Para
sejarawan masih berdebat apakah Presiden John F. Kennedy akan menarik pasukan
AS dari Vietnam seandainya ia masih hidup untuk memenangkan kembali pemilu
tahun 1964. Sejak Presiden Barack Obama mengumumkan niatnya baru-baru ini untuk
tetap mempertahankan 8.400 pasukan AS di Afghanistan hingga akhir masa
jabatannya, satu-satunya perdebatan adalah mengenai soal mengapa ia tidak mau
menarik mundur pasukannya, sebaliknya memilih kebijakan tanggung dengan
mewariskan sebuah perang yang tidak bisa dikalahkan (perang terpanjang dalam
sejarah Amerika) kepada penggantinya.
Campur Tangan 3,5 Dekade AS di
Afghanistan
Secara resmi perang AS di Afghanistan sudah
akan melewati tahun ke-15 dalam beberapa bulan ke depan. Tetapi sebagaimana
perang Vietnam yang pada mulanya AS membantu pasukan kolonial Perancis pada
akhir tahun 1940an, faktanya Afghanistan telah menjadi target perang jangka
panjang Washington selama periode lebih dari tiga setengah dekade.
Tanggal 3 Juli 1979, pertama kali Presiden
Carter memberikan otorisasi bagi keputusan rahasia untuk membantu pasukan
oposisi melawan rezim komunis di Kabul. Seorang pejabat senior Pentagon
mendukung kebijakan tersebut dengan tujuan untuk menarik raksasa Soviet ke
dalam jebakan lumpur “perang Vietnam” (Akibat sindrom, Washington menyebut
“perang Vietnam” maksudnya adalah perang Afghanistan).
Ketika Moskow terpancing dan mengirim puluhan
ribu pasukan pada bulan Desember untuk membantu rezim Kabul melawan
pemberontakan/perlawanan mujahidin yang terus berkembang, penasehat keamanan
nasional Amerika Serikat, Zbigniew Brzezinski, dengan girangnya menulis pesan
kepada Presiden Carter, “Sekarang kita punya peluang untuk menghadiahi Uni
Soviet dengan sindrom Perang Vietnam.”
Jebakan Menjadi Bumerang
Ternyata menjadi bumerang, atau sekedar ironi
sejarah, bahwa Afghanistan bahkan kini telah berubah menjadi Perang Vietnam
edisi ke-2 bagi Amerika. Di masanya, Uni Soviet akhirnya menyadari bahwa
negaranya harus menarik diri setelah banyak mengalami kerugian berdarah-darah
selama sepuluh tahun. Sementara pemerintahan Obama memilih tetap bertahan
hingga batas waktu yang tak ditentukan. Di bawah Kesepakatan Keamanan
Bilateral, Presiden Obama menandatangani perjanjian dengan bonekanya di Kabul
pada tahun 2014, isinya untuk mempertahankan pasukan AS di Afghanistan “hingga
akhir tahun 2024 dan setelahnya”.
Dalam sebuah pidatonya tujuh tahun silam,
secara eksplisit Presiden Obama menolak analogi kebijakannya di Afghanistan
dengan perang Vietnam. Namun sebagaimana kasus Vietnam, realita bahwa konflik
AS yang berkepanjangan di Afghanistan telah menjadi sebuah jebakan yang tak
berkesudahan, ditandai dengan berbagai kebohongan pejabat pemerintah, kejahatan
dan kekejaman terhadap rakyat sipil, korupsi yang merajalela, dan pasukan
pemerintah (lokal) yang hanya mampu bertahan jika ada bantuan serangan udara
dari Amerika. Seperti di Vietnam, Afghanistan juga menjadi arena yang memakan
banyak korban manusia. Tercatat lebih dari 300.000 orang telah menjadi korban
tewas hingga awal tahun 2015, sementara US$ 2 trilyun telah tersedot untuk
membiayai perang tersebut.
Logika Meja Kasino ala Obama
Bahkan perang Afghanistan lebih parah, karena
Afghanistan adalah sebuah konflik di mana para stake-holder di Washington tidak
ada yang bisa memberikan alasan logis & strategis keterlibatan negaranya.
Paling banter adalah pernyataan Obama pada tanggal 6 Juli saat ia mengatakan,
“Saya sangat yakin bahwa ini adalah untuk kepentingan keamanan nasional kita –
terutama setelah kita mengorbankan banyak darah dan sumber daya di Afghanistan
selama bertahun-tahun – bahwa kita memberi peluang yang sangat baik kepada
partner-Afghan kita untuk sukses.” Logika ini persis dengan cara berfikir yang
dipakai para penjudi yang membuat mereka akan terus datang dan datang kembali ke
kasino Sheldon Adelson selama bertahun-tahun sehingga akan semakin banyak uang
mereka yang hilang.
Ratusan Ribu Pasukan dan
Senjata Canggih yang Tak Mengubah Situasi
Di Vietnam, AS tidak mampu memenangkan
peperangan dengan lebih dari setengah juta pasukan. Di Afghanistan, AS tidak
bisa mengalahkan Taliban meski telah mengerahkan 100.000 pasukan plus berbagai
senjata & teknologi perang tercanggih. Dan kini, Obama tidak betul-betul
yakin akan menang dengan hanya 8.400 pasukan, terutama di tengah situasi Taliban
yang terus mengalami kemajuan. “Situasi keamanan masih belum menentu,” katanya
mengakui. Bahkan ketika Taliban semakin menguat, pasukan sekutu lokal Afghan
masih belum cukup kuat seperti yang diharapkan. Taliban masih menjadi ancaman,
dan semakin banyak wilayah yang mereka kuasai.
Meski demikian, para perwira ambisius di
kalangan militer dan pejabat-pejabat sipil “hawkish” yang ada di belakang meja
mengklaim sangat yakin bahwa kemenangan bisa tercapai dengan sedikit
meningkatkan eskalasi (pasukan). Di antaranya adalah para pendukung perang di
era-Vietnam & perang Iraq, seperti pensiunan Jenderal David Petraeus dan
Michael O’Hanlon dari Brookings. Kedua figur ini menyalahkan pemerintah Amerika
karena dianggap telah membuat pasukan AS dan koalisinya di Afghanistan tidak
mampu berbuat maksimal. Untuk bisa memenangkan perang atas Taliban, menurut
mereka, “Kita harus mengerahkan kekuatan & serangan udara untuk mendukung
partner-Afghan (sekutu lokal) kita.”
Bombardemen Picu Resistensi
Rakyat
Di Indocina (Vietnam), bom-bom yang dijatuhkan
Amerika tiga kali lebih banyak daripada bom yang digunakan saat PD II, dan
ternyata semakin membuat gigih perlawanan. Berbagai studi terkini
mengkonfirmasi bahwa serangan membabi-buta dengan bombardir tidak efektif dan
akan membuat rakyat sipil berpihak pada Viet Cong, persis seperti bom-bom
Amerika di Afghanistan termasuk drone dan berbagai operasi
penyergapan/penggerebegan di malam hari justru malah memperkuat dukungan rakyat
kepada Taliban.
Presiden Richard Nixon saat itu sudah
mengetahui, bahwa meskipun di setiap kesempatan publik ia terus bersikeras
bombardir Amerika “sangat, sangat efektif”. Tetapi dalam sebuah catatan yang ia
tulis kepada penasehatnya di bidang keamanan nasional saat itu, Henry Kissinger,
Presiden Nixon dengan putus asa menyatakan, “Sudah sepuluh tahun kita berkuasa
penuh atas wilayah udara di Laos dan Vietnam, namun hasilnya nihil. Pasti ada
yang salah dengan strategi kita dan juga Angkatan Udara.”
Pemboman masif tidak mampu membuat pasukan
Vietnam Selatan percaya kepada pemimpin-pemimpin mereka yang korup. Sebagaimana
di Vietnam yang di kemudian hari dianggap sebagai “perang yang kotor”, para
pejabat boneka Afghan telah mengantongi milyaran dolar Amerika untuk proyek
infrastruktur dan pembangunan gedung-gedung pemerintah. Mereka juga mendorong
penyelundupan opium dan heroin. Para pejabat Afghanistan memperkaya diri dan
keluarga-keluarga mereka dengan memiliki rekening-rekening gendut dan vila-vila
mewah di Dubai.
Kanker Tentara “Hantu” di Tubuh
Militer Afghan
Di kalangan militer Afghanistan kebanyakan
terdiri dari tentara-tentara dan perwira “hantu” yang keberadaannya fiktif
namun tetap menerima gaji sehingga hanya akan memperkaya pemimpinnya. Di
sejumlah propinsi, hampir setengah dari jumlah polisi yang ada termasuk para
pekerja sipil adalah “fiktif” alias “hantu”. Sementara tentara-tentara riil
“non-hantu” sibuk menjual puluhan ribu senjata-senjata buatan Amerika milik
mereka kepada Taliban, di saat anggota-anggota militer lainnya menghambur-hamburkan
tembakan ke arah target “kosong” hanya untuk mendapatkan selongsongan peluru
yang berbahan tembaga. Selongsongan peluru itu kemudian dijual di black market.
Sebaliknya, pejuang-pejuang Taliban yang
terkenal ulet dan memiliki semangat juang tinggi sulit ditundukkan terutama
karena mereka punya basis dan dukungan di wilayah Pakistan. Di wilayah
tetangganya ini pula para pemimpin mereka diduga berada. Salah satu pelajaran
penting bahwa hampir tidak mungkin untuk bisa mengalahkan gerakan atau pasukan
pemberontak yang memiliki basis pendukung yang aman di negara tetangganya.
Proses Negosiasi yang Mati
Di Vietnam, paling tidak para pemimpin AS
punya keinginan bernegosiasi dengan musuh untuk mengakhiri konflik. Di
Afghanistan tidak ada negosiasi, dan serangan drone Amerika yang menewaskan
pemimpin Taliban Mullah Akhtar Muhammad Manshur pada bulan Mei yang lalu
menjadikan Taliban semakin sulit menerima tawaran “negosiasi” dari Washington.
Pakistan menyalahkan pemerintah Afghan
bentukan Amerika atas kegagalan proses perdamaian tersebut. Seorang juru bicara
Islamabad menyebut “tidak adanya suatu konsensus nasional untuk mendukung
proses rekonsiliasi,” termasuk juga “situasi keamanan yang semakin teruk,
korupsi merajalela, dan berbagai masalah administrasi lainnya” telah menjadi
hambatan sehingga proses perdamaian gagal.
Taliban dan faksi lain – sekutu
seperjuangannya – juga menyalahkan pemerintah Kabul. Pada bulan Juni, Gulbuddin
Hekmatyar, pemimpin Hezbi Islamiy, menuntut pemerintah Kabul memulangkan seluruh
pasukan asing ke negara masing-masing, dan kemudian membubarkan diri.
Ironisnya, Hekmatyar di era perang melawan Uni Soviet merupakan sekutu utama
Amerika dan juga Pakistan. Sejumlah pihak tidak bisa melupakan reputasi
Hekmatyar yang pernah terlibat konflik dengan sesama mujahidin pasca mundurnya
Soviet dari Kabul. Bahkan media Barat menudingnya terlibat
perdagangan/penyelundupan narkoba (opium).
Pertimbangan Politis Jangka
Pendek
Jadi mengapa Obama tidak secara tegas
memutuskan keluar dari Afghanistan? Padahal itu bisa dilakukan di Vietnam,
bahkan Washington hari ini bisa menjadikannya sebagai sekutu. Namun sebagaimana
kebanyakan para kepala eksekutif hari ini, sang presiden nampaknya lebih
mementingkan dampak jangka pendeknya daripada efek jangka panjang nantinya
setelah ia tidak lagi menjadi presiden.
Dan lagi, kasus Vietnam lebih instruktif.
Presiden Lyndon Johnson mau mendengar banyak nasehat/peringatan bahwa perang
Vietnam tidak akan bisa dimenangkan, di samping juga ia ingat bagaimana para
Republikan mengkritik habis pemerintahan Truman pasca “jatuhnya” Cina. Lyndon
B. Johnson mengatakan kepada duta besar AS untuk Vietnam saat itu, Henry Cabot
Lodge, pada tahun 1963 akhir, “Saya tidak akan kehilangan Vietnam. Saya tidak
akan menjadi presiden yang menyaksikan Asia Tenggara seperti Cina.” Persis
perkataan Presiden Nixon yang membangun karir di Kongres dengan jargon
anti-komunis, yang mengatakan bahwa ia tidak akan menjadi presiden Amerika
pertama yang kalah perang.
Presiden Obama sangat tahu bahwa “mesin
penyerang” Partai Republik akan terus mengejarnya dan juga terhadap orang-orang
Partai Demokrat lainnya jika sampai Amerika “kalah” di Afghanistan dan Iraq,
meskipun di kalangan publik sendiri masih terdapat pertentangan mengenahi dua
perang tersebut. Maka hasil akhir kalkulasi keputusannya adalah tetap
berperang, dengan biaya minimal meskipun tidak ada harapan untuk menang. Inilah
keputusan yang bersifat politis, yang diambil karena kekhawatiran akan
konskuensi politis jika mau menerima realita dan mengakui kekalahan, maka
sindrom “perang Vietnam” akan terulang kembali, bahkan lebih akut.
Reporter : Yasin Muslim
Sumber : Consortium News
http://www.kiblat.net/2016/07/27/obama-terjebak-perang-vietnam-edisi-2-di-afghanistan/
Reporter : Yasin Muslim
Sumber : Consortium News
http://www.kiblat.net/2016/07/27/obama-terjebak-perang-vietnam-edisi-2-di-afghanistan/
Obama,
Presiden “Cinta Damai” yang Kini Doyan Perang
Seorang jurnalis, John
Isaacs, baru-baru ini melontarkan
kritikan kepada Barack Husein Obama, Presiden Amerika Serikat. Kritikan yang
dimuat di situs TheHill.com ini mengungkapkan perubahan Obama, yang sebelum
menjadi Presiden adalah sosok yang menentang perang, kini justru menjadi sosok
yang doyan perang.
Isaacs memulai artikelnya dengan
menyebut Barack Obama mengalahkan Hillary Clinton pada nominasi Partai Demokrat
untuk presiden pada tahun 2008 dengan mencitrakan diri sebagai calon presiden
yang cinta perdamaian. Namun, Isaacs menyebut dalam dua setengah tahun
menjelang akhir masa jabatannya, Obama berpotensi diberi julukan “Presiden yang
doyan perang.”
Isaacs melihat mundur ke belakang
pada tahun 2002, ketika masih menjadi Senator, Obama mengkritik perang Irak
yang diluncurkan oleh Presiden George W. Bush sebagai “perang yang bodoh.”
Lalu, saat Obama menjabat sebagai
Presiden, ia memenuhi janjinya ketika ia menolak untuk meneruskan perjanjian
Bush dengan Irak dengan menarik semua pasukan AS pada tahun 2011, setelah
perang yang diklaim menewaskan 4.500 nyawa warga negara Amerika dan 500.000
jiwa warga negara Irak, menurut sebuah studi.
Kemudian datang ancaman dari ISIS
di Timur Tengah, dan tiba-tiba AS kembali terlibat perang di Irak dan ragu-ragu
untuk melakukan intervensi dalam situasi yang sangat rumit di Suriah setelah
terjebak untuk melakukannya selama bertahun-tahun.
Keputusan untuk mengirimkan 275
tentara untuk melindungi Kedutaan Besar Amerika di Baghdad pada Juni 2014 telah
dimulai dengan serangan udara di Suriah dan kini hampir berjumlah 3.000 tentara
saat ini. Tujuan baru AS sekarang adalah untuk menurunkan kekuatan dan akhirnya
menghancurkan Islamic State. Perang, yang diumumkan, bisa jadi berlangsung
selama 36 bulan.
Seorang ahli hubungan
internasional, Andrew Bacevich, mengatakan bahwa Suriah adalah negara Islam
ke-14 yang telah diinvasi, diduduki atau dibom oleh pasukan AS sejak tahun
1980. Bacevich menambahkan, “Dengan sengaja menabur ketidakstabilan, Amerika
Serikat telah bermain berhadapan secara langsung dengan kekuatan Islam radikal
anti-Barat.”
Sukses lainnya yang dilakukan
sang presiden untuk membebaskan AS dari perang, kini juga sedang ia rusak
perlahan. Presiden mengumumkan pada bulan Mei bahwa semua pasukan tempur AS
dari Afghanistan akan ditarik pada akhir 2014 dan 9.800 tentara yang tersisa
tidak akan memiliki peran tempur.
Pada saat itu, Obama menyatakan
“Misi tempur Amerika akan berakhir pada akhir tahun ini (2014). Mulai tahun
depan, Afghanistan akan sepenuhnya bertanggung jawab untuk mengamankan negara
mereka. Personil Amerika akan berada dalam peran penasehat. Kita tidak akan
lagi melakukan patroli di kota Afghanistan atau desa, gunung atau lembah. Itu
adalah tugas bagi rakyat Afghanistan.”
Namun, Isaacs menyebutkan, pada
tanggal 21 November, The New York Times mengungkapkan rahasia pada perubahan
rencana AS di Afghanistan, yaitu sisa jet, pembom dan pesawat boleh digunakan
untuk mendukung pasukan Afghanistan pada misi tempur melawan Taliban. Sebuah
misi yang telah berlangsung 13 tahun, akan berlanjut selama setidaknya satu tahun
lagi, atau lebih.
Isaacs melanjutkan, bahwa Amerika
Serikat telah gagal belajar dari sejarah yang menyedihkan atas intervensi
militer mereka pada konflik yang terletak jauh di luar negeri mereka,
menghabiskan miliaran dolar untuk melatih dan menempatkan tentara di negara
asing di mana hanya sedikit orang Amerika yang memahami budaya atau bahasa
negeri asing tersebut.
Kesalahan Pemerintah AS, menurut
Isaacs, adalah lebih fokus pada mempertahankan kontrol yang ketat atas wilayah
kekuasaan dan kurang perhatian pada pembangunan kemajemukan masyarakat yang
mungkin dapat menjadi kekuatan pendukung bagi negara tersebut ketika AS telah
pergi. Amerika Serikat telah mengalami kekalahan mengerikan di Vietnam; kalah
dengan buruk di Irak; dan juga berisiko mengalami kekalahan berikutnya.
Dalam penutup tulisannya, Isaac
menyebutkan bahwa pada bulan Mei, Obama menyatakan, “Saya pikir orang Amerika
telah belajar bahwa lebih sulit untuk mengakhiri perang daripada memulainya.”
Ya, kata Isaacs, “Atas hal itu, setidaknya, kali ini Obama benar.”
Penulis:
Multazim Jamil
Sumber:
thehill.com
9.800 Tentara AS Masih di
Afghanistan, Taliban: Perang Berlanjut
Kandidat Presiden AS: Tak Ada Alasan Bagi Amerika
Terlibat Perang di Afghanistan