Diplomasi
Militer Saudi-Turki Gentarkan Aliansi Majusi-Komunis
Diplomasi adalah penting. Tetapi diplomasi yang tidak
didukung kekuatan ekonomi yang besar dan kekuatan militer yang mengetarkan tak
bisa menghasilkan kesepakatan dan keputusan yang adil.
Gabungan Turki dan Negara-negara Arab adalah
kekuatan ekonomi dan militer yang besar. Persatuan itu akan menjadi kekuatan
alternatif ketiga selain Amerika plus NATO dan Rusia di kawasan.
Ketika Arab Saudi memutuskan akan melakukan perang
darat untuk menumpas ISIS dan mendongkel Basyar Asad maka Rusia, Iran, dan
rejim Syria berhitung ulang.
Saudi Arabia tak main-main. Keberhasilan melakukan
latihan operasi militer skala besar dengan sandi "Ra'dusy Syimaal" dengan melibatkan puluhan ribu tentara dan sejumlah
besar arsenal darat dan udara di kompleks militer Raja Khalid
"memaksa" Iran untuk melunak. Sehingga Iran buru-buru menyatakan siap
berunding untuk membahas masa depan Syria. Tetapi Raja Salman menjawab dengan
tegas bahwa "mau'idunaa fii suuriyaa"
(perhitungan antara kita akan diselesaikan di Syria).
Kondisi tambah tak nyaman bagi negara-negara
aliansi majusi dan komunis setelah baru lalu Saudi Arabia mengakui memiliki "qunbulah nawawiyyah" (bom nuklir) yang siap digunakan untuk
meluluhlantakkan Teheran, Damascus, dan Baghdad bila kondisi menuntut.
Tak berhenti sampai disitu. Aliansi negara-negara
arab bergerak cepat dan menyebarkan pasukan siap tempur dan arsenal siap serang
Syria dari Iraq, Jordania, dan Turki.
Sikap Turki yang keras terhadap kaum komunis Kurdi
tak ayal membuat Amerika plus Uni Eropa dan Rusia berselisih tajam dalam dewan
keamanan PBB.
Dengan sikap tegas Erdogan berkata pada Amerika,
"Silahkan Amerika memilih antara Turki atau teroris pemberontakan Kurdi (wahdaat himaayatisy sya'ab). Kalau Amerika pilih Kurdi silahkan umumkan pada dunia."
Tekanan Turki memaksa John Kerry, menteri luar
negeri Amerika, mengatakan, "Satuan Pelindung Rakyat Kurdi (YPG/wahdaat
himaayatisy sya'ab) hanyalah sebuah organisasi. Kerjasama dengannya tak bisa
dipercaya."
Dan dalam sidang darurat dewan keamanan PBB
kemarin (19/2) malam akhirnya Amerika dan Prancis menolak proposal Rusia yang
ingin mengucilkan, memberikan sangsi, serta meminta tanggung jawab Turki karena
telah menyerang Halab dan Idlib. Juga menambah keruwetan dan ketegangan dengan
menyebarkan puluhan ribu pasukan berikut arsenal siap gebuk di perbatasan Syria.
Kita akan lihat. Mana solusi yang akhirnya dipilih
Turki plus aliansi negara-negara arab dipimpin Arab Saudi; solusi diplomatik
yang adil bagi rakyat Syria dengan Asad hengkang dan Rusia-Iran keluar dari
Syria atau perang darat dengan potensi kerugian besar utamanya bagi Rusia dalam
bidang ekonomi.
Penulis: Hafidin Achmad Luthfie
http://www.portalpiyungan.com/2016/02/diplomas-militer-saudi-turki-gentarkan.html
http://www.portalpiyungan.com/2016/02/diplomas-militer-saudi-turki-gentarkan.html
Saad al-Hariri : Libanon tidak akan
pernah menjadi ‘provinsi Iran’
February
15, 2016
Politisi
Sunni dan mantan perdana menteri Lebanon, Saad al-Hariri mengatakan pada hari
Minggu Lebanon tidak akan pernah menjadi “provinsi Iran” dan bermusuhan dengan
Arab Saudi, dia juga mengecam peran Syiah Hizbullat dalam perang Suriah
dalam sebuah pidato yang mencerminkan ketegangan regional.
Ketegangan antara Arab Saudi dan Iran,
yang keduanya memiliki pengaruh yang kuat di Lebanon dan masing-masing
mendukung blok politik yang berseberangan
“Kami
tidak akan membiarkan siapa pun untuk menarik Libanon ke wilayah permusuhan
terhadap Arab Saudi dan saudara Arab lainnya. Lebanon tidak akan, dalam keadaan
apapun, menjadi sebuah provinsi Iran. Kami adalah orang Arab, dan kami akan
tetap menjadi orang Arab,” kata Hariri, tokoh Lebanon yang didukung oleh Arab
Saudi.
Hizbullat, didukung oleh Iran, berjuang
bersama tentara rezim Suriah dalam mendukung Bashar al-Assad dalam perang
melawan pejuang oposisi yang telah menerima dukungan dari Arab Saudi,
Turki dan negara-negara lain.
Lima anggota Hizbullat telah didakwa oleh pengadilan internasional pada 2005
atas pembunuhan terhadap Rafik al-Hariri, perdana menteri Lebanon dan juga ayah
Saad al Hariri.
Kelompok ini telah membantah terlibat
dalam pembunuhan tersebut, yang mendorong Lebanon ke ambang perang dan masih
membangkitkan emosi 11 tahun kemudian. Pembunuhan itu memperdalam perpecahan
sektarian dalam politik Lebanon yang masih mempengaruhi Lebanon sampai hari
ini.
Hariri, terakhir mengunjugi Lebanon
pada peringatan 10 tahun kematian ayahnya, memimpin aliansi politik pada
14 Maret yang dibentuk setelah pembunuhan ayahnya.
Dia secara terbuka menegaskan untuk
pertama kalinya bahwa akhir tahun lalu ia mengajukan penawaran
kepada Suleiman Franjieh, yang selama ini dekat dengan Hizbullat,
untuk mengisi jabatan presiden yang telah kosong selama 21 bulan.
Tapi dia mempertanyakan apakah rival
politiknya benar-benar ingin mengakhiri krisis yang mencerminkan kelumpuhan
yang lebih luas dalam pemerintahan Lebanon. Inisiatifnya belum memperoleh
tanggapan. Hizbullat mengatakan mereka lebih mendukung calon yang mereka
sukai, Michel Aoun.
“Kami tulus. Kami ingin presiden republik
ini. Kami ingin mengakhiri kevakuman. Kami telah membayar harga tinggi di
dalam dan di luar negeri,” kata Hariri.
Mengomentari saingannya, ia berkata: “Silakan pergi ke parlemen dan
pilihlah presiden, kecuali jika calon kalian sesungguhnya adalah vakum”
Reuters
http://www.middleeastupdate.net/saad-al-hariri-libanon-tidak-akan-pernah-menjadi-provinsi-iran/
Reuters
http://www.middleeastupdate.net/saad-al-hariri-libanon-tidak-akan-pernah-menjadi-provinsi-iran/
Menhan Turki:
Perdamaian Suriah Hanya Ada 1 Solusi, PERANG!!
Kondisi Terbaru Suriah 2016: Ankara
– Menteri Pertahanan Turki mengatakan bahwa pasukan Rusia dan rezim Assad
menggunakan tragedi pembunuhan massal di Suriah sebagai senjata untuk melawan
Turki dan Eropa.
Menteri Ismet Yilmaz menyatakan pada Rabu
(17/02), untuk menakut-nakuti Eropa, Rusia kini telah melakukan 7.200 serangan
udara sejak intervensi pertamanya pada 30 September. Namun sejumlah besar
serangannya hanya menargetkan warga sipil dan pasukan oposisi Suriah, yang mana
hal ini berbeda dengan tujuan yang pernah dinyatakan Rusia dalam intervensi
militer Moskow di Suriah.
“Sebanyak 88 persen dari serangan udara
Rusia menargetkan warga sipil dan pejuang oposisi, sementara hanya 12 persen
dari serangan yang menargetkan ISIS. Dan kita tidak melihat mereka menyerang
ISIS, sebaliknya mereka hanya menghancurkan oposisi Suriah,” katanya seperti
dikutip Anadolu.
Menurutnya, dalam menanggapi konflik
berkepanjangan Suriah, Rusia tidak akan mencari solusi lain dalam politik
Suriah melainkan hanya serangan militer.
“Pemerintah Rusia tidak akan mencari
solusi politik apapun di Suriah kecuali hanya satu hal, militer,” ungkapnya.
Pada hari Senin lalu, lima unit medis dan
dua sekolah telah dibombardir oleh jet tempur Rusia, dan menewaskan 50 warga
sipil dan melukai puluhan orang lainnya, termasuk anak-anak.
Mengomentari hal ini, Menlu Turki
menyatakan, “Terlalu banyak kejahatan perang (yang dilakukan) menurut hukum
internasional.”
Setali tiga uang dengan Turki, Jubir HAM
PBB, Rupert Colville juga mengomentari bahwa, jika (penargetan) terhadap
berbagai fasilitas umum itu disengaja, hal tersebut bisa dianggap kejahatan
perang.
Sumber: Kiblat.net