Senin 10 Safar 1437 / 23 November 2015 10:09
Oleh:
Zahbiadina Latifah
Mahasiswi Fakultas Ekonomi
UNY Yogyakarta
BEBERAPA hari
yang lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan G-20 mengapresiasi kondisi
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim besar di dunia dengan kondisi
yang relatif baik dan ada toleransi. Presiden menyebutkan dalam pertemuan G-20,
ia menyampaikan sebagai negara terbesar berpenduduk muslim, Indonesia mendorong
adanya Islam yang modern, moderat, dan toleran.
Memang, beberapa
bulan terakhir, berbagai label Islam seperti Islam Nusantara, Islam Moderat,
Islam Wasathiyah, Islam Inklusif menjadi opinibooming di
tengah-tengah masyarakat. Seolah ide ini bernilai positif.
Para pengusungnya
menganggap bahwa ide ini dapat menangkis pencitraan buruk yang dilekatkan
masyarakat dunia terhadap Islam dan kaum muslimin, yakni Islam garis keras,
teroris, fundamentalis yang identik dengan kondisi di Timur Tengah.
Tidak sedikit pula
kaum muslimin yang menganggap ide ini sejalan dengan Islam. Mereka berpandangan
bahwa pemahaman dan praktek Islam yang terlalu ketat bertentangan dengan Islam.
Meski demikian
mereka juga tidak ingin adanya kebebasan yang melampaui batas ketetapan hukum
Islam. Oleh karena itu sikap jalan tengah/moderat dianggapnya posisi yang
paling tepat.
Islam
Moderat : Upaya Barat Melemahkan Umat Islam
Sepintas gagasan
Islam moderat merupakan gagasan yang seolah-olah positif dan elegan. Tetapi
setelah ditelusur, kampanye ‘Islam Moderat’ tidak lepas dari peristiwa WTC 11
September 2001, dimana kelompok muslim dituduh bertanggungjawab atas
kejadian tersebut. Akhirnya, diciptakanlah istilah ‘Islam Radikal’ untuk
menggiring kaum muslim menerima istilah ‘Islam Moderat’.
Dari berbagai
pernyataan para politisi dan intelektual barat terkait klasifikasi Islam
Moderat dan Islam Radikal, akan kita temukan bahwa yang mereka maksud ‘Islam
Moderat’ adalah Islam yang tidak anti Barat, Islam yang tidak menentang
sekulerisme Barat, serta tidak menolak berbagai kepentingan Barat.
Kesimpulannya,
‘Islam Moderat’ adalah Islam sekuler, yang mau menerima nilai-nilai budaya dan
ideologi Barat dan mau berkompromi dengan Barat. Kelompok yang disebut dengan
‘Islam Moderat’ ini menganggap ‘Islam yang ramah’ dan bisa jadi mitra Barat.
Sebaliknya,
muslim radikal sangat berbahaya karena bermaksud menyingkirkan Barat dan
memperoleh kejayaan Islam yang telah hilang. Maka setelah itu, strategi pun
disusun untuk memberdayakan ide ‘Islam Moderat’ agar mengubah dunia Islam
sesuai dengan Demokrasi dan tatanan Internasional. Maka, yang terjadi adalah
penjajahan Barat di negeri-negeri muslim akan semakin langgeng baik dari segi
akidah, politik dan ekonomi.
Ide Islam Moderat
pada dasarnya adalah bagian dari sekulerisasi pemikiran Islam ke tengah-tengah
umat, yang diberi warna baru. Ide ini menyerukan untuk membengun Islam inklusi
yang bersifat terbuka dan toleran terhadap ajaran agama lain.
Nampak jelas
bahwa gagasan Islam Moderat ini mengabaikan ajaran Islam yang bersifat qath’i,
seperti : superioritas Islam atas agama dan ideology lain (QS. Ali Imron: 85),
kewajiban berhukum dengan syari’ah (QS. Al Maidah : 48), kewajiban negara
memerangi negara-negara kufur hingga mereka masuk Islam atau membayar jizyah
9QS. At-Taubah : 29). Dan dapat pula difahami bahwa sesungguhnya Islam Moderat
merupakan pemahaman yang tidak datang dari Islam dan tidak dikenal dalam Islam.
Islam dengan
berbagai labelnya adalah upaya barat dengan memberikan kotak-kotak untuk
menghancurkan Islam. Sebagaimana yang dituangkan dalam dokumen Rand
Corporation, bahwa strategi penghancuran ini dibangun dengan dasar falsafah “
devide et impera” atau politik pecah belah.
Maka, kita perlu
mempertanyakan maksud dari kampanye konsep Islam Moderat seperti yang diberikan
pada pertemuan G-20 kepada pemimpin Indonesia.
Dengan kata lain
jika pemimpin Indonesia menerima ini konsep ini, maka sama saja mereka telah
termakan kepentingan barat untuk melemahkan ideologi Islam.