Tuesday, 1 September 2015
Malam yang senyap, tak ada
suara kecuali desiran angin yang bergesek dedaunan. Atau berdesir meniup
debu-debu pasir. Atau menyiul dari tiupan mulut mereka yang terlelap. Di waktu
ini, banyak kisah para salaf bermunajat memuja Rabb mereka, menjadikan tetesan
air mata sebagai kalimat doa. Ada pula yang berderma tanpa berharap satu pun
lirik mata. Mereka lebih senang tak dikenal dan disanjung. Walaupun mereka
pemilik amalan yang agung.
Berbeda dengan khalayak kini.
Bekerja dalam diam dinilai tidak berkontribusi. Popularitas merupakan sebuah
harga. Penghargaan dan penghormatan adalah kebanggaan. Pujian adalah harapan.
Salah seorang ulama besar
generasi tabiut tabi’in, Abdullah bin al-Mubarak mengatakan, tidak dikenal dan
tidak disanjung adalah kehidupan. Menjadi biasa di mata manusia adalah harapan.
Salah seorang murid beliau, Hasan bin Rabi’, bercerita, “Suatu hari, aku
bersama Ibnul Mubarak menuju tempat minum umum. Orang-orang (mengantri) minum
dari tempat tersebut. Lalu Ibnul Mubarak mendekat ke tempat peminuman umum itu,
tidak ada orang yang mengenalinya. Mereka memepet-mepet bahkan
mendorong-dorongnya.
Ketika keluar dari
desak-desakan tersebut, Ibnul Mubarak berkata, ‘Yang seperti inilah baru
namanya hidup. Ketika orang tidak mengenalmu dan tidak mengagung-agungkanmu’.”
(Shifatu Shafwah, 4/135).
Mungkin Anda adalah seorang
aktivis yang dihargai di rantau. Menjadi pembicara di mimbar dan memimpin
jamaah shalat. Mewakili universitas atau bahkan delegasi negara. Saat pulang,
Anda dianggap biasa. Tidak memiliki keistimewaan di masyarakat. Maka nikmatilah
keadaan tersebut. Karena itulah hakikat hidup.
Bila masa Abdullah bin Mas’ud
radhiallahu ‘anhu keluar dari rumahnya. Lalu orang-orang mengikutinya. Lalu
beliau bertanya, “Apakah kalian ada keperluan?” Mereka menjawab, “Tidak ada.
Kami hanya ingin berjalan bersamamu”. Ibnu Mas’ud menegur mereka, “Pulanglah
(jangan ikuti aku). Yang demikian itu kehinaan bagi yang mengikuti dan fitnah
(ujian ketenaran) bagi yang diikuti”. (Shifatu Shafwah, 1/406).
Diikuti masa dan ditempeli
teman kesana kemari dapat mengeraskan hati. Manusia bisa merasa bernilai luar
biasa, padahal di sisi Allah dia bukanlah siapa-siapa.
Jangan berobsesi menjadi
terkenal karena ilmu dan amal. Kalau bisa memiliki peranan dan tidak dikenal,
maka itu lebih bernilai. Bukanlah manusia tempat kita berharap balasan. Akan
tetapi apa yang ada di sisi Allah ﷻ lah yang terbaik.
Sumber:
– al-Jalil, Abdul Aziz bin Nashir. 1994. Aina Nahnu min Akhlaq as-Salaf.
Riyadh: Dar at-Thayyibah.
(kisahmuslim/muslimahzone.com)
Mensucikan Jiwa Adalah Jalan Kebahagiaan
Wednesday, 21 October 2015
Telah menjadi sebuah
kewajiban bagi setiap orang yang mengharapkan pahala dari Allah dan kebahagiaan
abadi di hari kemudian untuk memberikan perhatian secara khusus bagaimana agar
ia mampu mensucikan diri. Karena keberuntungan dan kesuksesan seseorang itu
dapat diraih tergantung bagaimana ia mau mensucikan dirinya (tazkiyatun nafs),
sebagaimana firman-Nya :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
“Sesungguhnya telah
beruntunglah orang yang mau mensucikan jiwanya.” (Qs. As Syams : 9)
Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah
menyebutkan bahwa manusia itu terbagi menjadi dua golongan :
1. Golongan yang terkalahkan
oleh nafsunya, sehingga setiap perilakunya dikendalikan oleh nafsunya.
2. Golongan yang mampu
mengekang dan mengalahkan nafsunya sehingga nafsu tersebut tunduk pada
perintahnya.
Dari dua golongan tersebut,
maka manusia diberi pilihan oleh Allah untuk menentukan ingin menjadi golongan
yang manakah ia. Golongan penyembah hawa nafsu atau golongan pengendali hawa
nafsu.
Allah subhanahu wata’ala juga
telah menyebutkan dalam firman-Nya yang lain :
فَأَمَّا مَن طَغَى {37} وَءَاثَرَ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا {38} فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى {39} وَأَمَّا مَنْ خَافَ
مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى {40} فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ
الْمَأْوَى {41}
“Adapun orang yang melampaui
batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka nerakalah tempat tinggalnya.
Sedangkan mereka yang takut pada kebesaran Rabb-Nya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (Qs. An
Nazi’at : 37 – 41)
Nafsu memang ada yang
mengajak kepada kebaikan dan ada pula yang menyesatkan. Maka pilihlah yang
mengajak pada kebaikan yaitu nafsu dalam mendekatkan diri kepada Allah, agar
selamat di dunia dan akhirat.
Adapun nafsu kepada
kejahatan, telah berkata Ibnu Qudamah dalam kitabnya Mukhtashor Minhajul
Qoshidin : “Ketahuilah bahwa musuh bebuyutanmu adalah nafs kamu yang ada di
sisimu. Dan telah diciptakan nafs yang menyeru kepada kejahatan, cenderung
kepada kejelekan. Engkau telah diperintahkan untuk menghukuminya, mensucikannya
dan menceraikannya dari sumber-sumbernya.”
Memang tidak mudah usaha
untuk mensucikan jiwa ini, apalagi bagi manusia yang sudah terlalu sering
melakukan kemaksiatan. Namun, bukan tidak mungkin perubahan itu terjadi karena
Allah senantiasa membuka pintu-Nya untuk manusia menjemput hidayah. Sebelum
hembusan nafas yang terakhir, marilah kita memulai untuk menjadi lebih baik
dengan tazkiyatun nafs atas diri kita. Wallau’alam.
(fauziya/muslimahzone.com)