Makan Husein bin Ali ra di Karbala, menurut keyakinan Syiah Imamiyah [ft
wiki]
Perbuatan menyimpang para
Hari Asyuro, baik dari kalangan yang berlebihan maupun yang meremehkan tidak
lepas dari keyakinan yang keliru terhadap perang yang menyebabkan kematian
Husein, cucu Rasulullah saw. Untuk itu, kiblat.net akan menyajikan beberapa
tulisan berkaitan dengan hari Asyura dan tragedi Karbala. Kita awali dengan
sebab-sebab Husein tidak berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah.
Sejarah mencatat bahwa Husein
enggan berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah. Inilah sikap yang berakhir kepada
pertempuran di Karbala yang tidak seimbang. Abdullah bin Zubair dan Ibnu Umar
juga bersikap sama, meskipun para sahabat senior memilih berbaiat dan mengakui
kepimpinan Yazid.
Banyak pelajaran dari sikap
sahabat senior dan kalangan muda ini dalam mengambil sikap ketika melihat
sesuatu yang melanggar syariat. Mari kita cermati sebab-sebab Husein enggan
berbaiat, lalu kita pahami juga kisah ini secara menyeluruh yang berakhir pada
tragedi Karbala.
Sebabnya utama penolakan itu
ialah semangat yang besar untuk menjaga prinsip musyawarah dan agar umat ini
dipimpin oleh orang yang terbaik. Keengganan yang kuat dari Husein dan Abdullah
bin Zubair telah diungkapkan dengan bentuk nyata pada masa selanjutnya.
Husein ra seperti disebutkan
dalam sejarah, pada awalnya tidak sudi berdamai dengan Muawiyah. Ia kemudian
menerima itu karena mengikuti saudaranya, Hasan bin Ali. Pada masa inilah,
Husein bin Ali senantiasa menjalin hubungannya dengan penduduk Kufah. Mereka
menjanjikan kepadanya untuk melakukan pemberontakan, tetapi setelah kematian
Muawiyah. Buktinya adalah setelah Muawiyah meninggal, maka para pemimpin Kufah
segera menulis surat kepada Husein. Mereka meminta kepadanya untuk pergi ke Kufah
secepatnya.[1] Walaupun akhirnya mereka berkhianat dan meninggalkan
Husein.
Sikap Husein untuk menentang
pemerintahan Bani Umayyah melewati dua tahap:
Tahap pertama: tidak melakukan baiat kepada Yazid dan pergi ke Mekkah. Pada
tahap ini, Husein menentukan sikap politiknya terhadap pemerintahan Yazid
berdasarkan pandangannya terhadap legalitas pemerintahan Bani Umayyah. Dia
berpendapat tidak boleh melakukan baiat kepada Yazid. Hal itu karena dua sebab.
Pertama, dilihat dari aspek kelayakan, Yazid tidak layak menjadi khalifah bagi
kaum muslimin karena tidak memiliki syarat-syarat keadilan.[2] Kedua,
secara politik, tidak adanya prinsip musyawarah dan kepentingan kekuasaan Bani
Umayyah yang bertentangan dengan metode Islam.
Husein ra tentu saja masih ingat sabda Rasulullah saw:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa yang mati,
sedangkan ia tidak memiliki baiat di pundaknya, maka ia mati dalam keadaan
jahiliah.”[3]
Tetapi, pemahaman hadits itu berlaku terhadap orang yang layak untuk menduduki
jabatan khalifah dan memang berhak, yang diangkat berdasarkan musyawarah kaum
muslimin.[4]
Tahap kedua: tindakan nyata
untuk menentang pemerintahan Bani Umayyah. Hal ini diungkapkan oleh para ahli
fikih dengan istilah keluar dari penguasa.
Perlu ditunjukkan di sini
bahwa Husein telah tinggal beberapa bulan di Mekkah sebelum pergi ke Irak, pada
Dzulhijjah tahun yang sama.[5] Selama itu, Husein ra saling berkirim
surat dengan penduduk Irak dan banyak utusan datang kepadanya, hingga akhirnya
ia memutuskan untuk melawan kezaliman dan kemungkaran. Ini adalah kewajiban.
Kelompok pendukungnya di Irak selalu berhubungan dengannya.[6]
Husein telah berketetapan
hati dan membangun sikap politiknya untuk menentang pemerintahan Bani Umayyah.
Dia berpendapat bahwa Bani Umayyah tidak menaati hukum Allah di bidang
pemerintahan. Mereka telah menentang metode Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin.
Husein membangun pendapatnya dengan rangkaian logika syariat.
Kesewenang-wenangan Bani Umayyah dan ketidakpercayaan terhadap kecakapan serta
keadilan Yazid mengharuskan tidak dilakukan baiat. Di sisi lain amar makru nahi
mungkar merupakan suatu kewajiban atas semua ulama umat ini, dan salah satu
kemungkaran yang terbesar adalah pemerintahan Bani Umayyah. Karena Husein
merasa tidak wajib berbaiat dan dia adalah salah satu ulama umat ini, maka dia
merupakan tokoh yang paling berhak untuk mengubah kemungkaran ini.
Jadi, sikapnya itu bukanlah
menentang pemimpin, melainkan mengubah kemungkaran dan menghancurkan kebatilan.
Sikapnya merupakan usaha untuk mengembalikan pemerintahan kepada jalan Islam
yang benar.[7] Salah satu bukti semangat besar Husein ra untuk
menyelaraskan fatwa dan gerakan-gerakan politiknya dalam menentang pemerintahan
Bani Umayyah dengan ajaran dan kaidah Islam adalah keengganannya untuk tetap
tinggal di Mekkah ketika dia sudah berkehendak kuat untuk menentang Yazid.
Tujuannya adalah agar kesucian Mekkah tidak ternodai serta menjadi medan perang
dan pembunuhan. Dia berkata kepada Ibnu Abbas, “Jika aku dibunuh di tempat ini,
hal ini lebih aku cintai daripada aku dibunuh di Mekkah dan kota itu
dihalalkan.”[8]
———————————
[1] Mawâqif Al-Mu’âradlah,
hal. 180
[2] Al-Fuqahâ’ wa Al-Khulafâ’, Sulthan Hutsailan, hal. 21
[3] Muslim, hadits no : 1851
[4] Al-Fuqahâ’ wa Al-Fuqahâ’, hal. 22
[5] Târîkh Ath-Thabari, VI/304; Al-Bidâyah wan Nihâyah, XI/494
[6] Târîkh Ath-Thabari, VI/273, 274
[7] Al-Fuqahâ’ wa Al-Khulafâ’, hal. 23
[8] Târîkh Ath-Thabari, dengan menukil dari Al-Khulafâ’, hal. 25
* Disadur dari Ensiklopedi
Sejarah Dr Ali Ash-Shalabi oleh Agus Abdullah. Semoga Allah memberikan pahala
jariyah kepada beliau.
Awal yang Meyakinkan Husein untuk Pergi ke
Kufah
Masjid Agung di Kufah 1915 [wiki]
Para sahabat senior dan ulama
Tabiin telah menasihati Husein agar membatalkan niatnya pergi ke Kufah. Namun
semua itu tidak mempengaruhi niatnya. Jaminan dukungan penduduk Kufah menjadi
faktor utamanya, terutama setelah Husein mengirim utusan langsung untuk
memastikan.
Setelah kedatangan surat
dukungan terus berlanjut dari para pemimpin Kufah kepada Husein, timbul
keinginannya untuk mengetahui fakta sejatinya. Untuk itu, dia mengutus putra
pamannya, Muslim bin Uqail bin Abi Thalib untuk mengetahui kebenarannya,
kemudian melaporkannya melalui surat. Jika yang mereka katakan adalah benar,
dia datang kepada mereka.
Muslim bin Uqail pergi untuk
menjalankan tugas itu dengan ditemani oleh Abdurrahman bin Abdullah Al-Arhabi,
Qais bin Mashar Ash-Shaidawi, dan Imarah bin Ubaid As-Saluli. Ketika Muslim
sudah sampai di Madinah dia mengambil dua petunjuk jalan. Di jalan ke Kufah,
mereka tidak tahu arah di suatu tempat dan salah satu dari dua petunjuk jalan
itu meninggal dunia karena kehausan. Muslim menulis surat kepada Husein untuk
membebaskannya dari tugas itu. Hal itu karena ia merasakan adanya berbagai
kesulitan yang menunggunya di Kufah. Tetapi, Husein menolak permintaannya dan
memerintahkan kepadanya untuk melanjutkan perjalanan ke Kufah.
Ketika Muslim bin Uqail
sampai di Kufah, pada awal kedatangannya dia singgah di rumah Mukhtar bin Abi
Ubaid.[1] Ketika Ubaidillah bin Ziyad memegang kepemimpinan di Kufah dan
memulai tekanan yang keras kepada rakyat, Muslim berpindah ke rumah Hani’ bin
Urwah. Hal itu karena dia takut urusannya terbongkar, selain menakutkan
kedudukan dan kepentingan Hani’ sebagai salah satu pembesar Kufah. Ketika keraguan
mulai muncul, Ibnu Ziyad berdiskusi dengan Hani’ bin Urwah. Muslim bin Uqail
khawatir terhadap keselamatan dirinya sendiri. Akhirnya dia berpindah
secepatnya ke tempat Muslim bin Ausajah Al-Asadi, salah seorang dai dari kaum
Syiah.[2] Ketika penduduk Kufah mengetahui kedatangan Muslim bin Uqail,
mereka datang kepadanya. Dia dibaiat oleh 12 ribu orang.[3] Baiat itu
berhasil dilaksanakan secara diam-diam dan dengan harapan yang besar.
Ketika Muslim bin Uqail
melihat penduduk Kufah sangat menginginkan kedatangan Husein, dia pun menulis
surat kepada Husein, “Pemimpin ini tidak berdusta kepada keluarganya. Semua
penduduk Kufah mendukungmu. Karena itu, datanglah ke sini ketika suratku ini
sudah engkau terima.”[4]
Dengan surat itu, yakinlah
Husein terhadap kejujuran niat penduduk Kufah dan bahwa mereka tidak memiliki
pemimpin sebagaimana yang telah mereka sebutkan sebelumnya.[5] Karena
itu, dia harus memenuhi janji kepada mereka, sebab sebelumnya ia telah menulis
surat kepada penduduk Kufah, “Aku telah mengirimkan kepada kalian saudara,
putra paman, sekaligus orang kepercayaanku di antara anggota keluargaku. Aku
memerintahkan kepadanya untuk memberitahukan keadaan dan pendapat kalian
kepadaku. Jika dia sudah memberitahukan kepadaku bahwa kalian semua telah sepakat,
demikian juga pendapat orang-orang yang memiliki keutamaan di antara kalian
sesuai dengan tujuan kedatangan para utusan kalian dan saya telah membacanya di
surat kalian, aku akan datang kepada kalian, insyâ Allâh.”[6]
Ketika surat dari Muslim bin
Uqail sudah sampai kepada Husein, ia pun bersiap-siap untuk ke Kufah bersama
keluarga dan orang-orang khususnya. Poin yang perlu kita garisbawahi di sini
ialah dukungan 15 ribu orang Kufah yang kemudian melempem. Siapa dan ada apa
dengan mereka? [7]
—————————
[1] Târîkh Ath-Thabari,
VI/276
[2] Târîkh Ath-Thabari, VI/384
[3] Tahdzîb Al-Kamâl, II/301; Mawâqif Al-Muâradlah, hal. 232
[4] Ansâb Al-Asyrâf, III/167
[5] Târîkh Ath-Thabri, VI/672
[6] Ibid, VI/274
[7] Ibid, VI/305
* Disadur dari Ensiklopedi
Sejarah Dr Ali Ash-Shalabi oleh Agus Abdullah. Semoga Allah memberikan pahala
jariyah kepada beliau.
Perubahan Politik Selama Perjalanan Husein ke
Kufah
Tetapi, Hushain bin Tamim
menangkap utusan Husein itu, ketika dia sampai di Kadesia.[2] Kemudian
dia mengirimkannya kepada Ibnu Ziyad dan Ibnu Ziyad membunuhnya secara
langsung.[3] Kemudian Husein mengirimkan seorang utusan kepada Muslim.
Lagi-lagi, utusan ini juga ditangkap oleh Hushain bin Tamim. Dan dia dikirimkan
kepada Ibnu Ziyad dan dia pun membunuhnya.[4]
Tindakan-tindakan kejam Ibnu
Ziyad itu berpengaruh besar terhadap para pengikut Husein. Mereka berpendapat
bahwa siapa saja yang memiliki hubungan dengan Husein, akibatnya adalah dibunuh
dengan sadis. Orang yang berpikir untuk memberikan bantuan kepada Husein pun
membayangkan keadaan yang memilukan seperti itu.[5]
Husein merasakan bahwa segala
sesuatu berjalan dengan tidak semestinya di Kufah. Khususnya ketika ada
orang-orang badui yang memberitahukan kepadanya bahwa tidak ada sama sekali
orang (baca: utusan) yang keluar atau masuk ke Kufah.[6]
Peringatan agar ia waspada
terus-menerus berdatangan dari para suku Arab yang dia lalui. Mereka
menjelaskan kepadanya bahaya yang akan dia hadapi. Tetapi, Husein tetap yakin
dengan keinginannya berdasarkan banyaknya nama orang yang memberikan baiat
kepadanya.[7] Ketika Husein tiba di Zibalah,[8] atau
Syaraf,[9] menurut pendapat lain, datanglah kepadanya berita pembunuhan
Muslim bin Uqail, Hani’ bin Urwah, serta Abdullah bin Baqthar, di samping
semangat penduduk Kufah yang sudah lemah dalam mendukungnya.[10]
Berita itu mengagetkan dan
mengecewakan Husein ra. Mereka adalah manusia yang paling dekat dengannya,
namun sudah dibunuh. Pendukungnya di Kufah pun sudah lemah semangatnya.[11]
Husein Memberikan Pilihan
kepada Para Pendukungnya
Ketika Husein mendengar putra pamannya, Muslim bin Uqail, dibunuh dan semangat
pendukungnya pun melemah, Husein memberitahukan hal itu kepada orang-orang yang
bersamanya. Dia berkata, “Barang siapa yang ingin pergi, silakan pergi.” Maka
banyak orang yang berpencar ke sebelah kanan dan kiri.[12]
Beberapa orang yang tetap
bersamanya berkata, “Kami bersumpah kepadamu dengan nama Allah, untuk tidak
pergi kecuali jika kamu kembali. Di Kufah kamu tidak memiliki seorang pendukung
pun, bahkan kami takut mereka akan melawanmu.” Bani Uqail berkata, “Demi Allah,
kami tidak akan pergi, sampai kami dapat membalaskan kematian keluarga kami
atau merasakan seperti apa yang dirasakan oleh Muslim.”[13]
————————
[1] Al-Bidâyah wan
Nihâyah, XI/512
[2] Târîkh Ath-Thabari, dengan menukil dari Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal.
266
[3] Ath-Thabaqât, V/376; Ansâb Al-Asyrâf, III/167
[4] Ansâb Al-Asyrâf, III/168; Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal. 266
[5] Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal. 266
[6] Ansâb Al-Asyrâf, III/168; Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal. 266
[7] Ath-Thabaat, V/371
[8] Zibalah sebuah tempat yang dikenal di jalan menuju Ke Makkah dari
Kufah
[9] Syaraf terletak diantara Waqishah dan Qar’â’ sekita 8 mil dari Ahsâ’.
[10] Târîkh Ath-Thabari, VI/267
[11] Mawâqif Al-Mu’âradlah, hal. 267
[12] Târîkh Ath-Thabari, VI/323
[13] Ibid, VI/322
* Disadur dari Ensiklopedi
Sejarah Dr Ali Ash-Shalabi oleh Agus Abdullah. Semoga Allah memberikan pahala
jariyah kepada beliau.