17 May 2016
Pada edisi lalu, telah kita bahas
beberapa contoh ketimpangan pandangan Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam masalah
aqidah. Adapun pada edisi ini pembahasan kita lanjutkan dengan beberapa contoh
ketimpangan pemikirannya dalam hadits dan fiqih.
Dan perlu diingat kembali bahwa tulisan
ini bukan bertujuan untuk membuka aib atau menjelek-jelekkan orang lain,
melainkan sebagai penjelasan agama kepada umat dan bentuk nasihat bagi umat
Islam di mana pun berada. Sebab, kita tidak boleh membiarkan
kesalahan-kesalahan tanpa usaha untuk meluruskannya.
Semoga Allah menjadikan tulisan ini
ikhlas murni hanya mengharapkan wajah Allah dan bermanfaat bagi hamba-hamba
Allah. Amin.
Ketimpangan Dr. Quraish Shihab Dalam
Masalah Hadits
Dr. Muhammad Quraish Shihab banyak
terjatuh dalam ketimpangan seputar hadits Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam.
Dia menolak hadits-hadits yang shahih, melemahkan hadits-hadits lemah dan
palsu, serta banyak memahami hadits dengan akal dan pemahaman ahli kalam dan
filsafat.
Baiklah, agar bantahan ini ilmiah, bukan
omong kosong belaka, maka kami akan memberikan beberapa contoh dan fakta
tentang apa yang kami sampaikan di atas:
A. Dr. Quraish menolak hadits yang shahih
1. Menolak hadits “Di mana Allah”
Dr. M. Quraish Shihab mengatakan dalam
bukunya Membumikan Al-Qur’an hlm. 371–372 terbitan Al-Mizan, Bandung pada judul
“Selamat Natal Menurut Al-Qur’an!!!”:
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam1 sering
menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun bertanya “Di mana
Tuhan?”. Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi itu karena ia menimbulkan
kesan keberadaan tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan
mustahil pula diucapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam…
Jawaban: Hadits yang dimaksud adalah
shahih, diriwayatkan oleh banyak para ulama ahli hadits dalam kitab-kitab
mereka, dan dishahihkan oleh sejumlah pakar hadits tanpa mempermasalahkannya
dengan syubhat seperti di atas. Berikut ini perinciannya:
a. Takhrij hadits
Hadits ini memiliki beberapa jalur:
1) Jalur al-Imam Malik
Hal ini sebagaimana riwayat beliau
sendiri dalam al-Muwaththa’ (2/772/No. 8), al-Imam asy-Syafi’i dalam ar-Risalah
(No. 242—tahqiq asy-Syaikh Ahmad Syakir), an-Nasa’i dalam Sunan Kubra
sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf (8/427) oleh al-Mizzi, Utsman ibn Sa’id
ad-Darimi dalam ar-Radd ’ala Jahmiyyah (No. 62), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab
Tauhid (hlm. 132—tahqiq asy-Syaikh Khalil Haras), al-Baihaqi dalam Sunan Kubra
(10/98/No. 19984), al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (9/246/No. 2365), Ibnu Abdil
Barr dalam at-Tamhid (9/69–70) dan al-Ashbahani dalam al-Hujjah fi Bayanil
Mahajjah (2/102/No. 57).
2) Jalur Yahya ibn Abi Katsir
Sepanjang penelitian saya, ada empat
orang yang meriwayatkan dari Yahya bin Abi Katsir. Berikut perinciannya:
a) Hajjaj ibn Abu Utsman ash-Shawwaf
Diriwayatkan al-Imam Ahmad dalam
Musnad-nya (5/448), al-Bukhari dalam Juz’ul Qira’ah (hlm. 70), Abu Dawud (No.
931 dan 3282), an-Nasa’i dalam Sunan Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf
(8/427), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid (hlm. 132), al-Baghawi dalam Syarh
Sunnah (3/237–239/No. 726) dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (19/398/No.
9 dari Yahya ibn Sa’id al-Qhaththan dari Hajjaj dengannya.
Dan diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam
al-Mushannaf (6/162/No. 30333) dan al-Iman (84), Muslim dalam Shahih-nya (No.
537), Ahmad (5/447), Abu Dawud (No. 931), Ibnu Hibban (165), Utsman ibn Sa’id
ad-Darimi dalam ar-Radd ’ala Jahmiyyah (No. 61), Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah
(490), dan Ibnu Jarud dalam al-Muntaqa (No. 212—Ghautsul Makdud oleh
al-Huwaini) dari Isma’il ibn Ibrahim (ibn ’Ulayyah) dari Hajjaj dengannya.
b) Al-Auza’i
Diriwayatkan al-Imam Muslim dalam
Shahih-nya (537), Abu Awanah dalam al-Mustakhraj (2/141), an-Nasa’i dalam Sunan
Sughra (3/14–18/No. 1216), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab Tauhid (hlm. 121),
ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (19/398/No. 937), al-Baihaqi dalam
as-Sunan Kubra (10/98/19984) dan al-Asma’ wash Shifat (2/326/890–891),
ath-Thahawi dalam Syarh Musykil Atsar (13/367), Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid
(9/71) dan al-Ashbahani dalam al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah (2/100/No. 69).
c) Aban ibn Yazid al-Aththar
Diriwayatkan Abu Awanah dalam
al-Mustakhraj ’ala Shahih Muslim (2/1141), ath-Thayyalisi dalam Musnad-nya
(1105), Ahmad dalam Musnad-nya (5/448), Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah (489),
Utsman ibn Sa’id ad-Darimi dalam ar-Radd ’ala Jahmiyyah (No. 60) dan Naqdh
’alal Marisi (122), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir (939), al-Baihaqi
dalam al-Asma’ wash Shifat (2/326/890–891), dan al-Lalika’i dalam Syarh Ushul
I’tiqad Ahli Sunnah (3/434–435/No. 652).
d) Hammam ibn Yahya
Diriwayatkan Ahmad ibn Hanbal dalam
Musnad-nya (5/448).
Hadits ini juga memiliki syawahid (penguat)
dari Sahabat Abu Hurairah, Abu Juhaifah, Ibnu Abbas, Ukkasyah al-Ghanawi, dan
Abdurrahman ibn Hathib—radhiyallahu ’anhum—secara mursal.2
b. Komentar para ulama ahli hadits
Hadits ini disepakati keabsahannya oleh
seluruh ulama kaum muslimin. Berikut ini sebagian komentar mereka:
1) Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani berkata, “Hadits ini disepakati keabsahannya oleh para ulama muslimin
semenjak dahulu hingga sekarang dan dijadikan hujjah oleh imam-imam besar
seperti Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, dan lainnya. Dan dishahihkan oleh Muslim,
Abu Awanah, Ibnu Jarud, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan orang-orang yang
mengikuti mereka dari para pakar dan sebagian mereka adalah para penakwil
seperti al-Baihaqi, al-Baghawi, Ibnul Jauzi, adz-Dzahabi, (Ibnu Hajar)
al-Asqalani, dan lainnya. Lantas, bagaimana pendapat seorang muslim yang
berakal terhadap orang jahil dan sombong yang menyelisihi para imam dan pakar
tersebut, bahkan mencela lafazh Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam yang telah
dishahihkan oleh para ulama tersebut?!!”3
2) Al-Imam al-Baihaqi berkata, “Hadits
ini shahih, dikeluarkan Muslim.”4
3) Al-Imam al-Baghawi berkata, “Hadits
ini shahih, dikeluarkan Muslim dari Abu Bakar ibn Abi Syaibah dari Isma’il ibn
Ibrahim dari Hajjaj.”5
4) Al-Imam al-Ashbahani berkata, “Dan
sungguh telah shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bahwasanya beliau
bertanya kepada seorang budak wanita yang akan dibebaskan oleh tuannya, ‘Di
mana Allah?’ Jawab budak tersebut, ‘Di atas langit…’”6
5) Al-Imam Ibnu Qudamah berkata, “Hadits
ini shahih.”7
6) Al-Imam adz-Dzahabi berkata, “Hadits
ini shahih, dikeluarkan Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan imam-imam lainnya
dalam kitab-kitab mereka dengan memperlakukannya sebagaimana datangnya tanpa
takwil dan tahrif.”8
7) Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits
shahih, diriwayatkan Muslim.”9
8) Al-Wazir al-Yamani berkata, “Hadits
ini tsabit (shahih), diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.”10
9) Al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani
berkata:
وَهٰذَاالْحَدِيْثُصَحِيْحٌبِلَارَيْبٍلَايَشُكُّفِيْذٰلِكَإِلَّاجَاهِلٌأَوْمُغْرِضٌمِنْذَوِيْالْأَهْوَاءِالَّذِيْنَكُلَّمَاجَاءَهُمْنَصٌّعَنْرَسُوْلِاللهِيُخَالِفُمَاهُمْعَلَيْهِمِنَالضَّلَالِحَاوَلُواالْخَلَاصَمِنْهُبِتَأْوِيْلِهِبَلْتَعْطِيْلِهِ،فَإِنْلَمْيُمْكِنْهُمْذٰلِكَحَاوَلُوْاالطَّعْنَفِيْثُبُوْتِهِكَهٰذَاالْحَدِيْثِفَإِنَّهُمَعَصِحَّةِإِسْنَادِهِوَتَصْحِيْحِأَئِمَّةِالْحَدِيْثِإِيَّاهُدُوْنَخِلَافٍبَيْنَهُمْفِيْمَاأَعْلَمُهُ.
“Hadits ini shahih dengan tiada keraguan. Tidak ada
yang meragukan hal itu kecuali orang jahil atau pengekor hawa nafsu yang setiap
kali datang pada mereka dalil dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam yang
menyelisihi keyakinan sesat mereka, maka mereka langsung berusaha membebaskan
diri darinya dengan menakwilkannya bahkan meniadakannya. Dan apabila mereka
tidak mampu maka mereka berupaya untuk mementahkan keabsahannya seperti hadits
ini yang shahih sanadnya serta dishahihkan oleh seluruh ulama ahli hadits tanpa
ada perselisihan pendapat di kalangan mereka sepanjang pengetahuan saya.”11
c. Membantah syubhat
Adapun syubhat yang dilontarkan oleh Dr. Quraish
Shihab “karena ia menimbulkan kesan keberadaan tuhan pada satu tempat, hal yang
mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi wa
sallam”.
Jawaban: Apabila yang dimaksud “tempat” adalah yang
tersirat dalam benak pikiran kita yaitu setiap yang meliputi dan membatasi
seperti langit, bumi, kursi, ’arsy, dan sebagainya maka benar hal itu mustahil
bagi Allah karena Allah tidak mungkin dibatasi dan diliputi oleh makhluk,
bahkan Dia lebih besar dan agung, bahkan kursi-Nya saja meliputi langit dan
bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَاقَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَاْلأَرْضُ
جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ
بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan
pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada
hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan
Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. az-Zumar [39]: 67)
Dan telah shahih dalam riwayat al-Bukhari (6519) dan
Muslim (7050) dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
«يَقْبِضُاللهُبِالأَرْضِوَيَطْوِيْالسَّمَاوَاتِبِيَمِيْنِهِثُمَّيَقُوْلُ:
أَنَاالْمَلِكُأَيْنَمُلُوْكُالأَرْضِ؟»
“Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan
tangan kanan-Nya kemudian berfirman, ‘Aku adalah Raja, manakah raja-raja
bumi?’”
Adapun apabila maksud “tempat” adalah sesuatu yang
tidak meliputi yakni di luar alam semesta, maka Allah di luar alam semesta
sebagaimana keberadaan-Nya sebelum menciptakan makhluk. Jadi, Allah di tempat
yang bermakna kedua ini bukan makna pertama.12
2. Mengingkari hadits turunnya Isa ibn Maryam
Dr. Quraish Shihab mengatakan:
Ada ulama yang menyatakan “Isa as masih hidup di
langit” bukanlah suatu kewajiban untuk mempercayainya. Serta beberapa hadits
yang berkaitan dengan kenaikan Isa al-Masih dan akan turun kelak menjelang
kiamat. Hadits-hadits tersebut kesemuanya bermuara pada dua orang saja, yang
keduanya bekas penganut agama Kristen, yaitu Ka’ab Al-Akhbar dan Wahb bin
Munabbih (yang masih punya keterkaitan pada kepercayaan lamanya). Dengan
demikian pengertian QS. 3:55 di atas bukan dalam arti diangkat fisiknya tapi
diangkat derajatnya ke sisi Allah swt.13
Jawaban:
a. Haditsnya mutawatir
Pakar ilmu hadits menetapkan bahwa hadits-haditsnya
mencapai derajat mutawatir, di antaranya adalah al-Imam ath-Thabari dalam
Jami’ul Bayan (3/291), Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya (2/566), asy-Syaukani dalam
risalahnya at-Taudhih, Shiddiq Hasan Khan dalam al-Idha’ah (hlm. 160),
al-Kattani dalam Nazhmul Mutanatsir (hlm. 147), Syaraful Haq Azhim Abadi dalam
Aunul Ma’bud (11/307), asy-Syaikh Ahmad Syakir dalam Syarhul Musnad (7/98–99
dan 8/20), asy-Syaikh al-Albani dalam ta’liq Syarh Aqidah Thahawiyyah (hlm.
501), asy-Syanqithi dalam Adhwa’ul Bayan (7/128, 130–136) dan Daf’u Iham
Idhthirab (hlm. 56), Komisi Fatwa Arab Saudi yang diketuai asy-Syaikh Abdul
Aziz ibn Baz dalam Fatawa Lajnah Da’imah (3/307), Samahatusy Syaikh Abdul Aziz
ibn Baz dalam Majmu’ Fatawa-nya (1/453), asy-Syaikh Muhammad Anwar Syah
al-Kisymiri dalam kitabnya at-Tashrih Bima Tawatara fi Nuzuli Masih, asy-Syaikh
Abdullah al-Ghumari dalam ’Aqidah Ahli Islam fi Nuzuli ’Isa ’Alaihissalam (hlm.
5), asy-Syaikh Muqbil ibn Hadi al-Wadi’i dalam Rudud Ahli ’Ilmu (hlm. 25),
asy-Syaikh Khalil Harras dalam Fashlul Maqal (hlm. 49), asy-Syaikh Sulaiman
Hamdan dalam al-Barahin wal Adillah (hlm. 33), dan sebagainya.
Berdasarkan dalil-dalil yang sangat jelas di atas,
maka seluruh ulama terpercaya bersepakat bahwa turunnya Isa ‘Alaihissalam kelak
di akhir zaman merupakan aqidah Islam yang wajib diimani oleh setiap muslim.
Tidak ada yang mengingkarinya kecuali para ahli filsafat dan penyimpang agama
yang sesat, menyesatkan, dan menyelisihi al-Qur’an, hadits, dan kesepakatan
Ahlussunnah.14
b. Membantah kritikan
Ucapan Dr. Quraish Shihab ini telah didahului
sebelumnya oleh Syaikh Mahmud Syaltut15 dalam tulisannya yang dimuat dalam
Majalah ar-Risalah. Syaikh al-Albani berkata, “Saya telah meneliti
hadits-hadits tentang turunnya Isa ‘Alaihissalam dari sumber aslinya
(kitab-kitab hadits) seperti Kutub Sittah dan sebagainya sehingga saya dapat
mengumpulkan banyak hadits dari beberapa jalur yang mutawatir lebih dari empat
puluh sahabat. Saya sangat terkejut ketika saya tidak menemukan nama Wahb ibn
Munabbih dan Ka’ab al-Ahbar pada jalur sanad-sanad tersebut sekalipun dalam
hadits yang lemah sanadnya. Saya lalu berkeyakinan bahwa Syaikh Syaltut hanya
menulis sesuai dengan apa yang terlintas dalam benaknya saja tanpa meneliti
kitab-kitab hadits. Lalu saya menulis sebuah risalah terpisah untuk membantah
fatwanya itu, tetapi…”16
c. Membantah syubhat
Adapun tahrif (perubahan makna) yang dilakukan oleh
Dr. Quraish bahwa yang diangkat bukanlah fisik tetapi kedudukan Isa
‘Alaihissalam, maka ini merupakan tahrif yang batil dan bertentangan dengan
penafsiran dan pemahaman para ulama.
Sungguh alangkah bagusnya ucapan Samahatusy Syaikh
Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baz Rahimahullahuta’ala tatkala membantah
penafsiran ini, “Merupakan kebatilan yang sangat keji dan kelancangan yang
sangat kelewat batas terhadap Allah dan Rasul-Nya adalah perubahan makna
sebagian kalangan tidak seperti zhahir (tekstualnya). Sebab dia telah
mengumpulkan dua bencana:
Pertama: Mendustakan dan tidak mengimani dalil-dalil
yang tegas tentang turunnya Isa ‘Alaihissalam.
Kedua: Menuduh Rasul Shallallahu’alaihi wa sallam yang
paling mengerti syari’at dan ahli penasihat sebagai orang yang berbicara
mengacau dan rancu, maksud ucapannya tidak seperti beliau sabdakan secara
zhahir. Sungguh ini merupakan kedustaan yang tiada taranya dan penipuan
terhadap umat yang Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam berlepas diri darinya.
Ucapan seperti ini serupa dengan pendapat kaum penyeleweng yang menisbahkan
pada diri Rasul kerancuan, demi maslahat mayoritas manusia.”17
Sebagai kesimpulan, asy-Syaikh al-Allamah Abdul Aziz
ibn Baz Rahimahullahuta’ala menegaskan, “Turunnya Isa ‘Alaihissalam telah
ditetapkan berdasarkan al-Qur’an, hadits mutawatir, dan ijma’ ulama Islam
sehingga mereka selalu menyebutnya dalam kitab-kitab aqidah. Barang siapa
mengingkarinya dengan alasan haditsnya ‘ahad’ tidak menunjukkan qath’i atau
menakwilkan bahwa maksud sebenarnya adalah manusia pada akhir zaman berpegang
teguh dengan akhlak Isa al-Masih ‘Alaihissalam berupa kasih sayang dan lemah
lembut atau manusia menerapkan ruh syari’at dan intinya, maka semua itu adalah
kebatilan nyata yang bertentangan dengan aqidah para imam kaum muslimin, bahkan
nyata-nyata merupakan bentuk penentangan nash-nash shahih dan mutawatir,
kejahatan terhadap syari’at yang mulia, kelancangan yang sangat terhadap Islam
dan hadits Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam, menuhankan hawa nafsu, keluar
dari rel kebenaran dan petunjuk; orang tersebut tidak memiliki ilmu mapan
tentang syari’at dan keimanan yang kuat serta pengagungan terhadap dalil dan
hukum Islam.”18
B. Dr. Quraish menshahihkan hadits palsu dan lemah
Di samping Dr. Quraish Shihab melemahkan hadits-hadits
yang shahih sebagaimana contoh di atas, anehnya dia juga banyak menshahihkan
hadits-hadits lemah dan palsu. Berikut ini beberapa contohnya:
1. Hadits perpecahan umat
Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan
Al-Qur’an hlm. 363 bahwa dalam suatu riwayat (versi) yang telah dinilai shahih
oleh al-Hakim, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Umatku akan
berkelompok menjadi tujuh puluh sekian kelompok, semuanya di surga kecuali
satu.”
Jawaban: Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut:
تَفْتَرِقُأُمَّتِيْعَلَىبِضْعٍوَسَبْعِيْنَفِرْقَةً،كُلُّهَافِيْالْجَنَّةِوَوَاحِدَةٌفِيْالنَّارِ.
“Umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh kelompok
lebih, semuanya di surga kecuali satu yaitu orang-orang zindiq.”
MAUDHU’. Dikeluarkan oleh al-Uqaili dalam adh-Dhu’afa’
(4/201), Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (1/267) dari jalan Mu’adz ibn Yasin
az-Zayyat: Menceritakan kepada kami al-Abrad ibn al-Asyrasy dari Yahya ibn
Sa’id dari Anas Radhiallahu’anhu secara marfu’.
Ibnul Jauzi mengatakan, “Para ulama menyatakan,
‘Hadits ini dipalsukan oleh al-Abrad dan dicuri oleh Yasin az-Zayyat sehingga
membalik sanadnya dan mencampurnya, dicuri pula oleh Utsman ibn Affan (bukan
khalifah pada zaman sahabat) padahal dia adalah matruk, demikian pula Hafsh dia
adalah pendusta.’ Hadits yang shahih adalah berbunyi ‘satu di surga yaitu
al-Jama’ah’.”
Perkataan ini disetujui oleh as-Suyuthi dalam
al-’Ala’i al-Mashnu’ah (1/128), Ibnu Arraq dalam Tanzih Syari’ah (1/301),
asy-Syaukani dalam al-Fawa’id al-Majmu’ah (hlm. 502), dan lain-lain.
Di samping sanad haditsnya yang hancur seperti di
atas, matan (isi) haditsnya juga lebih hancur lagi ditinjau dari dua segi:
Pertama: Menyelisihi riwayat-riwayat yang shahih dan
masyhur dengan lafazh “semuanya di neraka kecuali satu” sebagaimana ditegaskan
oleh mayoritas ahli hadits.
Kedua: Menyelisihi ketegasan al-Qur’an, di mana hadits
menjelaskan bahwa perpecahan berbagai kelompok tersebut menjurus ke surga yang
merupakan rahmat Allah, padahal kalau kita perhatikan ayat-ayat al-Qur’an,
niscaya kita akan mendapati bahwa rahmat Allah berada dalam persatuan seperti
dalam firman-Nya:
وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً
وَاحِدَةً وَلاَيَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ {118} إِلاَّمَن رَّحِمَ رَبُّكَ
وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لأَمْلأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ
الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ {119}
“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan
manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan
mereka. Kalimat Rabbmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan, ‘Sesungguhnya Aku akan
memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.’” (QS
Hud [11]: 118–119)19
2. Hadits tentang keutamaan akal
Dr. Quraish Shihab berkata:
Konon Malaikat Jibril datang kepada kakek kita Adam
as, menyampaikan bahwa diperintahkan Tuhan agar Adam memilih salah satu dari
tiga pilihan yang disodorkan: Akal, rasa malu dan agama. Maka Adam memilih akal
… Demikian riwayat yang disandarkan kepada Sayyidina Ali. Memang “Tiada agama
tanpa akal, dan tiada juga agama tanpa rasa malu”.20
Jawaban: Ini adalah riwayat yang tidak shahih.
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Perlu menjadi perhatian bersama bahwa seluruh
riwayat tentang keutamaan akal, tidak ada yang shahih satu pun. Semuanya
berkisar antara dha’if dan maudhu’. Saya telah memeriksa setiap hadits yang
dipaparkan oleh Abu Bakar ibn Abi Dunya dalam kitabnya al-Aql wa Fadhluhu
ternyata sesuai dengan perkataan saya tadi yaitu tidak ada yang shahih satu
pun. Al-Allamah Ibnul Qayyim berkata dalam al-Manar (hlm. 25), ‘Hadits-hadits
tentang akal seluruhnya dusta belaka.’21
Perlu menjadi catatan pula, bahwa agama Islam ini
tidak dibangun di atas akal, tetapi di atas wahyu dari Rabbil’alamin. Alangkah
indahnya ucapan Ali ibn Thalib Radhiallahu’anhu:
لَوْكَانَالدِّيْنُبِالرَّأْيِلَكَانَأَسْفَلُالْخُفِّأَوْلَىبِالْمَسْحِمِنْأَعْلَاهُ،وَقَدْرَأَيْتُرَسُوْلَاللهِn يَمْسَحُعَلَىظَاهِرِهِ.
“Seandainya agama itu berdasarkan akal, tentu bagian
bawah sepatu lebih utama untuk diusap daripada bagian atasnya, tetapi saya
melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam mengusap bagian atasnya.”22
Inilah yang shahih dari Sahabat Ali ibn Abi Thalib
Radhiallahu’anhu, bukan malah seperti yang disandarkan oleh Dr. Quraish kepada
beliau tentang pengagungan kepada akal.
C. Dr. Quraish Shihab memahami hadits dengan akal
Hal ini sangatlah tampak bagi yang meneliti
tulisan-tulisannya. Dan sepanjang pengamatan saya, dia banyak terpengaruh oleh
pemikiran Dr. Muhammad al-Ghazali al-Mishri sehingga banyak menukil pendapat
dan pemikirannya dalam beberapa karyanya. Hal itu tidak aneh lantaran dia
adalah jebolan Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.
Di antara hal menarik untuk diketahui dalam masalah
ini adalah tatkala Syaikh Muhammad al-Ghazali al-Mishri23 menulis karya buku
hitam yang penuh dengan tikaman terhadap sunnah Nabi Shallallahu’alaihi wa
sallam dengan judul as-Sunnah an-Nabawiyyah Baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadits.24
Buku ini langsung mendapatkan sambutan hangat dari para ahli bid’ah, sehingga
diterjemahkan oleh seorang syi’ah bernama Muhammad al-Baqir ke dalam versi
Indonesia dengan judul Studi Kritis Atas Hadits Nabi Antara Pemahaman Tekstual
dan Kontekstual yang diterbitkan oleh Penerbit Al-Mizan, Bandung (penerbit
buku-buku Syi’ah)!!! Dan tak lupa, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, ikut andil
memberikan kata pengantar edisi terjemahan untuk melariskannya!!!
Maka bantahan serta kritikan para ulama sunnah kepada
Syaikh al-Ghazali sebenarnya mengarah juga kepada Quraish Shihab!!
Ketimpangan Pemikiran Quraish Shihab Dalam Masalah
Fiqih
Dr. Quraish Shihab memiliki beberapa pemikiran dan pendapat
nyeleneh yang dikemukakan di muka masyarakat sehingga menimbulkan keresahan dan
kebingungan di tengah-tengah mereka dengan alasan kemudahan. Seringkali dia
juga hanya memaparkan pendapat nyeleneh tersebut ke muka umum tanpa tanggapan
dan sanggahan untuk memperjelas pendapat yang kuat.
Inilah metode yang sering dilakukannya dalam
karya-karya tulisnya. Dr. Quraish Shihab mengatakan:
Sayang rahmat dan kemudahan itu, sering tidak
dirasakan bahkan boleh jadi ditutupi atau tertutupi oleh kaum muslimin sendiri,
akibat pemahaman dan penerapan mereka yang tidak tepat terhadap ajaran Islam.25
Dia juga sering mencari-mencari ketergelinciran ulama
atau pendapat nyeleneh sebagian kalangan lalu dijadikan sebagai alasan pendapat
yang diutarakan. Dr. Quraish mengatakan:
Yang penulis maksud, tidak lain hanyalah ingin
membuktikan bahwa ada juga ulama-ulama yang diakui otoritasnya yang menganut
atau bahkan mencetuskan pendapat-pendapat yang berbeda dengan ulama-ulama
terdahulu.
Terlepas dari siapa pencetus ide tentang pakaian
wanita, yang sedikit dan banyak berbeda dengan pendapat ulama terdahulu, namun
yang jelas bahwa para pencetus dan pendukung ide serta pendapat-pendapat ulama
terdahulu, memiliki juga dalil yang menjadi dasar pendapat mereka.26
Oleh karenanya, sebelum saya menanggapi
masalah-masalah terperinci, saya akan menjelaskan terlebih dahulu bahwa cara
seperti ini berbahaya sekali:
Pertama: Benar, Islam adalah agama yang sangat mudah.
Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan hal itu. Al-Imam asy-Syathibi
mengatakan, “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat
yang pasti.”27 Namun, perlu diperhatikan bahwa maksud kemudahan Islam bukan
berarti kita menyepelekan sebagian syari’at Islam, mencari-cari ketergelinciran
atau pendapat lemah sebagian ulama, atau menyebarkan pendapat-pendapat ganjil.
Yang benar, kemudahan itu dengan mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah.
Perhatikanlah contoh berikut:
عَنْأَبِيهُرَيْرَةَa قَالَ:
أَتَىالنَّبِيَّn رَجُلٌأَعْمَىفَقَالَ:
يَارَسُولَاللّٰهِ،إِنَّهُلَيْسَلِيقَائِدٌيَقُودُنِيإِلَىالْمَسْجِدِفَسَأَلَرَسُولَاللّٰهِn أَنْيُرَخِّصَلَهُفَيُصَلِّيَفِيبَيْتِهِ،فَرَخَّصَلَهُ،فَلَمَّاوَلَّىدَعَاهُفَقَالَ:
«هَلْتَسْمَعُالنِّدَاءَبِالصَّلَاةِ؟» قَالَ: نَعَمْ،قَالَ:«فَأَجِبْ».
Dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu berkata, “Pernah
ada seorang lelaki buta datang kepada kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam
seraya mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki orang yang menuntunku
ke masjid.’ Lalu orang tersebut meminta agar Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam
memberikan keringanan baginya untuk shalat di rumahnya. Nabi Shallallahu’alaihi
wa sallam pun memberikan keringanan kepadanya. Tatkala orang tersebut
berpaling, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam memanggilnya seraya berkata,
‘Apakah engkau mendengar panggilan shalat?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Kalau begitu, penuhilah panggilan
tersebut.’” (HR Muslim: 653)
Dalam riwayat Ahmad (3/423) terdapat tambahan:
“Sesungguhnya antara rumah saya dan masjid ada pohon kurma dan pohon-pohon,
sedangkan saya tidak mendapati penuntut pada setiap waktu”.
Dalam riwayat Abu Dawud (553) terdapat tambahan:
“Sesungguhnya Madinah banyak binatang buasnya”.
Perhatikanlah, wahai saudaraku, sekalipun orang
tersebut telah mengajukan alasan-alasan yang begitu kuat, Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam tidak memberikan udzur baginya untuk shalat di
rumahnya dengan alasan Islam agama yang mudah!!
Sangat disayangkan, banyak orang—termasuk Dr.
Quraish—menyalahgunakan kemudahan syari’at ini sehingga terjatuh dalam lembah
kegelapan dan jalan yang meruwetkan. Mereka memungut pendapat-pendapat ganjil
ulama sesuai dengan hawa nafsu mereka dalam masalah hukum fiqih, bahkan dalam
masalah aqidah!!28
Kedua: Para ulama salaf telah memberikan peringatan
keras terhadap metode mencari-cari ketergelinciran ulama, pendapat-pendapat
ganjil dan aneh.
Sulaiman at-Taimi mengatakan, “Apabila engkau
mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka telah berkumpul pada dirimu
seluruh kejelekan.” Ibnu Abdil Barr berkomentar, “Ini adalah ijma’, saya tidak
mendapati perselisihan ulama tentangnya.”29 Al-Auza’i berkata, “Barang siapa
memungut keganjilan-keganjilan ulama, maka dia akan keluar dari Islam.”30 Hasan
al-Bashri berkata, “Sejelek-jelek hamba Allah adalah mereka yang memungut
masalah-masalah ganjil untuk menipu para hamba Allah.”31 Abdurrahman ibn Mahdi
berkata, “Seorang tidaklah disebut alim bila dia menceritakan pendapat-pendapat
yang ganjil.”32 Al-Imam Ahmad menegaskan bahwa orang yang mencari-cari pendapat
ganjil adalah seorang yang fasik.33 Bahkan al-Imam Ibnu Hazm menceritakan ijma’
(kesepakatan ulama) bahwa orang yang mencari-cari keringanan madzhab tanpa
bersandar pada dalil merupakan kefasikan dan tidak halal.34
Maka hendaknya seorang muslim takut kepada Allah dan
mengingat bahwa dirinya akan berdiri di hadapan Allah untuk dimintai
pertanggungjawaban. Dengan mengingat hal itu, dia tidak menggampangkan diri
untuk mencari-cari ketergelinciran ulama dan menyebarkan pendapat-pendapat
ganjil karena hal itu bisa menggolongkan dirinya termasuk orang yang menjadikan
ayat-ayat Allah sebagai senda gurau.35 Al-Imam asy-Syathibi menyebutkan
beberapa dampak negatif mencari-cari kesalahan ini, di antaranya:
Keluar dari agama, karena tidak mengikuti dalil tetapi
mengikuti perselisihan.
Meremehkan agama.
Mencampuradukkan pendapat sehingga keluar dari ijma’
ulama.
Meninggalkan sesuatu yang maklum menuju sesuatu yang
bukan maklum.
Merusak undang-undang politik syar’i yang dibangun di
atas keadilan sehingga akan mengakibatkan kerusakan.36
Ketiga: Perlu diketahui bahwa tidak semua perbedaan
itu diterima. Lihatlah dahulu, siapa yang berbeda pendapat dan sejauh mana
kuatnya argumen yang dibawakan. Jika memang bertentangan dengan dalil yang
jelas maka tidaklah diterima. Al-Imam asy-Syafi’i berkata, “Perselisihan itu
ada dua macam, apabila sudah ada dalilnya yang jelas dari Allah dan sunnah
Rasul Shallallahu’alaihi wa sallam atau ijma’ kaum muslimin maka tidak boleh
bagi kaum muslimin yang mengetahuinya untuk menyelisihinya. Adapun apabila
tidak ada dalilnya yang jelas maka boleh bagi ahli ilmu untuk berijtihad dengan
mencari masalah yang menyerupainya dengan salah satu di antara tiga tadi
(al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’).”37
Asy-Syaikh al-Allamah Muhammad ibn Utsaimin berkata,
“Termasuk di antara pokok-pokok Ahlussunnah wal Jama’ah dalam masalah
khilafiyyah adalah apabila perselisihan tersebut bersumber dari ijtihad dan
masalah tersebut memungkinkan untuk ijtihad maka mereka saling bertoleransi,
tidak saling dengki, bermusuhan, atau lainnya, bahkan mereka bersaudara
sekalipun ada perbedaan pendapat di antara mereka. Adapun masalah-masalah yang
tidak ada ruang untuk berselisih di dalamnya, yaitu masalah-masalah yang
bertentangan dengan jalan para sahabat dan tabi’in, seperti masalah aqidah yang
telah tersesat di dalamnya orang yang tersesat dan tidak dikenal perselisihan
tersebut kecuali setelah generasi utama, maka orang yang menyelisihi sahabat
dan tabi’in tadi tidak dianggap perselisihannya.”38
وَلَيْسَكُلُّخِلَافٍجَاءَمُعْتَبَرًا
إِلَّاخِلَافًالَهُحَظٌّمِنَاْلنَّظَرِ
Tidak seluruh perselisihan itu dianggap
Kecuali perselisihan yang memang memiliki dalil yang
kuat.39
Hal ini sangat penting dipahami, khususnya bagi kaum
muslimin di Indonesia yang masih banyak yang menilai bahwa semua perbedaan bisa
ditampung dan diakomodasi dengan alasan bahwa negara Indonesia adalah negara
demokrasi, sehingga pendapat-pendapat nyeleneh yang jelas-jelas bertentangan
dengan al-Qur’an, hadits, dan ijma’ pun harus dihormati sebagai bentuk
perbedaan pendapat, dan perbedaan adalah rahmat!!
Baiklah, kita ambil beberapa contoh masalah fiqih yang
merupakan pendapat lemah Dr. Quraish Shihab:
A. Jilbab
Dr. Quraish Shihab menulis buku berjudul Jilbab
Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer
terbitan Lentera Hati, Jakarta, untuk menuangkan ide pemikiran nyelenehnya yang
penuh syubhat. Alhamdulillah, buku tersebut sudah dibantah oleh Dr. Ahmad Zain
an-Najah, M.A. (Doktor Syari’ah Islam Universitas al-Azhar, Kairo) secara
ilmiyyah dalam bukunya Jilbab Menurut Syar’iat Islam (Meluruskan Pandangan
Prof. Dr. Quraish Shihab) terbitan Cakrawala Publishing, Jakarta.
Dari judulnya saja, kita sudah dapat menilai bahwa Dr.
Quraish ingin menampakkan bahwa masalah kewajiban jilbab adalah masalah
khilafiyyah (perbedaan pendapat) yang dibolehkan sehingga dia membandingkan
pendapat para ulama dahulu yang bersepakat tentang wajibnya jilbab yang
menutupi aurat wanita dengan pendapat sampah sebagian kalangan yang ingin
menghidupkan budaya jahiliyyah untuk menanggalkan jilbab seperti Qasim Amin,
al-Asmawai, dan lain-lain!! Inilah salah satu contoh metode rusak (mencari-cari
ketergelinciran ulama dengan alasan kemudahan dan perbedaan) yang diterapkan
Dr. Quraish Shihab yang telah kita singgung di atas.
Di antara ucapan Dr. Quraish adalah:
Boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran atas
pendapat yang menyatakan bahwa yang terpenting dari pakaian adalah yang
menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak mengundang gangguan
dari mereka yang usil.40
Dia juga mengatakan:
Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan
terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan setengah
tangannya bahwa mereka secara pasti telah melanggar petunjuk agama. Bukankah
Al-Qur’an tidak menyebut batas aurat? Para ulamapun ketika membahasnya berbepa
pendapat?41
Bahkan, dengan nada menghina wanita-wanita berjilbab
sesuai tuntunan agama, Dr. Quraish menulis:
Pakaian longgar, berwarna hitam yang tidak menampakkan
kecuali sepasang bahkan sebiji bola mata yang juga tidak jarang ditutup dengan
kaca mata hitam, sungguh tidak mengandung nilai-nilai kecantikan dan hiasan.
Penulis tidak akan berkata seperti tulis beberapa orang bahwa pakaian seperti
yang diwajibkan oleh sementara ulama itu, menjadikan wanita tampil seperti
sosok hantu atau bahwa pakaian itu seperti kafan dan menjadikan pemakainya
bagaikan mayat-mayat yang berjalan. Sama sekali penulis tidak akan berkata
demikian.42
Pendapat sang profesor ini dan fakta bahwa putrinya
yang tidak mengenakan jilbab dijadikan legitimasi oleh salah satu majalah
tentang tidak perlunya wanita mengenakan jilbab. Pada 22 Maret 2005, majalah
tersebut membuat judul cover “TERHORMAT MESKI TANPA JILBAB”.
Saya tidak perlu membantah secara luas ucapan-ucapan
kacau di atas. Silakan para pembaca merujuk kepada bantahan Dr. Ahmad Zain
an-Najah yang telah saya isyaratkan tadi, sedangkan sebagiannya telah kita
bantah dalam penjelasan kerusakan metode Dr. Quraish Shihab di atas tadi.
Cukuplah bagi kita ketegasan Allah Ta’ala yang telah mewajibkan kepada segenap
wanita muslimah yang telah mencapai usia baligh untuk memakai jilbab. Hal ini
termaktub dalam al-Qur’an:
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ
أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin, hendaknya mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Ahzab [33]: 59)
Ayat yang mulia ini secara tegas dan jelas menunjukkan
bahwa jilbab merupakan perintah dan syari’at Allah Ta’ala kepada segenap wanita
muslimah, bukan seperti yang didengungkan sebagian kalangan—termasuk Dr.
Quraish—yang menilai bahwa hal itu disesuaikan dengan budaya dan zaman yang
berbeda-beda antara satu zaman dengan zaman lain dan antara satu negara dengan
negara lain.43
Yakinlah bahwa pendapat apa pun yang menyelisihi
ketegasan al-Qur’an, hadits dan ijma’ para ulama adalah pendapat yang batil
siapa pun pelontarnya dan seindah apa pun untaian kata-kata yang dirangkainya.
Dan berdasarkan penelitian para ulama dapat
disimpulkan bahwa jilbab yang syar’i itu harus memenuhi beberapa kriteria
sebagai berikut:
Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan
(ada perselisihan, sekalipun menutupnya lebih utama).
Tidak ketat sehingga menggambarkan lekuk tubuh.
Tidak tipis/transparan/tembus pandang sehingga
menampakkan kulit tubuh.
Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
Tidak menyerupai pakaian khas wanita kafir.
Tidak mencolok dan menarik perhatian.
Tidak diberi parfum dan wewangian.44
B. Membolehkan katup jantung babi
Dr. Muhammad Quraish Shihab mengatakan ketika
menafsirkan Surat al-Ma’idah ayat 3:
Atas dasar ini pula agaknya kita dapat berkata bahwa
penggunaan katup jantung babi sebagai pengganti katup jantung manusia yang
sakit dapat dibenarkan, karena tidak digunakan untuk dimakan.45
Jawaban:
Sesungguhnya babi termasuk hewan yang diharamkan dalam
Islam.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَآأَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَاذَكَّيْتُمْ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang
terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya. (QS al-Ma’idah [5]: 3)
Babi diharamkan oleh Allah, baik babi peliharaan
maupun liar. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Ibnu
Hazm dalam al-Fishal 4/197 berkata tatkala menyebutkan salah seorang Mu’tazilah
bernama Abu Ghifar, “Dia menganggap bahwa lemak babi dan otaknya adalah
halal.”(!!) Kemudian, Ibnu Hazm berkomentar, “Ini adalah kekufuran yang
nyata.”46
Maka apa yang dikatakan oleh sebagian kalangan bahwa
Dawud azh-Zhahiri mengharamkan daging babi saja, adapun selain daging hukumnya
boleh, ucapan ini perlu dikoreksi ulang, sebab Ibnu Hazm sendiri dalam kitabnya
al-Muhalla 7/390–430 menukil ijma’ tentang haramnya seluruh bagian babi,
padahal beliau adalah orang yang mengerti tentang madzhab Dawud (azh-Zhahiri).
Seandainya saja beliau menyelisihi, niscaya beliau akan membantahnya dengan
penyelisihan Dawud!!
Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam
al-Qur’an, hadits, dan ijma’ ulama. Al-Imam adz-Dzahabi berkata, “Saya tidak
mengira akan ada seorang muslim yang dengan sengaja makan babi, karena yang
memakan babi hanyalah orang-orang zindiq Jabaliyyah dan Tayaminah yang keluar
dari Islam. Dalam hati orang-orang yang beriman, makan babi lebih besar dosanya
daripada minum khamar.”47
Hikmah pengharamannya, karena babi memiliki beberapa
sifat berikut:
Babi adalah hewan yang sangat menjijikkan. Makanan
kesukaan hewan ini adalah barang-barang yang najis dan kotor.48
Daging babi mengandung satu virus tunggal yang dapat
mematikan dan mengandung penyakit ganas yang sulit obatnya bagi pemakan daging
babi sebagaimana terbukti oleh riset kedokteran.49
Salah satu sifat hewan babi adalah tinggi/kuat
syahwatnya, sehingga babi jantan menaiki babi betina padahal sedang makan
rumput, bahkan sekalipun si betina telah berjalan beberapa meter, si jantan
akan terus menumpanginya!!50 Oleh karena itu, penelitian telah menyibak bahwa
babi mempunyai pengaruh dan dampak negatif dalam masalah iffah (kehormatan) dan
kecemburuan sebagaimana kenyataan penduduk negeri yang biasa makan babi.5
Setelah kita mengetahui bahwa babi termasuk hewan yang
diharamkan, maka ketahuilah bahwa apa yang dikatakan Dr. Quraish Shihab di atas
tanpa sanggahan dan perincian adalah sebuah kesalahan yang amat fatal, sebab
masalah tersebut harus diperinci sebagai berikut sehingga tidak menimbulkan
kerancuan:
Pertama: Penggunaan katup jantung babi bagi orang
sakit dalam kondisi ideal maka hukumnya haram dengan kesepakatan ulama52
berdasarkan hadits:
«إِنَّاللهَلَميَجْعَلْشِفَاءَكُمْفِيْمَاحَرَّمَعَلَيْكُمْ».
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat kalian dalam
apa yang diharamkan kepada kalian.” (HR al-Bukhari 10/78)
Kedua: Penggunaan katup jantung babi bagi orang sakit
dalam kondisi darurat. Inilah yang diperselisihkan para ahli fiqih:
Sebagian ulama mengatakan tidak boleh sekalipun
kondisi darurat. Ini adalah madzhab Malikiyyah dan Hanabilah.53
Mayoritas ulama mengatakan boleh—selain khamar—dengan
syarat tidak ada obat lainnya dan berdasarkan petunjuk dokter muslim
terpercaya. Ini adalah madzhab Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Zhahiriyyah54
hingga para ulama mengatakan jika ada katup kera, misalnya, maka itu lebih
didahulukan daripada babi karena babi jelas haramnya, sedangkan kera ada
perselisihan tentang keharamannya.
Oleh karenanya, penggunaan katup jantung babi pada
zaman sekarang tidak boleh secara mutlak sekalipun dalam kondisi darurat karena
tidak memenuhi syarat yang disebutkan ulama, sebab para ahli kedokteran
sekarang menyebutkan bahwa pada katup jantung babi malah terkandung virus yang
bisa menyerang kesehatan manusia, lebih-lebih pada zaman sekarang sudah ada
pengganti yang lebih aman yaitu alat-alat medis buatan manusia sekarang yang
jauh lebih aman dari katup hewan atau kalaupun harus menggunakan katup hewan,
sekarang juga sudah ada katup sapi yang jauh lebih aman dan tidak
najis/haram.55
C. Mengingkari hukum jenggot
Dr. Quraish Shihab—semoga Allah memberinya
petunjuk—menyatakan bahwa:
Tujuan tuntunan Nabi itu bersifat sementara yaitu
untuk membedakan antara pria kaum mukminin dengan pria yang bukan mukmin (yang
ketika itu memelihara kumis dan mencukur jenggot mereka). Kini karena nonmuslim
pun sudah banyak yang memelihara jenggot dan mencukur kumis, maka sebenarnya
cara pembedaan seperti itu sudah tidak relevan lagi, dan karena itu ia tidak
berlaku lagi. Demikian Wallahu A’lam.56
Jawaban:
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dalam
hadits-hadits yang shahih mewajibkan untuk memelihara jenggot dan melarang
mencukurnya dengan redaksi yang beragam, baik dengan ucapan, perbuatan, dan
persetujuan. Adapun ucapan, Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dengan
redaksi yang berbeda-beda:
أَحْفُوْاالشَّوَارِبَوَأَعْفُوْااللِّحَى
“Cukurlah kumis dan peliharalah jenggot.”57
خاَلِفُوْاالمُشْرِكِيْنَوَفِرُّوْااللِّحَىوَأَحْفُوْاالشَّوَارِبَ
“Selisihilah orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot
dan cukurlah kumis.”58
جَزُّوْاالشَّوَارِبَ،وَأَرْحُوْااللِّحَى،خَالِفُوْاالمَجُوْسَ
“Cukurlah kumis, biarkanlah jenggot, selisihilah
orang-orang Majusi.”59
خَالِفُوْاالمُشْرِكِيْنَأَحْفُوْاالشَّوَارِبَوَأَوْفُوْااللِّحَى
“Selisihilah orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan
cukurlah kumis.”60
عَنِابْنِعُمَرَرَضِيَاللهُعَنْهُقَالَعَنِالنَّبِيِّn أَنَّهُأَمَرَبِإِحْفَاءِالشَّوَارِبَوَإِعْفَاءِاللِّحْيَةِ
Dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma, “Dari Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam, sungguh beliau memerintahkan untuk mencukur kumis
dan memelihara jenggot.”61
Hadits-hadits dengan redaksi di atas sangat jelas
menunjukkan perintah memelihara jenggot, sedangkan dalam kaidah Ushul Fiqih
dikatakan bahwa asal sebuah perintah adalah menunjukkan wajib hingga ada dalil
yang memalingkannya,62 padahal tidak ada dalil yang memalingkan dalam masalah
ini, bahkan hadits-hadits tersebut saling menguatkan.
Para ulama dan ahli fiqih secara tegas menyatakan
bahwa mencukur jenggot itu haram.
Al-Imam Ibnu Hazm berkata, “Para ulama sepakat bahwa pencukur
jenggot merupakan perbuatan mutslah (memperburuk) yang terlarang.”63
Ibnul Qaththan berkata, “Para ulama bersepakat bahwa
mencukur seluruh jenggot tidak boleh.”64
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Diharamkan
mencukur jenggot berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan tidak ada seorang
ulama pun yang membolehkannya.”65
Asy-Syaikh Ali Mahfuzh berkata, “Empat madzhab telah
bersepakat tentang wajibnya memelihara jenggot dan haramnya mencukur jenggot.”
Setelah memaparkan ucapan para imam madzhab, asy-Syaikh Ali Mahfuzh
berkomentar, “Dengan penjelasan di muka, maka nyatalah bagimu bahwa memelihara
jenggot termasuk agama Allah dan syari’at-Nya yang telah digariskan untuk
hamba-Nya. Menyelisihinya merupakan ketololan, kesesatan, kefasikan, kejahilan,
dan penyimpangan dari petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam.”66
Adapun syubhat yang dilontarkan oleh Dr. Quraish di
atas, maka syubhat ini sangat rapuh. Hal itu ditinjau dari beberapa segi:
Saya berpikir dan membayangkan, seandainya Rasulullah
Shallallahu’alaihi wa sallam hidup di tengah-tengah kita, lalu beliau
memerintahkan kepada kita untuk memelihara jenggot dan kita pun mendengarnya
langsung dengan telinga kita, akankah ada seorang di antara kita yang berani
protes kepada Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dengan menampilkan syubhat di
atas?!! Tidak, itulah keyakinan penulis. Nah, kalau memang kita tidak berani di
hadapan beliau, apakah kemudian kita berani di hadapan hadits beliau?!!
Ucapan “kini karena nonmuslim sudah banyak yang
memelihara jenggot dan mencukur kumis” perlu diteliti kembali. Dari manakah
sensus yang menunjukkan data seperti ini?! Siapakah mereka (orang nonmuslim)?!
Benar, kita mengakui memang ada di antara mereka yang demikian, tetapi berapa
persenkah bila dibandingkan dengan mereka yang mencukur jenggot?!! Tidak ragu
lagi bagi orang yang mau adil dalam masalah ini bahwa mencukur jenggot adalah
ciri khas kaum kuffar, bahkan mereka melancarkan serangan kepada orang-orang
yang berjenggot.
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam membarengkan
perintah memelihara jenggot dengan perintah merapikan kumis, seandainya
perintah memelihara jenggot dimentahkan dengan alasan karena kini orang-orang
kafir memelihara jenggot sehingga kita harus menyelisihi mereka dan
mencukurnya, maka konsekuensinya kita juga harus memanjangkan kumis dan
membiarkannya karena kini orang-orang kafir juga merapikan kumis mereka. Apakah
kalian menyetujuinya?!!
Menyelisihi orang kafir bukanlah satu-satunya alasan
perintah memelihara jenggot, tetapi banyak alasan-alasan lainnya, seperti:
mengubah ciptaan Allah, menyerupai wanita, menyelisihi fithrah, pemborosan,
terang-terangan maksiat sebagaimana keterangan di atas. Anggaplah mencukur
jenggot tidak termasuk meniru orang kafir, tetapi apakah dapat lolos dari
kemungkaran-kemungkaran lainnya?!
Memelihara jenggot termasuk fithrah sebagaimana kata
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam. Dengan demikian, adanya sebagian orang kafir
memelihara jenggot bukanlah berarti kita tasyabbuh dengan mereka, tetapi
merekalah sebenarnya yang meniru kita. Hal ini hendaknya menyembul semangat
kita dalam berpegang teguh terhadap sunnah Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam
dan bangga dengan agama kita karena diakui keindahannya oleh musuh-musuh Islam.
Begitulah, adanya sebagian orang kafir yang memelihara
jenggot bukan berarti kita harus mencukur jenggot.67 Kalau demikian, berarti
jika ada sebagian orang kafir merapikan kumis maka kita harus memanjangkannya
untuk menyelisihi mereka, kalau mereka khitan maka kita tidak khitan untuk
menyelisihi mereka, kalau mereka memotong kuku mereka maka berarti kita
memanjangkannya untuk menyelisihi mereka, dan sebagainya dari perkara-perkara
fithrah. Demikian pula, kalau mereka masuk Islam (agama fithrah), berarti kita
keluar darinya untuk menyelishi mereka. Adakah orang berakal yang berpendapat
seperti ini?!!68
Jadi, maksud kita menyelisihi kaum Majusi dan orang
kafir itu bukan berarti dalam segala hal yang benar dan sesuai dengan fithrah
serta akhlak yang mulia. Akan tetapi, maksudnya adalah menyelisihi mereka dalam
hal-hal yang mereka menyimpang dari kebenaran dan keluar dari fithrah yang
bersih.69
Demikianlah beberapa kritikan ilmiyyah yang bisa kami
utarakan. Semoga Dr. Quraish Shihab dan orang-orang yang mengagumi pemikirannya
bisa mengoreksi ulang dan kembali kepada jalan yang benar. Janganlah melihat
siapa yang mengatakan, tetapi lihatlah apa yang diucapkan. Tidaklah kami
menampilkan kecuali argumen-argumen dari al-Qur’an, hadits, dan ucapan para
ulama yang mu’tabar.
Disusun oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar
as-Sidawi
1 Ringkasan shalawat seperti ini tidak dibenarkan.
Hendaknya shalawat ditulis secara sempurna, sebagaimana diingatkan oleh para
ulama. Lihat Ma’rifah ’Ulum Hadits Ibnu Shalah hlm. 195–196 , Ikhtishar ’Ulum
Hadits Ibnu Katsir 2/386–387, Fathul Mughits as-Sakhawi 2/182, Tadrib Rawi
as-Suyuthi 1/503, 507, Mu’jam al-Manahi Lafzhiyyah hlm. 351 oleh asy-Syaikh Dr.
Bakr ibn Abdillah Abu Zaid.
2 Lihat as-Sunnah Ibnu Abi Ashim (hlm.
226–227—Zhilalul Jannah al-Albani—) atau (1/344—tahqiq Dr. Basim al-Jawabirah—)
dan Silsilah Ahadits ash-Shahihah No. 3161 oleh asy-Syaikh al-Albani.
3 Silsilah Ahadits ash-Shahihah 1/11
4 Al-Asma’ wash Shifat hlm. 532–533 terbitan Dar Kutub
Ilmiyyah
5 Syarh Sunnah 3/239 dan 9/247
6 Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/118
7 Itsbat Shifatil ’Uluw hlm. 47
8 Al-’Uluw lil ’Aliyyin ’Azhim 1/249, tahqiq Abdullah
ibn Shalih al-Barrak
9 Fathul Bari 13/359
10 Al-Qawashim wal ’Awashim 1/379–380
11 Mukhtashar al-’Uluw hlm. 82
12 Muqaddimah Mukhtasar al-’Uluw hlm. 70–71 oleh
al-Albani
13 Republika, 18 Nopember 1994 hlm. 10. Dikutip dari
Kenaikan dan Kebangkitan Isa as dalam Bybel dan Al-Qur’an hlm. 14 oleh Hj.
Irene Handono. (Majalah al-Muslimun 398 Mei 2003 hlm. 22–23)
14 Demikian ditegaskan oleh as-Saffarini dalam Lawami’
Anwar 2/94–95 dan asy-Syaikh Syaraful Haq Azhim Abadi dalam Aunul Ma’bud
11/312.
15 Terlepas apakah beliau telah kembali meralat
ucapannya ini ataukah tidak, namun yang terpenting bagi kita adalah mengingatkan
umat dari kesalahan pendapat beliau yang termuat dalam al-Fatawa. Kami katakan
hal ini, sebab dalam risalahnya al-Bid’ah Asbabbuha wa Madharuha hlm. 30 beliau
menguatkan hadits-hadits tentang turunnya Isa. Diperkuat lagi oleh apa yang
diceritakan Dr. al-Buthi dalam kitabnya Kubra Yaqiniyyat al-Kauniyyah hlm. 269,
“Sebagian para ulama al-Azhar yang dekat dengan Syaikh Syaltut meriwayatkan
bahwa beliau di akhir kehidupannya, di saat beliau terkena penyakit stroke di
rumahnya, dia membakar semua kertas dan kitab yang berisi pendapat-pendapatnya
yang ganjil, khususnya masalah turunnya Isa ibn Maryam, dan beliau bersaksi di
hadapan mereka bahwa beliau telah bertaubat kepada Allah dari keyakinan
tersebut dan kembali memeluk aqidah mayoritas kaum muslimin Ahli Sunnah wal
Jama’ah.” (Dinukil dari muqaddimah asy-Syaikh Ali Hasan al-Halabi dalam
al-Fatawa al-Muhimmat karya Syaikh Mahmud Syaltut hlm. 13–15). Para ulama telah
membantah pendapat Syaikh Syaltut tentang pengingkarannya terhadap turunnya
Isa, seperti asy-Syaikh Humud at-Tuwaijiri dalam Ithaf Jama’ah 3/128–136,
asy-Syaikh al-Albani dalam Muqaddimah Qishshatul Masih, dll. Dan asy-Syaikh
al-Allamah Abdullah ibn Ali ibn Yabis memiliki sebuah kitab berjudul menarik
I’lamul Anam min Mukhalafah Syaikh Azhar Syaltut lil Islam (Pemberitahuan
kepada manusia tentang penyimpangan Syaikh Syaltut terhadap Islam).
16 Qishshatul Masih Dajjal wa Nuzul ’Isa hlm. 24
17Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 1/455 terbitan Dar al-Wathan
18 Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 1/454
19 Nushul Ummah fi Fahmi Hadits Iftiraq Ummah hlm.
46–47 karya asy-Syaikh Salim al-Hilali
20 Dia di Mana-Mana hlm. 135
21 Silsilah adh-Dha’ifah No. 1
22 HR Abu Dawud 162 dan dishahihkan al-Albani dalam
Irwa’ul Ghalil: 103
23 Asy-Syaikh al-Muhaddits al-Albani berkata
tentangnya, “Melalui bukunya yang berjudul as-Sunnah Nabawiyyah sangat tampak
bahwa dia berpemikiran Mu’tazilah yang tidak menghargai jerih payah ahli hadits
dan fiqih, sehingga mengambil dan melemparkan semaunya tanpa pijakan yang
kuat.” (Catatan kaki Shifat Shalat Nabi hlm. 37–38). Para ulama sunnah
ramai-ramai membantah buku hitam dan keji ini sebagai pembelaan kepada agama
dan hadits Nabi yang mulia, di antaranya yang paling bagus adalah asy-Syaikh
Shalih ibn Abdul Aziz alusy Syaikh, asy-Syaikh Asyraf ibn Abdul Maqshud,
asy-Syaikh Rabi’ ibn Hadi al-Madkhali, asy-Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini, dan
sebagainya banyak sekali.
24 Alangkah bagusnya ucapan asy-Syaikh Shalih ibn
Abdul Aziz alusy Syaikh (Menteri Agama Arab Saudi sekarang) tatkala berkata,
“Al-Ghazali mengangkat dirinya sebagai hakim yang mengadili. Tetapi antara
siapa? Antara ahli hadits dan ahli fiqih dalam memahami Sunnah. Hal ini
menunjukkan kedangkalan ilmunya dan kepicikan pandangannya. Sebab, mayoritas
ahli fiqih dahulu adalah ahli hadits dan mayoritas ahli hadits dahulu adalah
ahli fiqih. Contohnya al-Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, al-Auza’i, Laits,
ats-Tsauri, dll. Bukankah mereka adalah para pakar ilmu hadits?! Dan bukankah
mereka adalah ahli fiqih?!” (al-Mi’yar li ’Ilmi al-Ghazali hlm. 13)
25 Jilbab
Pakaian Wanita Muslimah hlm. 10 karya Dr. M. Quraish Shihab
26 Idem hlm.117
27 Al-Muwafaqat 1/231.
28 Lihat secara
luas masalah ini dalam Manhaj Taisir Mu’ashir Abdullah ibn Ibrahim ath-Thawil.
29 Jami’ Bayanil ’Ilmi wa Fadhlihi 2/91–92
30 Sunan Kubra al-Baihaqi 10/211
31 Adab Syar’iyyah 2/77
32 Hilyatul Auliya’ Abu Nu’aim 9/4
33 Al-Inshaf al-Mardawi 29/350
34 Maratibul Ijma’ hlm. 175 dan dinukil asy-Syathibi
dalam al-Muwafaqat 4/134
35Lihat masalah ini secara luas dan contoh-contohnya
dalam kitab Irsal Syuwath ’ala Man Tatabba’a Syawadh oleh Shalih ibn Ali
asy-Syamrani.
36 Lihat
al-Muwafaqat 4/222, tahqiq Masyhur ibn Hasan.
37 Jima’ul
’Ilmi hlm. 96, ar-Risalah hlm. 560.
38 Syarh al-Ushul as-Sittah hlm. 155–156
39 Lihat al-Itqan fi ’Ulum Qur’an 1/24 oleh al-Hafizh
as-Suyuthi.
40 Jilbab Pakaian Wanita Muslimah hlm. 166–167
41 Idem hlm. 174
42 Idem hlm. 107
43 Lihat Jilbab Pakaian Wanita Muslimah hlm. 109 dan
153.
44 Lihat kitab Jilbab Mar’ah Muslimah karya asy-Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani.
45 Tafsir Al-Mishbah Volume 3 hlm. 16.
46 Lihat pula at-Tibyan Lima Yahillu wa Yahrumu minal
Hayawan, Ahmad al-Aqfahisi hlm. 84.
47Al-Kaba’ir hlm. 267–269
48 Menakjubkanku ucapan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
tatkala menjelaskan kemiripan antara sifat hewan babi dengan kelompok Rafidhah.
Beliau berkata, “Sesungguhnya babi adalah hewan yang paling kotor dan jelek
tabiatnya. Salah satu sifatnya, dia meninggalkan makanan yang baik, tetapi
malah makan yang kotor, seorang yang baru saja bangkit dari buang air besar
langsung akan diserbunya. Perhatikanlah hal ini pada kaum Rafidhah, mereka
malah memusuhi makhluk yang terbaik, para kekasih Allah, namun mereka justru
loyal kepada kaum yahudi, nashara, dan musyrikin dan membantu mereka dalam
setiap waktu untuk memerangi kaum mukminin yang cinta kepada para sahabat.
Perhatikanlah, alangkah miripnya dua sifat ini.” (Lihat Miftah Dar Sa’adah
1/253.)
49 Seorang dokter hewan bernama Ahmad Jawwad mengupas
masalah ini secara terperinci dalam bukunya al-Khinzir Baina Mizani Syar’i wa
Mindharil ’Ilmi (Babi Antara Timbangan Syari’at dan Ilmu Kedokteran). Lihat
pula Tafsir al-Manar 2/98, 6/135–136, Fi Zhilalil Qur’an Sayyid Quthub 1/156,
Ruhuddin al-Islami Afif Thabarah hlm. 437–438, al-Ath’imah Shalih al-Fauzan
hlm. 216–218.
50 Hayatul Hayawan, ad-Damiri 1/424
51 Lihat penjelasan asy-Syaikh Abdul Aziz ibn Baz
dalam Fatawa Islamiyyah 3/394–395.
52 Lihat Hasyiyah Ibni ’Abidin 4/113, al-Fawakih
ad-Dawani 2/441, Kasyaful Qana’ 24/76.
53 Mawahibul Jalil 1/120, Ghayatul Muntaha 1/10.
54 Hasyiyah Ibni ’Abidin 5/228, al-Majmu’ 9/249,
al-Muhalla 1/221.
55 Lihat Ahkamul Badail al-Hayawaniyyah
wa Shina’iyyah fi Jismil Insan hlm.
72–75 oleh Dr. Fahd ibn Shalih al-’Uraid, terbitan Maktabah Shuma’i, KSA.
56 Republika, Jum’at 7 Mei 2004, hlm. 6.
57 HR al-Bukhari No. 1893 dan Muslim No. 159
58 HR al-Bukhari No. 2892
59 HR Muslim No. 260
60 HR Muslim No. 259
61 HR Muslim No. 259
62 Lihat Irsyadul Fuhul asy-Syukani 94–97, Mudzakkirah
Ushul Fiqh asy-Syinqithi hlm. 191–192, al-Ushul min ’Ilmil Ushul Ibnu Utsaimin
hlm. 24–25.
63 Maratibul Ijma’ hlm. 157
64 Al-Iqna’ fi Masa’il Ijma’ 2/299
65 Al-Ikhtiyarat al-’Ilmiyyah hlm. 10
66 Al-Ibda’ fi Madharil Ibtida’ hlm. 384
67 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menegaskan hal
ini dalam kitabnya Iqtidha’ Shirathil Mustaqim hlm. 177, “Apabila orang-orang
musyrik memelihara jenggot mereka, maka fithrah mereka dalam segi ini selamat,
karena sesuai dengan fithrah dan petunjuk para nabi … Bagaimanapun juga, tidak
boleh bagi kita untuk menolak apa yang disyari’atkan dan difithrahkan Allah
kepada kita hanya sekadar karena nonmuslim melakukannya.”
68 Lihat Fatawa Ibnu Utsaimin 2/908–909
69 Fatawa Lajnah Da’imah 5/143
Related articles :
Kritik Ilmiyyah Atas Pemikiran Dr. Quraish Shihab
(Bagian Pertama)
Tanggapan Terhadap M. Quraish Shihab Tentang
Masalah Riba