannya.
Sudah sering saya katakan berkali-kali kepada anda: “Hilangkanlah pikiran
seperti ini!! Jangan gambarkan Allah seperti makhluk!! Kewajiban kita hanya
iman, adapun bagaimananya serahkan kepada Allah!!! karena tidak ada yang serupa
dengan Allah sesuatupun. Dan anda juga belum menjawab pertanyaan saya dan
semoga sekarang anda menjawabnya tanpa belok ke mana-mana: Apakah anda pecaya
Allah itu ada? Tapi apakah anda tahu bagaimana Dzat Allah itu? Jawablah!!! Saya
tidak perlu mengulang bantahan lagi yang sudah saya paparkan sebelumnya.
3. Ucapan anda mengomentari
ucapan Imam Ahmad bin Hanbal “Barangsiapa menolak hadits Nabi maka dia di
ambang kehancuran”. Anda berkata: Apakah itu bukti semi kehancuran negeri
seperti indonesia ini karena menolak hadits. Kami jawab: Ya, tidak mustahil
kalau sebab kemunduran dan kekacauan adalah karena adanya sebagian rakyat
Indonesia yang menolak hadits shohih seperti anda ini -kecuali kalau anda mau
bertaubat-.
Saudaraku, menolak hadits
shohih sangat berbahaya sekali, sampai-sampai dahulu para ulama menghukumnya agar
dibunuh. Imam Syafi’I bercerita: “Saya pernah berdebat dengan al-Marrisi
tentang undian, lalu dia mengatakan bahwa undian adalah perjudian!! Maka saya
dating kepada Abul Bakhtari seraya aku katakana padanya: “Aku mendengar
al-Marrisi mengatakan bahwa undian adalah perjudian!! Lalu dia mengatakan:
“Wahai Abu Abdillah (kunyah Imam Syafi’i), datangkanlah saksi lainnya lalu saya
akan membunuhnya”. Dalam lafadz lainnya: “Datangkanlah saksi lainnya, niscaya
saya akan mengangkatnya di atas pohon lalu menyalibnya”. (Diriwayatkan
Al-Khollal dalam As-Sunnah 1735 dan Al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikhnya 7/60
dengan sanad yang shohih).
Maaf, bukan maksud kami
meminta agara anda dihukum mati. Tapi hanya menjelaskan bahwa hukuman bagi
orang yang menolak hadits sangatlah berat menurut ulama. Kami tetap mengharap
dan berdoa agar anda mendapat hidayah karena kami yakin bahwa orang-orang
seperti anda mengatakan seperti itu hanyalah karena kejahilan semata. Semoga
Allah memberikan taufiq kepada kita semua. Amiin.
Andri Subandrio - May 31st,
2010 at 10:49 am
Seluruh permukaan bumi akan
selalu pada keadaan dan waktu sepertiga malam secara berurutan , kalau Allah
turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir berarti Dia gak pernah
naik langit ke langit bukan dunia, wallahu a’lam bishawab.
Sebetulnya dalam mengabulkan
sesuatu atau tidak mengabulkan sesuatu Allah tidak perlu turun atau naik,
dengan kehendak Nya, di manapun (tempat menurut Allah) Allah maha Kuasa untuk
berbuat apapun, Innallaaha ‘alaa kuli syai-in qadiir
El-Muqtashida - June 7th,
2010 at 7:18 am
سبحانك اللهم و بحمدك أشهد أن لاإله إلا أن
أستغفرك و أتوب إليك
Imam Nawawi - June 28th, 2010
at 9:42 am
1- Imam Abu hanifah:
لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من
خلقه
Maknanya:: (Allah) tidak
menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun
yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah
“ Berkata Imam Abu Hanifah:
Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’ala ber istiwa atas Arasy
tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak berada/menetap di atas Arasy,
Dialah yg menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya
dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain, sudah pasti Dia tidak mampu
mencipta dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah
Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum dicipta Arasy dimanakah
Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”.
Amat jelas di atas bahwa
akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah
adalah menafikan sifat bersemayam (duduk) Allah di atas Arasy.
Semoga Mujassimah diberi
hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.
2-Imam Syafii:
انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته
الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير
terjemahnya: sesungguhnya Dia
Ta’ala ada (dari zaman azali) dan tempat (sewaktu) belum diciptanya (tempat),
kemudian Allah menciptakan tempat dan Dia tetap dengan sifat-Nya yang azali itu
sebagaimana sebelum terciptanya tempat, tidak mungkin Allah (mengalami)
perubahan (dg butuh tempat). Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya
Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 hal. 23
3-Imam Ahmad bin Hanbal :
-استوى
كما اخبر لا كما يخطر للبشر
Maknanya: Dia (Allah) istawa
sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas
di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifa’i dalam kitabnya al-Burhan
al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa
Tamarrad.
وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام
المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه
Maknanya: dan apa yang telah
masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam
Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahwa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada
di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya
(Imam Ahmad) Kitab Fatawa Haditsiah karangan Ibn Hajar al- Haitami
4- Imam Malik :
الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول
والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة
Maknanya: Kalimah istiwa’
tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif (bentuk) tidak diterima akal,
dan iman dengannya wajib, dan bertanya tentangnya (bagaimana istiwanya Allah)
adl bid’ah (dlolalah).
lihat disini : imam malik
hanya menulis kata istiwa (لاستواء) bukan
memberikan makna dhahir jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat
(istiqrar)
Kesimpulan:
dengan memperhatikan fatwa ke
4 imam madzhab Ahlussunnah wal jama’ah di atas, maka jelas aqidah mereka adalah
aqidah yg benar dan lurus, menolak tajsim dan menolak pemberian sifat yang
seperti makhluk-Nya seperti bertempat atau ada di arah tertentu.
Allah sudah ada sejak zaman
azali (zaman sebelum terciptanya seluruh makhluk) dan kelak Allah tetap ada
saat kiamat (zaman musnahnya seluruh makhluk), maka bisa kita pahami di zaman
azali dan saat kiamat, langit dan arsy tidak ada, dan Allah tetap ada, mustahil
bagi Allah mempunyai sifat butuh terhadap makhluk, seperti butuh tempat yaitu
‘Arsy, kalau Allah butuh tempat, maka tdk bisa disebut Tuhan, karena dg butuh
akan tempat menunjukkan Dia lemah, dan mustahil Tuhan bersifat lemah.
semoga kita semua selalu
dalam aqidah yang benar dan lurus, tidak sampai terpengaruh dg aqidah sesat
mujassimah wahhaby yg menganggap Allah bertempat di atas ‘Arsy atau bertempat
di atas langit. karena aqidah ini aqidah sesat, sangat mustahil langit dan Arsy
yg merupakan makhluk Allah yg kecil dan terbatas (bagi Allah) menjadi tempat
Dzat Yang Maha Besar, Yang Ke-besar-an-Nya tidak terbatas.
Ibnu Abi Irfan - June 28th,
2010 at 6:26 pm
Asy Syafi’i berkata :
“Apabila hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”
hamba yg dho'if - June 28th,
2010 at 7:25 pm
Amin ya akh Nawawi…
Semoga kita semua jg
terhindar dari akidah asy’ariyah yg menyebutkan bahwa Allah Ta’ala ada
dimana-mana…Amin ya Robbal alamin
Zaenal Arifin - July 3rd,
2010 at 11:16 am
Ana Mencukupkan diri bahwa
ana beriman turunnya Allah kelangit dunia, tentang bagaimana turunnya itu
urusan Alllah, Allah maha kuasa atas segala sesuatu,
Zaenal Arifin - July 3rd,
2010 at 11:19 am
izin share artkel di blag
ana.
Abu Aisyah - July 6th, 2010
at 1:41 pm
Buat yang mengaku Imam
Nawawi:
Inilah Perkataan Ulama 4
Madzhab yang ana yakini:
1. Sikap Keras Abu Hanifah
Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah
Imam Abu Hanifah mengatakan
dalam Fiqhul Akbar,
من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر
“Barangsiapa yang mengingkari
keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.” [Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw,
Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan
pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy.]
Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin
Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-, beliau berkata,
سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء
أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق
سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو
في الأرض قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق بإسناد عن أبي
بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم
Aku bertanya pada Abu Hanifah
mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah
Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang
tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas
‘Arsy”.[QS. Thaha: 5.] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut
mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan
tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi.
Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas
langit, maka dia kafir.”[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal.
135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995.]
2. Imam Malik bin Anas, Imam
Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit
Dari Abdullah bin Ahmad bin
Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad
mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa
Imam Malik bin Anas mengatakan,
الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
“Allah berada di atas langit.
Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari
ilmu-Nya.”[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 138.]
Diriwayatkan dari Yahya bin
Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka
berkata,
جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن
على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه
الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه
غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به
فأخرج
“Suatu saat ada yang
mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah
Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas
‘Arsy”[QS. Thaha: 5.]. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?”
Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya
beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik
dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau
berkata,
الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ
مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ
بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ
“Hakekat dari istiwa’ tidak
mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap
sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’
adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut
diperintah untuk keluar.[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 378.]
Inilah perkataan yang shahih
dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami
sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.
3. Imam Asy Syafi’i -yang
menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih-
meyakini Allah berada di atas langit
Syaikhul Islam berkata bahwa
telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh,
beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah
Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah
memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata,
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا
عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار
بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه
في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء
وذكر سائر الاعتقاد
“Perkataan dalam As Sunnah
yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini
oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan
yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa
Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya
Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun
begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah
Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau
rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[Lihat Itsbatu
Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghofar, hal.165]
4. Imam Ahmad bin Hambal
Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya
Adz Dzahabiy rahimahullah
mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas
seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar
menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad
mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana
telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya
sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw
(ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”[Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.
176. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189.]
Imam Ahmad bin Hambal pernah
ditanya,
ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من
نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد
علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض
“Apa makna firman Allah,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dan Allah bersama kamu di
mana saja kamu berada.”[QS. Al Hadiid: 4]
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ
رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia
antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.”[QS. Al Mujadilah: 7]
Yang dimaksud dengan
kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang
nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi.
Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan
ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi.
Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.”
Diriwayatkan dari Yusuf bin
Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,
قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق
السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و
لايخلو منه مكان
Imam Ahmad bin Hambal pernah
ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas
‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di
setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah
berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[Lihat
Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116]
Abu Bakr Al Atsrom mengatakan
bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam
Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya
padanya,
كيف نعرف ربنا
“Bagaimana kami bisa
mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab,
في السماء السابعة على عرشه
“Allah di atas langit yang
tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
هكذا هو عندنا
“Begitu juga keyakinan
kami.”[Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118]
Kami tutup tulisan berikut
ini dengan menyampaikan perkataan Abu Nu’aim Al Ash-bahani, penulis kitab Al
Hilyah. Beliau rahimahullah berkata, “Metode kami (dalam menetapkan sifat
Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As Sunnah dan ijma’
(konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang dipegang oleh mereka
(para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan mereka meyakini bahwa Allah
beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Mereka menetapkan hal ini tanpa
melakukan takyif (menyatakan hakekat sifat tersebut), tanpa tamtsil
(memisalkannya dengan makhluk) dan tanpa tasybih (menyerupakannya dengan
makhluk). Allah sendiri terpisah dari makhluk dan makhluk pun terpisah dari
Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur dengan makhluk-Nya. Allah
menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan bukan menetap di bumi ini
bersama makhluk-Nya.”[Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al
Haroni, 5/60, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.]
Kesimpulannya:
Orang yang menuduh Salafiyun
sebagai Wahhaby mujassimah adalah orang yang tidak paham dengan apa yang mereka
tuduhkan….. Betul Tidak????!
Ravi Abadi - July 9th, 2010
at 10:04 am
Begitulah saudara kita Imam
Nawawi ini. Di facebook pun, beliau sibuk menebar syubhat dan kebencian
terhadap ikhwan2 bermanhaj salaf. Oleh beliau semua dibalik, yang bid’ah
menjadi sunnah, yang sunnah di bilang bid’ah.
Maka inilah ciri khas Asy
Ariyah maturidiyyah.
Allahul musta’an.
Ibnu Abi Irfan - July 9th,
2010 at 5:28 pm
demikian pula aqidah para
sahabat radhiallohu ‘anhum
1. Abu Bakr As Shiddiq radliyallohu ‘anhu
Ketika Rosululloh
shollallaahu ‘alaihi wasallam meninggal, Abu Bakr As Shiddiq rodliyallohu ‘anhu
menyatakan: “Wahai sekalian manusia! Jika Muhammad adalah sesembahan kalian
yang kalian sembah, sesungguhnya sesembahan kalian telah mati. Jika sesembahan
kalian adalah Yang berada di atas langit, maka sesungguhnya sesembahan kalian
tidak akan mati.” (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah)
2. Abdulloh bin Mas’ud rodliyallohu ‘anhu
Ibnu Mas’ud rodliyallohu
‘anhu menyatakan: “Antara langit dunia dengan (langit) berikutnya sejauh
perjalanan 500 tahun, dan antara 2 langit sejauh perjalanan 500 tahun, antara
langit ke-7 dengan Al Kursiy 500 tahun, antara Al Kursiy dengan air 500 tahun,
dan ‘Arsy di atas air, dan Alloh Ta’ala di atas ‘Arsy dalam keadaan Dia Maha
Mengetahui apa yang terjadi pada kalian” (diriwayatkan oleh Ad Darimi)
3. Zainab bintu Jahsy
radliyallohu ‘anha
Dari Anas bin Malik
rodliyallohu ‘anhu, bahwa Zainab binti Jahsy radliyAllohu ‘anha berbangga
terhadap istri-istri Nabi yang lain, ia berkata: “Kalian dinikahkah oleh
keluarga kalian sedangkan aku dinikahkan oleh Alloh dari atas tujuh langit”.
Dalam lafadz lain beliau berkata: “Sesungguhnya Alloh telah menikahkan aku di
atas langit.” (diriwayatkan oleh Al Bukhori)
4. Abdulloh bin Abbas
rodliyallohu ‘anhu
Sahabat Nabi yang merupakan
pakar tafsir AlQur’an ketika menafsirkan firman Alloh tentang ucapan Iblis yang
akan mengepung manusia dari berbagai penjuru. Iblis menyatakan sebagaimana
diabadikan oleh Alloh dalam Al Quran:
ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ
وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ
“Kemudian sungguh-sungguh aku
akan mendatangi mereka dari arah depan mereka, dan dari belakang mereka, dan
dari kanan dan kiri mereka” (QS Al A’raaf [7]:17).
Abdulloh bin Abbas
rodliyallohu ‘anhu menyatakan: “Iblis tidak bisa mengatakan: ‘(mendatangi
mereka) dari atas mereka’, karena dia tahu bahwa Alloh berada di atas mereka.”
(diriwayatkan oleh Al Lalika’i)
5. Abdulloh bin Umar
rodliyallohu ‘anhu
Dari Zaid bin Aslam
rohimahulloh beliau berkata: “Ibnu Umar melewati seorang penggembala (kambing),
kemudian beliau bertanya: ‘Apakah ada kambing yang bisa disembelih?’
Penggembala itu menyatakan: ‘Pemiliknya tidak ada di sini’. Ibnu Umar
rodliyallohu ‘anhu menyatakan: ‘Katakan saja bahwa kambing tersebut telah
dimangsa serigala’. Kemudian penggembala kambing tersebut menengadahkan
pandangannya ke langit dan berkata: ‘Kalau demikian, di mana Alloh?’ Maka Ibnu
Umar rodliyallohu ‘anhu berkata: ‘Demi Alloh, aku lebih berhak untuk bertanya:
Di mana Alloh? (daripada kamu)’ Sehingga kemudian Ibnu Umar membeli penggembala
dan kambingnya, memerdekakan penggembala tersebut dan memberikan padanya satu
kambing itu” (diriwayatkan oleh Ath Thobroni)
Abu 'Abdillah - July 12th,
2010 at 10:23 am
Alhamdulillah atas ilmu yang
bermanfa’at ini yang menambah keimanan dan keyakinan kita. Jazakumullah
Khairan. Kepada Abu ‘Aisyah dan Ibnu Abi Irfan bisa tolong dimuat juga
komentarnya di halaman Tahukah Anda di Mana Allah?
Abu Asyraf - July 24th, 2010
at 3:12 pm
Kutip “…. Kalau dia berkata:
Kita tetapkan sifat melihat dan mendengar bagi Allah tetapi sama seperti
makhlukNya. Kita jawab: Demikian pula kita tetapkan turunnya Allah tetapi tidak
sama seperti makhlukNya…”
Sepertinya ada kata “tidak”
yang kurang dari kalimat diatas (saya beri tanda [ ]): “…. Kalau dia berkata:
Kita tetapkan sifat melihat dan mendengar bagi Allah tetapi [tidak] sama
seperti makhlukNya. Kita jawab: Demikian pula kita tetapkan turunnya Allah
tetapi tidak sama seperti makhlukNya…”
Walloohua’lam.
jamal - October 28th, 2010 at
5:28 pm
inilah sifat yang paling
utama dan menonjol dari kaum WAHHABI yang mengaku salafi.
menganggap diri dan
pendapatnya paling benar…kalian tak tau apa apa tentang hakekat,karena kalian
hanya textbook…saya kira kalian dalam menyembah Allah juga masih di hinggapi
sifat RAGU.karena kalian tidak tau siapa yang menyembah dan siapa yang di
sembah.
hamba yg dho'if - November
15th, 2010 at 3:54 pm
Allahul Musta’an
@jamal…
Saya berlindung kepada Allah
Ta’ala dari tuduhan yg kamu berikan bahwa kaum wahabi ragu2 dalam menyembah
Allah…Astaghfirullah…Na’udzubillahi min dzalik, sungguh berat dan besar perkara
tuduhan kamu…..
Rupanya inikah ajaran ahli
hakekat??? seenaknya menuduh2 org sembarangan tanpa bukti, seenaknya menuduh2
org yg diluar ajarannya itu ragu dalam menyembah Allah? Astaghfirullah…org yg
menuduh hendaknya mendatangkan bukti bila tidak mau disebut fitnah. Hebat
memang ahli hakekat itu, beruntunglah saya lebih memilih textbook.
Aqil Fikri - October 10th,
2011 at 8:28 am
pengertian langit dunia
seperti apa ustadz
Warkoper - October 10th, 2011
at 9:02 am
عن النبي صلى الله عليه وسلّم.
(ينزل
ربنا تبارك وتعالى كل ليلة). هذا من المتشابه الذي يسكت عن الخوض فيه وإن كان لا
بد فأولى ما يقال فيه ما في رواية النسائي: إن «الله يمهل حتى يمضي شطر الليل ثم
يأمر منادياً يقول: هل من داع فيستجاب له»، فالمراد إذن نزول أمره، أو الملك
بأمره. وذكر ابن فورك أن بعض المشايخ ضبطه ينزل بضم أوله على حذف المفعول أي ينزل
ملكاً. قال الباجي: وفي العتبية سألت مالكاً عن الحديث الذي جاء في جنازة سعد بن
معاذ في العرش فقال: لا تتحدثن به وما يدعو الإنسان إلى أن يحدث به وهو يرى ما فيه
من التغرير
Kitab Tanwirul khawalik oleh
Imam Jalaluddin Al Suyuthi Juz 1 hal 39
Kenapa Anda suka membicarakan
hal2 seperti ini?
Luqman - November 1st, 2011
at 1:15 pm
Sabtu, 17 September 2011
Dalil Hadits Ahad Tidak Absah
Digunakan Dalil Dalam Perkara Akidah
Argumentasi Kokoh: Hadits
Ahad Tidak Absah Digunakan Dalil Dalam Perkara ‘Aqidah
1. Ijma’ shahabat tatkala
mengumpulkan al-Quran al-Kariim.
Bila anda perhatikan dengan
seksama proses pengumpulan al-Quran dalam mushhaf Imam, maka anda akan
berkesimpulan bahwa riwayat ahad tidak bisa digunakan hujjah dalam
perkara-perkara yang membutuhkan keyakinan (aqidah). Bahkan, meyakini bahwa
khabar ahad harus diyakini dan wajib dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah
akan berimplikasi serius bagi kesempurnaan pokok ‘aqidah Islam.
Kita telah memahami bahwa
al-Quran merupakan salah satu pokok keimanan bagi kaum muslim. Seorang mukmin
tidak boleh meragukan keotentikan dan kesempurnaan al-Quran. Al-Quran yang
dimaksud di sini adalah al-Quran yang terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy.
Apabila ada riwayat yang dianggap al-Quran, namun tidak diriwayatkan dengan
jalan mutawatir, maka riwayat itu tidak boleh diyakini sebagai al-Quran
–sebagai pokok ‘aqidah umat Islam.
Al-Quran yang sampai ke
tangan kita, seluruhnya diriwayatkan secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad
yang dianggap sebagai al-Quran, tidak boleh diyakini sebagai Al-Quran. Para
shahabat sendiri tidak pernah melembagakan riwayat-riwayat ahad yang dianggap
al-Quran ke dalam mushaf Imam.
Kenyataan ini saja sudah
cukup untuk menggugurkan wajibnya menjadikan riwayat ahad sebagai hujjah dalam
masalah ‘aqidah. Sebab, al-Quran adalah pokok dan sumber ‘aqidah kaum muslim.
Sementara itu, semua yang tertulis di dalam mushhaf Imam tidak diriwayatkan
kecuali secara mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang dianggap sebagai al-Quran
sama sekali tidak ditulis, bahkan harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran.
Pakar ‘ulumul Quran,
al-Hafidz al-Suyuthiy dalam kitab al-Itqan fi ‘Uluum al-Quran menyatakan,
“Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa semua bagian dari al-Quran harus (wajib)
mutawatir, baik dari sisi pokoknya, bagian-bagiannya, tempatnya, topiknya dan
urut-urutannya. Kalangan pen-tahqiq ahlu sunnah juga berpendapat bahwa al-Quran
harus diriwayatkan secara qath’iy (mutawatir). Sebab, biasanya sesuatu yang
menghasilkan kepastian harus mutawatir. Sebab, al-Quran adalah mukjizat agung
yang menjadi pokok agama yang lurus (ashl al-diin al-qawiim). Ia juga sebagai
shirath al-mustaqim (jalan yang lurus), baik pada aspek global, maupun
terperincinya. Adapun, riwayat yang diriwayatkan secara ahad dan tidak
mutawatir , maka secara qath’iy ia bukan merupakan bagian dari al-Quran. Sebagian
besar kalangan ushuliyyin berpendapat bahwa mutawatir merupakan syarat
penetapan apakah riwayat tersebut termasuk al-Quran.“ (Al-Hafidz al-Suyuthiy,
al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, juz I, ed. III, 1951, Daar al-Fikr, hal.79.)
Sebagian besar ‘ulama ushul,
sebagaimana pendapat al-Hafidz al-Suyuthiy berpendapat bahwa mutawatir
merupakan syarat bagi itsbat (penetapan), apakah suatu riwayat dianggap sebagai
bagian dari al-Quran atau tidak. Mereka berpendapat, bahwa riwayat-riwayat ahad
yang dinyatakan sebagai al-Quran tidak boleh diyakini sebagai al-Quran secara
pasti. Ini menunjukkan bahwa khabar ahad tidak boleh digunakan hujjah untuk
menetapkan al-Quran. Al-Quran adalah pokok dari keyakinan kaum muslim.
Mengingkari al-Quran, atau meyakini bahwa al-Quran telah mengalami penambahan
ataupun pengurangan adalah keyakinan bathil yang harus dijauhi oleh orang-orang
beriman. Walhasil, keterangan-keterangan ini telah membuktikan bahwa, hadits
ahad tidak bisa digunakan sebagai hujjah dalam perkara ‘aqidah (keyakinan).
Al-quran adalah pokok keimanan kaum muslim, dan ia harus ditetapkan dengan
riwayat-riwayat yang mutawatir. Riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai
al-Quran harus ditolak sebagai bagian dari al-Quran.
Berikut ini kami ketengahkan
riwayat-riwayat ahad yang dianggap al-Quran, akan tetapi tidak boleh diyakini
sebagai al-Quran:
· Bukhari dalam kitab
Tarikhnya menyatakan sebuah riwayat dari Hudzaifah, ia berkata, artinya” Saya
pernah membaca surat al-Ahzab pada masa Nabi Saw. dan tujuh puluh ayat
daripadanya saya sudah lupa, dan saya tidak mendapatkannya di dalam al-Quran
sekarang.’[Durr al-Mantsur, jilid 5, hal. 180.]
Riwayat ini adalah riwayat
ahad. Seandainya riwayat ini bisa digunakan hujjah dalam masalah ‘aqidah, tentu
kita harus meyakini juga bahwa surat al-Ahzab yang tertuang dalam mushhaf Imam,
tidak lengkap. Sebab, ada 70 ayat dalam surat al-Ahzab yang telah hilang.
Padahal, keyakinan semacam ini tentu akan berakibat fatal bagi kebersihan dan
keotentikan al-Quran al-Karim sebagai kalamullah dan mukjizat terbesar dari
Rasulullah Saw.. Meyakini riwayat ini sama artinya menuduh al-Quran telah
mengalami tahrif (perubahan).
· Riwayat semacam ini juga
diketengahkan oleh Abu Ubaid di dalam al-Fadlaail dan Ibnu Mardawaih dari
‘Aisyah, ia menyatakan, “Pada masa Nabi Saw., surat al-Ahzab dibaca sebanyak
dua ratus ayat. Akan tetapi, ketika ‘Utsman menulis mushhaf dia tidak bisa
mendapatkannya kecuali sebagaimana yang ada sekarang ini.” [al-Itqan, jilid II,
hal.25, lihat juga Duur al-Mantsur, jilid 5; hal.180]
Seandainya riwayat ahad ini
harus diyakini, maka lebih dari separuh surat al-Ahzab telah hilang, tepatnya
seratus dua puluh tujuh ayat telah hilang dari surat al-ahzab. Sebab, surat
al-Ahzab yang ada di dalam Al-Quran hanya sampai tujuh puluh tiga ayat. Walhasil,
riwayat ini tidak boleh diyakini bahkan harus ditolak untuk dijadikan hujjah
dalam masalah ‘aqidah. Seorang muslim dilarang sama sekali meyakini bahwa ada
ayat Quran yang tidak terlembaga dalam mushhaf ‘Utsmaniy.
· Imam al-Anbariy
meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits
panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, di sana disebutkan,
“Abu Bakar ra. memerintah seorang mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat,
siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya.
Hafshah salah seorang Ummul Mukminin berkata, “Jika kalian sampai pada ayat ini
, beritahulah aku! (Hafidzu ‘ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha…).
Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah
berkata, “Tulislah, hafidzu…wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-’ashr..”.
‘Umar ra. bertanya, “Apakah kamu punya saksi?” Hafshah menjawab, “Tidak!”.
‘Umar berkata, “Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh
seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti.”
Riwayat Hafshah ini juga
tidak boleh diyakini sebagai al-Quran. Sebab, ia adalah khabar ahad. Padahal,
riwayat-riwayat ahad tidak boleh diyakini sebagai bagian al-Quran. Sebab, jika
riwayat ini diyakini sama artinya meyakini bahwa al-Quran telah mengalami
pengurangan, karena tidak mencantumkan lafadz “al-‘ashr”.
· Imam Malik meriwayatkan
dalam al-Muwatha’, dan Ibnu Dawud dalam Mashahif dari Ummul Mukminin ‘Aisyah
ra., ia berkata, “Telah turun ayat tentang 10 (kali isapan) susuan yang
mengharamkan (menjadikan mahram), kemudian dihapus dengan 5 kali (isapan)
susuan. Kemudian Rasulullah Saw. meninggal, sedangkan beliau menyatakan ia
adalah al-Quran.” Namun demikian, tak seorangpun shahabat yang memperhatikan
riwayat ini. Mereka tidak menulisnya di dalam Mushhaf.
· Ibnu Abi Dawud meriwayatkan
dalam Mashahif, al-Haakim, dan selain keduanya dari Mushhaf-nya Ubay bin Ka’ab,
ia menuturkan ayat tentang kifarah (denda) budak. Di dalam mushhaf-nya Ubay
tersebut disebutkan, “fa shiyaam tsalaats ayaam mutatabi’aat fi kifaarat
al-yamiin”[berpuasa tiga hari berturut-turut untuk kifarat al-yamin].”
Akan tetapi, riwayat ini juga
tidak dicantumkan ke dalam mushhaf imam, sebab riwayat tersebut adalah khabar
ahad. Riwayat ini juga tidak boleh dianggap sebagai al-Quran. Sebab, seandainya
ia harus diyakini, maka al-Quran yang terlembaga di dalam mushhaf ‘Utsmaniy
tidak lagi otentik, alias telah mengalami pengurangan. Dalam masalah ini, Imam
Syafi’iy menolak riwayat ini, sebab ia dinukil dengan jalan ahad [lihat
al-Ihkam fi Ushul al-Ahkaam, al-Amidiy]
· Imam Ahmad, Haakim dari
Katsir bin Shalat, ia berkata, “Adalah Ibn al-’Ash dan Zaid bin Tsabit sedang
menulis mushhaf. Lalu, sampailah mereka kepada ayat ini, maka Zaid berkata,
“Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda, “al-Syaikh wa syaikhaat idza zanaya
[kakek dan nenek jika berzina].”, ‘Umar berkata, “Bukankah engkau tahu bahwa
seorang kakek, jika ia tidak muhshon akan dijilid, sedangkan jika seorang
pemuda berzina, dan ia muhshon, maka dirajam”.
· Dalam riwayat Muwatha’
‘Umar berkata dalam khutbahnya, “Seandainya bukan karena orang-orang mengatakan
bahwa ‘Umar bin Khaththab telah menambah Kitabullah, sungguh aku akan
menulisnya (ayat rajam), sungguh kami telah membacanya”.
Namun demikian, riwayat ini
bukanlah al-Quran dan tidak boleh diyakini sebagai ayat yang dihapus (mansukh).
Sebab, riwayat ini adalah khabar ahad. Kita telah memahami bahwa khabar ahad
tidak menghasilkan apapun kecuali hanya sekedar dzan saja. Al-Quran tidak
ditetapkan kecuali dengan jalan kepastian (qath’iy), bukan dzan. Padahal,
al-Quran adalah salah satu rukun dari rukun-rukun ‘aqidah yang harus diimani
baik yang global maupun yang rinci. Seandainya riwayat ini bisa digunakan
hujjah dalam masalah keyakinan (‘aqidah) tentu kita harus meyakini bahwa
mushhaf ‘Utsmaniy tidak lagi otentik. Sebab, mereka tidak melembagakan ayat
rajam yang disampaikan oleh ‘Umar ra. di dalam mushhaf ‘Utsmaniy.
· Ada pula riwayat yang
dikeluarkan oleh Ahmad, al-Bazari, Thabarani, Ibnu Mardawaih dengan jalan
shahih dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, bahwa Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas tidak
memasukkan al-Mu’awidzatain (surat al-Falaq dan al-Naas) dari mushhaf-nya.
Keduanya menyatakan bahwa al-Quran tidak tercampur dengan sesuatu yang bukan
dari Kitabullah. Menurut kedua shahabat itu, al-mu’awidzatain bukan termasuk
al-Quran, namun hanya perintah Allah kepada Nabi Saw. untuk berlindung dengan
keduanya”.
· Imam Fakhr al-Raziy
menuturkan, bahwa sebagian kitab-kitab terdahulu telah menyebutkan bahwa Ibnu
Mas’ud telah mengingkari surat al-Fatihah dan al-Mu’awidzatain sebagai bagian
dari al-Quran. (al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79)
Imam Nawawiy dalam Syarh
al-Muhadzdzab menyatakan: Seluruh kaum muslim telah bersepakat bahwa, al-Mu’awidzatain
dan al-Fatihah merupakan bagian dari al-Quran. Siapa saja yang mengingkari
keduanya [sebagai bagian dari al-Quran] telah terjatuh dalam kekafiran.
Sedangkan riwayat yang dinukil dari Ibnu Mas’ud adalah bathil, dan sama sekali
tidak shahih.
Al-Bazariy menyatakan, “Tidak
ada seorangpun dari kalangan shahabat yang mengikuti Ibnu Mas’ud. Telah
disahkan dari Nabi Saw., bahwa beliau Saw. membaca keduanya dalam sholat, dan
mu’awidzatain ditetapkan dalam mushhaf. Walhasil, para shahabat ra. menolak khabar
dari shahabat Ibnu Mas’ud ra., karena ia adalah khabar ahad yang tidak sampai
kepada derajat mutawatir dan qath’iy.
Ibnu Hazm di dalam kitabnya
al-Qadh al-Ma’aliy Tatmiim al-Majaliy, berkata, “Riwayat ini merupakan
pendustaan atas nama Ibnu Mas’ud.” [al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Itqaan fi ‘Uluum
al-Quran, hal.79]
Ibnu Hajar dalam Syarh
al-Bukhari menyatakan: “Telah dishahihkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia telah
mengingkari al-Mu’awidzatain.” Riwayat senada juga dituturkan oleh Imam Ahmad
dan Ibnu Hibban, bahwa Ibnu Mas’ud tidak menulis al-Mu’awidzatain di dalam
mushhaf-nya. [Al-Hafidz al-Suyuthiy, Al-Itqaan fi ‘Uluum al-Quran, hal.79]
Lalu, apakah berdasarkan
riwayat ahad ini, anda akan menarik kesimpulan bahwa al-Mu’awidzatain bukanlah
bagian dari al-Quran? Seandainya anda menyatakan, bahwa riwayat Ibnu Mas’ud ini
harus diyakini, tentunya al-Quran telah mengalami tahrif (perubahan).
Seandainya kita menyatakan, bahwa hadits ahad yang diriwayatkan dari Ibnu
Mas’ud ini tidak boleh diyakini, maka anda telah menyelamatkan al-Quran dari
adanya tahrif.
Seluruh riwayat di atas telah
menunjukkan kepada kita bahwa, riwayat ahad tidak boleh digunakan hujjah untuk
membangun pokok keimanan. Perilaku para shahabat untuk tidak melembagakan
riwayat-riwayat ahad yang diklaim sebagai al-Quran merupakan bukti nyata, bahwa
khabar ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah.
2. Para shahabat telah
mensyaratkan jumlah tertentu pada saat melembagakan al-Quran di dalam mushhaf
Imam.
Kami juga akan memaparkan
riwayat-riwayat yang menyatakan, bahwa tatkala mengumpulkan al-Quran al-Karim
pada masa Abu Bakar ra., para shahabat telah mensyaratkan jumlah tertentu,
hingga riwayat mereka dianggap sebagai al-Quran.
· Ibnu Abi Dawud dalam
Mashahif dari Abu Bakr, meriwayatkan, “Sesungguhnya Abu Bakar memerintahkan
kepada ‘Umar dan Zaid ra. agar keduanya duduk di pintu masjid, dan
memerintahkan keduanya agar siapapun yang membawa sesuatu dari al-Quran dengan
membawa dua orang saksi, maka keduanya harus mencatatnya”.
· Dari jalan Ibnu Sa’ad, ia
berkata,” Keduanya duduk di pintu masjid, dan tak seorangpun yang membawa
sesuatu dari Al-Quran yang disaksikan oleh dua orang, kecuali akan ditulis dan
tidak akan diingkari oleh keduanya”.
· Menurut Ibnu Abu Dawud
dalam Mashahif dari Yahya bin ‘Abd al-Rahman bin Haatib berkata, ‘Umar berkata,
“Siapa saja yang menyimpan sesuatu –al-Quran– dari Rasulullah, maka
serahkanlah. Sedangkan para shahabat menulis ayat-ayat Quran dalam shuhuf, batu
tulis, tulang. ‘Umar ra. tidak menerima apapun dari seseorang, sampai orang
tersebut menghadirkan dua orang saksi”.
· Dari jalan Ibn Sa’ad dan
Ibn Abi Dawud dan Ahmad bin Hanbal dan selainnya, dari Khuzaimah bin Tsabit
berkata, “Saya menyampaikan ayat (laqad jaa`akum) kepada ‘Umar ra. dan Zaid bin
Tsabit. Zaid bertanya, siapakah orang yang menyaksikan bersamamu.. Saya
menjawab, “Demi Allah saya tidak tahu!” ‘Umar berkata, “Saya menyaksikan hal
itu bersamamu”.
· Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir
dan selainnya meriwayatkan dari ‘Ubaid bin ‘Umair, bahwa ia berkata, “Umar tidak
menerima satu ayat dari Kitabullah sampai ada dua orang saksi yang
menyaksikan”.
· Dalam shahih Bukhari dan
Ibnu Abi Dawud dan selain keduanya dari Zaid bin Tsabit berkata, “Ketika kami
menulis Mushhaf, saya kehilangan sebuah ayat dari kitabullah, di mana aku
pernah mendengarnya dari Rasulullah Saw., dan aku menemukannya pada Khuzaimah
bin Tsabit “Minal mukminiin rijaalun.. “, sedangkan Khuzaimah memiliki dua
orang saksi. Rasulullah Saw. membolehkan persaksian dengan saksi dua orang”.
Riwayat-riwayat di atas
menunjukkan, bahwa para shahabat telah menetapkan syarat-syarat tertentu
tatkala melembagakan al-Quran dalam mushhaf ‘Utsmaniy. Seandainya, khabar ahad
bisa dijadikan hujjah dalam pelembagaan al-Quran, tentu para shahabat tidak
perlu mensyaratkan dua orang saksi. Jikalau berita satu orang bisa digunakan
sandaran untuk menetapkan pokok ‘aqidah (al-Quran) tentu para shahabat tidak
perlu lagi mensyaratkan dua orang saksi. Akan tetapi, para shahabat menolak
untuk melembagakan khabar yang diklaim sebagai al-Quran jika tidak mendatangkan
dua orang saksi dan mendatangkan bukti otentik lainnya.
Perhatikan riwayat berikut
ini:
· Dalam shahih Bukhari, Zaid
berkata, “Saya kehilangan satu ayat dari surat al-Ahzab, kemudian aku
mendapatkannya pada Khuzaimah, karena ia menyimpannya. Seandainya tidak, tentu
hilanglah ayat tersebut. Kemudian ayat tersebut ditulis.
· Dalam riwayat Ibnu Abi
Dawud dari ‘Umar, ia berkata, “Barangsiapa mendapatkan dari Rasulullah sesuatu
dari al-Quran, maka serahkanlah”. Perawi berkata, “Mereka menulis dalam shuhuf,
batu, dan tulang”.
Riwayat di atas menunjukkan
dengan pasti, bahwa para shahabat ra. tidak mencantumkan satupun ayat dalam
mushhaf kecuali bisa dipastikan bahwa ayat tersebut adalah al-Quran yang
diturunkan kepada Rasulullah Saw.
· Imam al-Anbariy
meriwayatkan dalam Mashahif dan al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Zuhri dalam hadits
panjang yang menceritakan tentang pengumpulan Al-Quran, di sana disebutkan,
“Abu Bakar ra. memerintah seorang mu’adzin untuk mengumumkan kepada masyarakat,
siapa saja yang memiliki sesuatu dari al-Quran agar mereka menyerahkannya.
Hafshah salah seorang Ummul Mukminin berkata, “Jika kalian sampai pada ayat ini
, beritahulah aku! (Hafidzu ‘ala al-shalawaat wa al-shalaat al-wustha…).
Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah. Hafshah
berkata, “Tulislah, hafidzu…wa al-shalaat al-wustha, wa al-shalaat al-’ashr..”.
‘Umar ra. bertanya, “Apakah kamu punya saksi?” Hafshah menjawab, “Tidak!”.
‘Umar berkata, “Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh
seorang perempuan sedangkan ia tak punya bukti.”
Berdasarkan riwayat ini, kita
tidak mungkin lagi menyatakan bolehnya membangun pokok keimanan dengan khabar
ahad. Riwayat di atas telah menunjukkan, bahwa ‘Umar telah menolak khabar yang
disampaikan oleh Hafshah. Sebab, Hafshah tidak memiliki saksi. Seandainya
khabar ahad bisa diterima untuk menetapkan al-Quran tentu ‘Umar ra. akan menulis
khabar Hafshah di dalam mushhaf.
3. Argumentasi ‘Aqliyyah
Secara ‘aqliy, ketika anda
menyaksikan suatu peristiwa secara langsung, dan terlibat di dalamnya, anda
pasti akan meyakini kebenaran peristiwa yang anda saksikan tersebut. Sebab,
peristiwa tersebut meyakinkan dari sisi anda. Namun, ketika anda menyampaikan
peristiwa itu kepada orang yang tidak menyaksikannya secara langsung, tentu
orang itu tidak langsung mempercayai ucapan anda, meskipun anda sangat meyakini
peristiwa itu. Peristiwa tersebut hanya meyakinkan dari sisi anda, namun tidak
bagi orang yang tidak menyaksikan peristiwa itu secara langsung. Di sinilah
pentingnya itsbat (penetapan) terhadap apa yang anda sampaikan, apakah berita
yang anda sampaikan itu benar-benar meyakinkan atau tidak.
Hal ini tidak ubahnya dengan
kesaksian yang diberikan seorang saksi kepada seorang qadliy. Seorang saksi
harus membangun kesaksiannya dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Ia tidak boleh
bersaksi, kecuali jika ia menyaksikan kejadiannya secara langsung, meyakinkan
dan pasti. Sebab Rasulullah Saw. bersabda,
“Jika kalian melihatnya
seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika tidak, maka
tinggalkanlah”. (Lihat pada Ahmad al-Da’ur, al-Ahkaam al-Bayyinaat, hal.6,
1965, tanpa penerbit)
Namun demikian, apa yang
disaksikan oleh seorang saksi hanya meyakinkan dari sisi saksi saja, tidak bagi
qadliy. Ketika qadli menerima kesaksian seorang saksi, tidak secara otomatis
“kesaksian itu” meyakinkan dari sisi qadliy –meskipun, kesaksian itu meyakinkan
dari sisi saksi. Bahkan, seorang qadliy tidak harus menjatuhkan vonis
berdasarkan kesaksian seorang saksi. Perhatikan riwayat berikut ini, dari Ummu
Salamah, Nabi Saw. bersabda:
“Sesungguhnya aku ini adalah
manusia biasa, dan kalian telah membawa masalah-masalah yang kalian
perselisihkan kepadaku. Ada di antara kalian yang hujjahnya sangat memukau
daripada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar.
Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi
saudaranya yang lain, maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa
yang aku putuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api neraka” (Hadits
Riwayat Mutafaq ‘Alaih).
Nash ini menunjukkan, bahwa
Rasulullah Saw. memutuskan perkara berdasarkan prasangkanya. Kesaksian yang
diberikan oleh saksi hanya meyakinkan dari sisi saksi, tidak bagi qadliy.
Buktinya, Rasulullah Saw. menyatakan kemungkinan adanya vonis yang salah.
Seandainya, berita yang disampaikan seorang saksi juga meyakinkan dari sisi
qadliy, tentu Rasulullah Saw. tidak akan menyatakan kemungkinan adanya
kesalahan dalam hal vonis.
Bahkan, Rasulullah Saw. telah
menyatakan dengan jelas, bahwa seorang hakim itu memutuskan sesuatu berdasarkan
dzan, bukan sekadar dengan keterangan yang disampaikan oleh seorang saksi.
Dari ‘Amru bin al-‘Ash,
beliau mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Jika seorang hakim memutuskan suatu
perkara, lantas ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua
pahala. Namun, jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia
berijtihad, dan ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.
Kenyataan seperti ini, sama
persis dengan si anu yang menyampaikan sebuah khabar kepada si fulan. Meskipun
khabar itu meyakinkan dari sisi si anu, namun dari sisi si fulan, khabar itu
tidaklah meyakinkan. Oleh karena itu, si fulan bisa menolak, atau menerima
berita dari si anu.
Namun demikian, jika berita
itu telah masyhur dan meyakinkan, maka dengan sendirinya, siapapun yang
menyampaikan berita itu, wajib kita yakini. Secara ‘aqliy khabar yang
disampaikan seseorang atau lebih yang tidak mengantarkan kepada keyakinan,
hanya akan menghasilkan dzan belaka, tidak meyakinkan.
Seluruh keterangan di atas
menunjukkan bahwa akal bisa menetapkan bahwa berita yang disampaikan secara
ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekedar dzan belaka.
Dari Buku: MELURUSKAN AQIDAH
KITA HADITS AHAD TIDAK BOLEH DIJADIKAN HUJJAH DALAM PERKARA AQIDAH ; Syamsuddin
Ramadlan
Mohon Komentarnya?
Abu Ridho - January 6th, 2012
at 6:13 pm
Assalammu’alaikum Wa
Rahmatullah Wa Barakatuh
Saudaraku seiman yang
diberkahi, Allah mewahyukan kepada Nabi-Nya untuk mengabarkan kepada hamba-Nya
hadits diatas : “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika
sepertiga malam terakhir”.
Sebagian dari saudara kita
bertanya tentang “Bagaimana Allah turun ke langit dunia” dengan akal sebagai
tolok ukurnya. Padahal telah jelas petunjuk Allah agar tidak berfikir tentang
Dzat-Nya, namun berfikirlah tentang perbuatan-Nya pada firman Allah :
“Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari
siksa neraka.’” (Ali ‘Imran: 191).
Selaras dengan itu, Nabi
Salallah Alayhi Wa Salam melarang kita untuk berfikir tentang Dzat Allah :
“Berfikirlah tentang
nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berfikir tentang Dzat
Allah.”
(Hasan, Syaikh al-Albani
dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah [1788]).
Bagaimana Allah turun ke
langit dunia, merupakan hal ghaib bagian dari masalah aqidah. Dalam masalah ini
tentu akal sangat sangat sangat terbatas untuk menjangkaunya. Oleh karena itu
gunakankanlah iman dalam soal ini.
Bagi yang memaksakan untuk
berfikir tentang Dzat Allah, ingat kata-kata orang Betawi : “nggak mungkin
Choi” alias “Kagak bakalan nyambung Choi”.
Wassalam.
Acha Nirina - February 3rd,
2012 at 5:51 am
lagi2 nih si bapak ustat sok
bener sendiri padahal otaknya masih bahlul ente
pakek bahas alloh kek tuhan
kek siang malam kek dalil kek??
pak belom lulus SD yaaah
bahlul bgt pantesan org muslim yg tolol.
pak ustat taw ga sih ente di
bumi ntu kan waktu berbeda-beda jd kluw di irian jam 9 malem di bali jam 8
malem di jawa jam 7 malem di aceh jam 6 malem trus apalagi deh di amrik sono
bedanya wktunya satu hari ma di wktu di indo.
kluw alloh turunnya cuman
tiap malem aza berarti turunx gmn dunx sedangkan di bumi wktx beda di guwa
siang di elo malem??
makanya pak kluw mw
ngejelasin tuh pake otak alias mikir jgn pakek pantat para imam yg otakx bego
lebih bego drpd anak tk di jepang udh ngerti nama2 benda laut
xixixixixixix
PIZZ
Dada Chandra Ramadhan - May
6th, 2012 at 10:59 am
Ustadz, saya boleh tanya gak?
Cuman dua pertanyaan aja nih,
Ustadz!
1] Apakah Allah terikat
dengan ruang dan waktu sebagaimana materi (fisik)?
2] Kalau misalkan Allah
turunnya hanya malam saja, lantas bagaimanakah dengan terjadinya perbedaan
waktu di permukaan bumi ini, Ustadz?
abu hasan - May 22nd, 2012 at
9:02 pm
@acha nirina:
Na’udzubillahi min dzalik…
Andalah yang ga pake otak… Sekarang coba pikirkan dengan logika :
Apa Allah menciptakan segala
sesuatu dan berkuasa atas segala sesuatu? Tentu saja jawabannya “IYA”
Jika begitu, maka elemen yang
bernama “waktu” juga termasuk ciptaan Allah. Bagaimana bisa membandingkan kuasa
Allah yang Maha Segalanya dengan elemen “waktu” (pagi, siang, sore di belahan
muka bumi) yang jelas-jelas ciptaan-Nya???
Bagaimana bisa membandingkan
kuasa Allah sang “khaliq” dengan “waktu” yg cuma makhluk? itu sama saja Anda
menganggap Allah tidak berkuasa atas makhluk ciptaan-Nya yaitu “waktu” dan
secara langsung Anda MENOLAK firman Allah dalam Al-Quran :
“Sesungguhnya Allah itu
Berkuasa atas segala sesuatu” (Q.S Al-Baqarah: 20)
“Dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah : 29)