How an iPhone defeated the tanks in Turkey
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ
وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ
هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ
الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang
kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk
Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti
kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolong bagimu. QS. al-Baqarah (2) : 120
Oleh David Hearst*
(Pemimpin Redaksi Middle East Eye)
Untuk melaksanakan sebuah kudeta, para perwira senior
tentara Turki dari unit-unit komando, Angkatan Darat, 1st dan 4th Army
(pengelompokan/pembagian komando daerah militer di Turki), dan Angkatan Udara
melakukan usaha ekstrim untuk merebut kekuasaan.
Mereka menguasai dua Bandara dan menutup yang ketiga.
Mereka mencoba untuk memisahkan sisi Eropa Istanbul dari sisi Asia-nya. Mereka
mengebom parlemen di Ankara sembilan kali. Ada sebuah kontak senjata diluar
markas Badan Intelijen Turki (MIT). Mereka mengerahkan tank, helikopter
bersenjata dan jet-jet F-16.
Untuk mengalahkan kudeta ini, sang presiden Turki
menggunakan iPhone-nya. Masjid-masjid menggunakan loudspeaker mereka,
menyiarkan panggilan shalat sebelum subuh. Para pemimpin politik dari segala
latar belakang, beberapa merupakan lawan sang Presiden, secara jelas menyerukan
kudeta tersebut untuk dipatahkan. Para polisi menahan para tentara.
Orang-orang tak bersenjata mengambil kembali CNN Turk
dan berbagai jembatan di Bosporus, berani menghadapi tembakan senjata api demi
mengambil kembali demokrasi demi Negara mereka.
Ini jelas-jelas
sebuah kudeta militer. Akan tetapi kedutaan AS di Ankara dalam pesan daruratnya
kepada para Warga Negara AS menyebutnya sebuah “pemberontakan/kebangkitan
(uprising)”.
Geopolitical
Futures mengeluarkan sebuah analisa yang menyebut kudeta ini berhasil. BBC Arabic,
Sky News Arabic, El Arabiya TV, editor diplomatic ITN, jaringan berita AS
semuanya menurunkan komentar yang menyebut Erdogan telah habis, atau telah
kabur ke Jerman.
The Guardian
menurunkan sebuah artikel yang headline/judul berita pertamanya (kemudian
diubah) mengungkapkan semuanya yang tak mampu menahan kegembiraannya atas
kepergian seorang pria (erdogan -ed) yang ia anggap sebagai seorang islamis
otoriter: “Bagaimana Recep Tayyip Erdogan membakar ketegangan di Turki”.
Saat rakyat Turki
berperang demi masa depan mereka (turun ke jalan menentang kudeta -ed), ada
keheningan yang mengejutkan dari para pemimpin barat yang brand image-nya
adalah demokrasi. Konsulat Perancis telah tutup dua hari sebelumnya. Apakah
mereka mengetahui sesuatu (kudeta) yang tidak diketahui Turki?
Dalam pernyataan awalnya, Menteri Luar Negeri AS John
Kerry menggunakan setiap kata kecuali kata “d” (democracy) yang penting. Ia
berharap adanya “stabilitas dan kedamaian dan keberlanjutan” didalam Turki.
Tidak ada apapun mengenai dukungan pada seorang
presiden yang terpilih secara sah dan parlemen yang terpilih secara sah. Hanya disaat sudah jelas bahwa
kudeta ini gagal baru presiden Barack Obama dan (Menlu) Kerry mengeluarkan
sebuah penryataan yang secara jelas mendukung Erdogan.
Jika anda ingin
tahu mengapa Eropa dan AS merupakan busted flush (entitas menjanjikan yang
dikemudian hari gagal), mengapa mereka telah kehilangan semua otoritas moral,
bahkan semua otoritas, dan mengapa mereka tak lagi pembawa lilin perubahan
demokrasi, tak perlu jauh-jauh, lihat saja dari tiga jam penuh keheningan saat
mereka menunggu (hasil kudeta) untuk melihat kearah mana angin bertiup di
Istanbul dan Ankara.
Saudi menunggu 15
jam sebelum mengeluarkan sebuah pernyataan yang mendukung Erdogan. Emiratis
(Uni Emirat Arab) dan media yang mereka kendalikan menyebarkan berita bahwa
Erdogan telah kabur dari Turki.
Hal sebaliknya yang
terbukti benar. Erdogan menunjukkan keberanian dengan menaiki sebuah pesawat
dan mengarah menuju Istanbul, (padahal)
mengetahui bahwa
F16 (yang dikuasai tentara kudeta) ada di udara dan bahwa landasan di Bandara
Ataturk bisa saja telah ditutup.
Hanya tiga
Negara di dunia yang dengan jelas mendukung Erdogan sejak awal – Maroko, Qatar,
dan Sudan.
Yang secara khusus mengesankan adalah pernyataan
(sikap) dari para politisi Turki (oposisi) yang memiliki banyak alasan untuk
menginginkan Erdogan pergi, dan dimana mereka sendiri telah dikesampingkan
olehnya. Pemimpin partai (oposisi) terbesar di Turki, Kemal Kilicdaroglu dari Partai
Rakyat Republik (CHP) yang berhaluan kiri-tengah, segera menentang kudeta
tersebut dalam sejumlah tweet, menyebut bahwa Turki telah “banyak menderita”
dalam berbagai kudeta yang terjadi di masa lalu.
Dua pemimpin AKP dari sayap liberal, yang telah dikesampingkan
atau baru-baru ini dipecat oleh Erdogan mendukungnya. Mantan presiden Abdullah
Gul memberitahu CNN Turk bahwa “Turki bukanlah sebuah Negara Amerika Latin..
saya menyerukan pada mereka yang mencoba menggulingkan pemerintahan untuk
segera kembali ke barak mereka.”
Mantan perdana menteri Turki Ahmet Davutoglu
memberitahu Al Jazeera: “Turki adalah sebuah demokrasi… saya tak berpikir usaha
ini akan berhasil. Tak boleh ada usaha apapun untuk mengacaukan Turki. Kita
menghadapi banyak krisis di Suriah dan kawasan lainnya, ini waktunya untuk
memiliki solidaritas dengan rakyat Turki… di saat ini rakyat dari berbagai kota
ada di jalanan, di alun-alun (untuk memprotes) upaya kudeta ini.”
Semua orang Turki ini bisa melihat apa yang tak dapat
dilihat konsensus Barat mengenai Erdogan. Bahwa prosesnya (jalan demokrasi)
lebih penting dari sang pria (presiden). Bangsa Turki, percaya atau tidak, akan
berjuang dan mati demi hak mereka untuk memilih presiden mereka, meskipun
mayoritas dengan jelas tidak menginginkan beliau memiliki kekuasaan
kepresidenan yang berlebihan.
Reaksi bangsa Turki tadi malam adalah sebuah
kedewasaan demokrasi. Reaksi barat adalah korupsi demokrasi, secara sementara
ternodai oleh dukungan politik dan militernya terhadap autokrasi (kudeta).
Titik balik pada drama moralitas tadi malam terjadi
saat rekaman Erdogan yang berbicara melalui iPhone-nya disiarkan dan disebarkan
secara cepat lewat media sosial.
Sampai saat itu (sebelum Erdogan bicara via iPhone),
terlihat bahwa kudeta ini akan berhasil. Beliau menyerukan pada rakyat untuk
keluar menuju jalanan dan tetap dijalanan tersebut. Dan mereka mematuhi seruan
tersebut terkadang dengan harga nyawa mereka sendiri. Sebuah iPhone mengalahkan
banyak tank.
Turki membuktikan bahwa mereka bukanlah Mesir. Jika
ada pelajaran pada hari-hari gelap bagi demokrasi di Timur Tengah, itu (akan
tertuju) kepada rakyat yang hidup di sisi lain laut Mediterrania dan yang
negaranya mengalami pendarahan sebagai hasil autokrasi militer (kudeta Mursi)
yang pernah mereka rayakan sebagai sebuah revolusi kedua (revolusi pertama
penggulingan Hosni Mubarak -ed).
Bukan untuk pertama kalinya sejak 2011 (Arab Spring),
para diktator diseluruh kawasan pasti bergidik hari ini. Kekuatan demokratis
yang mampu melucuti tentara, juga mampu melucuti mereka. [portalpiyungan.com]
______________
*David Hearst (foto atas) adalah Pemimpirj Redaksi
Middle East Eye. Dia meninggalkan The Guardian saat menjabat sebagai kepala
editor berita luar negeri. Dalam rentang karir jurnalis 29 tahun, ia pernah di
Associate Foreign Editor, European Editor, European Correspondent, Ireland
Correspondent.
http://www.portalpiyungan.com/2016/07/dibalik-kudeta-bagaimana-sebuah-iphone.html
http://www.portalpiyungan.com/2016/07/dibalik-kudeta-bagaimana-sebuah-iphone.html
Ketika Media-Media Barat ‘Bersepakat’ Dalam Menanggapi
Gagalnya Kudeta Di Turki
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
berjalan melalui kerumunan rakyat Turki di jalan-jalan Istanbul, yang
bergembira atas kegagalan upaya kudeta (16/7/2016). (Reuters / aljazeera.net)
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
berjalan melalui kerumunan rakyat Turki di jalan-jalan Istanbul, yang
bergembira atas kegagalan upaya kudeta (16/7/2016). (Reuters / aljazeera.net)
dakwatuna.com – Ankara. Dua hari terakhir
ini, media-media di Amerika dan Inggris sedang ramai menyerang Presiden Turki,
Recep Tayyip Erdogan, setelah berhasil menggagalkan upaya kudeta, Sabtu
(16/07/2016) yang lalu.
Hal yang mencolok adalah mengapa
media-media tersebut bersepakat pandangannya seakan dipublikasikan oleh satu
pimpinan redaksi. Pandangan itu adalah bahwa Erdogan telah mengeksploitasi
kemenangannya melawan kudeta untuk memperkuat kediktatoran dan membungkam
lawan-lawan politiknya.
Bahkan media-media yang biasanya terkenal
sangat teliti dalam menganalisis sebuah peristiwa, kini tidak ada bedanya
dengan media-media lain saat mengomentari peristiwa Turki terakhir. Media
Inggris, The Guardian misalnya, menyebut bahwa permasalahan Turki terakhir ini
diperkirakan terus berkembang dan sangat mungkin akan menimbulkan masalah bagi
NATO. Padahal The Guardian juga mengakui Turki adalah aset yang sangat penting
bagi NATO.
The Guardian menyebutkan bahwa pelajaran
yang dapat diambil dari kegagalan kudeta ini adalah, “Turki membutuhkan
pemimpin yang dapat menyatukan semua faksi yang berbeda. Atau setidaknya
pemimpin yang mempunyai itikad baik untuk mewujudkan hal tersebut.”
Sedangkan The Sunday Times, menulis pada
headlinenya hari Ahad (17/07/2016), bahwa saat ini Erdogan mempunyai kesempatan
yang sangat luas untuk melakukan pelanggaran HAM, dan mengekang kebebasan
berekspresi. Hal itu akan semakin menjauhkan Turki dari obsesinya untuk menjadi
anggota Uni Eropa. Walaupun demikian, negara-negara NATO pun pasti hanya akan
diam melihat hal ini, meski pasukan mereka juga sudah berada di wilayah Turki.
Hal yang sama juga disebutkan surat kabar
lainnya. Sunday Telegraph menyebut Erdogan sebagai orang yang pendendam,
pemaksa, emosional, dan keras kepala. Menurut Telegraph, sifat-sifat buruk itu
sudah ada sebelum kudeta. Adapun setelah kudeta, maka sifat terjahat Erdogan
benar-benar akan lepas dari kendalinya. Setidaknya hal itu terlihat dari reaksi
Erdogan menyusul keberhasilannya menggagalkan kudeta.
Surat kabar The Independent menyebut
bahwa Erdogan akan menggunakan kekerasan dalam menguatkan kekuasaannya setelah
berhasil menggagalkan kudeta. Turki akan menjadi negara yang meniadakan HAM,
kebebasan, dan menjadikan lembaga kehakiman sebagai alat memperkuat posisi
partai penguasa.
Menurut The Independent, bukanlah sebuah
kebetulan ketika para militer pengkudeta menyebutkan bahwa target aksi mereka
adalah mengembalikan konstitusi lama, mengembalikan kehidupan demokrasi, HAM,
kebebasan, dan supremasi hukum.
Hal yang sama juga ditemui pada
media-media di Amerika. Sama seperti media Inggris, menampakkan kekhawatirannya
rezim Erdogan akan berubah menjadi pemerintahan otoriter.
Sebagaimana ditulis New York Times pada
headlinenya hari Ahad (17/7/2016), bahwa tidak diragukan lagi, Presiden Erdogan
pasti menggebu-gebu ingin membalas dendam, lebih berambisi dengan kekuasaannya,
lebih dari sebelumnya. Erdogan akan memanfaatkan keberhasilannya menggagalkan
kudeta bukan hanya untuk menghukum para militer pemberontak, tapi juga untuk
mematikan lawan-lawan politiknya.”
Sampai majalah sekaliber Foreign Policy
pun yang biasanya diisi oleh para pengamat dan politisi besar Amerika,
menuliskan, “Jika Presiden Turki menganggap keberadaannya dalam pemerintahan
bisa menjadi alat untuk lebih memperkuat kekuasaannya atas negara, maka tentu
dia akan segera melaksanakan rencana lamanya mengamandemen konstitusi untuk
mengubah sistem parlementer kepada sistem presidensial. Itu berarti
kekuasaannya akan lebih besar daripada legislatif maupun perdana menteri.”
Sementara itu, majalah The National
Interest menyebut, bukan hal yang aneh jika Erdogan tidak akan membuang
kesempatan untuk menyerang jamaah pimpinan tokoh dakwah Islam, yang juga mantan
sekutunya, Fethullah Gulen.
Seorang kolumnis di The Washington Post
menulis, “Erdogan telah menyeret kehidupan berdemokrasi di Turki ke pinggir
jurang. Lalu para perwira yang melakukan kudeta benar-benar telah mendorongnya
ke dalam jurang itu.” Akhir tulisannya menyebutkan, untuk menyelamatkannya,
Turki membutuhkan pemimpin yang saat tidak belum bisa dijumpai di Turki.
Hal yang penting diperhatikan adalah,
media-media Barat sama sekal tidak menyebutkan bahwa sebab gagalnya upaya
kudeta ini bukan hanya Erdogan dan rezimnya saja, tapi rakyat yang turun ke
jalan dalam jumlah yang sangat besar untuk mempertahankan demokrasi. Kehidupan
demokrasi adalah sesuatu yang sebelumnya telah rakyat rebut dari cengkeraman
militer yang sebelumnya telah berkali-kali melakukan kudeta.
Menariknya, media-media Barat, khususnya
Amerika dan Inggris, tidak bersorak atas kemenangan demokrasi di Turki.
Media-media itu malah sibuk membentuk opini bahwa Erdogan adalah pemimpin
oportunis, yang akan menggunakan kesempatan ini (gagalnya kudeta) untuk
melakukan penindasan dan mengokohkan tirani. (msa/wili/dakwatuna/hdn)
Sumber: Al Jazeera
http://www.dakwatuna.com/2016/07/18/81588/ketika-media-media-barat-bersepakat-dalam-menanggapi-gagalnya-kudeta-di-turki/#axzz4Ep6LPcTC
Syaikh Al-Arifi: Masjid Berperan
Besar dalam Gagalkan Kudeta
http://www.dakwatuna.com/2016/07/16/81529/syaikh-al-arifi-masjid-berperan-besar-gagalkan-kudeta/#ixzz4ElxwdwWN
http://www.dakwatuna.com/2016/07/16/81529/syaikh-al-arifi-masjid-berperan-besar-gagalkan-kudeta/#ixzz4ElxwdwWN
Aneh, AS Marah Jika
Turki Menghukum Berat Pelaku Kudeta
Bias Media Barat pada Turki:
Jika Kudeta Berhasil, Erdogan Bakal Disebut Diktator yang Digulingkan
(Posted on July 21, 2016)
Digertak AS dan Uni Eropa, Balasan
Erdogan Bikin AS-Uni Eropa Mati Gaya
Diancam AS dan Eropa,
Erdogan Tetap Tegas Hukum Pemberontak
[Dibalik 3 kudeta] aroma iblis mu
makin busuk !!!
Erdogan pada Uni Eropa: Jangan
Ikut Campur Urusan Turki!(Posted on July 21, 2016)
Jawaban Telak PM Turki Pada AS:
Ketika 9/11 Kalian Penjarakan Ribuan dan Minta Ekstradisi Tanpa Bukti
Kudeta
Turki dalam bayang-bayang ketakutan Barat
Kaum Pembenci Islam
"Meratapi" Kegagalan Kudeta Turki
[Melawan Fitnah Media Barat] FAKTA:
Pelaku Kudeta Adalah Militer Didukung Kaum Sekular Liberal, Bukan Kelompok
Islam
Pimpinan Hamas: Sekiranya Kudeta di
Turki Berhasil Maka yang Paling Dirugikan Palestina
Setelah Gagal "Mengkudeta"
Erdogan, Sekarang AS Ngancam Keluarkan Turki dari NATO
Analis Keamanan Independen: Kenapa Kudeta di Turki tak
Punya Kesempatan
Apakah Amerika Terlibat Kudeta ?
Basi, Uni Eropa Baru Kecam Kudeta Turki
Setelah Tiga Hari
Para Jurnalis Sampaikan Indikasi Keterlibatan AS Dalam
Kudeta Turki
Reaksi Keras Umat Islam, KOMPAS Akhirnya Hapus Berita
Sinis tentang Erdogan. 6 Sabtu, 23 Juli 2016.