Penulis: Al-Ustadz Abu Hamzah
Yusuf Al-Atsary
Pertanyaan:
Assalaamu’alaikum, ada
sekelompok orang yang mengatakan “jangan lihat siapa yang bicara, tapi lihat
apa yang dibicarakan!” Apa ini benar? (081586190***)
Jawaban:
Wa’alaikumussalaam
warahmatullaah.
Ucapan: “Jangan lihat siapa
yang bicara, tapi lihat apa yang dibicarakan!” ini bukanlah firman Allah, sabda
Rasulullah ataupun kaidah ushul fiqh, sehingga kita tidak usah dipusingkan
dengan ucapan tersebut.
Ucapan tadi sengaja
dipopulerkan oleh orang-orang yang bermanhaj di sana senang di sini senang,
sehingga mereka mengambil ilmu atau belajar dari siapa saja karena berpegang
dengan ucapan tadi.
Bahkan yang benar adalah kita
mengambil ilmu dari orang yang lurus manhajnya yaitu dari ahlus sunnah wal jama’ah
bukan dari sembarang orang apalagi dari ahli bid’ah.
Al-Imam Ibnu Sirin
mengatakan:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا
عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah
agama, maka hendaklah kalian melihat dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
(Muqaddimah Shahiih Muslim)
Beliau juga mengatakan:
“Mereka (para shahabat dan tabi’in) pada awalnya tidaklah menanyakan tentang
sanad hadits. Maka ketika terjadi fitnah (munculnya berbagai firqah sesat
seperti Khawarij, Syi’ah-Rafidhah dan lainnya), mereka berkata: “Sebutkan
kepada kami sanad kalian. Maka dilihat apabila datang dari ahlus sunnah maka
diterima haditsnya dan apabila datang dari ahli bid’ah maka ditolak haditsnya.”
(Ibid.)
Memang, kita tidak memungkiri
bahwa bisa jadi setiap orang termasuk ahli bid’ah mengatakan sesuatu yang
benar. Akan tetapi apakah kita menjamin bahwa mereka tidak mencampurinya dengan
kebathilan? Atau mereka menyampaikannya tetapi dengan tafsiran yang salah? Atau
apakah kita dapat memilah mana yang benar dan mana yang salah?
Ketika mereka menyampaikan
ayat, hadits atapun ucapan para ulama, mereka ubah lafazhnya atau diselewengkan
tafsirnya sesuai dengan hawa nafsu mereka?
Ketika datang ahli bid’ah
kepada seorang ulama salaf, ingin menyampaikan satu kalimat atau satu ayat,
maka ulama tadi mengatakan: “Tidak, walaupun setengah kata (saya tidak akan
mendengarkannya).” Dan ketika ditanya: “Mengapa engkau tidak mau mendengarkan
ayat yang akan dibacakannya?” Maka sang ulamapun menjawab: “Saya takut kalau
dia membaca satu ayat lalu dia ubah lafazhnya dan hal ini menancap di hatiku
sehingga akupun menjadi sesat karenanya.”
Tidakkah kita takut terjatuh
dalam kesalahan dan penyimpangan akibat mengambil ilmu dari siapa saja?
Hendaklah kita lebih berhati-hati dan waspada dalam mengambil ilmu karena ilmu
ini adalah agama yang akan kita pertanggungjawabkan kepada Allah di hari kiamat
nanti.
Di samping itu, kalau kita
mengambil ilmu dari ahli bid’ah maka hati kita akan condong kepadanya sehingga
mentolerir kesalahan dan penyimpangannya yang akhirnya lambat laun kita
mengikutinya secara sempurna, yang pada awalnya kita hanya ingin mengambil
kebaikannya saja, nas`alullaahas salaamah.
Apakah ahlus sunnah tidak
memiliki kebaikan atau kurang kebaikannya sehingga kita harus mengambil ilmu
dari ahli bid’ah?
Bukankah masih banyak ahlus
sunnah yang mendakwahkan Islam berdasarkan pemahaman salafush shalih?
Berhati-hatilah dalam mengambil ilmu, mudah-mudahan Allah menunjukki kita semua
kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Wallaahul Muwaffiq.
Sumber : Buletin Al-Wala’
Wal-Baro’ Edisi ke-23 Tahun ke-3 / 06 Mei 2005 M / 27 Rabi’ul Awwal 1426 H