Kisah Syaikh ‘Utsaimin
Mencari Menantu
Dalam kajiannya
di Al Qashim, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, seorang ulama besar
negeri Arab yang terkenal, pernah didatangi seorang pemuda bernama Khalid yang
saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa.
Setelahnya dari majelis muhadharah tersebut, beliau
menghampiri Syaikh ‘Utsaimin yang hendak pulang ke rumah. Syaikh ‘Utsaimin
selalu berjalan kaki dari rumah ke tempat kajian begitu pula sebaliknya. Di
tengah jalan pemuda itu nekat memberanikan diri untuk bertanya, “Syaikh, apakah
Anda mempunyai anak perempuan?”
Ketika mendengar pertanyaan pemuda tersebut, Syaikh
‘Utsaimin berubah mimik mukanya dan bertanya, “Ada apa akh?”
Pemuda itu menjawab, “Kalau ada, saya berniat
meminangnya, bolehkah saya meminangnya?”
Lalu apa yang dilakukan Syaikh ‘Utsaimin? Apakah
beliau bertanya usaha bapak kamu apa? Kamu sudah hafal hadits berapa?
Sebelumnya kamu lulusan apa? Gaji kamu berapa? Tabungan kamu berapa? Bahkan
Syaikh ‘Utsaimin tidak memberikan sebuah pertanyaanpun kepada pemuda ini,
Syaikh ‘Utsaimin hanya berkata, “Tunggulah kabar dariku, Insya Allah akan aku
telepon…”
Lalu dalam hari-hari penantian kabar tersebut, pemuda
ini mengalami kegelisahan juga, satu hari berlalu, dua hari berlalu, hingga
sepekan berlalu. Ia bertanya dalam hati, “Apakah Syaikh lupa ya, perlukah saya
mengingatkannya?”
Namun, pemuda ini teringat perkataan Syaikh yang
menyuruhnya menunggu. Hingga akhirnya sebulan setelah peristiwa itu ada telepon
yang dialamatkan ke asrama. Namun kebetulan pemuda itu sedang kuliah.
Akhirnya dari pihak asrama menyampaikan ke pemuda ini
bahwa beliau dicari oleh Syaikh ‘Utsaimin. Dalam hati dia bertanya, “Kenapa ya
Syaikh ‘Utsaimin mencariku?”
Ternyata pemuda ini sudah agak pesimis dan bahkan
agak melupakan tentang permintaannya.
Ketika beliau melepon Syaikh ‘Utsaimin, beliau
bertanya, “Ada apa Syaikh?”
“Aku ingin melanjutkan pembicaraan kita waktu itu
akhi?”
“Pembicaraan yang mana, Syaikh?”
“Pembicaraan ketika kamu menyusul saya di jalan.
Akhi, silahkan kamu lanjutkan prosesnya..”
Pemuda itupun terkejut, ternyata Syaikh ‘Utsaimin
masih mengingatnya dan beliaupun akhirnya membalas pernyataan Syaikh ‘Utsaimin
dengan terbata-bata, “Syaikh, perkenankan saya mengabari orang tua saya
terlebih dahulu untuk kelanjutannya…”
“Silahkan akhi, saya tunggu kedatangan kalian…”
Ternyata pemuda yang bermodal nekat ini juga belum
memberitahukan orangtuanya kalau beliau hendak melamar anak Syaikh ‘Utsaimin.
Pertanyaannya adalah apa yang dilakukan Syaikh
‘Utsaimin selama satu bulan tersebut? Inilah adab ‘ulama yang harus dicontoh
oleh wali seorang anak perempuan…
Syaikh ‘Utsaimin ternyata menyelidiki sendiri tentang
pemuda ini, dari pergaulannya, bagaimana di mata teman-temannya, di mata
gurunya, bagaimana keseriusan dalam belajarnya, prestasinya di kampus, latar
belakang keluarganya. Itu beliau lakukan sendiri! Bukannya langsung
ditanyakan kepada pemuda itu di tempat itu dan saat itu juga. Dan akhirnya
setelah mengetahuinya dengan jelas, barulah beliau memutuskannya setelah
bermusyawarah dengan keluarga beliau.
Pemuda ini adalah Syaikh Dr. Khalid Al Mushlih yang saat
ini menjadi salah satu ulama yang dikenal di negeri Arab.
Kumpulan
Kisah Kehidupan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
Asy-Syaikh Hamad bin ‘Abdillah Al-Jutaili berkata:
Saya mempunyai
beberapa kenangan tentang Asy-Syaikh Al-Utsaimin, yaitu selama saya belajar
kepada beliau selama 30 tahun di Al-Jami’ Al-Kabir, Unaizah. Yaitu tentang
kesabaran beliau, dimana pada awal perjalanan mengajar beliau hanya ada saya
dan beberapa pelajar lain, namun beliau senantiasa bersabar sampai akhirnya
kajian beliau berkembang dan diikuti oleh ribuan pelajar. (Safahat Mushriqah
min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 80)
Diingatkan oleh
Muridnya
Dikisahkan, pada
sebuah khutbah Jum’at, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin menjelaskan tentang keutamaan
surat Al-Fatihah sebelum tidur dan menganjurkan setiap orang untuk membacanya.
Setelah selesai khutbah, salah seorang pelajar mengingatkan Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin, “Wahai Syaikh, yang anda maksud mungkin tadi keutamaan ayat
Kursi.”
Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin kemudian menyadari bahwa dirinya secara tidak sengaja telah
melakukan kesalahan. Maka beliau pun segera meralat kesalahannya sebelum para
jamaah pergi, mengingatkan mereka bahwa beliau telah berbuat salah dan yang
benar adalah keutamaan membaca ayat Kursi sebelum tidur. (Safahat Mushriqah min
Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 43)
Menuntut Ilmu Sejak Anak-anak
Asy-Syaikh ‘Ashim
bin ‘Abdil Mun’im Al-Mari menceritakan:
Sifat yang paling
menonjol dari Asy-Syaikh Al-’Utsaimin adalah ketekunan beliau dalam menuntut
ilmu. Beberapa saudara Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad Al-Mani’ rahimahullah,
Qadhi Unaizah pada tahun 1360 H (1936) menyebutkan bahwa Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin selalu datang pagi-pagi ke rumah Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad
sambil membawa kertas dan buku. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian mengetuk
pintu, mengucapkan salam dan meminta ijin untuk masuk ke perpustakaan. Beliau
biasa ada di perpustakaan itu sampai menjelang Dzuhur. Ini dilakukan ketika
beliau masih anak-anak (belum mencapai usia baligh). (Ad-Durr Ats-Tsamin fi
Tarjamti Faqihil Ummah Al-’Allammah bin ‘Utsaimin, hal. 24)
“Istirahat adalah dengan tetap memberikan
pelayanan kepada umat”
Asy-Syaikh Badr bin
Nadhir Al-Masyari menceritakan:
Meskipun dalam
keadaan kesehatannya kurang baik, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tetap bersemangat
untuk memberikan khutbah Jum’at di Al-Jami’ Al-Kabir, memimpin doa, dan menemui
tamu-tamu untuk menjawab pertanyaan ataupun memberikan penjelasan. Semua ini
memang kemauan dari beliau sendiri, dimana pada suatu hari dikatakan kepada
beliau, “Wahai Syaikh, beristirahatlah.” Maka beliau menjawab, “Istirahat
adalah dengan tetap memberikan pelayanan kepada umat.” (Ad-Durr Ats-Tsamin fi Tarjamti
Faqihil Ummah Al-’Allammah bin ‘Utsaimin, hal. 296)
Prihatin dengan Krisis yang Terjadi pada Umat
Asy-Syaikh Badr bin
Nadhir Al-Masyaari menceritakan:
Salah seorang murid
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bercerita kepada saya bahwa beliau pernah mengalami tidur
dalam waktu sedikit ketika krisis yang besar melanda umat, khususnya pada saat
Perang Teluk dan tragedi pembantaian muslimi di Bosnia dan Chechnya. Waktu itu
beliau sering berdoa di waktu malam kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar
memberi kemenangan bagi kaum muslimin dalam melawan musuh-musuhnya, menguatkan
Islam, dan menghancurkan musuh-musuh Islam. Beliau pun berdoa untuk keselamatan
kaum muslimin secara keseluruhan dan memberi mereka dorongan agar tetap teguh
dalam menghadapi berbagai kesulitan menghadapi musuh-musuh Isam. (Ad-Durr
Ats-Tsamin fi Tarjamti Faqihil Ummah Al-’Allammah bin ‘Utsaimin, hal. 300)
Menghapal Al-Qur’an dalam Waktu Enam Bulan
Asy-Syaikh Ibrahim
bin Hamad Al-Jutaili, seseorang yang telah mengenal Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
selama 45 tahun dan telah belajar kepada beliau selama 20 tahun bercerita:
Beliau mampu menghapal Al-Qur’an dalam waktu 6 bulan di bawah bimbingan gurunya
Asy-Syaikh Ali bin Abdullah Asy-Syuhaitan. (Ad-Durr Ats-Tsamin fi Tarjamti
Faqihil Ummah Al-’Allammah bin ‘Utsaimin, hal. 23)
Catatan: Berdasar
cerita ini maka menjadi jelas bahwa Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tidak menghapal
Al-Qur’an di bawah bimbingan kakeknya, Abdurrahman bin Sulaiman Al-Damigh,
sebagaimana yang banyak diketahui. Kepada kakeknya itu beliau semata hanya
belajar membaca Al-Qur’an, sementara untuk menghapalnya beliau dibimbing oleh
Asy-Syaikh Asy-Syuhaitan.
Tetap Shalat Malam Meski Kelelahan
Muhammad bin ‘Abdil
Jawwad As-Sawi mengisahkan:
Suatu ketika
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin diundang oleh suatu lembaga amal di Jeddah. Acara yang
beliau hadiri itu ternyata sangat panjang, sampai mendekati jam satu malam
dimana kebiasaan beliau adalah beristirahat pada waktu demikian. Terlihat
sekali beliau mengalami kelelahan dan mengantuk. Kami akhirnya pulang dan mengantar
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ke rumah, sementara kami sudah tidak bisa lagi menahan
kantuk.
Ketika hari masih
malam, yaitu sekitar jam 03.30, setelah kami tertidur selama kurang lebih dua
jam, saya mendengar suara Asy-Syaikh Al-’Utsaimin yang sedang sholat dalam
keadaan beliau baru saja kelelahan dan kurang tidur, namun beliau tetap
menyempatkan untuk melakukan shalat malam. (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 73)
Tidak Kenal dengan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
Abdullah bin ‘Ali
Al-Matawwu’ menceritakan bahwa ia pernah menemani perjalanan Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin dari Unaizah menuju Al-Bada’i yang jaraknya sekitar 15 km untuk
memenuhi undangan acara makan siang. Setelah acara selesai, dalam perjalanan
pulang rombongan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin menjumpai seorang laki-laki yang
memiliki jenggot berwarna merah dan dengan pandangan bersahabat ia melambaikan
tangan ke mobil kami. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Pelan-pelan, kita akan
ajak dia bersama kita.”
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
kemudian berkata, “Hendak pergi kemana anda?” Laki-laki itu menjawab, “Bolehkah
saya menumpang sampai ke Unaizah?” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Boleh,
tapi dengan dua syarat, pertama anda tidak boleh merokok dan kedua anda harus
selalu mengingat Allah.” Ia menjawab, “Saya adalah laki-laki yang tidak
merokok. Saya tadinya menumpang kepada seorang laki-laki yang merokok, maka
saya minta turun di sini. Sedangkan untuk mengingat Allah, maka tidaklah ada
seorang muslim pun kecuali ia pasti mengingat Allah.” Maka laki-laki itu pun
masuk ke dalam mobil.
Selama perjalanan
laki-laki tersebut sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya sedang bersama
rombongan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Ketika sampai di Unaizah, laki-laki itu
berkata, “Tolong tunjukkan saya di mana rumah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, saya
memiliki beberapa permasalahan yang ingin saya tanyakan pada beliau.”
Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin berkata, “Mengapa anda tidak bertanya kepada beliau saat di
Bada’i?” Ia menjawab, “Saya tidak bertemu dengan beliau.” Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin berkata, “Saya melihat anda berbicara dan memberi salam kepada
beliau.” Laki-laki itu berkata, “Anda pasti bercanda.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
tersenyum dan berkata, “Kerjakanlah shalat Ashar di masjid jami’ Unaizah, maka
anda akan bertemu dengannya.” Orang itu berlalu tanpa mengetahui bahwa ia baru
saja berbicara dengan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.
Usai shalat Ashar,
laki-laki itu melihat seorang Syaikh di arah depan usai mengimami shalat.
Laki-laki itu bertanya tentang Asy-Syaikh tersebut dan diberi tahu bahwa beliau
adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Maka laki-laki itupun mendekati Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin dan meminta maaf karena tidak mengenali beliau sebelumnya.
Kemudian ia mengajukan beberapa pertanyaan dan Asy-Syaikh pun menjawabnya.
Laki-laki itu sangat senang dan mengucapkan terima kasih kepada Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,
hal. 38)
“Tahukah kamu siapa Asy-Syaikh itu?”
Ketika Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin pulang dari Masjidil Haram usai shalat menuju hotel, beliau
menjumpai sekumpulan anak muda sedang bermain sepak bola dalam keadaan mereka
belum sholat. Maka beliau pun menghentikan permainan sepak bola itu, memberi
nasehat kepada mereka, dan mengingatkan mereka kepada Allah dalam keadaan
mereka tidak tahu siapa beliau. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin melarang mereka untuk
meneruskan permainannya sebelum mereka sholat. Salah seorang dari mereka
mendekati beliau dan dengan nada tinggi ia memaki-maki. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
membalas kata-kata anak muda itu dengan penuh rasa cinta dan keramahan, “Engkau
sebaiknya ikut saya ke hotel, kita bisa bicara di sana.”
Waktu itu
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bersama beberapa pelajar dan mereka mendorong anak muda
itu untuk menuruti Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ikut bersama beliau. Maka ia pun
ikut bersama Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ke hotel. Beberapa saat kemudian beliau
meninggalkan ruangan untuk suatu keperluan. Para pelajar yang bersama
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bertanya kepada anak muda, “Tahukah kamu siapa Syaikh
itu?” Ia menjawab, “Saya tidak tahu.” Mereka berkata, “Beliau adalah Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin.” Mendengar jawaban itu, seketika wajah anak muda itu berubah.
Ketika Asy-Syaikh Al-’Utsaimin datang, anak muda itu menangis dan mencium
kening beliau. Setelah peristiwa itu ia mengalami perubahan dan menjadi anak
muda yang shaleh. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin, hal. 41)
“…saya akan keluar untuk mendorong.”
Suatu ketika
Asy-Syaikh Al-Utsaimin naik sebuah mobil tua milik salah seorang temannya yang
mudah mogok. Dalam perjalanan mobil itupun mogok dan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
berkata kepada sopir mobil, “Tinggallah kamu di tempatmu, saya akan keluar
untuk mendorong.”
Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin keluar dari mobil dan mendorong seorang diri sampai mobil itu
berjalan lagi. Kejadian ini merupakan gambaran betapa beliau rahimahullah
sangat rendah hati. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin, hal. 42)
“Subhanallah,
beliau yang sudah tua lebih memilih berdiri untuk shalat.”
Seorang murid
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin asal Kuwait yang telah belajar selama lima tahun dan
dikenal sebagai murid yang sangat rajin menceritakan: Saya pernah menemani
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dalam perjalanan dari Unaizah menuju Riyadh dan
kemudian dilanjutkan ke Mekkah untuk umrah. Usai menunaikan umrah, semua
anggota rombongan minta ijin kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin untuk istirahat
karena kelelahan setelah melakukan perjalanan panjang yang dilanjutkan dengan
umrah pada hari yang sama.
Salah seorang anggota
rombongan bernama Asy-Syaikh Hamad menceritakan bahwa dirinya terbangun di
tengah malam dan mendapati Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sedang shalat. Ia berkata,
“Subhanallah, saya yang masih muda memilih tidur sementara beliau yang sudah
tua lebih memilih berdiri untuk sholat.”
Maka ia pun bangkit
untuk mengambil wudhu dan ikut shalat bersama Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Dia
berusaha keras untuk melawan rasa kantuknya, namun akhirnya ia tidak bisa
bertahan dan pergi tidur meninggalkan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin shalat sendirian.
(Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 39)
“Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin…!”
Seorang anggota
Pusat Dakwah dan Bimbingan kota Jeddah menuturkan bahwa selama musim haji tahun
1416 H, dia mendampingi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin melakukan dakwah kepada para
jamaah haji di Bandara King Abdul Aziz.
Serombongan jamaah
haji dari Rusia datang dan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bermaksud hendak memberikan
beberap patah kata pada mereka (berdakwah). Beliau menjelaskan bahwa nanti akan
ada penerjemah yang akan menyampaikan perkataan beliau. Pimpinan jamaah haji
itu mengatur anggotanya (untuk mendengarkan ceramah) tanpa ia mengetahui bahwa
yang berceramah adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.
Setelah ceramah
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin selesai, pimpinan rombongan bertanya siapa orang yang
baru berceramah tadi. Dia diberi tahu bahwa beliau adalah Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin. Seketika ia berlari menuju Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dan mencium
kening beliau sambil menangis. Dia kemudian mengambil mikrofon dan mengumumkan
bahwa orang yang baru saja berceramah adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Mendengar
pengumuman itu para jamaah haji itu pun terkejut dan banyak yang histeris
(karena sangat bahagia). Dalam keadaan itu kepala rombongan terus-menerus
berseru, “Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin…!”
Para jamaah haji
itu mendatangi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, memberi salam dan mencium kening
beliau. Kepala rombongan berkata, “Ini adalah murid-murid anda wahai Syaikh.
Mereka dulu mempelajari buku-buku anda di tempat persembunyian di bawah tanah
ketika masa pemerintahan komunis.” (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, hal. 38)
“Kembalikan mobil itu kepada Pangeran…”
Abdullah bin
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin (putra beliau) berkisah:
Suatu ketika
Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz Alu Su’ud, gubernur Qashim, memberi hadiah
kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sebuah mobil baru. Ketika pulang ke rumah,
beliau melihat sebuah mobil diparkir di depan rumah dan beliau pun diberi tahu
tentang mobil itu. Mobil itu tetap di luar rumah sampai lima hari tanpa dipakai
oleh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Beliau akhirnya berkata kepada putranya,
Abdullah, “Kembalikan mobil itu kepada Pangeran dan ucapkan terima kasih atas
kemurahan hatinya. Beritahu dia bahwa saya tidak membutuhkannya.”
Maka mobil itupun
dikembalikan kepada Pangeran Abdullah, sementara Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tetap
mengendarai mobilnya yang sudah tua dan murah. Sampai meninggal beliau masih
tetap memiliki mobil yang sama. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, hal. 23)
“Sekarang ijinkan mereka pulang kepada
keluarganya!”
Ihsan bin Muhammad
Al-’Utaibi menceritakan:
Beberapa pemuda
dari Yordania melakukan perjalanan dengan mobil untuk melakukan umroh. Sesampai
di Khaibar mereka mengalami kecelakaan, yaitu mobil mereka menabrak lampu
jalan. Polisi pun datang dan meminta kepada sopir untuk membayar ganti rugi
kerusakan sebesar 21.000 Riyal (sekitar 3.500 Pound Sterling).
Baik sopir maupun
para pemuda itu tidak mampu membayar denda sebesar itu. Maka polisi pun menyita
paspor milik sopir sampai dia mampu membayar denda sepulang dari umrah.
Beberapa pelajar
yang mengetahui kasus ini berinisiatif membantu mencari dana. Mereka berpikir
jalan terbaik adalah dengan menyampaikan permasalahan ini kepada ulama. Maka
salah seorang dari mereka mendatangi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin di ruang beliau di
Masjidil Haram, Mekkah, usai shalat Ashar. Setelah diberi tahu permasalahan
yang terjadi, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Datanglah besok, insya Allah
semua akan beres.”
Namun para pelajar
tidak datang pada keesokkan harinya karena mereka berpikir bahwa jumlah uang
yang dibutuhkan sangat besar. Disamping itu, menurut pikiran mereka, Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin juga tidak kenal dengan mereka. Maka pelajar itu kembali ke pemuda
dari Yordania yang mengalami kecelakaan dan menyatakan bahwa mereka telah
berusaha membantu, setidaknya telah menyampaikan hal ini kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.
Para pemuda itu berencana pulang ke Yordania namun mereka harus melewati
pemeriksaan di Khaibar yang akan memeriksa paspor sopir. Mereka mengharap
kemurahan hati petugas imigrasi (pemeriksa paspor) dan mereka mau melupakan
kewajiban mereka untuk membayar denda.
Ketika mereka
datang ke kantor, kepala kantor meminta mereka membayar penuh denda tersebut
dan mereka tidak boleh pergi (sebelum membayar denda). Mereka boleh pergi
tetapi tidak boleh bersama sopirnya. Para pemuda dan sopir menjadi khawatir.
Apa yang harus mereka lakukan kini?
Mereka kemudian
mendatangi pelajar yang telah menemui Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dan berkata,
“Mengapa anda tidak mendatangi beliau lagi? Apa yang beliau katakan?” Dia
menjawab, “Beliau berkata: datanglah lagi besok.” Mereka bertanya, “Apakah
engkau datang keesokan harinya?” Dia menjawab, “Tidak.” Mereka berkata,
“Hubungi beliau lagi, semoga Allah memberi jalan kepada kami melalui beliau.
Saat ini kami berada di tempat yang jauh dari keluarga di hari-hari terakhir
bulan Ramadhan.”
Pelajar itu pun
kembali mendatangi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Pemuda itu kembali menerangkan
permasalahan yang terjadi. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bertanya, “Apakah engkau
berasal dari Yordania?” Ia menjawab, “Ya, wahai Syaikh.” Asy-Syaikh berkata, “Bukankah
waktu itu saya sudah meminta engkau untuk datang esok harinya, tapi mengapa
engkau tidak datang?” Ia menjawab, “Saya merasa malu, wahai Syaikh.”
Maka Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin berkata, “Sekarang mengapa engkau datang lagi? …di beberapa
kejadian, jumlah uang yang kita butuhkan bisa terkumpul dalam satu hari.”
Pelajar itu hampir tidak percaya mendengar hal itu. Ia merasa senang karena
memiliki harapan baru. Ia berkata, “Sekarang apa yang harus kami kerjakan,
wahai Syaikh?” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Saya akan mentransfer uang ke
bagian imigrasi dan mencoba meminta mereka agar memudahkah urusan kalian dan
agar mereka mengijinkan kalian pulang ke keluarga kalian sebelum hari Raya Idul
Fitri.”
Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin kemudian berbicara kepada kepala imigrasi, “Saya telah
mengumpulkan uang (untuk membayar denda), beritahu saya nomor rekening anda
supaya saya bisa mentransfernya. Kemudian ijinkan para pemuda dan sopirnya
pulang ke keluarganya.”
Kepala imigrasi
menjawab dengan nada tidak sopan, “Maaf Syaikh, kami minta supaya uang itu
dalam bentuk cash, sehingga kami pun belum bisa mengijinkan mereka pergi.”
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin menjadi marah mendengar jawaban itu. Beliau berkata,
“Saya katakan kepada anda, saya telah memiliki uang itu. Sekarang ijinkan
mereka pulang kepada keluarganya.” Namun kepala imigrasi itu tetap menolak.
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian meletakkan gagang telepon.
Beberapa saat
kemudian keadaan kantor imigrasi itu menjadi terbalik. Gubernur Madinah,
Pangeran Abdul Majid, menelepon untuk menanyakan kepala imigrasi yang telah
menolak permintaan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Gubernur kemudian menjatuhi hukuman
kepada kepala imigrasi karena telah bertindak tidak disiplin. Dalam keadaan
ini, para pegawai di kantor itu mencoba memberi pembelaan kepada kepala
imigrasi.
Para pemuda yang
masih di kantor imigrasi merasakan adanya perubahan nada bicara yang terjadi
pada para pegawai, dari tidak ramah menjadi sangat ramah. Gubernur telah
memerintahkan mereka untuk mengijinkan para pemuda itu dan sopirnya pergi dan
biaya perbaikan lampu akan ditanggung negara.
Tidak bisa
digambarkan betapa gembiranya para pemuda itu. Mereka mengucapkan terima kasih
kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin atas bantuan dan pembelaannya. Mereka juga
mengucapkan terima kasih kepada Gubernur Madinah yang memiliki rasa hormat
kepada ulama dan menghargai posisi mereka.” (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 75)
“…siapa yang akan duluan?”
Abu Khalid Abdul
Karim Al-Miqrin mengisahkan:
Ketika kami sedang
merekam siaran khusus kajian dari radio (Nur ‘alad Darb) di rumah Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin, kami mendengar suara berisik dari orang yang sedang bekerja di
dekat rumah beliau (tetangga). Sepertinya mereka sedang memperbaiki sesuatu,
dimana suara yang mereka timbulkan mengganggu proses rekaman.
Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin kemudian mendatangi mereka untuk memberi tahu rekaman yang sedang
dilakukan dan meminta mereka berhenti sebentar. Namun ketika beliau kembali dan
kami siap merekam, beliau memandang ke sekeliling dan berkata, “Ya Abdul Karim,
siapa yang akan duluan?” Aku menjawab, “Mereka saja, ya Syaikh.”
Maka Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin kembali menemui merekam. Dengan penuh keramahan dan khawatir
melanggar hak mereka, beliau berkata, “Kami akan menunda rekaman kami beberapa
waktu sampai kalian menyelesaikan pekerjaannya.” (Arba’ah ‘Ashar ‘am Ma’a
Samahatil ‘Allammah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 55)
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tidak suka
penghormatan…
Abu Khalid Abdul
Karim Al-Miqrin menceritakan:
Telah diketahui
oleh banyak orang bahwa Asy-Syaikh Al-’Utsaimin adalah orang yang tidak senang
dengan penghormatan, termasuk gelar atau jabatan tinggi. Beliau adalah anggota
Lembaga Ulama Senior (Kibarul Ulama), namun beliau meminta saya agar tidak
menyebutkan hal ini saat saya mengenalkan beliau dalam acara kajian di radio
(Nur ‘alad Darb). Beliau minta saya cukup menyebutkan beliau sebagai imam dan
khatib Masjid Al-Jami’ Al-Kabir, Unaizah dan guru di Fakultas Syariah dan
Ushuluddin, Qashim. Maka saya pun memenuhi permintaan beliau sejak saya memandu
acara ini sampai beliau meninggal dunia.
Beberapa orang yang
senang kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bertanya, “Ya Syaikh Khalid, mengapa anda
tidak menyebutkan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sebagai anggota Lembaga Ulama
Senior?” Saya menjawab bahwa ini adalah permintaan dari beliau sendiri.
(Arba’ah ‘Ashar ‘am Ma’a Samahatil ‘Allammah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin, hal. 34)
Kalimat Mulia dari Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
Asy-Syaikh Badar
ibn Nadhir Al-Masyari menceritakan:
Ketika baru pulang
dari Amerika sehabis berobat, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ditanya tentang kesehatan
beliau. Maka beliau menjawab dengan sebuah kalimat mulia, “Ketahuilah,
sesungguhnya sehat dan sakit itu tidak akan terjadi lebih lama atau pun
mendahului dari waktu yang ditentukan. Hidup saya dan anda telah ditulis
sebelum Allah menciptakan surga dan neraka. Maka yakinilah hal ini, sebagaimana
saya pun meyakininya.” (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin, hal. 111)
“Anda Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz?!”
Ihsan ibn Muhammad
Al-’Utaibi mengisahkan:
Sehabis shalat di
Masjidil Haram, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ingin pergi ke suatu tempat. Maka
beliau memanggil taksi dan pergi dengannya. Dalam perjalanan, sopir taksi ingin
mengetahui siapa gerangan yang menjadi penumpangnya itu. Ia bertanya, “Siapakah
anda wahai Syaikh?” Beliau menjawab, “Muhammad bin Utsaimin.”
Sopir taksi itu
terkejut, “Asy-Syaikh Al-’Utsaimin?” Ia menganggap beliau berbohong karena
tidak percaya ada seorang Syaikh mau naik taksi. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
menjawab, “Ya, benar.” Sopir taksi memutar kepalanya untuk melihat wajah
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.
Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin kemudian bertanya, “Lantas anda ini siapa, wahai saudaraku?” Ia
menjawab, “Saya Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz!” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin pun
tersenyum mengulang pertanyaannya, “Anda Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz?” Sopir
itu menjawab, “Ya, karena anda telah menyebut diri anda Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin!” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Tapi Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz
bin Baz buta dan tidak bisa menyetir mobil.”
Sopir taksi itu
akhirnya menyadari bahwa penumpang yang ada di belakangnya adalah benar-benar
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin
Shalih Al-’Utsaimin, hal. 79)
Mengajar Sambil Diperiksa Kesehatannya
Muhammad Rabi’
Sulaiman menceritakan:
Tahun 1420 H
terjadi sebuah peristiwa yang dikenang, yaitu pada bulan Ramadhan ketika
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sedang memberikan kajian rutinnya di Masjidil Haram,
Mekkah.
Seorang dokter
spesialis yang merawat beliau menasehati bahwa tubuh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
perlu istirahat secara rutin tiap sore dan tidak boleh mengajar setelah shalat
Tarawih. Dokter itu ingin memberikan transfusi darah dan beberapa pemeriksaan
medis lain, namun Asy-Syaikh Al-’Utsaimin menjawab, “Kerjakan apa yang harus anda
kerjakan sementara saya tetap mengajar.”
Maka sambil
memberikan kajian, dokter itu memasukkan jarum ke tubuh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
untuk melakukan transfusi darah, beberapa pemeriksaan kesehatan, mengecek suhu
badan, dan denyut jantung.
Demikianlah, betapa
tingginya keinginan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin untuk menyebarkan ilmu dan
mengajari manusia. Hal ini dilakukan sampai malam terakhir bulan Ramadhan
sebelum beliau pergi dari Masjadil Haram. (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 24)
“Lalu untuk saya mana?”
Abu Khalid Abdul
Karim Al-Miqrin menceritakan:
Saat sedang berada
di studio rekaman untuk acara radio “Pertanyaan lewat Telepon”, seseorang
bernama Sa’ad Khamis selalu berkata kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin setiap
selesai melakukan sesion rekaman, dengan perkataan, “Semoga Allah memberi
balasan kepada anda dengan kebaikan wahai Syaikh dan semoga Allah merahmati
kedua orang tua anda.”
Saat itu Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin berkata, “Amin, wahai Sa’ad. Lalu untuk saya mana?” Sa’ad berkata,
“Semoga Allah merahmati kedua orang tua anda.” Asy-Syaikh pun berkata, “Amin.
Dan untuk saya mana?”
Sa’ad akhirnya
menyadari perkataan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, maka ia pun berkata, “Semoga Allah
merahmati anda dan orang tua anda, dan semoga memberi balasan dengan yang lebih
baik kepada anda.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tersenyum dan kemudian tertawa. Kami
pun akhirnya tertawa bersama. (Arba’ah ‘Ashar ‘am Ma’a Samahatil ‘Allammah
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 63)
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin Menjahit Sendiri
Pakaiannya
Diceritakan oleh
seorang murid beliau bahwa suatu ketika ia mengunjungi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
di Mekkah. Saat itu sedang musim haji dan beliau berada di dalam penginapannya.
Ia jumpai beliau sedang menjahit jubahnya. (Ibn ‘Utsaimin, Al-Imam Az-Zahid,
hal. 163)
Kesederhanaan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin adalah seseorang yang memiliki sifat sederhana dan rendah hati.
Beliau tidak suka tidur di atas kasur ataupun di alas yang empuk, namun beliau
biasa tidur di lantai atau di atas tikar dari ijuk (jerami) yang akan
memberikan bekas di punggung beliau. (Ibn ‘Utsaimin, Al-Imam Az-Zahid, hal. 163)
Melawan Rasa Kantuk demi Umat
Abu Khalid Abdul
Karim Al-Miqrin menceritakan:
Suatu malam saat
kami sedang melakukan rekaman untuk acara radio (Nur ‘ala Darb), Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin nampak diserang rasa kantuk. Dari kejadian ini diketahui bahwa
beliau adalah seorang yang sangat sabar, toleran, dan bersemangat untuk segala
sesuatu yang di dalamnya terdapat manfaat untuk umat. Beliau berusaha melawan
rasa kantuknya sehingga kami bisa melanjutkan proses rekaman.
Beliau meminta
berhenti sebentar dan minta kabel mikrofon dipanjangkan sehingga beliau bisa
menjawab pertanyaan sambil berdiri. Kami memberi beliau mikrofon kecil yang
bisa ditempelkan di baju beliau dengan kabel yang lebih panjang. Beliau
melanjutkan menjawab pertanyaan sambil berjalan-jalan di sekitar ruangan untuk
menghilangkan rasa kantuk. Ini dilakukan beliau sampai proses rekaman selesai.
Inilah perhiasan
seorang ulama sejati dan keutamaan yang mereka terapkan dalam semua urusan umat
baik dalam keilmuan maupun amalan mereka. (Arba’ah ‘Ashar ‘am Ma’a Samahatil
‘Allammah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 56)
Sumber: Untaian Mutiara
Kehidupan Ulama Ahlus Sunnah, oleh Abu Abdillah Alercon, dll
(www.fatwaonline.com), penerbit Qaulan Karima, hal. 101-118.
http://fadhlihsan.blogspot.co.id/2012/03/sabar-dalam-berdakwah-asy-syaikh-hamad.html
http://fadhlihsan.blogspot.co.id/2012/03/sabar-dalam-berdakwah-asy-syaikh-hamad.html
Syekh dr. Khalid al mushlih, menantu dan penerus syaikh muhammad
bin shalih al utsaimin menyerukan jihad.
Beliau
berkata: kebutuhan saudara saudara kita adalah senjata dan harta……
Umat
wajib tahu bahwa pintu masuknya musuh bukan hanya suria…memang suria sedang
luka menganga dg darah yang terus mengalir, akan tetapi mereka memerlukan
senjata dan harta bukan orang.
Saya
mengetahui orang terpercaya bahwa mereka memerlukan senjata dan harta
Yang saya
yakini tanpa ragu adalah wajib jihad dg senjata dan harta, kecuali jika kondisi
berubah maka perlu dilihat ulang…..
Bagaimana
akan berangkat kesana menghadapi hizib setan dengan telanjang dada tanpa
senjata dan peluru?!
Ajakan
jihad yang wajib didengang dengungkan siang malam sekarang adalah pemerintah
dan rakyat wajib membantu pejuang suria dengan senjata dan harta yang mereka
bisa, dan allah akan menanyai mereka di hari kiamat nanti….
Iran ,
irak dan hizib setan mengerahkan pasukan karena mimpi mereka untuk membentuk
negara syiah besar telah buyar, dibuyarkan oleh rakyat suria sendiri dg senjata
minim, maka mereka mempertahankan mayi matian. Coba kalau rakyat suria
dipersenjatai maka hizib setan dan iran akan tetkalahkan
Jadi
sekarang belum waktunya berangkat sendiri sendiri. Yang diperlukan adalah
bantuan peralatan perang!!!!