FAIDAH I:
KEUTAMAAN ILMU
Sesungguhnya Allah
menjadikan buruan yang ditangkap oleh anjing yang bodoh sebagai bangkai yang
haram dimakan, sebaliknya Allah menghalalkan buruan yang ditangkap oleh
abiubaidah.comanjing yang berilmu. Hal ini menunjukkan tentang keutamaan ilmu.
Allah berfirman, yang artinya:
Mereka menanyakan
kepadamu: “Apakah yang Dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu
yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu
ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan
sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat cepat hisab-Nya.[1]
Seandainya bukan
karena kemuliaan ilmu, niscaya buruan hasil anjing bodoh dan pintar sama
hukumnya”.[2]
FAIDAH II:
ILMU YANG BERMANFAAT
Al-Hafizh Ibnu Rajab
al-Hanbali berkata [3]
“Ilmu bermanfaat
adalah mempelajari Al-Qur’an dan sunnah serta memahami makna kandungan keduanya
dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Demikian juga dalam
masalah hukum halal dan haram, zuhud dan masalah hati, dan lain sebagainya.
Pertama: Dia
berusaha terlebih dahulu memilah antara hadits shahih dan lemah.
Kedua: Dia berusaha
memahami makna kandungannya. Sungguh, pada semua itu terdapat kecukupan bagi
orang yang berakal dan kesibukan bagi orang yang ingin mendapatkan ilmu
bermanfaat.
Barangsiapa
mengikhlaskan hatinya untuk mengharap wajah Allah dan memohon pertolongan
kepadaNya, niscaya Dia akan menolongnya, menunjukinya, memudahkannya, dan
memahamkannya. Pada saat itulah, ilmu ini akan membuahkan buahnya yang
terpenting yaitu Khsyatullah (takut kepada Allah), sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya yang
takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya, hanyalah ulama.[4]
FAIDAH III:
BUAH ILMU
عَنْ جُنْدُبِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَثَلُ
الْعَالِمِ الَّذِيْ يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَيَنْسَى نَفْسَهُ كَمَثَلِ
السِّرَاجِ يُضِيْئُ لِلنَّاسِ وَيُحْرِقُ نَفْسَهُ
Dari Jundub bin
Abdillah berkata: Rasulullah bersabda: “Perumpamaan seorang berilmu yang
mengajarkan kebaikan kepada manusia tetapi melupakan dirinya seperti lampu yang
menyinari manusia tetapi membakar dirinya sendiri”.[5]
FAIDAH IV:
KUTU BUKU
Kebiasaan Imam Zuhri
kalau masuk rumah, maka beliau meletakkan kitab-kitabnya bertumpukan di
sekitarnya. Beliau menikmati kesibukannya tersebut sehingga lalai dari segala
urusan dunia lainnya. Suatu saat isterinya pernah berkata padanya: “Demi Allah,
sungguh kitab-kitab ini lebih berat bagiku daripada tiga isteri
sainganku!!!”.[6]
Ibnu Qayyim berkata:
“Guru kami (Ibnu Taimiyyah) pernah bercerita padaku: “Ketika sakit menimpaku,
seorang dokter berkata padaku: Sesungguhnya bacaanmu dan pembicaraanmu tentang
ilmu akan menambah sakitmu”.
Aku menjawab: Saya
tidak bisa sabar menahan hal itu. Sekarang jawablah pertanyaanku berdasarkan
ilmu pengetahuanmu: Bukankah hati apabila senang dan kuat maka akan mampu
mengusir penyakit?
Jawab sang dokter:
Ya, benar.
Aku berkata lagi:
Demikian pula hatiku, dia sangat senang dengan ilmu dan aku merasakan
kegembiraan dengannya.
Dokter menjawab: “Ini
keluar dari cara pengobatan kami…”. [7]
FAIDAH V:
KESABARAN
Kesabaran saat
menuntut ilmu sangat diperlukan. Coba perhatikan ucapan Imam Ahmad: “Aku terus
mempelajari permasalahan darah haidh
selama sembilan tahun sehingga aku memahaminya”.[8]
Perangilah penyakit
malas bila menghampirimu dan latihlah dirimu agar terbiasa dalam ilmu. Ikrimah
berkata:
“Ibnu Abbas mengikat
kakiku dalam mempelajari Al-Qur’an dan hadits”. [9]
Sungguh benar ucapan
seorang penyair:
النَّفْسُ
كَالطِّفْلِ إِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى حُبِّ الرَّضَاعِ وَإِنْ
تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمُ
Jiwa itu seperti anak
bayi, kalau kau biarkan
Maka dia akan suka
menyusu
Dan bila engkau
menyapihnya diapun akan berhenti.
FAIDAH VI:
CINTA POPULARITAS
Ibnu Jama’ah
al-Jinani berkata:
“Hendaknya seorang
penuntut ilmu tidak hanya mencukupkan diri untuk belajar kepada guru-guru yang
populer saja, karena hal itu dinilai oleh al-Ghozali termasuk kesombongan dan
kebodohan. Ketahuilah bahwa kebenaran adalah seperti barang hilang yang dicari oleh
seorang mukmin, dia akan mengambilnya dimanapun dia mendapatkannya dan
berterima kasih kepada orang yang memberikan kepadanya. Demikian pula seorang
penuntut ilmu, dia akan lari dari kebodohan sebagaimana dia lari dari singa.
Dan orang yang lari dari singa, dia tidak akan peduli siapapun orangnya yang
menunjukkan jalan keluar kepadanya”.[10]
FAIDAH VII:
SEMANGAT PARA WANITA
عَنْ أَبِيْ
سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ: قَالَتِ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ : غَلَبَنَا عَلَيْكَ
الرِّجَالُ, فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ. فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا
لَقِيَهُنَّ فِيْهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ, فَكَانَ فِيْمَا قَالَ لَهُنَّ :
مَا مِنْكُنَّ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ ثَلاَثَةٌ مِنْ وَلَدِهَا إِلاَّ كَانَ لَهَا
حِجَابًا مِنَ النَّارِ. فَقَالَتِ امْرَأَةٌ : وَاثْنَيْنِ؟ فَقَالَ :
وَاثْنَيْنِ.
Dari Abu Sa’id
al-Khudri menceritakan bahwa sejumlah para wanita berkata kepada Nabi: “Kaum
lelaki lebih banyak bergaul denganmu daripada kami, maka jadikanlah suatu hari
untuk kami”. Nabi menjanjikan mereka suatu hari untuk bertemu dengan mereka
guna menasehati dan memerintah mereka. Diantara sabda beliau saat itu: “Tidak
ada seorang wanitapun yang ditinggal mati oleh tiga anaknya kecuali akan
menjadi penghalang baginya dari neraka”. Seorang wanita bertanya: “Bagaimana
kalau Cuma dua?”. Nabi menjawab: “Sekalipun Cuma dua”[11]
Al-Hafizh Ibnu Hajar
berkata:
“Hadits ini
menunjukkan semangat para wanita sahabat dalam mempelajari masalah-masalah
agama”.[12]
FAIDAH VIII:
MURID DURHAKA
Ma’an bin Aus
memiliki sebuah syair indah yang bisa dijadikan pelajaran berharga bagi setiap
penuntut ilmu. Syairnya sebagai berikut:
فَيَا عَجَبًا
لِمَنْ رَبَّيْتُ طِفْلاً
أُلَقِّمُهُ بِأَطْرَافِ الْبَنَانِ
أُعَلِّمُهُ
الرِّمَايَةَ كُلَّ يَوْمٍ
فَلَمَّا اسْتَدَّ سَاعِدُهُ رَمَانِي
أُعَلِّمُهُ
الْفُتُوَّةَ كُلَّ وَقْتٍ
فَلَمَّا طَرَّ شَارِبُهُ جَفَانِي
وَكَمْ عَلَّمْتُهُ
نَظْمَ الْقَوَافِيْ
فَلَمَّا قَالَ قَافِيَةً هَجَانِي
Sungguh mengherankan,
orang yang kudidik semenjak kecil
Aku menyuapinya
dengan jari tanganku
Aku mengajarinya
memanah setiap hari
Setelah pandai, dia
malah memanahku
Aku mengajarkannya
bermurah hati setiap waktu
Setelah tumbuh
kumisnya, dia malah berbuat kasar padaku
Betapa seringnya aku
mengajarinya syair
Setelah bisa membuat
satu syair, dia malah mencaciku[13].
FAIDAH IX:
JANGAN BERFATWA TANPA
ILMU
Hendaknya seorang
penuntut ilmu tidak malu untuk mengatakan tentang suatu permasalahan yang tidak
diketahuinya: “Saya tidak tahu”. Sungguh, hal itu sama sekali tidak mengurangi
derajat mereka, bahkan meninggikan mereka. Ditambah lagi, bahwa hal itu memiliki
beberapa faedah berikut:
Dia menunaikan
kewajibannya.
Dia akan segera
mencari jawabannya baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, sebab
seorang murid tatkala mendapati gurunya belum mengetahui jawabannya, dia akan
bersungguh-sungguh untuk mencari jawabannya lalu menghadiahkan jawabannya
tersebut kepada gurunya.
Hal itu menunjukkan
kehati-hatiannya dalam menjawab permasalahan.
Sebagai pelajaran dan
contoh bagi para muridnya. [14]
FAIDAH X:
KIAT UNTUK SEMANGAT
Soal: Terkadang kita
perhatikan pada sebagian penuntut ilmu kurangnya semangat dalam menimba ilmu.
Apakah kiat-kiat yang dapat menyembulkan semangat menuntut ilmu?
Jawab: Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menjawab:
“Kurangnya semangat
dalam menuntut ilmu syar’I merupakan salah satu musibah besar. Ada beberapa
kiat yang dapat mengobatinya, diantaranya:
Pertama: Ikhlas
karena Allah dalam menuntut ilmu. Seorang apabila memurnikan niatnya hanya
untuk Allah dalam menuntut ilmu dan menyadari bahwa dirinya mendapat pahala
dalam amalan tersebut niscaya dia akan bersemangat.
Kedua: Berteman
dengan teman-teman yang memberinya motivasi dalam menuntut ilmu dan membantunya
dalam dialog serta membahas permasalahan.
Ketiga: Melatih
dirinya untuk sabar dan membiasakan diri dalam menuntut ilmu. Adapun jika dia
melepas dirinya tanpa kendali maka dirinya akan mengajaknya kepada perbuatan
jelek dan Syetan akan mengajaknya untuk malas dalam menuntut ilmu”. [15]
Abu Ubaidah Yusuf
As-Sidawi
[1] QS. Al-Maidah: 4.
[2] Miftah Dar
Sa’adah Ibnu Qayyim 1/236
[3] Fadhlu Ilmi Salaf
‘ala Ilmi Khalaf (hal. 26).
[4] QS. Fathir: 28.
[5] HR. Ath-Thabrani
dalam Mu’jam Kabir 1/84/2, al-Khathib al-Baghdadi dalam Iqtidha’ Ilmu Amal 70
dan dishahihkan al-Albani dalam Tahqiqnya.
[6] Wafayatul A’yan
Ibnu Khallikan 4/177-178.
[7] Raudhatul
Muhibbin hal. 70.
[8] Thabaqat
Hanabilah Ibnu Abi Ya’la 1/268.
[9] Siyar A’lam
Nubala adz-Dzahabi 5/14.
[10] Tadzkirah Sami’
fi Adabil Alim wal Muta’allim hal. 87.
[11] HR. Bukhari 101.
[12] Fathul Bari
1/259.
[13] Majma’ al-Amtsal
al-Maidani 2/200. Bait kedua terdapat dalam al-Iqdu al-Farid Ibnu Abdi Rabbihi
3/56 dan Adab Dunya wa ad-Diin al-Mawardi hal. 77. (Dari al-Masu’ah
asy-Syi’riyyah DR. Badr bin Abdullah an-Nashir 124-125).
[14] Lihat al-Fatawa
as-Sa’diyyah Syaikh Abdur Rahman bin Nashir as-Sa’di hal. 628-629.
[15] Kitab Ilmu hal.
105.