Tuesday, October 27, 2015

Menjadi Tak Terkenal

tak terkenal
Tuesday, 1 September 2015
Malam yang senyap, tak ada suara kecuali desiran angin yang bergesek dedaunan. Atau berdesir meniup debu-debu pasir. Atau menyiul dari tiupan mulut mereka yang terlelap. Di waktu ini, banyak kisah para salaf bermunajat memuja Rabb mereka, menjadikan tetesan air mata sebagai kalimat doa. Ada pula yang berderma tanpa berharap satu pun lirik mata. Mereka lebih senang tak dikenal dan disanjung. Walaupun mereka pemilik amalan yang agung.
Berbeda dengan khalayak kini. Bekerja dalam diam dinilai tidak berkontribusi. Popularitas merupakan sebuah harga. Penghargaan dan penghormatan adalah kebanggaan. Pujian adalah harapan.
Salah seorang ulama besar generasi tabiut tabi’in, Abdullah bin al-Mubarak mengatakan, tidak dikenal dan tidak disanjung adalah kehidupan. Menjadi biasa di mata manusia adalah harapan. Salah seorang murid beliau, Hasan bin Rabi’, bercerita, “Suatu hari, aku bersama Ibnul Mubarak menuju tempat minum umum. Orang-orang (mengantri) minum dari tempat tersebut. Lalu Ibnul Mubarak mendekat ke tempat peminuman umum itu, tidak ada orang yang mengenalinya. Mereka memepet-mepet bahkan mendorong-dorongnya.
Ketika keluar dari desak-desakan tersebut, Ibnul Mubarak berkata, ‘Yang seperti inilah baru namanya hidup. Ketika orang tidak mengenalmu dan tidak mengagung-agungkanmu’.” (Shifatu Shafwah, 4/135).
Mungkin Anda adalah seorang aktivis yang dihargai di rantau. Menjadi pembicara di mimbar dan memimpin jamaah shalat. Mewakili universitas atau bahkan delegasi negara. Saat pulang, Anda dianggap biasa. Tidak memiliki keistimewaan di masyarakat. Maka nikmatilah keadaan tersebut. Karena itulah hakikat hidup.
Bila masa Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu keluar dari rumahnya. Lalu orang-orang mengikutinya. Lalu beliau bertanya, “Apakah kalian ada keperluan?” Mereka menjawab, “Tidak ada. Kami hanya ingin berjalan bersamamu”. Ibnu Mas’ud menegur mereka, “Pulanglah (jangan ikuti aku). Yang demikian itu kehinaan bagi yang mengikuti dan fitnah (ujian ketenaran) bagi yang diikuti”. (Shifatu Shafwah, 1/406).
Diikuti masa dan ditempeli teman kesana kemari dapat mengeraskan hati. Manusia bisa merasa bernilai luar biasa, padahal di sisi Allah dia bukanlah siapa-siapa.
Jangan berobsesi menjadi terkenal karena ilmu dan amal. Kalau bisa memiliki peranan dan tidak dikenal, maka itu lebih bernilai. Bukanlah manusia tempat kita berharap balasan. Akan tetapi apa yang ada di sisi Allah lah yang terbaik.
Sumber:

– al-Jalil, Abdul Aziz bin Nashir. 1994. Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf. Riyadh: Dar at-Thayyibah.

(kisahmuslim/muslimahzone.com)

Mensucikan Jiwa Adalah Jalan Kebahagiaan

tazkiyatun nafs 
Wednesday, 21 October 2015
Telah menjadi sebuah kewajiban bagi setiap orang yang mengharapkan pahala dari Allah dan kebahagiaan abadi di hari kemudian untuk memberikan perhatian secara khusus bagaimana agar ia mampu mensucikan diri. Karena keberuntungan dan kesuksesan seseorang itu dapat diraih tergantung bagaimana ia mau mensucikan dirinya (tazkiyatun nafs), sebagaimana firman-Nya :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
“Sesungguhnya telah beruntunglah orang yang mau mensucikan jiwanya.” (Qs. As Syams : 9)
Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah menyebutkan bahwa manusia itu terbagi menjadi dua golongan :
1. Golongan yang terkalahkan oleh nafsunya, sehingga setiap perilakunya dikendalikan oleh nafsunya.
2. Golongan yang mampu mengekang dan mengalahkan nafsunya sehingga nafsu tersebut tunduk pada perintahnya.
Dari dua golongan tersebut, maka manusia diberi pilihan oleh Allah untuk menentukan ingin menjadi golongan yang manakah ia. Golongan penyembah hawa nafsu atau golongan pengendali hawa nafsu.
Allah subhanahu wata’ala juga telah menyebutkan dalam firman-Nya yang lain :
فَأَمَّا مَن طَغَى {37} وَءَاثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا {38} فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى {39} وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى {40} فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى {41}
“Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka nerakalah tempat tinggalnya. Sedangkan mereka yang takut pada kebesaran Rabb-Nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (Qs. An Nazi’at : 37 – 41)
Nafsu memang ada yang mengajak kepada kebaikan dan ada pula yang menyesatkan. Maka pilihlah yang mengajak pada kebaikan yaitu nafsu dalam mendekatkan diri kepada Allah, agar selamat di dunia dan akhirat.
Adapun nafsu kepada kejahatan, telah berkata Ibnu Qudamah dalam kitabnya Mukhtashor Minhajul Qoshidin : “Ketahuilah bahwa musuh bebuyutanmu adalah nafs kamu yang ada di sisimu. Dan telah diciptakan nafs yang menyeru kepada kejahatan, cenderung kepada kejelekan. Engkau telah diperintahkan untuk menghukuminya, mensucikannya dan menceraikannya dari sumber-sumbernya.”
Memang tidak mudah usaha untuk mensucikan jiwa ini, apalagi bagi manusia yang sudah terlalu sering melakukan kemaksiatan. Namun, bukan tidak mungkin perubahan itu terjadi karena Allah senantiasa membuka pintu-Nya untuk manusia menjemput hidayah. Sebelum hembusan nafas yang terakhir, marilah kita memulai untuk menjadi lebih baik dengan tazkiyatun nafs atas diri kita. Wallau’alam.
(fauziya/muslimahzone.com)