كَأَنَّهُ قَالَ:
انْظُرُوا إِلَى مَنْ فَعَلَ مَا فَعَلَ فَعُوقِبَ بِمَا عُوقِبَ بِهِ،
فَتَجَنَّبُوا مِثْلَ صَنِيعِهِمْ لِئَلَّا يَنْزِلَ بِكُمْ مِثْلُ مَا نَزَلَ
بِأُولَئِكَ (معجم مقاييس اللغة 4 / 210).
Firman
Allah SWT dalam Q.S. al-Hasyr ayat 2 seakan berarti: lihat dan saksikan apa
yang Allah SWT perbuat terhadap orang-orang yang berbuat kejahatan seperti itu
(kejahatan Yahudi Bani Nadhir), yang karena kejahatannya itu ia disiksa dengan
siksaan seperti itu, oleh karena itu, jauhilah perbuatan yang seperti perbuatan
mereka, agar tidak turun menimpa kalian apa yang menimpa mereka. (Mu`jam
Maqayis al-Lughah 4/210). ( * )
Senin, 25 April 2016 - 09:31
WIB
Nuruddin melihat Negeri Kinanah yang dikuasai Syiah
dalam kondisi kacau balau. Dekadensi moral dan kerusakan terjadi di segenap
penjuru
Oleh: Mahmud Budi Setiawan
SETIAP kali
disinggung nama Shalahuddin al Ayyubi, di antara peristiwa yang sering diingat
–selain pembebasan Baitul Maqdis- adalah pengusiran
Dinasti Syiah Fathimiyah dari Mesir.
Padahal
-penting untuk dicatat- ide pengusiran Syiah dari Mesir, sejatinya diinisiasi
Nuruddin Mahmud Zanki. Shalahuddin al Ayyubi hanya sebagai esekutor pelaksana,
menggantikan Asad ad-Dīn Syirkuh (Shalahuddin al-Ayyubi wa Juhuduhu fi al-Qadha` `ala
al-Daulah al-Fathimiyah, 167). Lantas, apa motif di balik pengusiran
Syiahdari Mesir?
Dalam
catatan sejarah, beberapa motif yang melatari pengusiran Syiah dari negeri
Mesir di antaranya sebagai berikut.
Pertama, teologi
dan syariat menyimpang yang sudah mendarah daging. Pada waktu itu, Nuruddin
Mahmud Zanki melihat penyimpangan yang demikian parah sehingga berdampak buruk
bagi masyarakat Mesir. Negara menjadi tidak setabil, masyarakat terpecah belah,
dan keamanan negara menjadi terancam. Seperti jamak diketahui, akidah mereka
adalah Batiniah dan Syiah Isma`ili. Hal ini jelas bertentangan dengan ideologi
penduduk Mesir yang Sunni (`Ahsru al-Daulah Zankiah, 547).
Bila
ditelisik lebih jauh ke belakang, hal itu tidak mengherankan, sebab sebelum
menguasai Mesir pun, Daulah Fathimiyah (Ubaidiyah) ketika masih di Maghrib
(sekarang Maroko, Tunisia, Libya), telah melakukan beberapa penyimpangan, di
antaranya: menyembelih orang yang tidak mengakui Ubaidillah al-Mahdi sebagai
nabi (Siyar
A`lam, 11/132), berlaku zalim terhadap Muslim yang
bersebrangan teologi, bahkan mengeksekusinya, pelarangan mengajar bagi guru
Sunni, mencurigai dan melarang berbagai bentuk perkumpulan, memberangus karanganAhlus Sunnah, pembekuan
beberapa hukum syari`at, dan lain sebagainya (al-Daulah al-Fathimiah, 67).
Kedua, selain
motif penyimpangan teologis yang terjadi di Mesir yang harus segera diluruskan,
faktor lain yang tidak kalah penting ialah mengembalikan stabilitas keamanan
Mesir.
Pada waktu
itu, Nuruddin melihat Negeri Kinanah yang dikuasai Syiah dalam kondisi kacau
balau. Dekadensi moral dan kerusakan terjadi di segenap penjuru. Persaingan
kekuasaan antara khalifah dan mentri sampai berujung maut. Sebagai contoh
kecil, Khalifah Dhafir terbunuh di tangan mentrinya. Antar mentri pun juga
terjadi persengketaan bahkan pembunuhan (al-Kāmil fī al-Tārīkh, 2/299).
Ironisnya,
pernah dalam tahun yang sama, mentri dipimpin oleh tiga orang yaitu: Adil bin
Zuraik, Shawar, dan Dhirghom. Sampai pada akhirnya Shawar meminta bantuan pada
Nuruddin Zanki.
Ketiga,
mempersatukan umat pada satu barisan. Pada waktu itu, salah satu kerjaan Syiah
yang sering dilakukan ialah memecah belah umat Islam (Shalahuddin al-Ayyubi
Wa Juhuduhu, 168).
Oleh karena
itu, pemimpin yang dikenal dengan julukan al-Malik al-`Adil(Raja Adil)
ini merasa terdesak untuk segera menyatukan umat.
Keempat, jika umat
bisa disatukan, maka umat akan menjadi kuat dan semakin mudah menghadapi
tentara salibis. Ketika itu salah satu problem yang dihadapi Nuruddin adalah
gencaran serangan tentara salib. Karena itulah, anak dari Imaduddin ini
memandang, selama umat masih dalam kondisi terpecah belah, maka akan sangat
sulit mengalahkan pasukan salib. Maka dari itu, usaha untuk menggabungkan Mesir
dengan Syam adalah sebuah keniscayaan yang harus segera direalisasikan.
Kelima, selain
keempat motif tadi, motif lain yang tidak kalah pentingnya mengapa Syiahharus
diusir ialah karena pengkhianatan dan kegemaran Syiahberskongkol dengan para
musuh. Ini jelas akan membahayakan rencana Nuruddin untuk membangung menghadapi
para musuh Islam. Di sepanjang sejarah, Syiahselalu melakukan, makar, konspirasi
yang memang sangat merepotkan barisan umat.
Ada cerita
menarik tentang pengkhianatan. Alkisah, Shawar bin Mujīr al-Sa`adi -yang
dimakzulkan secara paksa dari kursi kepemimpinan- lari ke Damaskus meminta
bantuan Nuruddin Zanki. Ia berjanji -kalau kembali memimpin- akan menjadi
wakilnya di Mesir. Tak tanggung-tanggung, ia siap memberikan sepertiga
pendapatan Mesir pertahun kepadanya. Setelah penguasa baru Mesir (Dhorghom bin
Tsa`labah yang bekerjasama dengan Raja Amauri I) bisa dikalahkan, ternyata
watak asli Shawar tampak. Ia ingkar janji, memperlakukan tentara dengan tidak
baik, bahkan mengusir Asad ad-Dīn dan Shalahuddin beserta rombongannya. Seperti
inilah sikap Syiah di sepanjang sejarah.
Ketika
mereka dalam kondisi tertindas, lemah, mereka akan menjilat dan pura-pura
bersahabat, namun ketika kuat, mereka akan bertindak semena-mena terhadap orang
yang tak sependapat.
Tidak
berlebihan jika Syeikh Ibnu Taimiyah dalam Minhaju al-Sunnah(6/364)
menyatakan bahwa Syiah (Rafidhah) adalah akar dari segala fitnah dan kejahatan.
Bukan hanya itu, salah satu kebiasaan mereka adalah bersekongkol dengan musuh
umat Islam baik yang berasal dari Yahudi, Nashrani, maupun orang-orang
Musyrik. Maka tidak mengherankan jika faktor terbesar yang membuat orang
kafir Turki ke negeri Islam adalah Syiah Rafidhi.
Sebagai
contoh, tokoh yang masyhur yang diabadikan sejarah ialah Ibnu `Alqami,
Nashiruddin Thusi.
Ketika
Negeri Syam diserang oleh orang kafir, mereka dengan terang-terangan
membantunya. Ketika kekuatan Muslim melemah, seiring dengan kedatangan Ghazan,
mereka menolong orang kafir Nashrani dan lain sebagainya yang merupakan musuh
orang Muslim. Mereka menjual anak-anak Muslim layaknya budak, harta dirampas,
dan memerangi orang Muslim dengan terang-terangan bahkan sebagian dari mereka
ada yang membawa bendera salib.
Lebih dari
itu, mereka juga merupakan faktor terpenting yang membuat kekuasaan para
salibis berkuasa di Baitul Maqdis, Palestina (Minhaj al-Sunnah, 7/414).
Bahkan, saat
Shalahudin berkuasa pun, kebiasaan mereka bersekongkool dengan musuh masih
terjadi. Sebagai contoh, `Umārah bin Abi Hasan al-Yamani (penyair), Abdul
Shamad al-Katib, al-Qadhi al-`Uwairis, yang bekerjasama dengan pasukan salib
untuk memberangus Shalahuddin. Di antara makarnya, ketika Shalahuddin
menghadapi tentara Salib, mereka (orang Syiah) akan melakukan pemberontakan
dari dalam, tentunya untuk mengembalikan Daulah Fathimiah yang berideologi
Syiah (al-Kāmil
fi al-Tārikh, 9/390).
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa di
antara motif pengusiran Syiah dari negeri Mesir ada lima:
Pertama, teologi
dan syariat menyimpang yang harus diluruskan.Kedua, mengembalikan stabilitas keamana Mesir
yang kacau balau akibat dominasi Syiah.
Ketiga,
mengembalikan persatuan umat yang dipecah belah Syiah.Keempat, ketika
sudah bersatu, maka akan mudah menghadapi musuh Islam.
Kelima,
pengkhianatan dan persengkongkolan Syiahyang sangat berbahaya. Itulah yang
menyebabkan Syiahsampai diusir dari Negeri Kinanah, Mesir.*
Beginilah Cara Shalahuddin
Menjaga Akidah
SHALAHUDDIN AL AYUBI
serius dalam upaya membangkitkan dan menguatkan kembali aqidah Sunni,
setelah sebelumnya banyak penduduk Mesir yang menganut Syi’ah di masa
Fathimiyah.
Dalam hal
ini Al Hafidz As Suyuthi, ulama Mesir yang wafat tahun 911 H menyatakan,”Ketika
Shalahuddin bin Ayub berkuasa, ia memerintahkan para muadzin untuk melantunkan
di waktu tasbih aqidah Asy’ariyah. Maka para muadzin membiasakan hal itu setiap
malam hingga waktu kita saat ini.” (Al Wasa`il ila Al Musamarah Al Awa`il, hal.
15)
Sikap Panglima
Shalāhuddin Al-Ayyubi Terhadap Syiah
( * ) Saat menjelaskan makna
i`tibar yang ada dalam firman Allah SWT:
فَاعْتَبِرُوا يَاأُولِي الْأَبْصَارِ (الحشر: 2)
Seorang pakar bahasa
Arab yang dikenal dengan panggilan Ibnu Faris (329 – 395 H = 941 – 1004 M)