Monday, March 14, 2016 09:00
WIB
Damaskus - Oposisi Suriah menegaskan Presiden Bashar al-Assad
harus menanggalkan jabatannya, hidup atau mati, jika ingin perundingan damai
untuk mengakhiri konflik berkepanjangan berlangsung sukses.
Perundingan damai konflik Suriah yang ditengahi
PBB di Jenewa, Swiss, dimulai Senin mendatang. Ini merupakan kelanjutan upaya
komunitas internasional dalam mengakhiri konflik yang sudah menewaskan lebih
dari 270 ribu orang di tahun kelima.
"Kami meyakini periode transisi harus dimulai
dengan lengsernya, atau matinya, Bashar al-Assad," ucap kepala negosiator
oposisi Mohammad Alloush, seperti dilansir ABC, Sabtu (12/3/2016).
"Dialog tidak dapat dimulai dengan kehadiran
rezim, atau kepala rezim yang masih berkuasa," sambung dia.
PBB mendorong adanya pemerintahan transisi di
Suriah untuk membuat sebuah konstitusi baru dalam enam bulan ke depan.
Sementara pemilihan umum legislatif dan presiden Suriah dijadwalkan digelar
tahun depan.
Grup oposisi HNC bersikukuh bahwa pemerintahan
transisi diberikan kekuatan eksekutif secara menyeluruh. Ide ini ditolak
mentah-mentah rezim Assad.
"Jika (HNC) terus bersikap seperti ini, tidak
ada alasan mereka harus datang ke Jenewa," kata Menteri Luar Negeri Suriah
Walid Muallem di Damaskus.
Assad menjadi objek utama dalam proses perundingan
damai konflik Suriah. Rusia, sekutu utama Suriah, menolak adanya wacana
pendepakan Assad. Sementara oposisi yang didukung Amerika Serikat mendorong
Assad untuk mundur.
Menlu Arab Saudi mengklaim bahwa banyak orang
menginginkan masa depan cerah untuk Suriah yang dipimpin orang selain Assad.
Namun Muallem menegaskan tidak ada satu negara pun yang berhak mendiskusikan
kepresidenan atau pilpres di Suriah. "Hak ini eksklusif bagi warga
Suriah," ujar dia.
Pertempuran di Suriah berkurang drastis sejak
gencatan senjata mulai diberlakukan hampir dua pekan lalu. */Metro
Jumlah
pasukan rezim semakin menipis, Assad memaksa PNS
ikut bertempur
March 13, 2016
“Ada
600 orang di kamp kami. Setiap orang akan diberi 6 buah zaitun untuk
sarapan. Tentu saja kami masih kelaparan,” kata salah satu PNS rezim
Suriah yang dipaksa untuk mengikuti pelatihan militer di Shamsin.
Rezim Suriah mendirikan kamp
pelatihan untuk karyawan baru di pusat daerah Hama dan Homs, sebelum
mengirim mereka bersama milisi lainnya untuk bertempur di garis
depan.
Shamsin terletak di barat daya Homs. Ide di balik kamp itu dan kamp-kamp serupa berkaitan dengan upaya rezim Suriah untuk mengatasi kekurangan jumlah pasukan dalam memerangi kelompok opsisi Suriah.
Rezim Suriah membuka front baru di
Latakia, Homs, Hama dan Daraa setelah intervensi militer Rusia, karena milisi
asing tidak mampu untuk memasok jumlah yang dibutuhkan di medan
pertempuran.
Bashar al-Assad sendiri menyinggung
tentang kekurangan jumlah tentaranya di publik pada bulan Juli 2015.
Sejak itu, telah ada beberapa upaya untuk
merekrut milisi rezim.
Pos pemeriksaan atau front pertempuran ?
Rezim mengandalkan milisi lokal seperti
Baath Brigade, Falcons of the Desert, Angkatan Pertahanan Nasional,
Coastal Shield dan Perlawanan Suriah untuk Pembebasan Iskandarun di
wilayah pantai.
Beberapa milisi tersebut, seperti Hama
Baath Batalyon, terdiri atas buruh dari pabrik-pabrik yang telah tutup ,
termasuk pabrik tekstil, besi, wol dan pabrik semen.
Tugas batalion itu adalah untuk
mengontrol pos pemeriksaan di Hama, setelah pasukan yang sebelumnya bertugas
disana dikerahkan ke garis depan.
Pada pertengahan Februari, Jenderal
Komando tentara rezim Suriah menyerukan warga Suriah di daerah yang dikuasai
rezim untuk mendaftar sebagai “relawan” di brigade.
Brigade ini terdiri dari warga sipil,
termasuk PNS, mahasiswa dan relawan untuk dilatih dan kemudian
dimasukkan ke dalam komite rakyat untuk melindungi daerah tempat
mereka tinggal.
Setelah mengumpulkan ratusan
“sukarelawan”, rezim Suriah akan mengirim mereka ke kamp Shamsin.
Kantor berita oposisi Hama Media Centre,
mengutip pejabat di kamp, mengatakan
kamp pelatihan saat ini memiliki 600 relawan, sebagian besar warga sipil dan pegawai
negeri sipil yang dimobilisasi dari departemen mereka bekerja.
Sumber, yang berbicara dengan syarat
anonim, mengatakan relawan ini akan dikerahkan langsung ke front depan,
dan membantah kalau misi mereka adalah untuk ditempatkan di pos
pemeriksaan.
Sumber mengatakan kepada The New Arab,
relawan yang direkrut akan dikirim untuk bertempur di wilayah pantai, daerah
pedesaan utara dan selatan Aleppo dan pedesaan Hama.
Dipaksa untuk menjadi relawan
Sumber-sumber mengatakan sejumlah warga
yang sebelumnya direkrut dikirim untuk berperang di Palmyra, di mana
mereka semua binasa.
Ada banyak kebencian di antara para
relawan, sumber menambahkan, mengatakan mereka menerima perawatan yang
buruk.
Sumber tersebut mengatakan bahwa banyak
yang direkrut diberitahu bahwa keterlibatan mereka adalah atas dasar
sukarela. Tapi ketika beberapa mencoba untuk meninggalkan pelatihan, pasukan
rezim memaksa mereka untuk kembali.
Sumber juga mengatakan PNS diberikan
waktu 15 hari setelah menerima perintah untuk bergabung di kamp
militer, untuk menerima tugas tersebut atau menghadapi pemecatan dari
pekerjaan mereka.
“Setiap instansi pemerintah wajib
menyampaikan daftar nama karyawan mereka untuk menjadi tentara, bahkan jika ini
mengganggu pekerjaan lembaga ini,” kata sumber.
“Prioritas saat ini adalah untuk
mengkompensasi kekurangan jumlah tenaga dalam pertempuran
melawan “teroris” ,” sumber menambahkan.
The New Arab
Negara-negara Teluk Cegah
Intervensi Iran dengan Dukung Persatuan Suriah
March 10, 2016
Negara-negara
Teluk, Gulf
Cooperation Council (GCC)
menyatakan dukungannya untuk solusi politik di Suriah dan menekankan pentingnya
menjaga persatuan wilayah Suriah dari intervensi Iran dalam sebuah pernyataan
bersama hari Rabu (09/03/2016), saluran berita Al Arabiya melaporkan.
Negara Teluk juga mendesak Dewan Keamanan
melaksanakan sebuah proses yang bisa memaksakan gencatan senjata yang lebih
efektif di Suriah.
Mereka
juga menegaskan penolakan mereka atas campur tangan Republik Syiah Iran di
wilayah tersebut dan menekankan bahwa organisasi Syiah Libanon Hizbullah adalah
“teroris.”
Pernyataan itu datang setelah menteri
luar negeri GCC termasuk rekan-rekan mereka dari Yordania dan Maroko bertemu di
Riyadh.
Pada hari Senin (07/03/2016), dewan
menteri Arab Saudi juga menegaskan kembali keputusan GCC bahwa Hizbullah dan
faksi afiliasinya adalah “teroris.”
Sumber : Muslimdaily.net
http://www.tabayyunnews.com/2016/03/negara-negara-teluk-cegah-intervensi-iran-dengan-dukung-persatuan-suriah/