Husein bin Ali bin Abi
Thalib, cucu Rasulullah SAW ini meninggal tepat hari Jumat tanggal 10 Muharram
61 H. Ia bersama 72 orang lainnya terbunuh saat berperang dengan pasukan
suruhan Abdullah bin Ziyad yang dipimpin Umar bin Sa’ad. Korban dari Ibnu Sa’ad
sendiri berjumlah 88 orang.
Selain Husein,
saudara-saudaranya yang menjadi korban di antaranya Ja’far, Abbas, Abu Bakar,
Muhammad, dan Utsman. Jika dihitung keseluruhan, korban meninggal dari keluarga
Rasulullah SAW berjumlah 18 orang. Termasuk putera-putera Hasan dan Husein
sendiri.
Dari peristiwa inilah
kelompok Syiah memperingati Hari Asyura setiap tahunnya. Mereka menjadikan hari
tersebut sebagai ajang untuk melakukan ratapan dan kesedihan atas meninggalnya
Husein. Ritual ini bukan semata berbalut kesedihan, tetapi dibarengi dengan
aksi penyiksaan diri. Tak jarang senjata-senjata tajam dan keras digunakan
sebagai bentuk keprihatinan atas tragedi tersebut.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan
bahwa ritual ini dimulai tahun 352 H. Pencetusnya adalah Dinasti Buwaih
beraliran Syiah yang mewajibkan penduduk Irak untuk melakukan ratapan terhadap
Husein. Yaitu dengan menutup pasar, melarang memasak makanan, dan para wanita
mereka keluar kemudian menampar-nampar wajah serta membuat fitnah di hadapan
manusia.
Hal ini kemudian diikuti oleh
Dinasti Fatimiyah yang merayakannya dengan tindakan serupa. Pada hari itu,
khalifah duduk dengan muka masam sambil memperlihatkan kesedihan, begitu juga
para hakim, dai, dan pejabat pemerintah. Para penyair membuat syair dan menyebutkan
riwayat dan kisah-kisah karangan tentang pembunuhan Husein.
Hingga saat ini, perayaan
yang dianggap agung oleh kelompok Syiah ini masih terus dilakukan.
Wilayah-wilayah yang menjadi basis atau berkerumunnya kelompok Syiah selalu
ramai ketika momen ini tiba. Para lelaki, wanita, hingga balita ikut turun
menyemarakkan acara yang dibalut ratapan dan darah ini. Semua itu diklaim
sebagai bentuk keprihatinan atas tragedi yang menimpa putra Ali.
Itikad untuk menghormati
kematian Husein tersebut tidak dibarengi dengan penghormatan terhadap para
sahabat lainnya. Bahkan, terhadap putra Ali yang ikut terbunuh dalam peristiwa
itupun, kaum Syiah enggan untuk menyebutnya. Dalam kitab dan pujian-pujian yang
terkait dengan pembunuhan Husein, tidak akan didapati nama-nama Abu Bakar dan
Utsman bin Ali di dalamnya.
Selain bentuk diskriminasi
terhadap para sahabat, ritual semacam ini juga tidak pernah ada contoh dari
Nabi SAW. Maka, benarlah apa yang dikatakan Syaikh Abdul Aziz Ath-Thuraifi
ketika menyangkal ritual bidah yang telah bertahun-tahun menjadi tradisi kaum
Syiah tersebut. Alasan-alasan yang beliau kemukakan adalah sebagai berikut:
Pertama: Ketika
terbunuhnya Hamzah bin Abdul Muthalib, tidak ada peringatan dan hari berduka
cita yang diperuntukkan Nabi SAW untuknya. Padahal, Hamzah menjadi korban
paling agung di zaman Nabi SAW. Ia dibunuh dan jasadnya dicincang-cincang.
Saat melihat jenazahnya pun, Nabi SAW menangis dan berkata, “Saya tidak akan
ditimpa musibah seperti ini selamanya.”
Kedua: Seandainya secara
logika apa yang dilakukan Syiah seperti menangis dan menampar-nampar pada hari
terbunuhnya Husain itu sah, maka akan diperbolehkan bagi umat untuk
melakukannya tiap hari dalam setahun. Karena tidak ada hari dalam setahun yang
kosong dari meninggalnya seorang Imam.
Ketiga: Ali bin Abi
Thalib dibunuh dengan zalim, dan anak beliau, Husain hidup selama 21 tahun
sepeninggalnya. Husain sama sekali tidak membuat peringatan duka cita atas
meninggalnya sang ayah. Lantas, kenapa Syiah tidak melakukan peringatan yang sama
kepada Ali, sebagaimana mereka memperingati hari kematian Husain? Padahal, Ali
lebih afdhal daripada Husain.
Penulis: Rudy M.
http://www.kiblat.net/2015/10/26/sama-sama-wafat-terbunuh-kenapa-husein-diratapi-namun-ali-tidak/
بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ
Nama-Nama Ahli Bait yang Terbunuh Bersama
Husein
Setelah peperangan selesai,
Umar bin Sa’ad memerintahkan agar siapa pun tidak berbuat jahat kepada
putra-putra Husein dan istri-istrinya.[1] Umar bin Sa’ad mengirimkan
Husein, istri-istrinya dan anak-anak kecil yang bersama dengannya kepada Ibnu
Ziyad.[2]
[2] Târîkh Ath-Thabari, dengan menukil dari Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal. 276
[3] Târîkh Khalîfah bin Khyyâth, hal. 234
[4] Hiqbah Min At-Târîkh, hal. 135, 136
Terbunuhnya Husein di Karbala
secara zalim jelas meninggalkan duka bagi umat Islam. Namun, Islam tidak
mengajarkan umatnya untuk membesar-besarkan masalah hingga berakhir pada
perbuatan yang berlebihan, yang dilarang agama.
Membantah Syi’ah: Masalah Pengingkaran terhadap
Keturunan Al-Hasan
بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ
Masalah Pengingkaran terhadap Keturunan
Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu[101]
Di antaranya adalah ucapan mereka bahwa
Al-Hasan bin Ali tidak meninggalkan keturunan, anak cucu beliau telah musnah
dan bahwasanya tidak tersisa seorang laki-laki pun dari keturunan beliau.
Ucapan ini tersebar luas di kalangan mereka. Mereka bersepakat padanya dan
tidak butuh untuk menetapkannya, demikianlah yang dikatakan.
Di antara mereka ada yang mengklaim bahwa
Al-jajj seperti mereka seluruhnya. Hal itu mereka jadikan sebagai jembatan
untuk membatasi kepemimpinan hanya pada anak cucu Al-Husain[102] dan dari
merekalah kedua belas imam tersebut. Juga untuk membatalkan kepemimpinan orang
yang mengaku dari keturunan Al-Hasan, meskipun dengan fadhilah dan kebesaran
mereka, kesamaan mereka memenuhi syarat kepemimpinan, pembaiatan manusia
terhadap mereka, keabsahan nasab mereka serta dalamnya ilmu mereka, di mana
mereka semua telah mencapai derajat ijtihad mutlak -semoga Allah memerangi
mereka, bagaimana mereka sampai menyimpang?-.
Coba lihat mereka para musuh ahli bait yang
telah menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
Fathimah dengan mengingkari nasab yang secara pasti termasuk keturunan Al-Hasan radhiyallahu
‘anhu, padahal tetapnya keturunan beliau itu mutawatir[103], tidak
tersembunyi bagi orang yang mempunyai pengetahuan. Padahal, Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam telah menganggap perbuatan mencela nasab itu termasuk
perbuatan jahiliyyah[104] dan telah datang dalil yang menunjukkan bahwa
Al-Mahdi itu berasal dari keturunan Al-Hasan sebagaimana diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan yang selainnya.[105]
___________________________
101 Asy-Syaikh rahimahullah menyebutkan
pengingkaran Rafidhah terhadap keturunan Al-Hasan dikarenakan mereka -semoga
Allah memerangi mereka- membenci Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu di mana
beliau mengalah turun dari kekhalifahan untuk Mu’awiyyah, melindungi darah kaum
muslimin, dan memenuhi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya
anakku ini adalah sayyid. Semoga Allah akan mendamaikan dengannya dua kelompok
besar dari kaum muslimin. ”(Dari Abu Bakrah dalam riwayat Al-Bukhari no. 3746
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan- Nihayah [8/16]).
102 Dengan bukti bahwa para imam mereka berasal
dari keturunan Al- Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhu sampai mahdi
mereka yang diyakini Muhammad bin Al-Hasan Al-Askari, padahal hakikat
perkaranya itu hanya khurafat (cerita khayalan).
103 Silakan melihat apa yang ditulis oleh guru
kami, Al-Imam Al-Wadi’irahimahullah, dalam kitab beliau Riyadhul Jannah hal.
64, menukilkan dari ulama Yaman, Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shan’ani,
dalam kitabnya, Al-Masa’il Ats-Tsiman di mana beliau mendukung apa
yang disebutkan oleh penulis rahimahullah bahwa anak keturunan
Al-Hasan senantiasa ada sampai sekarang. Silakan juga melihat Siyar A’lami
An-Nubala’ (3/279)
104 Asy-Syaikh mengisyaratkan kepada hadits
yang diriwayatkan oleh Muslim no. 934: Dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada empat perkara di umatku dari perkara
jahiliyyah yang tidak mereka tinggalkan: membanggakan keturunan, mencela nasab,
minta hujan dengan bintang, dan niyahah (meratapi mayit).”
105 Hadits tersebut riwayat Abu Dawud no. 4290
dari jalan Abu Ishaq As-Sa’bi dari ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam ‘Annul
Ma’bud, Al-Mundziri mengatakan bahwa sanad ini terputus, Abu Ishaq As-Sabi’i
hanya sekali melihat Ali. Dan hadits tersebut didhaifkan oleh Al-Albani dalam Al-
Misykah no. 5462.
Faidah: Ibnul Qayyim berkata dalam Al-Manarul
Munif hal. 118 cet. Darul Ashimah,
“Keadaan Al-Mahdi itu dari keturunan Al-Hasan
terdapat rahasia yang unik, di mana Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu meninggalkan
kekhalifahan karena Allah, maka Allah menjadikan dari anak turunnya orang yang
akan menjadi khalifah yang sah yang berisi keadilan yang memenuhi bumi. Ini
adalah sunnatullah pada hamba-hamba-Nya bahwa siapa saja yang meninggalkan
sesuatu karena-Nya, maka Allah akan memberikan kepadanya-atau memberikan kepada
anak cucunya- sesuatu yang lebih afdhal darinya. Ini berbeda dengan Al-Husain radhiyallahu
‘anhu di mana beliau sangat ingin memperolehnya dan berperang untuk
mendapatkannya, tetapi tidak berhasil. Wallahu a’lam.”
[Dari: Risalatun fir Raddi ‘alal Rafidhah;
Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab; Ta’liq & Tahqiq: Abu
Bakr Abdur Razzaq bin Shalih bin Ali An-Nahmi; Judul Indonesia: Bantahan
& Peringatan atas Agama Syiah Rafidhah; Penerjemah: Abu Hudzaifah Yahya;
Penerbit: Penerbit Al-Ilmu]
https://hizbiyyun.wordpress.com/2012/10/01/membantah-syiah-masalah-pengingkaran-terhadap-keturunan-al-hasan/
Itu adalah keluarga Husein
yang masih hidup. Sedangkan pendukung Husein dari keluarga Rasulullah saw yang
terbunuh dalam peperangan itu adalah:
Husein itu sendiri, Jakfar,
Abbas, Abu Bakar, Muhammad, dan Utsman; mereka adalah putra-putra Ali bin Abi
Thalib.
Putra Husein, yaitu Ali yang
paling besar, bukan Ali Zainal Abidin, karena ia adalah Ali yang paling kecil,
dan Abdullah.
Putra-putra Hasan, yaitu
Abdullah, Qasim, dan Abu Bakar.
Putra-putra Uqail, yaitu Jakfar,
Abdullah, Abdurrahman, dan Muslim bin Uqail dibunuh di Kufah, dan Abdullah bin
Muslim.
Putra-putra Abdullah bin
Jakfar, yaitu Aun dan Muhammad.[3]
Semuanya adalah 18 orang dari
keluarga Rasulullah saw. Mereka telah terbunuh dalam peperangan yang tidak
seimbang ini.
Namun, yang aneh dari
peperangan ini, Abu Bakar bin Ali, Utsman bin Ali, serta Abu Bakar bin Hasan
yang terbunuh bersama Husein bin Ali ra tersebut tidak diakui oleh Syiah. Anda
tidak akan menemukan nama-nama mereka ini ketika mendengarkan kaset-kaset dari
Syiah dan buku-buku yang mereka tulis tentang terbunuhnya Husein.
Tujuannya adalah agar tidak
dikatakan bahwa Ali bin Abi Thalib menamai putra-putranya dengan nama Abu
Bakar, Umar, dan Utsman, atau Hasan memberikan nama kepada putra-putranya
dengan nama Abu Bakar. Ini adalah sesuatu yang sangat aneh dari mereka![4]
—————
[1] Ath-Thabaqât, V/385; Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal. 277[2] Târîkh Ath-Thabari, dengan menukil dari Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal. 276
[3] Târîkh Khalîfah bin Khyyâth, hal. 234
[4] Hiqbah Min At-Târîkh, hal. 135, 136
* Disadur dari Ensiklopedi
Sejarah Dr Ali Ash-Shalabi oleh Agus Abdullah. Semoga Allah memberikan pahala
jariyah kepada beliau.
Dongeng-Dongeng Keajaiban Saat Husein Terbunuh
Kelompok Syiah telah
berlebih-lebihan dalam meriwayatkan kejadian ini. Buku-buku sejarah mereka
penuh dengan dongeng kejadian-kejadian yang aneh terkait tragedi Karbala.
Contohnya mereka menyebutkan
bahwa beberapa saat setelah Husein terbunuh, langit berubah merah. Batu-batu
mengeluarkan darah dari baliknya. Jin menangis dan khayalan-khayalan lain yang
direka-reka oleh sejarawan Syiah pada waktu itu. Dongeng-dongeng ini diwarisi
sampai saat ini untuk membesar-besarkan kejadian tersebut. [1]
Pengkaji sanad riwayat-riwayat itu menyimpulkan bahwa itu adalah kisah yang dhaif dan merusak. Ada riwayat yang perawinya tidak dikenal (majhul) atau orang yang menyembunyikan fakta (mudallis) agar mata generasi berikutnya buta terhadap kejadian yang sebenarnya.” [2] Hanya ada satu riwayat yang disebutkan di Fadhailush Shahabah (II/766) yang menyebutkan bahwa Ummu Salamah mendengar jin menangis iba atas kematian Husein. Disebutkan bahwa riwayatnya hasan.
Pengkaji sanad riwayat-riwayat itu menyimpulkan bahwa itu adalah kisah yang dhaif dan merusak. Ada riwayat yang perawinya tidak dikenal (majhul) atau orang yang menyembunyikan fakta (mudallis) agar mata generasi berikutnya buta terhadap kejadian yang sebenarnya.” [2] Hanya ada satu riwayat yang disebutkan di Fadhailush Shahabah (II/766) yang menyebutkan bahwa Ummu Salamah mendengar jin menangis iba atas kematian Husein. Disebutkan bahwa riwayatnya hasan.
Di antara kebohongan
sejarawan Syiah pada kejadian ini, bahwa keluarga Husein dan pendukungnya yang
ditangkap, diarak di atas unta-unta dalam keadaan telanjang. Itulah sebabnya,
menurut mereka, punuk-punuk unta Bukhati[3] tumbuh pada hari itu untuk
menutup aurat mereka, terutama untuk menutupi kemaluan dan dubur mereka.[4]
Ibnu Katsir, ahli tafsir dan
sejarawan warisan umat Islam, menyatakan bahwa itu adalah tindakan Syiah yang
berlebih-lebihan. Ibnu Katsir mengungkapkan:
“Syiah telah berlebih-lebihan
pada Hari Asyura. Mereka mereka-reka banyak hadits dan kebohongan yang nyata,
misalnya gerhana matahari pada hari itu sampai bintang-bintang menjadi
kelihatan. Pada hari itu setiap batu yang diangkat, pasti ditemukan darah di bawahnya.
Setiap penjuru langit menjadi merah membara. Matahari terbit dan sinarnya
seolah-olah seperti darah. Matahari menjadi seolah-olah darah yang menggantung.
Bintang-bintang saling bertabrakan. Langit menurunkan hujan darah merah. Merah
langit saat itu belum pernah dikenal sebelumnya.
Ketika mereka membawa kepala
Husein masuk ke istana pemerintahan, tembok-tembok istana mengalirkan darah.
Setiap batu di Baitul Maqdis yang diangkat pasti keluar darah pekat di
bawahnya. Unta yang mereka rampas dari Husein, ketika direbus, dagingnya
menjadi seperti buah labu. Dan masih banyak kepalsuan lain yang tidak shahih
sama sekali.”[5]
——————
[1] Ahdâts wa Ahâdîts Fitnah Al-Haraj, hal. 204
[2] Ibid, hal. 213
[3] Bukhati adalah unta Khurasan
[4] Al-Bidâyah wan Nihâyah, XI/564, 565
[5] Al-Bidâyah wan Nihâyah, XI/576
[1] Ahdâts wa Ahâdîts Fitnah Al-Haraj, hal. 204
[2] Ibid, hal. 213
[3] Bukhati adalah unta Khurasan
[4] Al-Bidâyah wan Nihâyah, XI/564, 565
[5] Al-Bidâyah wan Nihâyah, XI/576
* Disadur dari Ensiklopedi
Sejarah Dr Ali Ash-Shalabi oleh Agus Abdullah. Semoga Allah memberikan pahala
jariyah kepada beliau.