Ketika saya membaca artikel
Ustadz yang berjudul “Pokok Iman (Ashlul-Iman) Menurut Ahlus-Sunah
Wal-Jama’ah”. Saya mendapati beberapa ungkapan dan nukilan beliau yang perlu diteliti kembali. Diantaranya
adalah ungkapan Ustadz: “-Dari perkataan para imam di atas – yang merupakan
interpretasi ‘aqidah Ahlus-Sunnah – dapat dipahami bahwa hukum kekafiran
tidaklah tetap – dari sisi meninggalkan (at-tarku) – dengan kesepakatan
(ijmaa’), hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan.”
-Dr. Nu’aim Yaasiin
hafidhahullah berkata :
فالجمهور من أهل السنه وإن جعلوا العمل جزءا من
الإيمان إلا أنهم لم يقولوا بتكفير المصدق بقلبه المقر بلسانه إن لم يعمل،
والحنفية وإن أخرجوا العمل من الإىمان إلا أنهم اعتبروه من لوازمه ومقتضياته، ولكل
متفقون على عدم التكفير بترك العمل
“Jumhur ulama Ahlus-Sunnah,
meskipun mereka menjadikan amal merupakan bagian dari iman, namun mereka
tidaklah mengatakan kekafiran orang yang membenarkan dengan hatinya lagi
mengikrarkan dengan lisannya. Adapun ulama Hanafiyyah, meskipun mereka
mengeluarkan amal dari iman, namun mereka menganggapnya sebagai konsekuensi dan
persyaratannya. Dan mereka semuanya bersepakat tentang peniadaan pengkafiran
dengan meninggalkan amal” [Al-Iimaan, hal. 151-153].
-Dikuatkan pula oleh beberapa
perkataan ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan amal jawaarih
–selesai nukilan Ustadz Abul-Jauza-
Yang saya pahami dari konteks
pembahasan Ustadz tentang Ashlul-Iman adalah beliau hendak menyimpulkan bahwa
orang yang mengikrarkan syahadat lalu meninggalkan amal secara keseluruhan
(tidak beramal sedikitpun tanpa udzur) adalah masih dianggap sebagai seorang
muslim karena dalam hatinya masih terdapat ashlul-iman yaitu syahadat setelah beliau membawakan ucapan para ulama
dalam hal ini. Ungkapan semacam ini mirip dengan sebagian ungkapan kelompok
sesat yang menyimpang dalam permasalahan iman yaitu kelompok Murji’ah.
Saya tidak bermaksud
sedikitpun untuk menolak ucapan para ulama dalam permasalahan ashlul-iman,
namun hanya ingin memahaminya sesuai dengan aqidah ahlus-sunnah yang saya
yakini. Tentunya ucapan para ulama lebih pantas dipahami dari ucapan para ulama
salaf yang lain baik dari kalangan mutaqaddimin maupun mutaakhirin (di zaman
kita) demi meluruskan kesalahpahaman kita dalam memahami beberapa ungkapan para
ulama yang musykil.
Lalu apakah benar ungkapan
sebagian orang bahwa para ulama tidak
mengkafirkan orang yang meninggalkan seluruh kewajiban syariat (tidak beramal sedikitpun tanpa udzur) atau
dapat dikatakan hanya bermodal syahadat dalam beragama?
Kita cermati ucapan para
ulama salaf berikut :
1) Imam Ahmad bin Hambal
rahimahullah
قال الإمام أحمد رحمه الله (السنة للخلال:3/601)
وسئل عن قوله في كلمة (مؤمن إن شاء الله) فقال:"أقول : مؤمن إن شاء الله ،
ومؤمن أرجو ، لأنه لا يدري كيف أداوءه للأعمال على ما افترض عليه أم لا".
Imam Ahmad ditanya tentang
ucapan seseorang “(saya) adalah seorang mu’min insyaallah”, lalu Imam Ahmad
menjawab : “Aku katakan ia mu’min insyaallah, aku berharap bahwa ia adalah
seorang mu’min, karena aku tidak tahu apakah ia telah menunaikan apa yang
diwajibkan padanya atau belum”
Imam Ahmad rahimahullah dalam
atsar di atas tidaklah menghukumi orang yang ditanyakan sebagai seorang mu’min
hingga beliau mengetahui apakah ia telah menjalankan kewajiban-kewajiban
syariat atau tidak, bagaimana kiranya jawaban Imam Ahmad jika ditanya tentang
kelakuan seorang Murji’ah yang meninggalkan seluruh kewajiban syariat lalu
berdalih bahwa ashlul-iman masih ada dalam hatinya!?
Tentang riwayat Al-Imaam
Ahmad rahimahullah, anaknya – Shaalih bin Ahmad – berkata :
سألت أبي عمن يقول : الإيمان يزيد وينقص، ما
زيادته ونقصانه ؟. فقال : زيادته بالعمل ونقصانه بترك العمل، مثل تركه : الصلاة
والحج وأداء الفرائض......
Aku pernah bertanya kepada
ayahku tentang orang yang berkata : ‘Iman itu bisa bertambah dan berkurang.
Apakah penambahan dan pengurangannya ?’. Ia (Ahmad) menjawab : ‘Penambahannya
adalah dengan amal dan pengurangannya adalah dengan meninggalkan amal[10].
Contoh meninggalkan amal adalah : shalat, haji, dan penunaian berbagai
kewajiban....” [Masaailu Al-Imaam Ahmad bi-Riwayaat Abil-Fadhl Shaalih, 2/119].
- Jika kita cermati ucapan
Imam Ahmad di atas, yang dimaksud pengurangan iman terjadi dengan meninggalkan
amal adalah dengan meninggalkan sebagian amal seperti ia meninggalkan shalat,
zakat, haji dan lainnya (lihat penjelasan Syaikh Dr. Abdullah bin Ibrahim
Az-Zahim di bawah) bukan meninggalkan seluruh amal. Bahkan ucapan Imam Ahmad
tersebut menunjukkan bahwa semakin seorang meninggalkan kewajiban syariat maka
semakin berkurang iman di hatinya, jika ia tidak melakukan amal sedikitpun maka
habislah kadar iman di hatinya. Apalagi yang akan berkurang setelah ia
meninggalkan seluruh amal ketaatan !?
- Apakah tepat jika antum
berdalil dengan ucapan Imam Ahmad bahwa meninggalkan seluruh amal dhahir tidak
dihukumi kafir, padahal yang masyhur dari pendapat Imam Ahmad bahwa beliau
mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat, bukankah shalat merupakan amal jawarih
!?
2) Imam Sufyan bin ‘Uyainah
rahimahullah
قال سفيان بن عيينة رحمه الله(السنة لعبد الله بن
أحمد:1/347) : وقد سئل عن الإرجاء فقال : ( يقولون الإيمان قول ، ونحن نقول
الإيمان قول وعمل. والمرجئة أوجبوا الجنة لمن شهد أن لا إله إلا الله مصراً بقلبه
على ترك الفرائض ، وسموا ترك الفرائض ذنباً بمنزلة ركوب المحارم ، وليسوا بسواء
لأن ركوب المحارم من غير استحلال معصية ، وترك الفرائض متعمداً من غير جهل ولا عذر
هو كفر).
Sufyan bin ‘Uyainah
rahimahullah ditanya tentang Al-Irja’ (murji’ah) lalu beliau berkata : “Mereka
(murji’ah) menyatakan bahwa iman adalah ucapan sedangkan kami menyatakan bahwa
iman adalah ucapan dan amal, Murji’ah mewajibkan surga bagi siapa yang
senantiasa bersyahadat Lailaha illalah dalam hatinya dan meninggalkan
kewajiban-kewajiban (syariat), mereka menamakan tarkul-faraaidh (meninggalkan
kewajiban) sebagai dosa seperti terjatuhnya seorang dalam keharaman, ini
tidaklah sama karena terjatuhnya seorang pada keharaman tanpa istihlal
(penghalalan) adalah maksiat, sedangkan meninggalkan kewajiban-kewajiban
syariat dengan sengaja tanpa kejahilan dan udzur adalah kekafiran”. [As-Sunnah
347/1]
3) Imam Ishaq bin Rahawaih
rahimahullah
وقال إسحاق بن راهوية رحمه الله (تعظيم قدر
الصلاة:2/929، فتح الباري لابن رجب :1/21): "غلت المرجئة حتى صار من قولهم :
إن قوماً يقولون : من ترك الصلوات المكتوبات وصوم رمضان والزكاة والحج ، وعامة
الفرائض من غير جحود لها: إنَّا لا نكفره ، يرجأ أمره إلى الله بعد، إذ هو مقرٌّ.
فهؤلاء الذين لا شك فيهم. يعني: في أنهم مرجئة".
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih
–rahimahullah- berkata : “Kaum Murji’ah mengatakan, barangsiapa yang
meninggalkan shalat-shalat yang wajib, puasa ramadhan, zakat, haji
dan kebanyakan kewajiban-kewajiban (syariat) tanpa mengingkari (kewajibannya) maka kami
(Murji’ah) tidak mengkafirkannya, perkaranya diserahkan kepada Allah ketika ia mengakui (kewajibannya). Ishaq
berkata : Mereka adalah Murji’ah, tidak ada keraguan padanya. [Ta’dzim Qadris
Shalah 929/2, Fathul Bari Liibni Rajab 21/1]
4) Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata :
والأعمال الظاهرة لازمة لذلك. لا يتصور وجود
إيمان القلب الواجب مع عدم جميع أعمال الجوارح ، بل متى نقصت الأعمال الظاهرة كان
لنقص الإيمان الذي في القلب
“Amalan dzahir merupakan
konsekuensi dari ashlul-iman, tidak mungkin tergambarkan adanya iman yang
wajib dalam hati bersamaan dengan ia
meninggalkan seluruh amal jawarih. Bahkan berkurangnya amal shalih seseorang
menunjukkan berkurangnya iman di hatinya”. [Majmu’ul Fatawa 7/198]
وقال رحمه الله أيضاً(الفتاوى:7/621) :" ومن
قال بحصول الإيمان الواجب بدون فعل شيء من الواجبات ، سواء جعل فعل تلك الواجبات
لازماً له ، أو جزءًا منه ، فهذا نزاع لفظي ، كان مخطئاً خطأً بينا ، وهذه بدعة
الإرجاء التي أعظم السلف والأئمة الكلام في أهلها ، وقالوا فيها من المقالات
الغليظة ما هو معروف
Syaikhul Islam rahimahullah
juga berkata : “Barangsiapa yang menyangka bahwa iman yang wajib (ashlul-iman)
tercapai tanpa melakukan sedikitpun dari amalan wajib, sama saja apakah ia
menjadikan amal jawarih lazim baginya atau bagian darinya, ini hanyalah khilaf
lafdzi (hanya perbedaan ungkapan saja padahal hakikatnya sama -pen-) sungguh ia
telah terjatuh pada kesalahan yang sangat jelas. Ini adalah bid’ah irja’ yang
para Salaf dan imam memperingatkan darinya (murji’ah). Mereka telah menyatakan
suatu ucapan yang sangat jelek sebagaimana telah kita ketahui." [Majmuu' Al-Fataawaa
7/261]
5) Syaikh Muhammad Aman
Al-Jami rahimahullah berkata :
الإيمان في القلب ولو صحَّ إيمان القلب لصحَّ
إيمان الجوارح وإيمان اللسان. هذا هو الإرجاء المنتشر بين المسلمين ، الإرجاء
معناه : تأخير الأعمال عن مسمى الإيمان ، وأن الإيمان التصديق بالقلب فقط أو
التصديق والنطق معاً ، هذا هو الإرجاء المنتشر بين المسلمين كثيراً وهم لا يشعرون!
الإيمان تصديق بالقلب ، وذلك التصديق يحتاج إلى تصديق ، والذي يصدق ذلك التصديق :
النطق باللسان والعمل بالجوارح
“Iman ada dalam hati,
seandainya iman dalam hatinya benar niscaya iman dalam amal jawarih dan
lisannya pun benar. Ini adalah pemikiran murji’ah yang tersebar di kalangan
kaum muslimin. Al-Irja’ adalah mengakhirkan amal dari iman, bahwa iman adalah
hanyalah tashdiq (pembenaran) dalam hati atau bersamaan dengan tashdiq dalam
ucapan. Ini adalah pemikiran Murji’ah yang tersebar diantara kaum muslimin
dalam keadaan mereka tidak menyadarinya. Tashdiq (iman dalam hati) juga
membutuhkan pembenaran. Dan yang membenarkan tashdiq iman dalam hati adalah
ucapan lisan dan amal jawarih."
6) Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah
قال الشيخ ابن باز رحمه الله (مجلة المشكاة
المجلد الثاني ، الجزء الثاني/279، 280) رداً على من زعم أن العمل شرط كمال":
لا ، لا ، ما هو بشرط كمال ، جزء، جزء من الإيمان . هذا قول المرجئة ، المرجئة
يرون الإيمان قول وتصديق فقط".
Syaikh Ibnu Baz
–rahimahullah- ketika membantah orang yang menyangka bahwa amal (hanyalah)
syarthul kamal (syarat kesempurnaan) iman, beliau berkata : “Tidak …. Tidak, amal bukanlah syarthul
kamal iman, bahkan amal merupakan bagian
dari iman, ini adalah ucapan Murji’ah, Murji’ah menganggap bahwa iman hanyalah
ucapan dan tashdiq (pembenaran dalam hati).” [Majalah Al-Misykah jilid 2, juz 2/279,280]
7) Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin rahimahullah
وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله (شريط يتضمن
أسئلة إدارة الدعوة بقطر)عن مقولة اشتهرت عند القائلين بإسلام تارك أعمال الجوارح
حيث قالوا : }لا يكفر المسلم حتى يترك أصل الإيمان القلبي{ ، وأن : }جمهور العلماء
وليس المرجئة يقولون بنجاة تارك العمل{. قال الشيخ منكراً هاتين القاعدتين
:"هؤلاء يريدون سفك الدماء واستحلال الحرام لماذا صاحب هذا الكتاب ما أصل
أصول أهل السنة والجماعة كما أصلها شيخ الإسلام ابن تيمية في العقيدة الواسطية ؟".
Ketika ditanyakan kepada
Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah-, perkataan sebagian orang tentang islamnya
seorang yang meninggalkan amal jawarih, ucapan mereka (yang berpemahaman
Murji’ah) : “seorang muslim tidak dikafirkan hingga ia meninggalkan ashlul iman
dalam hati, dan jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang meninggalkan amal
jawarih akan selamat (dari kekafiran).
Syaikh Ibnu Utsaimin
mengingkari dua kaidah di atas seraya
berkata : “Mereka menginginkan tertumpahnya darah, menghalalkan yang haram,
kenapa penulis kitab itu tidak membuat Ushul Ahlus-Sunah Wal Jama’ah
sebagaimana ushul yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam
Al-Aqidah Al-Wasithiyyah !?”.
8) Syaikh Shalih Al-Fauzan
hafidzahullah
وسئل الشيخ صالح الفوزان حفظه الله (المنتقى من
فتاواه:2/9) عن قول بعض الناس : إن عقيدة أهل السنة والجماعة أن العمل شرط في كمال
الإيمان وليس شرطاً في صحة الإيمان فقال الشيخ :"هو قول مرجئة أهل السنة ،
وهو خطأ ، والصواب أن الأعمال داخلة في حقيقة الإيمان ، فهو اعتقاد وقول وعمل ،
يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية".
Ditanyakan kepada Syaikh
Shalih Al-Fauzan –hafidzahullah- ucapan sebagian orang bahwa “Aqidah
Ahlus-Sunah wal Jama’ah menyatakan amal
merupakan syarthul kamal iman dan bukan syarat sahnya iman”, maka Syaikh Shalih
Al-Fauzan menjawab : “ini adalah ucapan Murji’ah Ahlus-Sunah, ini ucapan yang
salah, yang benar bahwasanya amal termasuk dalam hakikat iman, iman adalah
i’tiqad, ucapan dan amal, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
kemaksiatan.”
9) Syaikh Abdul Aziz
Ar-Rajihi hafidzahullah
قال فضيلة الشيخ عبد العزبز الراجحي ــ حفظه الله
ــ (شريط أسئلة وأجوبة في الإيمان والكفر/ السؤال الثاني) : لما سئل عمن يقول:
(الإيمان قول وعمل واعتقاد لكن العمل شرط كمال فيه) ، ويقول أيضا: (لا كفر إلا
باعتقاد) ، فهل هذا القول من أقوال أهل السنة أم لا ؟
Ditanyakan juga kepada Syaikh
Abdul Aziz Ar-Rajihi –hafidzahullah- ucapan seorang, “iman merupakan ucapan,
amal dan i’tiqad, akan tetapi amal hanyalah syarthul kamal iman” dan juga ucapan, “tidak ada kekafiran
kecuali dengan i’tiqad” apakah ucapan ini termasuk ucapan ahlu sunah atau
bukan?
قال
الشيخ : ليست هذه الأقوال من أقوال أهل السنة أهل السنة يقولون : الإيمان هو قول
باللسان وقول بالقلب وعمل بالجوارح وعمل بالقلب ، ومن أقوالهم : الإيمان قول وعمل
؛ ومن أقوالهم : الإيمان قول وعمل ونية ، فالإيمان لا بد أن يكون بهذه الأمور
الأربعة : (أ) قول اللسان وهو النطق باللسان. (ب) قول القلب وهو الإقرار والتصديق.
(ج) عمل القلب وهو النية والإخلاص. (د)عمل الجوارح . فالعمل جزء من أجزاء الإيمان
الأربعة ، فلا يقال : العمل شرط كمال أو أنه لازم له فإن هذه أقوال المرجئة ولا
نعلم لأهل السنة قولا بأن العمل شرط كمال. وكذا قول من قال : ( لا كفر إلا باعتقاد
) فهذا قول المرجئة ومن أقوالهم : ( الأعمال والأقوال دليلٌ على ما في القلب من
الاعتقاد ) وهذا باطل ، بل نفس القول الكفري كفر ونفس العمل الكفري كفر كما مر في
قول الله تعالى (قل أباللّه وآياته ورسوله كنتم تستهزئون*لا تعتذروا قد كفرتم بعد
إيمانكم([التوبة:64,65] أي : بهذه المقالة.
Syaikh Abdul Aziz Ar-Rajihi
menjawab : “ini bukanlah ucapan dari pendapat Ahlus-Sunah, Ahlus-Sunah
menyatakan bahwa iman adalah ucapan lisan dan hati, amalan badan dan amalan
hati…..Maka tidak boleh dikatakan bahwa amal jawarih termasuk syarthul kamal
(syarat kesempurnaan) atau ia hanyalah konsekuensi iman, karena ini adalah
ucapan Murji’ah. Kami tidak mengetahui adanya ucapan (ulama) Ahlus-Sunah yang
menyatakan bahwa amal merupakan syarat kesempurnaan iman. Begitu pula ucapan
“tidak ada kekafiran kecuali dengan keyakinan” adalah ucapan Murji’ah…..”
10) Syaikh Prof. Dr. Abdullah
bin Ibrahim Az-Zahim (Dosen Fakultas Syariah di Universitas Islam Madinah)
hafidzahullah
قال الشيخ الدكتور عبد الله بن إبراهيم الزاحم
(مقدمة كتاب التبيان لعلاقة العمل بمسمى الإيمان: ح) :"فإني أود التنبيه على
عبارة الحافظ ابن حجر رحمه الله حين أراد التفريق بين قول أهل السنة وقول المعتزلة
في تعريف الإيمان وبيان حده ... إذ قد فهم منها بعض الفضلاء أن الأعمال الصالحة
كلها شرط كمال عند السلف. وهذا خطأ يقع فيه كثير من طلاب العلم ممن لم يمحص قول
السلف في هذا الباب ، فإن هذه العبارة عند السلف يراد بها آحاد الأعمال لا جنسها ،
أي : أن كل عمل من الأعمال الصالحة عندهم شرط لكمال الإيمان ، خلافاً للمعتزلة
الذين يرون أن كل عمل شرط لصحة الإيمان ، لأن الإيمان عند السلف يزيد بالطاعة
وينقص بالمعصية ، وليس مرادهم : أن جنس الأعمال شرط لكمال الإيمان ، ولأن هذا
يقتضي صحة الإيمان بدون أي عمل ، وهذا لازم قول المرجئة ، وليس قول أهل السنة".
Syaikh Dr. Abdullah bin
Ibrahim Al-Zahim berkata : “Aku memberikan catatan pada ungkapan Al-Hafidz Ibnu
Hajar ketika ingin membedakan antara ucapan Ahlus-Sunah dan Mu’tazilah dalam
pengertian iman dan menjelaskan batasannya. Ketika sebagian fudhala’ memahami
bahwa seluruh amalan shalih termasuk syarthul kamal dalam pandangan salaf. Ini
adalah kesalahan yang terjatuh padanya banyak para penuntut ilmu yang belum
mendalami ucapan salaf dalam bab ini. Karena ungkapan yang semacam ini
yang dimaksudkan oleh salaf hanyalah
sebagian amalan bukan jinsul ‘amal (jenis amal)…bukanlah maksud ucapan salaf
bahwa jinsul-‘amal termasuk syarat
kamalul iman karena hal ini melazimkan sahnya iman tanpa melakukan amalan
sedikitpun. Dan ini adalah kelaziman dari ucapan murji’ah dan bukan ucapan
Ahlus-Sunah."
11) Syaikh Dr. Abdullah bin
Muhammad Al-Qarni hafidzahullah berkata :
وقال الشيخ الدكتور عبد الله بن محمد القرني في
(مقدمة كتاب التبيان لعلاقة العمل بمسمى الإيمان: ذ):"فمن ظن أن دخول الجنة
يمكن أن يكون لمن أقرَّ بالشهادتين ولم يلتزم بأي عمل في الظاهر ــ مع عدم العذر
في ذلك ــ فإنه يلزمه إخراج العمل عن مسمى الإيمان ، وموافقة المرجئة في هذا الباب"
“Barangsiapa yang menyangka
bahwa seorang bisa masuk ke dalam surga hanya dengan mengikrarkan syahadatain
tanpa melazimkan sedikitpun dari amalan dzahir –tanpa udzur- maka kelaziman
dari ucapannya adalah mengeluarkan amal dari iman, sama dengan pemikiran
Murji’ah dalam bab ini”
Nash-nash dan fatwa para
ulama di atas menunjukkan dengan sangat jelas (tanpa perlu ta’wil lagi) bahwa
ungkapan “tidak kafirnya orang yang meninggalkan amal secara keseluruhan”
adalah sebagian ungkapan Murji’ah, walaupun yang menyatakan mengakui bahwa iman
adalah keyakinan hati, perkataan dan amal jawarih. Tatkala kita meyakini
sebagian saja dari keyakinan Murji’ah maka kita telah terjatuh dalam kesalahan
yang fatal dalam aqidah.
Memang benar ungkapan Imam
Al-Barbahari rahimahullah bahwa orang yang meyakini iman adalah keyakinan hati,
perkataan dan amal telah berlepas diri dari pemikiran irja’ dari awal hingga
akhirnya , namun yang perlu dicermati adalah apakah konsekuensi dari apa yang
ia ucapkan sesuai dengan aqidah ahlus-sunah ataukan mengarah pada keyakinan
Murji’ah!?
Lihat juga artikel :
Mudah-mudahan bermanfaat,
Sumber : “Aqwal Dzil ‘Irfan
fi Anna A’malal Jawarih Dakhilah Fi Musammal Iman”
Posted by Abul-Harits at
10:33 PM
17 comments:
Abu Al-Jauzaa' :Feb 13, 2012,
2:23:00 AM
Saya tidak akan menanggapi
seluruh artikel, hanya sebagian saja. Maaf, ada beberapa kesalahan yang saya
kira cukup fatal dalam artikel di atas :
1. Antum menafsirkan bahwa
al-iimaanul-waajib = ashlul-iman (lihat dalam perkataan Ibnu Taimiyyah yang
antum sitir). Ini keliru. Karena al-iimaanul-waajib itu adalah martabat setelah
ashlul-iimaan, dimana martabat tersebut memang mengharuskan dilakukannya
faraaidl. Atau pendek kata, al-iimaanul-waajib itu tidak akan terwujud tanpa
melakukan amal-amal yang diwajibkan. Oleh karenanya Syaikhul-Islaam berkata
sebagaimana yang antum kutip :
لا يتصور وجود إيمان القلب الواجب مع عدم جميع
أعمال الجوارح
Adapun Murji'ah berpendapat
bahwa al-iimaanul-waajib itu tetap terpelihara dan sempurna meskipun ia
meninggalkan kewajiban. Ini disepakati oleh seluruh firqah Murji'ah.
Syaikhul-Islam Ibnu taimiyyah berkata :
ظنهم أن الإيمان الذي في القلب يكون تاماً بدون
شيء من الأعمال؛ ولهذا يجعلون الأعمال ثمرة الإيمان ومقتضاه، بمنزلة السبب مع
المسبب ولا يجعلونها لازمة له. والتحقيق أن إيمان القلب التام يستلزم العمل
الظاهر بحسبه لا محالة، ويمتنع أن يقوم بالقلب إيمان تام بدون عمل ظاهر
“(Termasuk kekeliruan mereka,
yaitu Murji’ah adalah) prasangka mereka bahwa iman di dalam hati akan menjadi
sempurna tanpa adanya amal sedikitpun. Karena itu mereka menjadikan amal-amal
sebagai buah dari iman dan hasilnya, sama seperti kedudukan sebab dan akibat.
Mereka tidak menjadikan amal sebagai satu keharusan bagi iman. Padahal, iman
yang sempurna di dalam hati mewajibkan amal dhaahir menurut kadarnya. Sudah
pasti itu. Tidak mungkin ada iman yang sempurna di dalam hati tanpa adanya amal
dhaahir….. [Al-Iimaan oleh Ibnu Taimiyyah, hal. 160-161 & 162].
Perhatikan kata ‘sempurna’ di
atas yang menjadi ciri khas Murji’ah.
Untuk maraatib iman, Syaikh
'Abdullah bin 'Abdil-Hamiid Al-Atsariy berkata saat menjelaskan hal tersebut :
المرتبة الأولى: (أصل الإيمان):
ويسمى أيضاً (الإيمان المجمل) أو (مطلق الإيمان).
وهذه المرتبة من الإيمان غير قابلة للنقصان؛
لأنها حد الإسلام، والفاصل بين الإيمان والكفر، وهذا النوع واجب على كل من دخل
دائرة الإيمان
.......
المرتبة الثانية (الإيمان الواجب):
ويسمى أيضاً (الإيمان المفصل) أو (الإيمان
المطلق) أو (حقيقة الإيمان).
وهذه المرتبة تكون بعد مرتبة (أصل الإيمان) ويكون
صاحبها ممن يؤدي الواجبات ويتجنب الكبائر والمنكرات، ويلتزم بكل تفصيلات الشريعة؛
تصديقاً والتزاماً وعملاً، ظاهراً وباطناً؛ حسب استطاعته، وبقدر ما يزيد علمه
وعمله يزداد إيمانه، وإذا ارتكب بعض الصغائر؛ يكفر عنه حسناته واجتنابه للكبائر،
ولكن المتورع عن الصغائر أكمل إيماناً ممن يقع فيها.
وصاحب هذه المرتبة؛ موعود بالجنة بلا عذاب؛ وينجو
من الدخول في النار؛ إن مات على ذلك
Pahami dulu istilah-istilah
Syaikhul-Islaam dalam kitabnya.
Adapun perkataan
Syaikhul-Islaam sendiri sudah sangat jelas :
كما قال أهل السنة: إن من ترك فروع الإيمان لا
يكون كافرًا، حتى يترك أصل الإيمان. وهو الاعتقاد
“Sebagaimana dikatakan
Ahlus-Sunnah : Sesungguhnya barangsiapa yang meninggalkan cabang-cabang iman
tidaklah menjadi kafir, hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan, yaitu
i’tiqaad...” [Al-‘Uquudud-Durriyyah, hal. 96].
فأما أصل الإيمان الذي هو الإقرار بما جاءت به
الرسل عن الله تصديقًا به وانقيادًا له، فهذا أصل الإيمان الذي من لم يأت به فليس
بمؤمن؛
“Dan ashlul-imaan yang berupa
iqraar (penetapan) terhadap segala sesuatu yang dibawa Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dari Allah dengan pembenaran dan ketundukan terhadapnya, maka
inilah ashlul-iimaan yang barangsiapa tidak mempunyainya, maka ia bukan mukmin”
[Majmu’ Al-Fataawaa, 7/638].
الدّينُ القائمُ بالقلبِ من الإيمانِ علماً
وحالاً هو الأصل ، والأعمالُ الظّاهرةُ هي الفروعُ ، وهي كمالُ الإيمانِ
“Agama tegak dengan iman di
hati secara ilmu dan keadaannya merupakan pokok. Dan amal-amal dhaahir
merupakan cabang-cabang (iman), dan ia adalah kesempurnaan iman” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 7/354].
Sangat jelas, tanpa perlu
dita'wilkan lagi.
[belum lagi penjelasan para
imam lain tentang apa itu ashlul-imaan]
Reply
Abu Al-Jauzaa' :Feb 13, 2012,
2:30:00 AM
This comment has been removed
by the author.
Reply
Abu Al-Jauzaa' :Feb 13, 2012,
2:35:00 AM
Ath-Thabariy rahimahullah
ketika menjelaskan sebagian pendapat Ahlus-Sunnah dalam masalah iman, berkata :
قال بعضهم الإيمان معرفة بالقلب وإقرار باللسان
وعمل بالجوارح فمن أتى بمعنيين من هذه المعاني الثلاثة ولم يأت بالثالث فغير جائز
أن يقال أنه مؤمن ولكنه يقال له إن كان اللذان أتى بها المعرفة بالقلب والإقرار
باللسان وهو في العمل مفرط فمسلم
[At-Tabshiir fii
Ma’aalimid-Diin, hal. 187].
Simak perkataan Ath-Thabariy
di atas. Masih disebut muslim orang yang hanya mendatangkan ma’rifah dalam hati
dan pengakuan dalam lisan. Sangat jelas, dan tidakperlu ta’wil atas perkataan
beliau ini.
Ibnu Hazm rahimahullah
menyebutkan salah satu permasalahan dalam kitabnya :
وَمَن ضيّعَ الأعمالَ كلَّها فهُوَ مؤمِنٌ عاصٍ
ناقصُ الإيمانِ ، لا يكفُر
“Barangsiapa yang mengabaikan
keseluruhan amal, maka ia mukmin yang bermaksiat lagi kurang dalam imannya,
tidak dikafirkan” [Al-Muhallaa, 1/40-41].
Sangat jelas, tidak perlu
dita’wilkan macam-macam. Mungkin saja ada orang yang akan menuduh Ibnu Hazm
beraqidah Murji’ah,.... akan tetapi Syaikhul-Islam akan membelanya dengan
perkataannya :
وكذلك أبو محمد بن حزم فيما صنفه من الملل والنحل
إنما يستحمد بموافقة السنة والحديث مثل ما ذكره في مسائل [القدر] و
[الإرجاء] ونحو ذلك بخلاف ما انفرد به من قوله في التفضيل بين الصحابة.
[Majmuu’ Al-Fataawaa,
4/18-19].
Ibnu Taimiyyah mengakui bahwa
dalam permasalahan irjaa’, Ibnu Hazm berkesesuaian dengan madzhab Ahlus-Sunnah.
Tidak ternukil kritik para ulama terdahulu kepada Ibnu Hazm dalam masalah
irjaa’.
4. Tentang perkataan Ibnu ‘Uyainah.
Dari segi sanadnya mungkin perlu ditahqiq keabsahannya. Sisi kritisnya adalah
pada Suwaid bin Sa’iid. Suwaid bin Sa’iid bin Sahl Al-Harawiy Al-Hadatsaaniy –
atau Al-Anbaariy - , Abu Muhammad (سويد بن
سعيد بن سهل ، الهروى الحدثاني ، و يقال له الأنباري ، أبو محمد);
seorang yang shaduuq bagi dirinya, namun ketika ia mengalami kebutaan, ia
ditalqinkan yang bukan haditsnya. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 140 H,
dan wafat tahun 240 H. Dipakai oleh Muslim dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 423 no. 2705]. Syaikh Al-Albaaniy melemahkan haditsnya dalam beberapa
tempat dalam kitabnya [lihat Mu’jam Asamiyyir-Ruwaat, 2/249-252]. Apalagi
riwayat Sufyaan ini hanya ada pada jalur sanad ini saja.
Intinya, riwayat Ibnu
‘Uyainah ini tidak shahih. Saya tidak perlu memperpanjang perkataan.
5. Tentang perkataan Ibnu
Rahawaih, maka itu perlu didudukkan. Jika misalnya kita pegang perkataan Ibnu
Rahawaih sebagaimana yang antum pahami, niscaya Ahmad bin Hanbal (sebagaimana
saya tulis riwayatnya di atas) termasuk Murji’ah dalam klasifikasi ini. Begitu
juga sebagian imam yang saya sebut di atas. Namun kedudukan permasalahannya
adalah : Bahwasannya Murji’ah itu berpendapat barangsiapa yang telah
menancapkan imannya dalam hati dan mengikrarkan hal itu dengan lisannya, maka
segala kemaksiatan yang diperbuat oleh anggota jawaarihnya tidak akan bisa
memudlaratkan imannya tersebut, apalagi membuatnya kafir. Dalam konteks
perkataan tersebut, beliau mencontohkan kemaksiatan meninggalkan faraaidl.
Wallaahu a’lam.
Reply
Abu Al-Jauzaa' :Feb 13, 2012,
2:36:00 AM
6. Perkataan Syaikh Muhammad
bin Amaan Al-Jaamiy,.... maka itu bukan mahalun-nizaa’ dalam persoalan yang
antum anggap sebagai ta’qibnya. Karena jelas di awal beliau berkata :
الإيمان في القلب ولو صحَّ إيمان القلب لصحَّ
إيمان الجوارح وإيمان اللسان. هذا هو الإرجاء المنتشر بين المسلمين
Saya harap antum memahami
kalimat ini – bukan sekedar menukil saja. Ghullat Murji’ah berkata bahwasannya
jika telah sah iman di dalam hati, maka sah pula iman jawaarih dan lisan. Ini
namanya mengeluarkan amalan lisan dan jawaarih dari iman, karena iman menurut
mereka hanya dalam hati saja. Maka ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
tulisan saya yang antum anggap keliru itu.
7. Begitu pula dengan
perkataan Syaikh Ibnu Baaz. Saya tidak habis mengerti mengapa ini dijadikan
hujjah dalam permasalahan ini. Saya tidak pernah mengatakan bahwa amal itu
merupakan syarthul-kamaal. Coba antum cek kembali tulisan saya. Yang ada di
tulisan saya adalah perkataan Ibnu Taimiyyah, Al-Marwaziy, dan yang lainnya
bahwasannya amal itu merupakan kamaalul-iimaan, dan ia merupakan juz’un
minal-iimaan. Dan yang perlu antum perhatikan sebelum berbanyak-banyak menukil
adalah,.... bagaimana perbedaan di kalangan ulama dalam menempatkan amal
jawaarih dalam ashulul-iimaan. Jika mereka menganggap ada amal jawaarih yang
ditinggalkan menyebabkan pelakunya kafir (misal : shalat), maka jadilah amal
tersebut bagian dari shihhatul-iimaan (dan masuk dalam ashlul-iimaan). Namun
jika tidak, maka ia hanya bagian dari kamaalul-iimaan.
Perhatikan soal jawab yang
dari Syaikh Ar-Raajihiy berikut :
السؤال: خرج بعض المعاصرين بأقوال جديدة في
الإيمان وقال: إن العمل شرط كمال في الإيمان وليس شرط صحة، فما صحة ذلك؟
الجواب: لا أعلم لهذا القول أصلاً، وذلك أن جمهور
أهل السنة يقولون: الإيمان قول باللسان، وتصديق بالقلب، وعمل بالقلب، وعمل
بالجوارح، والإيمان عمل ونية يزيد بالطاعة وينقص بالمعاصي،
فالعمل جزء من الإيمان، والإيمان مكون من هذه
الأشياء، من تصديق القلب وقول اللسان وعمل الجوارح وعمل القلب، فكل هذه أجزاء
الإيمان، فلابد من أن يقر المرء باللسان ويصدق بالقلب ويعمل بقلبه ويعمل بجوارحه.
والمرجئة يقولون: الأعمال ليست من الإيمان،
ولكنها دليل على الإيمان، أو هي من مقتضى الإيمان أو هي ثمرة الإيمان. أما القول
بأن العمل شرط كمال أو شرط صحة فلا أعلم له أصلاً من قول المرجئة ولا من قول أهل السنة
، فليس العمل شرط كمال ولا شرط صحة، وإنما هو جزء من الإيمان،
والقول بأنه شرط كمال أو صحة لا يوافق مذهب
المرجئة، ولا مذهب جمهور أهل السنة، بل قد يقال: إنه يوافق مذهب المرجئة من جهة
أنهم أخرجوا الأعمال عن مسمى الإيمان في الجملة، فهو أقرب ما يكون إلى مذهب
المرجئة،
فالذي يقول: إن العمل شرط كمال أو شرط صحة نقول
له: هذا مذهب المرجئة التي أخرجت الأعمال عن مسمى الإيمان، فإما أن تقول: العمل
داخل في مسمى الإيمان أو جزء من الإيمان، وإما أن تقول: العمل ليس من الإيمان،
فإن قلت: العمل ليس من الإيمان فأنت من المرجئة،
سواء أقلت: شرط كمال، أم قلت: شرط صحة، أم قلت: هو دليل على الإيمان، أم قلت: هو
مقتضى الإيمان، أم قلت: هو ثمرة الإيمان، فكل من أخرج العمل من الإيمان فهو من
المرجئة، ولكني لا أعلم أن المرجئة جعلوا الأعمال شرط كمال للإيمان.
الشيخ عبد العزيز الراجحي
Untuk perkataan Ibnu Baaz
yang memutuskan perkara yang antum sorot, mungkin lebih baik antum menampilkan
perkataan beliau yang ini :
Reply
Abu Al-Jauzaa' :Feb 13, 2012,
2:38:00 AM
Asy-Syaikh Ibnu Baaz
rahimahullah pernah ditanya sebagai berikut :
العُلماءُ الذينَ قَلوا بعدم كُفْرِ مَنْ تَرَكَ
أَعمالَ الْجوارح - مع تَلَفُّظِهِ بالشهادتين، ووجودِ أصلِ الْإيمان القلبي؛ هل
هم من المُرجئة ؟!
“Ulama yang berpendapat tidak
kafirnya orang yang meninggalkan amal-amal jawaarih (anggota badan) yang
bersamaan dengan orang tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat dan keberadaan
ashlul-iimaan di hatinya; apakah mereka (ulama tersebut) termasuk golongan Murji’ah
?”.
Beliau menjawab :
هذا من أهل السنة والجماعة؛ فمن ترك الصيام، أو
الزكاة، أو الحج : لا شك أڽَّ ذلك كبيرة عند العلماء؛ ولكن على الصواب : لا يكفر
كفرا أكبر.
أما تركُ الصلاة : فالراجح : أنه كافر كفرا أكبر
إذا تعمد تركها.
وأما تركُ الزكاة والصيام والحج : فإنه كفر دون
كفر.
“Mereka ini termasuk
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Barangsiapa yang meninggalkan puasa, zakat, atau
haji; maka tidak diragukan bahwa hal itu termasuk dosa besar menurut para
ulama. Akan tetapi yang benar dalam permasalahan ini : Tidak dikafirkan dengan
kufur akbar (murtad).
Adapun permasalahan
meninggalkan shalat, yang raajih : Ia dihukumi kafir akbar apabila sengaja
meninggalkannya. Sedangkan meninggalkan zakat, puasa, dan haji; maka ia adalah
kufrun duuna kufrin (kufur ashghar)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 28/144-145].
Silakan renungi perkataan
beliau di atas, terutama yang saya bold. Dan hubungkan antara pertanyaan yang
diajukan dengan jawaban yang dikeluarkan. Ingat, beliau di sini mengambil
thariqah pentarjihan dari aqwaal Ahlus-Sunnah.
8. Perkataan Ibnu
‘Utsaimiin..... Ini juga saya tidak paham, dari sisi mana menjadi hujjah untuk
menta’qib apa yang telah saya tulis. Dan justru ini semakin menunjukkan antum
tidak tahu apa yang antum bicarakan dan tulis. Laa haula wa laa quwwata illaa
billaah. Ini tanya jawab Syaikh selengkapnya di situs sahab : http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=105495.
Antum bisa bahasa Arab kan ?.
Saya harapkan tahu bahwa konteks kalimat syaikh :
س : سائل يقول ما قول الشيخ - حفظه الله - في
تدريس هذا الكتاب للناشئة وهو مشتمل على العناوين الآتية المكتوبة بالخط البارز
سنذكرها لكم :-
يقول " لا يكفر المسلم حتى يترك أصل الإيمان
القلبي "
ج : أنا قلت في هذا اللقاء إن تارك الصلاة كافر
ولو كان مقراً بوجوبها
السائل يقول في موطن آخر " جمهور العلماء
وليس المرجئة يقولون بنجاة تارك ...
قاطعه الشيخ رحمه الله تعالى قائلاً :
هؤلاء يريدون سفك الدماء واستحلال الحرام لماذا
صاحب هذا الكتاب ما أصل أصول أهل السنة والجماعة كما أصلها شيخ الإسلام ابن تيمية
في العقيدة الواسطية أما أن لا يكون لهم هم إلا التكفير (جنس العمل -نوع العمل
-آحاد العمل) وما أشبه ذلك لماذا …. (كلمة غير واضحة للشيخ حفظه الله)
Justru perkataan Syaikh itu
menjadi hujjah atas antum......
[perhatikan, ketika ditanya
bahwa seorang muslim tidak dikafirkan kecuali ia meninggalkan ashlul-iman dalam
hati. Lalu beliau menjawab kafir jika meninggalkan shalat. Ini adalah jawaban
pertarjihan dari khilaf yang ada di kalangan Ahlus-Sunnah. Kemudian ditanyakan
kembali tentang pendapat jumhur ulama dimana sebelum pertanyaan selesai, syaikh
memotong dengan jawaban di atas yang bisa antum baca. Perkataan syaikh yang
antum nukil itu terpotong mas..... Justru syaikh sedang mengkritik kaum
takfiriy yang membawa-bawa isu jinsul-‘amal. Kalau antum bawa ke konteks
irjaa’, ya mana tepat ?. Sejak kapan pencelaan takfir itu ditujukan pada
Murji’ah – karena mereka itu anti takfir - ?].
Itu saja lah yang dapat saya
tanggapi dari tulisan antum di atas.
Reply
Abu Al-Jauzaa' :Feb 13, 2012,
2:39:00 AM
Dan kemudian, seandainya
antum anggap saya keliru dan salah memahami perkataan para imam, saya tanya
pada antum apa makna perkataan Al-Baihaqiy berikut :
ذهبَ أكثرُ أصحابِ الحديثِ إِلىَ أنّ اسمَ
الإيمانِ يجمَعُ الطاعاتِ كلِّها فرضِها ونفلِها ، وأنّها عَلى ثلاثةِ أقسامٍ :
فقِسمٌ يكفُرُ بتركِه وَهُوَ اعتقادُ ما يجِبُ
اعتقادُه وإقرارٌ بِما اعتقدَه .
وقِسمٌ يفسُقُ بتركِه أو يعصِي ولاَ يكفُرُ بهِ
إذا لَم يجحَدْه وَهُوَ مفروضُ الطّاعاتِ كالصّلاةِ والزّكاةِ والصّيامِ والحَجّ
واجتنابِ المحارِمِ .
وقِسمٌ يكونُ بتركِه مخطِئاً لِلأَفضَلِ غيرَ
فاسِقٍ ولاَ كافِرٍ وَهُوَ ما يكونُ مِن العبادَاتِ تَطوّعاً
“Jumhur ahlul-hadiits
berpendapat bahwa nama iman itu mengumpulkan semua ketaatan, baik yang
wajib/fardlu maupun yang sunnah. Dan iman itu terbagi menjadi tiga bagian :
Pertama, bagian yang
mengkafirkan apabila ditinggalkan, yaitu i’tiqaad terhadap semua hal yang
diwajibkan i’tiqaad-nya, serta mengikrarkan apa-apa yang di-i’tiqad-kannya itu.
Kedua, bagian yang
menyebabkan kefasiqan atau bermaksiat apabila ditinggalkan, namun tidak
menyebabkan kekafiran apabila ia tidak mengingkarinya. Hal itu adalah
ketaatan-ketaatan yang diwajibkan, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan
menjauhi yang diharamkan.
Ketiga, bagian yang bila
ditinggalkan menjadikan seseorang keliru/terluput akan hal-hal yang lebih
utama, tanpa menyebabkan kefasikan ataupun kekafiran. Hal itu seperti pada
ibadah-ibadah tathawwu’ (sunnah)” [Al-I’tiqaad, hal. 202].
Apakah perkataan Al-Baihaqiy
di atas yang menisbatkan pada jumhur ulama merupakan jumhur Murji’ah ?.
Bagaimana juga dengan
perkataan Asy-Syaafi’iy berikut sebagaimana dinukil Asy-Syiiraaziy :
الإيمان هو التصديق والإقرار والعمل، فالمخلُّ
بالأول وحده منافق، وبالثاني وحده كافر، وبالثالث وحده فاسق ينجو من الخلود النار
ويدخل في الجنة
“Iman itu adalah tashdiiq,
iqraar, dan amal. Ketiadaan hal pertama saja, maka ia munafik. Ketiadaan hal
kedua saja, maka ia kafir. Dan ketiadaan hal ketiga saja, maka ia fasik yang
selamat dari kekekalan neraka dan (kemudian) masuk ke dalam surga”
[‘Umdatul-Qaari’, 1/175].
?????
Orang yang faqih itu bukan
hanya pandai ‘membantah’, tapi pandai juga menjawab dengan alasannya.
Nasihat saya : Sangat rugi
seandainya hasrat untuk berbicara dan menulis mengalahkan waktu untuk
muthala’ah dan memahami permasalahan.
Reply
Abu Al-Jauzaa' :Feb 13, 2012,
3:20:00 AM
Kitab Aqwaal Dzawil-'Irfaan
di atas telah ada ta'qiib nya yang sangat bagus berjudul : Burhaanul-Bayaan
bi-Tahqiiqi Annal-'Amal minal-Iimaan, tulisan Abu Shuhaib Al-Minsyawiy dan Abu
Haani' Asy-Syatharaat. Antum bisa unduh kitab itu d i sini atau sini.
Atau antum bisa baca kitab
yang berjudul Dzammul-Irjaa' tulisan Khaalid bin 'Abdillah Al-Mishriy, yang
bisa antum unduk di sini (sampul) dan sini. (isi) [format PDF]. Kalau mau
langsung nukik ke permasalahan, silakan buka halaman 31 dalam pasal : Manhaj
As-Salaf fii Taarikil-'Amal Adh-Dhaahir. Atau loncat saja ke kesimpulannya di
463 no. 10 yang mengatakan :
أهل السنة منهم من يكفر بترك المباني كالصلاة
والزكاة، ومنهم من لا يكفر بترك سائر عمل الجوارح بعد إتيانه بالشهادة والاعتقاد
Sebagai catatan saja, kitab
ini (Dzammul-Irjaa') telah dipublikasikan di sahab . . [So don't worry if U
'afraid' with al-halabiy's 'syubuhaat'].
Atau kitab-kitab masalah
iman, selengkapnya bisa antum unduh di halaman blog saya :
Sekali lagi pesen saya,
perbanyak muthala'ah dan jangan buru-buru menyimpulkan dari sedikit lembar yang
dibaca.
Semoga bermanfaat.
Baarakallaahu fiik.
Reply
Abu Al-Jauzaa' :Feb 13, 2012,
3:24:00 AM
Sebenarnya komentar di atas
ada yang kurang (yaitu komentar saya no. 2 dan 3) sehingga lompat ke no. 4.
Beberapa kali saya coba publish, selalu gagal.
Oleh karenanya, ta'qib saya
ke antum ini saya tuliskan juga di :
Silakan selengkapnya merujuk
ke sana.
Reply
EtonMar 18, 2012, 9:33:00 PM
Assalamu'alaikum wr wb.
Maaf Ustadz mungkin ini ada
breaking news, kabar yang perlu diketahui umat Muslim, tetapi bila menurut
antum tidak penting ya silakan dihapus saja tulisan saya & link ini: http://ishamerdeka.blogspot.com/2012/03/seorang-muslim-indonesia-menginjak.html
Reply
Abul-HaritsMar 23, 2012,
1:28:00 AM
Afwan Ustadz komentar balik
saya di artikel "Apakah Orang Yang Hanya Bermodal Syahadat Lalu
Meninggalkan Seluruh Amal Kewaqjiban Dalam Syariat Dikatakan Muslim bag.2...
waffaqaniyallah waiyyakum
Reply
Abul-HaritsJun 6, 2012,
7:59:00 PM
Dalam beberapa tempat dalam
Al-Majmu’ Al-Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah terkadang
memutlakkan kalimat Al-Iman Al-Wajib dengan Ashlul Iman. Diantaranya pada
ucapan :
"فإذا
لم يتكلم الإنسان بالإيمان مع قدرته دل على أنه ليس في قلبه الإيمان الواجب الذي
فرض الله عليه"
“Ketika seorang tidak mau
mengucapkan kalimat iman (syahadat) sedangkan ia mampu untuk mengucapkannya.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat dalam hatinya Al-Iman Al-Wajib yang
Allah wajibkan atasnya”. [Al- Fatawa 188/8]
Seandainya kalimat Al-Iman
Al-Wajib dalam konteks di atas dipahami maknanya dengan kadar tambahan dari
Ashlul Iman, tentunya kurang tepat bahkan bisa dikatakan keliru, karena ucapan
syahadat merupakan Ashlul Iman itu sendiri.
Apakah ucapan syahadat
termasuk Al-Iman Al-Wajib menurut Ustadz, yang jika ditinggalkan maka pelakunya
masih dikatakan muslim !?
Dalam kesempatan lain,
Syaikhul Islam rahimahullah berkata :
"وقد
لا يحصل لكثير منهم منها ما يستفيد به الإيمان الواجب فيكون كافرا زنديقا منافقا
جاهلا ضلا مضلا ظلوما كفورا و يكون من أكابر أعداء الرسل و منافقي الملة"
“Terkadang tidak tercapai
(maksud yang diharapkan) dari kebanyakan mereka, diantaranya tidaklah
bermanfaat baginya Al-Iman Al-Wajib hingga ia menjadi seorang kafir, zindiq,
munafiq, bodoh, sesat lagi menyesatkan, banyak berbuat dzalim dan melakukan
perbuatan kekufuran. Kemudian ia menjadi musuh para rasul dan kaum munafiq umat
ini.”[Al-Fatawa 584/7]
Apakah ketiadaaan Al-Iman
Al-Wajib dalam iman menjadikan seorang dikafirkan, dikatakan munafik, dan
menjadi musuh para rasul !?
Tentunya lebih tepat jika
Al-Iman Al-Wajib dalam konteks di atas, dimaknakan dengan Ashlul Iman.
Sehingga ungkapan Al-Iman
Al-Wajib dari Syaikhul Islam rahimahullah terkadang bermakna kadar tambahan
dari Ashlul Iman dan terkadang bermakna Ashlul Iman itu sendiri, tidak ada
pertentangan diantara keduanya. Allahua’lam
Reply
Abul-HaritsJun 13, 2012,
11:09:00 PM
secara tidak sengaja, saya
menemukan di toko kitab sebuah kitab berjudul "Al-Iman 'indas Salaf wa
Kasyfu Syubuhati Al-Mutaakhirin fi Masail Al-Iman" cetakan Maktabah
Ar-Rusyd (2 jilid tebal) berisi bantahan terhadap kitab-kitab yang antum
sebutkan dalam link. saya berharap antum pun mau membacanya.
Di dalamnya penulis
mendudukkan perkataan ulama tentang ashlul iman dan furu'nya, menjawab
pernyataan ulama yang masih mujmal seperti perkataan Ibnu Hazm, Ibnu Rajab,
nukilan-nukilan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dll rahimahumullah.
Dan yang paling menakjubkan
adalah nukilan-nukilan perkataan Ulama Muta'akhirin seperti Mufti Saudi Arabia
Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Shalih Al-Fauzan,
Syaikh bin Baz, Syaikh Ar-Rajihi dalam permasalahan yang diperselisihkan..
saya harap antum tidak
menyatakan setelah ini, semoga Allah meluaskan ilmu para ulama di atas karena
pengingkaran mereka yang sangat keras terhadap pendapat Murji'ah Al-Fuqahaa
atau karena muthola'ah mereka yang kurang terhadap kitab-kitab dalam masalah
iman..
Reply
Abul-HaritsJun 14, 2012,
12:06:00 AM
Syaikh Ar-Rais dalam Al-Ilmam
Syarh Nawaqidh Al-Islam menjawab syubhat sebagian orang yang menyatakan bahwa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan
seluruh amal jawarih.
Syaikh menyatakan yang
maknanya, nukilan-nukilan yang mereka bawakan dari Syaikhul Islam untuk
melegalkan bahwa meninggalkan seluruh amal jawarih hanya menjadikan fasik
(tidak kafir) adalah keliru dari beberapa sisi :
1) Syaikhul Islam sendiri
dalam Al-Fatawa berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat secara
total (tidak pernah shalat seumur hidupnya), tentunya orang yang hanya
meninggalkan shalat lebih ringan dibandingkan jika meninggalkan seluruh amal
jawarih.
Apakah jika meninggalkan
sholat saja dikafirkan, lalu meninggalkan seluruh amal jawarih tidak dikafirkan
?? pendalilan yang bukan pada tempatnya
2) Syaikhul Islam dalam
Al-Fatawa menukil ijma' dari ulama-ulama salaf sebelum beliau seperti
Asy-Syafi'i, Al-Ajury, dll bahwa tidak sah iman seserang tanpa amal dhahir.
Lalu pantaskah seorang
menukil ucapan Syaikhul Islam lalu menyatakan iman sah hanya dengan keyakinan
hati dan lisan, walaupun ia tidak beramal sedikitpun dengan amal jawarihnya ??
Reply
Abul-HaritsJun 14, 2012,
12:15:00 AM
Iman seseorang tidak sempurna
tanpa amal dhahir ini adalah satu permasalahan, lalu kafirnya seorang yang
meninggalkan seluruh amal dhahir itu permasalahan lain.
قال سهل بن عبد الله التستري رحمه الله كما نقله
شيخ الإسلام في(الفتاوى: 7/171) مقراً له أنه سئل عن الإيمان ما هو ؟ فقال :
"هو قول ونية وعمل وسنة ؛ لأن الإيمان إذا كان قولاً بلا عمل فهو كفر ، وإذا
كان قولاً وعملاً بلا نية فهو نفاق ، وإذا كان قولاً وعملاً ونية بلا سنة فهو
بدعة".وانظر(الإبانة:2/814)
- Imam Sahl bin Abdillah
At-Tasturi rahimahullah seperti dinukil Syaikhul Islam dalam Al-Fatawa 171/7
karena sependapat dengannya.
Beliau ditanya tentang apa
itu iman? Beliau menjawab : “Iman adalah ucapan, niat, amal dan sunah. Karena
jika iman (seorang) hanya ucapan TANPA AMAL maka ia KAFIR, jika hanya ucapan
dan amal tanpa niat maka itu adalah nifaq, jika hanya ucapan, amal dan niat
tanpa sunah maka itu adalah bid’ah” [Al-Ibanah 814/2]
قال أبو طالب المكي رحمه الله كما نقله شيخ
الإسلام ( الفتاوى: 7/333) :" ومن كان عقده الإيمان بالغيب ولا يعمل بأحكام
الإيمان وشرائع الإسلام فهو كافر كفراً لا يثبت معه توحيد ; ومن كان مؤمنا بالغيب
مما أخبرت به الرسل عن الله عاملاً بما أمر الله فهو مؤمن مسلم ... فلا إيمان إلا
بعمل ولا عمل إلا بعقد
- Imam Abu Thalib Al-Makki
rahimahullah seperti dinukil Syaikhul Islam rahimahullah dalam Al-Fatawa 333/7
berkata :
“barangsiapa yang beriman
kepada yang ghaib (beriman kepada Allah, malaikatNya dan hari akhir
wallahua’lam) tanpa beramal dengan ahkamul iman dan tanpa mengamalkan
syariat-syariat Islam maka ia KAFIR dengan KEKAFIRAN yang SEBENAR-BENARNYA.
Tidak terdapat tauhid dalam hatinya. Barangsiapa yang beriman kepada yang ghaib
seperti yang rasul kabarkan dari Allah dan beramal dengan apa yang Allah
perintahkan maka ia mu’min muslim…tidak SAH iman TANPA AMAL, tidak pula sah
amal tanpa ‘aqd”.
وقال(الفتاوى:7/611) :"ومن الممتنع أن يكون
الرجل مؤمناً إيماناً ثابتاً في قلبه ؛ بأن الله فرض عليه الصلاة والزكاة والصيام
والحج ويعيش دهره لا يسجد لله سجدة ولا يصوم من رمضان ولا يؤدي لله زكاة ولا يحج
إلى بيته ، فهذا ممتنع ، ولا يصدر هذا إلا مع نفاق في القلب وزندقته لا مع إيمان
صحيح ، ولهذا إنما يصف سبحانه بالامتناع عن السجود الكفار"
- Syaikhul Islam rahimahullah
juga berkata dalam Al-Fatawa 611/7 :
“Seorang tidak dikatakan
beriman dengan iman yang tsabit dalam hatinya jika Allah mewajibkan padanya
shalat, zakat, puasa, haji lalu selama hidupnya ia belum pernah sujud kepada
Allah sekali pun, tidak pula puasa ramadhan, tidak menunaikan zakat, tidak pula
haji ke baitullah.
Tidak mungkin dikatakan
beriman, perbuatan ini hanyalah ada pada seorang yang terdapat NIFAQ dan ZINDIQ
dalam hatinya. Sifat ini tidak mungkin bersamaan dengan iman yang benar (dalam
hatinya).
Oleh karena itu, Allah
subhanah hanyalah mensifati orang-orang yang TIDAK MAU SUJUD dengan sebutan
KAFIR”.
ungkapan Syaikhul Islam yang
antum nukil masih global dan bukan pada perkara yang diperselisihkan (mahallun
niza'), berbeda dengan ungkapan Syaikhul Islam yang saya nukil di atas maknanya
sangat jelas dan gamblang.
Apakah ungkapan Syaikhul
Islam di atas tepat jika dipahami bahwa tidak SEMPURNA iman tanpa amal,
sementara dalam paragraf yang sama beliau mengiringkannya dengan ungkapan
kekafiran.
Reply
Abul-HaritsJun 14, 2012,
1:14:00 AM
Syaikh Ar-Rais dalam kitab
yang sama, beliau juga mengingatkan diantara sebab yang menjadikan mereka
keliru dalam memahami perkataan ulama dalam permasalahan iman adalah ketika
mereka memahami ungkapan "meninggalkan العمل"
Al-Amal disini bisa bermakna
jinsul 'amal (meninggalkan seluruh amalan dhahir), dan bisa pula bermakna
meninggalkan sebagian amal dhahir seperti meninggalkan shalat atau zakat atau
haji.
contohnya adalah ungkapan
Ustadz sendiri ketika menukil ucapan Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah, Syaikh
pernah ditanya sebagai berikut :
العُلماءُ الذينَ قَلوا بعدم كُفْرِ مَنْ تَرَكَ
أَعمالَ الْجوارح - مع تَلَفُّظِهِ بالشهادتين، ووجودِ أصلِ الْإيمان القلبي؛ هل
هم من المُرجئة ؟!
“Ulama yang berpendapat tidak
kafirnya orang yang meninggalkan AMAL-AMAL jawaarih (anggota badan) yang
bersamaan dengan orang tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat dan keberadaan
ashlul-iimaan di hatinya; apakah mereka (ulama tersebut) termasuk golongan
Murji’ah ?”.
Beliau menjawab :
هذا من أهل السنة والجماعة؛ فمن ترك الصيام، أو
الزكاة، أو الحج : لا شك أڽَّ ذلك كبيرة عند العلماء؛ ولكن على الصواب : لا يكفر
كفرا أكبر.
أما تركُ الصلاة : فالراجح : أنه كافر كفرا أكبر
إذا تعمد تركها.
وأما تركُ الزكاة والصيام والحج : فإنه كفر دون
كفر.
“Mereka ini termasuk
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Barangsiapa yang meninggalkan PUASA, ZAKAT, ATAU
HAJI; maka tidak diragukan bahwa hal itu termasuk dosa besar menurut para
ulama. Akan tetapi yang benar dalam permasalahan ini : Tidak dikafirkan dengan
kufur akbar (murtad).
Adapun permasalahan meninggalkan
shalat, yang raajih : Ia dihukumi kafir akbar apabila sengaja meninggalkannya.
Sedangkan meninggalkan zakat, puasa, dan haji; maka ia adalah kufrun duuna
kufrin (kufur ashghar)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 28/144-145].
Syaikh bin Baz rahimahullah
memahami meninggalkan AMAL dalam konteks pertanyaan penanya dengan meninggalkan
sebagian amal seperti puasa, zakat atau haji. Ini sangat jelas
seandainya Syaikh memahami
meninggalkan AMAL dalam pertanyaan dengan meninggalkan SELURUH AMAL JAWARIH
tentu Saikh tidak akan mengecualikan shalat di dalamnya.
Seorang yang berikrar dengan
kalimat syahadat, memiliki ashlul iman dalam hati namun meninggalkan sebagian
amal jawarih seperti zakat, puasa atau haji, maka tidak ada perselisihan
tentang keislamannya (bukan mahallun niza')
Reply
Abul-HaritsJun 14, 2012,
1:29:00 AM
Jika antum menyatakan
penamaan Jinsul 'Amal adalah istilah yang bid'ah, tidak dikenal di kalangan
salaf.
maka ungkapan antum perlu
diteliti kembali, Siapakah yang mengunakan penamaan Jinsul 'Amal dalam
perkataan-perkatannya.. Tidak lain yang menyatakannya adalah Syaikh bin Baz,
Syaikh Ar-Raajihy, Syaikh Abdul Aziz Ar-Rais, Syakh Bakr Abu Zaid, Syaikh
Shalih Al-Fauzan dll rahimahumullah, ...
Apakah pantas jika kita
membid'ahkan ungkapan para ulama di atas ??
jika antum mau bukti,
mudah-mudahan Allah memberikan saya taufiq untuk menampilkan ungkapan-ungkapan
ulama yang saya sebutkan di atas tentang penggunaan istilah Jinsul 'Amal dalam
fatawa mereka..
saya kira antum pun telah
mengetahuinya.,
Reply
Abul-HaritsDec 23, 2012,
1:44:00 PM
Mengenai istilah jinsul
a'mal, saya telah menuliskannya di artikel http://abul-harits.blogspot.com/2012/12/istilah-jinsul-amaal-bukan-bidah.html
Mudah-mudahan menambah faidah
buat antum.