Banyak dari kelompok/hizb yang
menisbatkan dirinya kepada Islam bahkan tidak sedikit dari mereka yang mengaku
bagian dari Sunniyah atau ahlus sunnah, namun hal itu memerlukan lebih dari
sekedar penisbatan saja. Maka bagi mereka yang mengaku Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
haruslah memiliki metode/manhaj para salaf itu sendiri yang tidak lain mereka
itu adalah induk dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Maka tak ada harganya
bila seseorang dengan keras mengaku Ahlu Sunnah (Sunniyah) namun tidak diiringi
oleh pemahaman para salaf. SUNGGUH TIDAK BERHARGA!!
Betapa pun pandainya seeokor
burung Beo berbicara
Sungguh itu semua tidak berarti
apa-apa
Saat ini ada sebagian orang dari
hizb-hizb tersebut yang berani menghujat seorang ulama bukan bertujuan untuk
mengkoreksi kesalahannya, namun hanya karena rasa DENGKI dan DENDAM pada
hatinya ketika melihat dakwah sang Imam menyebar luas dan disambut dengan baik
oleh umat Islam yang masih memiliki akal sehat, memiliki hati yang bersih dan
masih diberikan Hidayah oleh Allah –azza wajala-, serta dakwah sang Imam
menjelaskan kesesatan para Ruwaibidlah yang berlagak Alim dengan Al Basyirah
dan Al Bayan hingga mereka tak mampu berhujjah lagi. Hingga kini timbullah rasa
dengki dan dendam yang membabi buta sehingga sirnalah akal sehat mereka itu
dimakan egonya lantas menghalalkan segala cara untuk membalas dendam, namun
bagaimanapun juga hujjah kebathilan itu lemah seperti sarang laba-laba. Hal ini
tersirat dalam firman-Nya:?
“Sebenarnya Kami melontarkan yang
haq kepada yang batil lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta
merta yang batil itu lenyap.” [Al-Anbiya’ : 18].
Salah satu Syubhat mereka anggap
sebagai hujjah (intinya) adalah “Bahwa kakak sang Imam menulis buku bantahan
kepada beliau dengan judul As Sawaiqul Illahiyyah fir Ar Raddi Ala Al
Wahhabiyah (dalam judul India) tapi judul yang lebih tepat adalah “Fashlul
Khitab fii Ar Raddi Ala Muhammad bin Abdul Wahhab” sebab gelar wahhabiyyah saat
itu belum dinisbatkan kepada beliau oleh kaum Zindiq yang membenci dakwah
beliau (terbukti bukan!? bagaimana mereka sangat menaruh dendam hingga
mengganti judul kitab tersebut).
Jawaban dari saya, “Memang betul
Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab menulis bantahan kepadanya, namun hal ini
tidak membuktikan apa-apa, dan beliau (Syaikh Sulaiman) telah ruju’ kembali
kepada manhaj salaf sejalan dengan sang Imam (Syaikh Muhammad)”.
Mengenai ruju’nya sang kakak dan
taubatnya menuju manhaj salaf ini disebutkan oleh Ibnu Ghannam (Tarikh Nejed
1/143), Ibnu Bisyr (Unwan Majd hal. 25), Syaikh Mas’ud An Nadawi (Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum 48-50), Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
(Ta’liq Syaikh Muhammadbin Abdul Wahhab hal. 95), Syaikh Ahmad bin Hajar Alu
Abu Thami (Syaikh Muhammadbin Abdul Wahhab hal. 30), Syaikh Muhammad bin Sa’ad
Asy Syuwa’ir (Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab Syaikh muftara ‘alaihi lihat
majalah Buhuts Islamiyah edisi 60/1421H), Syaikh Nashir Abdul Karim Al Aql
(Islamiyah la Wahhabiyah hal. 183), Syaikh Muhammad As Sakakir (Al Imam
Muhammad bin Abdul Wahhab wa Manhajuhu fi Dakwah hal. 126), Syaikh Sulaiman bin
Abdurrahman Al Huqail (Hayat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hal. 26. yang
diberi kata pengantar oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh), dll.
Syaikh Sulaiman menulis bantahan
tersebut ketika menjabat menjadi qadli di Huraimila, disebabkan karena cemburu
dan akhirnya diberi hidayah oleh Allah I. Beliau bertemu dengan Syaikh Muhammad
di Dar’iyah tahun 1190 H. dan disambut baik oleh Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab”.
Para musuh Tauhid sangat gembira
dengan adanya kitab Syaikh Sulaiman tersebut, namun mereka sangat malu untuk
menyebut taubatnya Syaikh Sulaiman (Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum
hal. 48-50).
Baiklah…, kita anggap beliau
(Syaikh Sulaiman) tidak ruju’ kepada pemahaman sang adik (Syaikh Muhammad),
lantas apakah dengan adanya sebuah bantahan dari sang kakak menjadikan dia
seorang yang sesat!? Sungguh itu hal yang sangat lucu bagi kaum yang masih
dapat berfikir, apalagi bantahan tersebut tidak membuktikan kesalahan sang
Imam.
Sebuah hadits menyatakan:
“Barang siapa yang amalnya
lambat, maka nasabnya tidak dapat mempercepatnya”
( Muslim 2699)
Al Hafizh Ibnu Rajab berkata:
Maksud hadits diatas adalah amal perbuatanlah yang menghantarkan seorang hamba
ke akhirat, sesuai dengan firman Allah: Dan tiap-tiap orang akan memperoleh
derajat dengan apa yang dikerjakannya…. (Al An’am:132)
Maka barang siapa yang amalnya
tidak menghantarkan ke derajat yang tinggi di sisi Allah maka Nasabnya tidak
bisa menolongnya….. (Jami’ul Ulum wal Hikam 2/308-310)
Ayat diatas menjelaskan tentang
hubungan nasab tidak berpengaruh terhadap derajat seseorang dihadapan Allah I.
Sebagai perbandingan yang sangat besar adalah Rasulullah r , “bahwa dakwah
Rasulullah r selalu ditentang oleh kerabat-kerabatnya sendiri seperti Abu
Thalib, Abu Jahl, Abu Shofyan (sebelum Islam), lantas apakah ini membuktikan
dakwah Rasulullah adalah dakwah yang bathil????
Sungguh akan menjadi seorang yang
kafir bagi seseorang yang berkata “dakwah Rasulullah r adalah bathil karena
ditentang oleh kerabat-kerabat dekatnya”.
Hujjah mereka seperti sarang
laba-laba yang rapuh disebabkan hati yang telah diselimuti dukhan aswad (kabut
hitam) ditambah dengan emosi yang membara maka akan menghilangkan niat mencari
kebenaran, yang timbul hanyalah rasa dendam yang menghalalkan segala cara yang
tidak adil dan menghilangkan amanat ilmiyah, sungguh nista apabila ada yang
menzhalimi seorang muslim seperti itu apalagi kepada seorang Alim, ingat yaa
akhi…
Artinya: “Barangsiapa berbicara
tentang seorang mukmin apa yang tidak ada padanya, niscaya Allah tempatkan dia
di dalam lumpur racun penghuni neraka sampai dia keluar dari apa yang telah dia
ucapkan, dan dia tidaklah akan keluar!” [HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Baihaqi,
dari Ibnu Umar, di shahihkan Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi di dalam Ru’yah
Waqi’iyyah hal: 84]
Lihat hai kaum yang oleh Allah
dikaruniai akal sehat, jadi sebuah bantahan dari kakak sang imam ini tidak
membuktikan apa-apa. Demikian juga kepada bantahan lainnya yang tertuju kepada
manhaj yang haq ini harus ditimbang dengan Al Qur’an dan As Sunnah sesuai
dengan pemahaman para salafus shalih, bila syarat ini telah terpenuhi maka tak
ada celah lagi bagi kami untuk tidak ruju’ kepada kebenaran yang dibawa.
Yang saya heran dari para pembela
bid’ah ini adalah “mereka selalu gembira bila ada yang merendahkan dan mencela
para pembela Sunnah ini tanpa mau bersusah-susah menteliti dengan seksama”.
Saya kuatir mereka seperti apa
yang disebutkan oleh Imam Asy Syatibi dalam kitab Al I’tisham “para pengekor
hawa nafsu dari kalangan ahli bid’ah selalu gembira bila ada suatu dalil yang
mendukung bid’ahnya, lantas mereka mengangkat dalil tersebut dan memalingkan
maknanya agar sesuai dengan apa yang diinginkan”
Seandainya kita anggap kritikan
Syaikh Sulaiman Al Wahhab ini terdapat kebenaran di dalamnya, maka tidak akan
ada cela sedikitpun kepada manhaj salaf yang mulia ini, Dimana sang Imam
hanyalah salah satu Ulama yang dapat tersalah dan kami akan tinggalkan
pendapatnya yang keliru dan beliau tetap mendapat satu pahala atas ijtihadnya,
namun berbeda bagi seseorang yang tidak menempuh manhaj salaf, bila ijtihadnya
betul maka akan tetap mendapat dosa karena itu hanyalah kebetulan belaka tidak
melalui jalur yang benar.
Namun sangat berbeda dengan para
pengekor hawa nafsu, bila ada yang mengkritik tokoh mereka, maka mereka dengan
serampangan dan emosi membantah kritikan tersebut dengan akalnya yang dlaif
tanpa mau menimbangnya dengan Al Qur’an dan As Sunnah ala Fahmis Salaf. Bahkan
tidak sedikit tokoh mereka telah terbukti kesesatan dan pendapatnya, namun
mereka tetap mengekor dengan teguh terhadap kesalahannya tersebut… TANYA
KENAPA???????
Daud Al Ayyubi
)* Kiriman seorang teman
21
Comments
Comment
by hendriawan on July 3, 2007 8:22 am
saya
heran juga, apa anda sudah baca bukunya syaikh sulaiman? setahu ana sampai
matipun syaikh sulaima tidak pernah menyetujui cara adeknya muhammad bin abdul
wahab, sampai pada suatu ketika karena beliau selalu membantah dakwah adeknya,
beliau bertanya kepada muhammad bin abdul wahab, berapa rukun islam, dan
muhammad menjawab 5, lalu ysaikh sulaiman menjawab, tp kamu telah menjadikannya
6, menjadikan org yang mengikutimu muslim dan yang menentangmu kafir, itylah
rukun islam yang ke enam bagimu, dengan itu, ysaikh sulaiman di ancam bahkan hampir
di bunuh, tapi beliau lari ke madinah, tahukan anda itu? bahkan ayah muhammad
sendiri menyuruh org2 pada waktu itu untuk berhati2 dengan muhammad, begitu
juga syaikh2 muhammad telah berpirasat klu nanti muhammad akan membawa fitnah,
tahukan ada itu? atau anda memang tidak tahu atau menutup – nutupinya?
maka
sy mengatakan, kalianlah yang membuat bid’ah sayyiah, aya musyabihun wa ya
mujasamiyun.
berapa
banyak kaum muslimin yang di bunuh muhammad bin abdul wahab, hanya karena tidak
mengikuti dia, begitu juga dengan kalian, berapa banyak org saudara kalian
muslim dan golongan muslimin lainnya yang kalian syirikkan dan mengatakan
zindiq dan ahli bid’ah? sadar wahai yang mengaku salafiyun, bahwa anda bukan
salafitun dan apa yang anda lakukan bukan kerjaan salafiyun
Comment
by hendriawan on July 3, 2007 8:24 am
Membaca
Salafi, Wahabi dan Khawarij
Friday,
June 23 2006
Oleh:
Muchtar Luthfi
Dalam
melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut
Imam Ahmad bin Hambal dapat diperhatikan dari kekacauan zaman saat itu. Sejarah
membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang
diboyong oleh pengikut Muktazilah yang meyakini keturutsertaan dan kebebasan
akal secara ekstrim dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang disisi
lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama,
menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam,
termasuk Ahmad bin Hambal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu,
lantas Ahmad bin Hambal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam
memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.
————————————————————–
AKHIR-AKHIR
INI, di Tanah Air kita muncul banyak sekali kelompok-kelompok pengajian dan
studi keislaman yang mengidentitaskan diri mereka sebagai pengikut dan penyebar
ajaran para Salaf Saleh. Mereka sering mengatasnamakan diri mereka sebagai
kelompok Salafi. Dengan didukung dana yang teramat besar dari negara donor,
yang tidak lain adalah negara asal kelompok ini muncul, mereka menyebarkan
akidah-akidah yang bertentangan dengan ajaran murni keislaman baik yang
berlandaskan al-Quran, hadis, sirah dan konsensus para salaf maupun khalaf.
Dengan
menggunakan ayat-ayat dan hadis yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir,
zindiq dan munafiq, mereka ubah tujuan teks-teks tersebut untuk menghantam para
kaum muslimin yang tidak sepaham dengan akidah mereka. Mereka beranggapan,
bahwa hanya akidah mereka saja yang mengajarkan ajaran murni monoteisme dalam
tubuh Islam, sementara ajaran selainnya, masih bercampur syirik, bid’ah,
khurafat dan takhayul yang harus dijauhi, karena sesat dan menyesatkan. Untuk
itu, dalam makalah ringkas ini akan disinggung selintas tentang apa dan siapa
mereka. Sehingga dengan begitu akan tersingkap kedok mereka selama ini, yang
mengaku sebagai bagian dari Ahlusunnah dan penghidup ajaran Salaf Saleh.
DEFINISI
SALAFI
Jika
dilihat dari sisi bahasa, Salaf berarti yang telah lalu.[2] Sedang dari sisi
istilah, salaf diterapkan untuk para sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ tabi’in
yang hidup di abad-abad permulaan kemunculan Islam.[3] Jadi, salafi adalah
kelompok yang ‘mengaku’ sebagai pengikut pemuka agama yang hidup dimasa lalu
dari kalangan para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Baik yang berkaitan
dengan akidah, syariat dan prilaku keagamaan.[4] Bahkan sebagian menambahkan
bahwa Salaf mencakup para Imam Mazhab, sehingga salafi adalah tergolong pengikut
mereka dari sisi semua keyakinan keagamaannya.[5] Muhammad Abu Zuhrah
menyatakan bahwa Salafi adalah kelompok yang muncul pada abad ke-empat
hijriyah, yang mengikuti Imam Ahmad bin Hambal. Kemudian pada abad ketujuh
hijriyah dihidupkan kembali oleh Ibnu Taimiyah.[6]
Pada
hakekatnya, kelompok yang mengaku sebagai salafi yang dapat kita temui di Tanah
Air sekarang ini, mereka adalah golongan Wahabi yang telah diekspor oleh
pamuka-pemukanya dari dataran Saudi Arabia. Dikarenakan istilah Wahabi begitu
berkesan negatif, maka mereka mengatasnamakan diri mereka dengan istilah
Salafi, terkhusus sewaktu ajaran tersebut diekspor keluar Saudi. Kesan negatif
dari sebutan Wahabi buat kelompok itu bisa ditinjau dari beberapa hal, salah
satunya adalah dikarenakan sejarah kemunculannya banyak dipenuhi dengan
pertumpahan darah kaum muslimin, terkhusus pasca kemenangan keluarga Saud -yang
membonceng seorang rohaniawan menyimpang bernama Muhammad bin Abdul Wahab
an-Najdi- atas semua kabilah di jazirah Arab atas dukungan kolonialisme Inggris.
Akhirnya keluarga Saud mampu berkuasa dan menamakan negaranya dengan nama
keluarga tersebut. Inggris pun akhirnya dapat menghilangkan dahaga negaranya
dengan menyedot sebagian kekayaan negara itu, terkhusus minyak bumi. Sedang
pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab, resmi menjadi akidah negara tadi yang tidak
bisa diganggu gugat. Selain menindak tegas penentang akidah tersebut, Muhammad
bin Abdul Wahab juga terus melancarkan aksi ekspansinya ke segenap
wilayah-wilayah lain diluar wilayah Saudi.[7]
Sayyid
Hasan bin Ali as-Saqqaf, salah satu ulama Ahlusunnah yang sangat getol
mempertahankan serangan dan ekspansi kelompok wahabisme ke negara-negara
muslim, dalam salah satu karyanya yang berjudul “as-Salafiyah al-Wahabiyah”
menyatakan: “Tidak ada perbedaan antara salafiyah dan wahabiyah. Kedua istilah
itu ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Mereka (kaum salafi dan wahabi)
satu dari sisi keyakinan dan pemikiran. Sewaktu di Jazirah Arab mereka lebih
dikenal dengan al-Wahhabiyah al-Hambaliyah. Namun, sewaktu diekspor keluar
(Saudi), mereka mengatasnamakan dirinya sebagai Salafy”. Sayyid as-Saqqaf
menambahkan: “Maka kelompok salafi adalah kelompok yang mengikuti Ibnu Taimiyah
dan mengikuti ulama mazhab Hambali. Mereka semua telah menjadikan Ibnu Taimiyah
sebagai imam, tempat rujukan (marja’), dan ketua. Ia (Ibnu Taimiyah) tergolong
ulama mazhab Hambali. Sewaktu mazhab ini berada di luar Jazirah Arab, maka
tidak disebut dengan Wahabi, karena sebutan itu terkesan celaan”. Dalam
menyinggung masalah para pemuka kelompok itu, kembali Sayyid as-Saqqaf
mengatakan: “Pada hakekatnya, Wahabiyah terlahir dari Salafiyah. Muhammad bin
Abdul Wahab adalah seorang yang menyeru untuk mengikuti ajaran Ibnu Taimiyah
dan para pendahulunya dari mazhab Hambali, yang mereka kemudian mengaku sebagai
kelompok Salafiyah”. Dalam menjelaskan secara global tentang ajaran dan
keyakinan mereka, as-Saqqaf mengatakan: “Al-Wahabiyah atau as-Salafiyah adalah
pengikut mazhab Hambali, walaupun dari beberapa hal pendapat mereka tidak
sesuai lagi (dan bahkan bertentangan) dengan pendapat mazhab Hambali sendiri.
Mereka sesuai (dengan mazhab Hambali) dari sisi keyakinan tentang at-Tasybih
(Menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), at-Tajsim (Allah berbentuk mirip
manusia), dan an-Nashb yaitu membenci keluarga Rasul saw (Ahlul-Bait) dan tiada
menghormati mereka”.[8] Jadi, menurut as-Saqqaf, kelompok yang mengaku Salafi
adalah kelompok Wahabi yang memiliki sifat Nashibi (pembenci keluarga Nabi
saw), mengikuti pelopornya, Ibnu Taimiyah.
PELOPOR
PEMIKIRAN “KEMBALI KE METODE AJARAN SALAF”
Ahmad
bin Hambal adalah sosok pemuka hadis yang memiliki karya terkenal, yaitu kitab
“Musnad”. Selain sebagai pendiri mazhab Hambali, ia juga sebagai pribadi yang
menggalakkan ajaran kembali kepada pemikiran Salaf Saleh. Secara umum, metode
yang dipakai oleh Ahmad bin Hambal dalam pemikiran akidah dan hukum fikih,
adalah menggunakan metode tekstual. Oleh karenanya, ia sangat keras sekali
dalam menentang keikutsertaan dan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama.
Ia beranggapan, kemunculan pemikiran logika, filsafat, ilmu kalam (teologi) dan
ajaran-ajaran lain –yang dianggap ajaran diluar Islam yang kemudian diadobsi
oleh sebagian muslim- akan membahayakan nasib teks-teks agama.
Dari
situ akhirnya ia menyerukan untuk berpegang teguh terhadap teks, dan
mengingkari secara total penggunaan akal dalam memahami agama, termasuk proses
takwil rasional terhadap teks. Ia beranggapan, bahwa metode itulah yang dipakai
Salaf Saleh dalam memahami agama, dan metode tersebut tidak bisa diganggu gugat
kebenaran dan legalitasnya. Syahrastani yang bermazhab ‘Asyariyah dalam kitab
“al-Milal wa an-Nihal” sewaktu menukil ungkapan Ahmad bin Hambal yang
menyatakan: “Kita telah meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal
(sebagaimana adanya) itu pula yang kita yakini”.[9] Konsekwensi dari ungkapan
Ahmad bin Hambal di atas itulah, akhirnya ia beserta banyak pengikutnya
–termasuk Ibnu Taimiyah- terjerumus kedalam jurang kejumudan dan kaku dalam
memahami teks agama. Salah satu dampak konkrit dari metode di atas tadi adalah,
keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan,
lebih lagi kelompok Salafi kontemporer, pendukung ajaran Ibnu Taimiyah
al-Harrani yang kemudian tampuk kepemimpinannya dilanjutkan oleh Muhammad bin
Abdul Wahhab an-Najdi.
Suatu
saat, datang seseorang kepada Ahmad bin Hambal. Lantas, ia bertanya tentang
beberapa hadis. Hingga akhirnya, pertanyaan sampai pada hadis-hadis semisal:
“Tuhan pada setiap malam turun ke langit Dunia”, “Tuhan bisa dilihat”, “Tuhan
meletakkan kaki-Nya kedalam Neraka” dan hadis-hadis semisalnya. Lantas ia
(Ahmad bin Hambal) menjawab: “Kita meyakini semua hadis-hadis tersebut. Kita
membenarkan semua hadis tadi, tanpa perlu terhadap proses pentakwilan”.[10]
Jelas
metode semacam ini tidak sesuai dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu
sendiri. Jika diperhatikan lebih dalam lagi, betapa al-Quran dalam ayat-ayatnya
sangat menekankan penggunaan akal dan pikiran dalam bertindak.[11] Begitu juga
hadis-hadis Nabi saw. Selain itu, pengingkaran secara mutlak campur tangan akal
dan pikiran manusia dalam memahami ajaran agama akan mengakibatkan kesesatan
dan bertentangan dengan ajaran al-Quran dan as-Sunnah itu sendiri. Dapat kita
contohkan secara singkat penyimpangan yang terjadi akibat penerapan konsep tadi.
Jika terdapat ayat semisal “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas
Arsy”,[12] atau seperti hadis yang menyatakan “Sesungguhnya Allah turun ke
langit dunia pada setiap malam”[13], lantas, disisi lain kita tidak boleh
menggunakan akal dalam memahaminya, bahkan cukup menerima teks sebagaimana
adanya, maka kita akan terbentur dengan ayat lain dalam al-Quran seperti ayat
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”.[14] Apakah ayat dari surat Thoha
tadi berartikan bahwa Allah bertengger di atas singgasana Arsy sebagaimana Ibnu
Taimiyah duduk di atas mimbar, atau turun ke langit dunia sebagaimana Ibnu
Taimiyah turun dari atas mimbarnya, yang itu semua berarti bertentangan dengan
ayat dari surat as-Syuura di atas. Jadi akan terjadi kontradiksi dalam memahami
hakekat ajaran agama Islam. Mungkinkah Islam sebagai agama paripurna akan
terdapat kontradiksi? Semua kaum muslimin pasti akan menjawabnya dengan
negatif, apalagi berkaitan dengan al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam.
Melihat
kelemahan metode dasar yang ditawarkan oleh Ahmad bin Hambal semacam ini,
meniscayakan adanya pengeroposan ajaran-ajaran yang bertumpu pada metode tadi.
Dalam masalah ini, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Berbagai individu dari
Salaf telah menetapkan sifat azali Tuhan, semisal; sifat Ilmu, Kemampuan
(Qudrat)…dan mereka tidak membedakan antara sifat Dzati dan Fi’li. Sebagaimana
mereka juga telah menetapkan sifat khabariyah buat Tuhan, seperti; dua tangan
dan wajah Tuhan. Mereka tidak bersedia mentakwilnya, dan mengatakan: itu semua
adalah sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks agama. Semua itu kita sebut
sebagai sifat khabariyah”. Dalam kelanjutan dari penjelasan mengenai kelompok
Salafi tadi, kembali as-Sahrastani mengatakan: “Para kelompok Salafi
kontemporer meyakini lebih dari para kelompok Salaf itu sendiri. Mereka
menyatakan, sifat-sifat khabari bukan hanya tidak boleh ditakwil, namun harus
dimaknai secara zahir. Oleh karenanya, dari sisi ini, mereka telah terjerumus
kedalam murni keyakinan tasybih. Tentu, permasalahan semacam ini bertentangan
dengan apa yang diyakini oleh para salaf itu sendiri”.[15] Jadi sesuai dengan
ungkapan Syahrastani, bahwa mayoritas para pengikut kelompok Salafi kontemporer
telah menyimpang dari keyakinan para Salaf itu sendiri. Itu jika kita telaah
secara global tentang konsep memahami teks. Akibatnya, mereka akan terjerumus
kepada kesalahan fatal dalam mengenal Tuhan, juga dalam
permasalahn-permasalahan lainnya. Padahal, masih banyak lagi
permasalahan-permasalahan lain yang jelas-jelas para Salaf meyakininya, sedang
pengaku pengikut salaf kontemporer (salafi) justru mengharamkan dengan alasan
syirik, bidah, ataupun khurafat. Perlu ada tulisan tersendiri tentang hal-hal
tadi, dengan disertai kritisi pendapat dan argumentasi para pendukung kelompok
Wahabisme.[16] Itulah yang menjadi alasan bahwa para pengikut Salafi
(kontemporer) itu sudah banyak menyimpang dari ajaran para Salaf itu sendiri,
termasuk sebagian ajaran imam Ahmad bin Hambal sendiri.[17]
FAKTOR
MUNCULNYA KELOMPOK SALAFI
Dalam
melihat faktor kemunculan pemikiran untuk kembali kepada pendapat Salaf menurut
Imam Ahmad bin Hambal dapat diperhatikan dari kekacauan zaman saat itu. Sejarah
membuktikan, saat itu, dari satu sisi, kemunculan pemikiran liberalisme yang
diboyong oleh pengikut Muktazilah yang meyakini keturutsertaan dan kebebasan
akal secara ekstrim dan radikal dalam proses memahami agama. Sedang disisi
lain, munculnya pemikiran filsafat yang banyak diadopsi dari budaya luar agama,
menyebabkan munculnya rasa putus asa dari beberapa kelompok ulama Islam,
termasuk Ahmad bin Hambal. Untuk lari dari pemikiran-pemikiran semacam itu,
lantas Ahmad bin Hambal memutuskan untuk kembali kepada metode para Salaf dalam
memahami agama, yaitu dengan cara tekstual.
Syeikh
Abdul Aziz ‘Izzuddin as-Sirwani dalam menjelaskan factor kemunculan pemikiran
kembali kepada metode Salaf, mengatakan: “Dikatakan bahwa penyebab utama untuk
memegang erat metode itu –yang sangat nampak pada pribadi Ahmad bin Hambal-
adalah dikarenakan pada zamannya banyak sekali dijumpai fitnah-fitnah,
pertikaian dan perdebatan teologis. Dari sisi lain, berbagai pemikiran aneh,
keyakinan-keyakinan yang bermacam-macam dan beraneka ragam budaya mulai
bermunculan. Bagaimana mungkin semua itu bisa muncul di khasanah kelimuan Islam.
Oleh karenanya, untuk menyelamatkan keyakinan-keyakinan Islam, maka ia
menggunakan metode kembali kepemikiran Salaf”.[18] Hal semacam itu pula yang
dinyatakan oleh as-Syahrastani dalam kitab al-Milal wa an-Nihal.
Fenomena
semacam ini juga bisa kita perhatikan dalam sejarah hidup Abu Hasan al-Asy’ari
pendiri mazhab al-Asyariyah. Setelah ia mengumumkan diri keluar dari ajaran
Muktazilah yang selama ini ia dapati dari ayah angkatnya, Abu Ali al-Juba’i
seorang tokoh Muktazilah dizamannya. Al-Asy’ari dalam karyanya yang berjudul
“al-Ibanah” dengan sangat jelas menggunakan metode mirip yang digunakan oleh
Ahmad bin Hambal. Namun karena ia melihat bahwa metode semacam itu terlampau
lemah, maka ia agak sedikit berganti haluan dengan mengakui otoritas akal dalam
memahami ajaran agama, walau dengan batasan yang sangat sempit. Oleh karenanya,
dalam karya lain yang diberi judul “al-Luma’ ” nampak sekali betapa ia masih
mengakui campur tangan dan keturutsertaan akal dalam memahami ajaran agama,
berbeda dengan metode Ahmad bin Hambal yang menolak total keikutsertaan akal
dalam masalah itu. Dikarenakan al-Asy’ari hidup di pusat kebudayaan Islam kala
itu, yaitu kota Baghdad, maka sebutan Ahlusunnah pun akhirnya didentikkan
dengan mazhabnya. Sedang mazhab Thohawiyah dan Maturidiyah yang kemunculannya
hampir bersamaan dengan mazhab Asyariyah dan memiliki kemiripan dengannya,
menjadi kalah pamor dimata mayoritas kaum muslimin, apalagi ajaran Ahmad bin
Hambal sudah tidak lagi dilirik oleh kebanyakan kaum muslimin. Lebih-lebih pada
masa kejayaan Ahlusunnah, kemunculan kelompok Salafi kontemporer yang
dipelopori oleh Ibnu Taimiyah yang sebagai sempalan dari mazhab imam Ahmad bin
Hambal, pun tidak luput dari ketidaksimpatian kelompok mayoritas Ahlusunnah.
Ditambah lagi dengan penyimpangan terhadap akidah Salaf yang dilakukan Salafi
kontemporer (pengikut Ibnu Taimiyah) -yang dikomandoi oleh Muhammad bin Abdul
Wahab an-Najdi- serta tindakan arogansi yang dilancarkan para pengikut Salafi
tersebut terhadap kalompok lain yang dianggap tidak sependapat dengan pemikiran
mereka.
KECURANGAN
KELOMPOK SALAFI
Setiap
golongan bukan hanya berusaha untuk selalu mempertahankan kelangsungan
golongannya, namun mereka juga berusaha untuk menyebarkan ajarannya. Itu
merupakan suatu hal yang wajar. Akan tetapi, tingkat kewajarannya bukan hanya
bisa dinilai dari sisi itu saja, namun juga harus dilihat dari cara dan sarana
yang dipakai untuk mempertahankan kelangsungan dan penyebaran ajaran golongan
itu. Dari sisi ini, kelompok Salafi banyak melakukan beberapa kecurangan yang
belum banyak diketahui oleh kelompok muslim lainnya. Selain kelompok Ahlusunnah
biasa, kelompok Ahli Tasawwuf dari kalangan Ahlusunnah dan kelompok Syiah (di
luar Ahlusunnah) merupakan kelompok-kelompok di luar Wahabi (Salafi) yang
sangat gencar diserang oleh kelompok Salafi. Kelompok Salafi tidak segan-segan
melakukan hal-hal yang tidak ‘gentle’ dalam menghadapi kelompok-kelompok selain
Salafi, terkhusus Syiah. Menuduh kelompok lain dari saudara-saudaranya sesama
muslim sebagai ahli bid’ah, ahli khurafat, musyrik adalah kebiasaan buruk kaum
Salafi, walaupun kelompok tadi tergolong Ahlusunnah. Disisi lain, mereka
sendiri terus berusaha untuk disebut dan masuk kategori kelompok Ahlusunnah.
Berangkat dari sini, kaum Salafi selalu mempropagandakan bahwa Syiah adalah
satu kelompok yang keluar dari Islam, dan sangat berbeda dengan pengikut
Ahlusunnah. Mereka benci dengan usaha-usaha pendekatan dan persatuan
Sunnah-Syiah, apalagi melalui forum dialog ilmiah. Mereka berpikir bahwa dengan
mengkafirkan kelompok Syiah, maka mereka akan dengan mudah duduk bersama dengan
kelompok Ahlusunnah. Padahal realitanya tidaklah semacam itu. Karena mereka
selalu menuduh kelompok Ahlusunnah sebagai pelaku Bid’ah, Khurafat, Takhayul
dan Syirik. Mereka berpikir, sewaktu seorang pengikut Ahlusunnah melakukan
ziarah kubur, tahlil, membaca shalawat dan pujian terhadap Nabi, istighotsah,
bertawassul dan mengambil berkah (tabarruk) berarti ia telah masuk kategori
pelaku syirik atau ahli bid’ah yang telah jelas konsekwensi hukumnya dalam
ajaran Islam.
Singkat
kata, kebencian itu bukan hanya dilancarkan kepada Ahlusunnah, namun terlebih
pada kelompok Syiah. Kebencian kaum Salafi terhadap Syiah, bahkan dilakukan
dengan cara-cara tidak ilmiah bahkan cenderung arogan dan premanisme,
sebagaimana yang dilakukannya di beberapa tempat. Mereka tahu bahwa kelompok
Syiah sangat produktif dalam penerbitan buku-buku, terkhusus buku-buku agama.
Karya-karya ulama Syiah mampu mengikuti perkembangan zaman dan dapat memberi
masukan dalam menyelesaikan problem intelektual yang sedang dibutuhkan oleh
masyarakat. Ulama Syiah mampu mengikuti wacana yang sedang berkembang, plus
cara penyampaiannya pun dilakukan dengan cara ilmiah. Hal itulah yang
menyebabkan kecemburuan kelompok Salafi terhadap Syiah kian menjadi. Akhirnya,
sebagai contoh perbuatan licik yang mereka lakukan, sewaktu diadakan pameran
Internasional Book-Fair di Mesir, dimana kelompok Syiah pun turut memeriahkan
dengan membuka beberapa stand di pameran tersebut, melihat hal itu, kelompok Salafi
(Wahabi) memborong semua kitab-kitab Syiah di stand-stand yang ada, yang
kemudian membakar semua kitab yang dibelinya.[19]
Jika
mereka berani bersaing dengan kelompok Syiah dari sisi keilmiahan, kenapa
mereka melakukan hal itu? Perlakuan mereka semacam itu sebagai salah satu bukti
kuat, bahwa mereka tidak terlalu memiliki basis ilmiah yang cukup mumpuni
sehingga untuk menghadapi Syiah, mereka tidak memiliki jalan lain kecuali harus
menggunakan cara-cara emosional yang terkadang cenderung arogan itu. Cara itu
juga yang mereka lakukan terhadap para pengikut tasawuf dan tarekat yang banyak
ditemui dalam tubuh Ahlusunnah sendiri, khususnya di Indonesia.
Segala
bentuk makar dan kebohongan untuk mengahadapi rival akidahnya merupakan hal
mubah dimata pengikut Salafi (Wahabi), karena kelompok Salafi masih terus
beranggapan bahwa selain kelompoknya masih dapat dikategorikan pelaku syirik,
bid’ah, khurafat dan takhayul. Perlakuan mereka terhadap kaum muslimin pada
musim haji merupakan bukti yang tidak dapat diingkari.
Yang
lebih parah dari itu, para pendukung kelompok Salafi –yang didukung dana begitu
besar- berani melakukan perubahan pada kitab-kitab standart Ahlusunnah, demi
untuk menguatkan ajaran mereka, yang dengan jelas tidak memiliki akar sejarah
dan argumentasi (tekstual dan rasional) yang kuat. Dengan melobi para pemilik
percetakan buku-buku klasik agama yang menjadi standart ajaran –termasuk
kitab-kitab hadis dan tafsir- mereka berani mengeluarkan dana yang sangat besar
untuk merubah beberapa teks (hadis ataupun ungkapan para ulama) yang dianggap
merugikan kelompok mereka. Kita ambil contoh apa yang diungkapkan oleh Syeikh
Muhammad Nuri ad-Dirtsawi, beliau mengatakan: “Merubah dan menghapus
hadis-hadis merupakan kebiasaan buruk kelompok Wahabi. Sebagai contoh, Nukman
al-Alusi telah merubah tafsir yang ditulis oleh ayahnya, Syeikh Mahmud al-Alusi
yang berjudul Ruh al-Ma’ani. Semua pembahasan yang membahayakan kelompok Wahabi
telah dihapus. Jika tidak ada perubahan, niscaya tafsir beliau menjadi contoh
buat kitab-kitab tafsir lainnya. Contoh lain, dalam kitab al-Mughni karya Ibnu
Qodamah al-Hambali, pembahasan tentang istighotsah telah dihapus, karena hal
itu mereka anggap sebagai bagian dari perbuatan Syirik. Setelah melakukan
perubahan tersebut, baru mereka mencetaknya kembali. Kitab Syarah Shohih Muslim
pun (telah dirubah) dengan membuang hadis-hadis yang berkaitan dengan
sifat-sifat (Allah), kemudian baru mereka mencetaknya kembali”.[20]
Namun
sayang, banyak saudara-saudara dari Ahlusunnah lalai dengan apa yang mereka
lakukan selama ini. Perubahan-perubahan semacam itu, terkhusus mereka lakukan
pada hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan keluarga (Ahlul-Bait) Nabi.
Padahal, salah satu sisi kesamaan antara Sunni-Syiah adalah pemberian
penghormatan khusus terhadap keluarga Nabi. Dari sinilah akhirnya pribadi
seperti sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf menyatakan bahwa mereka tergolong
kelompok Nashibi (pembenci keluarga Rasul).
Dalam
kitab tafsir Jami’ al-Bayan, sewaktu menafsirkan ayat 214 dari surat as-Syu’ara:
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabat-mu yang terdekat”, disitu,
Rasulullah mengeluarkan pernyataan berupa satu hadis yang berkaitan dengan
permulaan dakwah. Dalam hadis yang tercantum dalam kitab tafsir tersebut
disebutkan, Rasul bersabda: “Siapakah diantara kalian yang mau menjadi wazir
dan membantuku dalam perkara ini -risalah- maka akan menjadi
saudaraku…(kadza…wa…kadza)…”. Padahal, jika kita membuka apa yang tercantum
dalam tarikh at-Thabari kata “kadza wa kadza” (yang dalam penulisan buku
berbahasa Indonesia, biasa digunakan titik-titik) sebagai ganti dari sabda
Rasul yang berbunyi; “Washi (pengganti) dan Khalifah-ku”. Begitu pula
hadis-hadis semisal, “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya” yang
dulu tercantum dalam kitab Jaami’ al-Ushul karya Ibnu Atsir, kitab Tarikh
al-Khulafa’ karya as-Suyuthi dan as-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar yang
beliau nukil dari Shohih at-Turmudzi, kini telah mereka hapus. Melakukan
peringkasan kitab-kitab standard, juga sebagai salah satu trik mereka untuk
tujuan yang sama. Dan masih banyak usaha-usaha licik lain yang mereka
lancarkan, demi mempertahankan ajaran mereka, terkhusus ajaran kebencian
terhadap keluarga Nabi. Sementara sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin,
bahwa mencintai keluarga Nabi adalah suatu kewajiban, sebagaimana Syair yang
pernah dibawakan oleh imam Syafi’i:
“Jika
mencintai keluarga Muhammad adalah Rafidhi (Syiah), maka saksikanlah wahai
ats-Tsaqolaan (jin dan manusia) bahwa aku adalah Rofidhi”.[21]
SALAFI
(WAHABI) DAN KHAWARIJ
Tidak
berlebihan kiranya jika sebagian orang beranggapan bahwa kaum Wahabi (Salafi)
memiliki banyak kemiripan dengan kelompok Khawarij. Melihat, dari sejarah yang
pernah ada, kelompok Khawarij adalah kelompok yang sangat mirip sepak terjang
dan pemikirannya dengan kelompok Wahabi. Oleh karenanya, bisa dikatakan bahwa
kelompok Wahabi adalah pengejawantahan kelompok Khawarij di masa sekarang ini.
Disini, secara singkat bisa disebutkan beberapa sisi kesamaan antara kelompok
Wahabi dengan golongan Khawarij yang dicela melalui lisan suci Rasulullah saw,
dimana Rasul memberi julukan golongan sesat itu (Khawarij) dengan sebutan
“mariqiin”, yang berarti ‘lepas’ dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah
dari busurnya.[22]
Paling
tidak ada enam kesamaan antara dua golongan ini yang bisa disebutkan. Pertama,
sebagaimana kelompok Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim dengan
sebutan kafir, kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai
pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul. Yang semua itu adalah ‘kata
halus’ dari pengkafiran, walaupun dalam beberapa hal memiliki kesamaan dari
konsekwensi hukumnya. Abdullah bin Umar dalam mensifati kelompok Khawarij
mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang
kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[23]
Ciri-ciri semacam itu juga akan dengan mudah kita dapati pada pengikut kelompok
Salafi (Wahabi) berkaitan dengan saudara-saudaranya sesama muslim. Bisa
dilihat, betapa mudahnya para rohaniawan Wahabi (muthowi’) menuduh para jamaah
haji sebagai pelaku syirik dan bid’ah dalam melakukan amalan yang dianggap
tidak sesuai dengan akidah mereka.
Kedua,
sebagaimana kelompok Khawarij disifati sebagaimana yang tercantum dalam hadis
Nabi: “Mereka membunuh pemeluk Islam, sedang para penyembah berhala mereka
biarkan”,[24] maka sejarah telah membuktikan bahwa kelompok Wahabi pun telah
melaksanakan prilaku keji semacam itu. Sebagaimana yang pernah dilakukan pada
awal penyebaran Wahabisme oleh pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab.
Pembantaian berbagai kabilah dari kaum muslimin mereka lakukan dibeberapa
tempat, terkhusus diwilayah Hijaz dan Iraq kala itu.
Ketiga,
sebagaimana kelompok Khawarij memiliki banyak keyakinan yang aneh dan keluar
dari kesepakatan kaum muslimin, seperti keyakinan bahwa pelaku dosa besar
dihukumi kafir, kaum Wahabi pun memiliki kekhususan yang sama.
Keempat,
seperti kelompok Khawarij memiliki jiwa jumud (kaku), mempersulit diri dan
mempersempit luang lingkup pemahaman ajaran agama, maka kaum Wahabi pun
mempunyai kendala yang sama.
Kelima,
kelompok Khawarij telah keluar dari Islam dikarenakan ajaran-ajaran yang
menyimpang, maka Wahabi pun memiliki penyimpangan yang sama. Oleh karenanya,
ada satu hadis tentang Khawarij yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab
Shahihnya, yang dapat pula diterapkan pada kelompok Wahabi. Rasul bersabda:
“Beberapa orang akan muncul dari belahan Bumi sebelah timur. Mereka membaca
al-Quran, tetapi (bacaan tadi) tidak melebihi batas temggorokan. Mereka telah
keluar dari agama (Islam), sebagaimana terkeluarnya (lepas) anak panah dari
busurnya. Tanda-tanda mereka, suka mencukur habis rambut kepala”.[25]
Al-Qistholani dalam mensyarahi hadis tadi mengatakan: “Dari belahan bumi
sebelah timur” yaitu dari arah timur kota Madinah semisal daerah Najd.[26]
Sedang dalam satu hadis disebutkan, dalam menjawab perihal kota an-Najd: “Di
sana terdapat berbagai goncangan, dan dari sana pula muncul banyak fitnah”.[27]
Atau dalam ungkapan lain yang menyebutkan: “Disana akan muncul qorn setan”. Dalam
kamus bahasa Arab, kata qorn berartikan umat, pengikut ajaran seseorang, kaum
atau kekuasaan.[28]
Sedang
kita tahu, kota Najd adalah tempat lahir dan tinggal Muhammad bin Abdul Wahab
an-Najdi, pendiri Wahabi. Kota itu sekaligus sebagai pusat Wahabisme, dan dari
situlah pemikiran Wahabisme disebarluaskan kesegala penjuru dunia.
Banyak
tanda zahir dari kelompok tersebut. Selain mengenakan celana atau gamis hingga
betis, mencukur rambut kepala sedangkan jenggot dibiarkan bergelayutan tidak
karuan adalah salah satu syiar dan tanda pengikut kelompok ini.
Keenam,
sebagaimana kelompok Khawarij meyakini bahwa “negara muslim” (Daar al-Salam)
jika penduduknya banyak melakukan dosa besar, maka dapat dikategorikan “negara
zona perang” (Daar al-Harb), kelompok radikal Wahabi pun meyakini hal tersebut.
Sekarang ini dapat dilihat, bagaimana kelompok-kelompok radikal Wahabi –seperti
al-Qaedah- melakukan aksi teror diberbagai tempat yang tidak jarang kaum
muslimin juga sebagai korbannya.
Tulisan
ringkas ini mencoba untuk mengetahui tentang apa dan siapa kelompok Salafi
(Wahabi). Semoga dengan pengenalan ringkas ini akan menjadi kejelasan akan
kelompok yang disebut-sebut sebagai Salafi ini, yang mengaku penghidup kembali
ajaran Salaf Saleh. Sehingga kita bisa lebih berhati-hati dan mawas diri
terhadap aliran sesat dan menyesatkan yang telah menyimpang dari Islam
Muhammadi tersebut.
Penulis:
Adalah mahasiswa pasca sarjana Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas
Imam Khomaini Qom, Republiks Islam Iran.
Rujukan:
[2]
Lisan al-Arab Jil:6 Hal:330
[3]
As-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Hal:9, karya Dr. M Said Ramadhan Buthi
[4]
As-Shohwat al-Islamiyah Hal:25, karya al-Qordhowi
[5]
Al-Aqoid as-Salafiyah Hal: 11, karya Ahmad bin Hajar Aali Abu Thomi
[6]
Al-Madzahib al-Islamiyah Hal:331, karya Muhammad Abu Zuhrah
[7]
Untuk lebih jelasnya, dapat ditelaah lebih lanjut kitab tebal karya penulis
Arab al-Ustadz Nasir as-Sa’id tentang sejarah kerajaan Arab Saudi yang diberi
judul “Tarikh aali Sa’ud”. Karya ini berulang kali dicetak. Disitu dijelaskan
secara detail sejarah kemunculan keluarga Saud di Jazirah Arab hingga zaman
kekuasaan raja Fahd. Dalam karya tersebut, as-Said menetapkan bahwa keluarga
Saud (pendiri) kerajaan Arab Saudi masih memiliki hubungan darah dan emosional
dengan Yahudi Arab.
[8]
Selengkapnya silahkan lihat: As-Salafiyah al-Wahabiyah, karya Hasan bin Ali
as-Saqqaf, cet: Daar al-Imam an-Nawawi, Amman-Yordania
[9]
Al-Milal wa an-Nihal Jil:1 Hal:165, karya as-Syahrastani
[10]
Fi ‘Aqo’id al-Islam Hal:155, karya Muhammad bin Abdul Wahab (dalam kumpulan
risalah-nya)
[11]
Ayat-ayat al-Quran yang bebunyi “afalaa ta’qiluun” (Apakah kalian tidak memakai
akal) atau “Afalaa tatafakkarun” (Apakah kalian tidak berpikir) dan semisalnya
akan sangat mudah kita dapati dalam al-Quran. Ini semua salah satu bukti
konkrit bahwa al-Quran sangat menekankan penggunaan akal dan mengakui
keturutsertaan akal dalam memahami kebenaran ajaran agama.
[12]
Q S Thoha:5
[13]
Al-Washiyah al-Kubra Hal:31 atau Naqdhu al-Mantiq Hal:119 karya Ibnu Taimiyah
[14]
Q S as-Syura:11
[15]
Al-Milal wa an-Nihal Jil:1 Hal:84
[16]
Banyak hal yang terbukti dengan argumen teks yang mencakup ayat, riwayat,
ungkapan dan sirah para sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in diperbolehkan, namun
paea kelompok Salafi (Wahabi) mengharamkannya, seperti masalah; membangun dan
memberi cahaya lampu pada kuburan, berdoa disamping makam para kekasih Ilahi
(waliyullah), mengambil berkah dari makam kekasih Allah, menyeru atau meminta
pertolongan dan syafaat dari para kekasih Allah pasca kematian mereka, bernazar
atau sumpah atas nama para kekasih Allah, memperingati dan mengenang kelahiran
atau kematian para kekasih Allah, bertawassul, dan melaksanakan tahlil (majlis
fatehah)…semua merupakan hal yang diharamkan oleh para kelompok Salafi, padahal
banyak ayat dan riwayat, juga prilaku para Salaf yang menunjukkan akan
diperbolehkannya hal-hal tadi.
[17]
Salah satu bentuk penyimpangan kelompok Wahabi terhadap ajaran imam Ahmad bin
Hambal adalah pengingkaran Ibnu Taimiyah terhadap berbagai hadis berkaitan
dengan keutamaan keluarga Rasul, yang Imam Ahmad sendiri meyakini keutamaan
mereka dengan mencantumkannya dalam kitab musnadnya. Dari situ akhirnya Ibnu
Taimiyah bukan hanya mengingkari hadis-hadis tersebut, bahkan melakukan
pelecehan terhadap keluarga Rasul, terkhusus Ali bin Abi Thalib. (lihat: Minhaj
as-Sunnah Jil:8 Hal:329) Dan terbukti, kekhilafahan Ali sempat “diragukan” oleh
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Minhaj as-Sunnah” (lihat: Jil:4 Hal:682), dan ia
termasuk orang yang menyebarluaskan keraguan itu. Padahal, semua kelompok
Ahlusunnah “meyakini” akan kekhilafahan Ali. Lantas, masihkah layak Ibnu
Taimiyah beserta pengikutnya mengaku sebagai pengikut Ahlussunnah?
[18]
al-Aqidah li al-Imam Ahmad bin Hambal Hal:38
[19]
As-Salafiyah baina Ahlusunnah wa al-Imamiyah Hal:680
[20]
Rudud ‘ala Syubahaat as-Salafiyah Hal:249
[21]
Diwan as-Syafi’i Hal:55
[22]
Musnad Ahmad Jil:2 Hal:118
[23]
Sohih Bukhari Jil:4 Hal:197
[24]
Majmu’ al-Fatawa Jil:13 Hal:32, karya Ibnu Taimiyah
[25]
Shahih Bukhari, kitab at-Tauhid Bab:57 Hadis ke-7123
[26]
Irsyad as-Saari Jil:15 Hal:626
[27]
Musnad Ahmad Jil:2 Hal:81 atau Jil:4 Hal:5
[28]
Al-Qomuus Jil:3 Hal:382 kata: Qo-ro-na
Comment
by abu ghonam on July 6, 2007 8:13 am
Atasku…
anda
ini ahlus sunnah ataukah syi’ah…kenapa mengambil sumber dari syi’ah…kalaulah
anda syi’ah, ana maklumi, tetapi kalau anda ahlus sunnah…sungguh malapetaka ada
pada diri anda…
ada
baiknya anda membaca biografi dan sepak terjang kitab-kitab yang menjadi sumber
dari tulisan2 yang dibuat oleh Muschtar Lutfi di atas…jika anda mengaku ahlus
sunnah
wallaahul
musta’an…
Comment
by daud on July 19, 2007 1:20 pm
@hendriawan
Sepertinya
sanggahan antum sudah terjawab oleh tulisan ana diatas. Ana tidak menyanggah
dongeng antum, karena itu tidak berkaitan bententangan dengan bantahan ana.
cuma saja antum banyak berlebihan tentang mengkafirkan umat, membunuh belum
tentu mengkafirkan. Ana tanya, berapa banyak para shahabat membunuh orang-orang
khawarij? apakah shahabat berkata mereka adalah kafir??
Berapa
banyak tentara Muawiyah dan ali saling bunuh? Apakah salah satu diantara mereka
telah kafir? Tidak khaannn.
Ana
tanya, nyembah kuburan kafir? yaa kafir, tapi bila mau menta’yin harus
diperinci, tidak serampangan. dan antum tidak mengetahui hal itu, jadi antum
jangan asal vonis, si fulan mengkafirkan umat. Teliti dulu ya akhi…
Dongeng
yang antum ceritakan itu tsiqah?
Tapi
antum mengambil literatur Syiah (dari Abu Ghanam) dan membela Syiah, setelah 14
abad Syiah meghujat shahabat Nabi dan 14 abad membantai kaum Ahlu Sunnah,
Membantai Sunni di palestina, membunuhi para ulama, mengatakan Al Qur’an Sunni
adalah palsu, menghina Ali bin Abu Thalib serta keturunannya (menurut syiah:
memuliakannya).
Jadi
ana tidak perlu percaya yang antum tulis, jadi kedudukan hadits antum itu
menjadi matruk (menurut kaidah ilmu musthalah hadits).
Antum
Syiah? kalo yaaa ana ga perlu berpanjang-panjang lagi, cukuplah terbuka bagi
ana dan kaum yang masih dapat berpikir sehat maksud tersembunyi antum membantah
ana.
Comment
by Saya mahu belajar (M'sia) on November 10, 2007 4:44 pm
Syiah
Indonesia juga turut membenci Wahabbi?
Jelas
– minyak tidak akan bercampur dengan air.
Jelas
– kita boleh menilai kelompok mana yang cenderung untuk menjadi air serta
kelompok mana yang cenderung untuk menjadi minyak.
Nilaikan
dengan ilmu – bukan dengan nafsu.
Cuma
saya ingin bertanya kepada Saudara Daud Al Ayubbi mengenai banyak dakwaan yang
menyatakan puak Wahabbi berkerjasama dengan kaum Inggeris bagi menjatuhkan
kerajaan Islam. Benarkah? Kenapa? Dan memohon kepada sesiapa yang mempunyai
data soheh jika ia terbukti kebenarannya, sila tunjukkan…Terima kasih.
Comment
by cute on November 17, 2007 7:40 am
1.
prinsip info/pendapat dari “pihak luar” adalah tertolak sangat tidak obyektif.
Kalau memeng itu dari syi’ah, so what? apa pasti salah? belum tentu. Dan apa
memang yang nulis orang syi;ah? atau orang yang hanya ingin sikap obyektif?
2.
Yang penting bukan dari syi’ah atau bukan, tapi benar nggak info/pendapat itu?
Kalau salah, buktikan! Karena kebenaran pasti jelas. La kalau mengalihkan
masalah pada ” ini dari syi’ah, ini info dari penjahat”, ya,,susah orang normal
ma waras menerima. Misalnya benar orang syi’ah banyak salah, jahat, konyol,
misalnya, tapi apa kemudian semua info/pendapat mereka pasti salah? Yang waras
lah kalau mikir!!
Comment
by abu hanifah on August 16, 2011 3:29 am
Anda
normal dan waras dalam cara berfikir sekuler. Obyektivitas tidak selalu berlaku
dimana saja. Khamar jelas ada manfaatnya tetapi kerusakannya jauh lebih besar.
Itu (salah satu) hikmah Allah mengharamkannya. Dari cara fikir anda, bukankah
sangat tidak objektif bila semua khamar diharamkan sedangkan bila dikonsumsi
sedikit tidak berakibat mabuk? Jadi saya ingin tambahkan disini, “Apa anda ini
sekuler? Kalau ya, saya tidak perlu berpanjang-panjang dengan anda ….”
Dalam
beragama, pada prinsipnya argumen hanya diambil dari mereka yang tsiqah. Kalau
hanya sebatas “apa kemudian semua pendapat mereka salah?” maka semua
orang/kelompok pasti tetap ‘ada benarnya’. Tidak mungkin ada seorangpun yang
dalam seluruh hidupnya hanya mengatakan sesuatu yang salah tanpa pernah
sekalipun berkata sesuatu yang benar.
Bila
ekspektasi anda pemilik blog akan meladeni ocehan atau dongeng ngawur, itu
justru menunjukkan keawaman anda.
Saran
saya, sebaiknya anda membaca lebih teliti semua referensi yang disodorkan.
Jangan lupa, berdo’a memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk kepada yang
Haq. Ingatlah bahwa da’i-da’i yang menyeru kepada kesesatan justru lebih
banyak.
Comment
by abu sayev on December 6, 2007 12:38 pm
assalamualaikum….
wahai
saudaraku…..semoga Allah menunjuki kita semua kepada jalan yang lurus….saya
semakin sedih dengan akal licik dan munkar dari pada pendakwah kepada
kesesatan…mereka tidak henti-hentinya menancapkan duri tajam kepada dakwah
salafyah di negeri ini….karena dakwah salafyah dakwah yang manis, tidak penuh
dengan intrik kebusukan, penuh dengan keikhlasan, dan kelembutan, mereka
kawatir dengan keberadaan para salafy mengancam kedudukan mereka, wibawa
mereka, itu kami rasakan betul-betul dikampung kami…. setiap ada sengketa di
antara elit mereka… selalu salafy yang menjadi kambing hitam. izinkan kami ikut
belajar bersama antum
Comment
by attauhid on January 6, 2008 2:55 am
@Saya
mahu belajar (M’sia)
Bahkan
sebaliknya, kaum kuffar inggris ingin menghancurkan dakwah Syaikh muhammad bin
abdul wahhab dengan cara bekerja sama dengan orang-orang yang menentang dakwah
syaikh. Sedangkan kerajaan (dinasti Utsmani) saat itu telah terjangkit penyakit
sufisme, dan ikut membenci dakwah syaikh. Dan terbukti pasukan dinasti utsmani
selalu menyerang ke wilayah najd tempat syaikh bermukim. Hingga akhirnya
dinasti utsmani runtuh dikarenakan lemahnya pemerintahannya saat itu. wallahu
a’lam
@cute
informasi
dari “pihak luar” memang tidak selalu mutlak untuk ditolak, tapi yang dimaksud “pihak
luar” disini adalah syi’ah (rafidhah). Sedangkan para ulama salaf sejak dulu
selalu menolak persaksian dari kaum syiah. Ingat apa yang dikatakan oleh para
Imam Madzab tentang syi’ah rafidhah:
Imam
Syafi’i: “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian
palsu.”
Al-Imam
Malik berkata: “Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula
meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta.” (Mizanul
I’tidal, 2/27-28, karya Al-Imam Adz-Dzahabi)
Ini
adalah bukti bahwa sejak dulu para ulama salaf telah menolak persaksian syi’ah.
Sedangkan
jika mau melihat benar-tidaknya informasi itu… maka yang saya lihat
ditulisannya adalah bahwa orang ini lebih mendahulukan akal daripada nash
al-Qur’an dan Sunnah. Terbukti dari tulisannya, dia menolak ayat-ayat al-Qur’an
dan as-Sunnah yang bertentangan dengan akalnya. Dan lainnya tentang
benar-tidaknya tulisan diatas sepertinya sudah dijawab oleh al-Akh Daud
al-Ayyubi.
wallahu
a’lam
Comment
by Daud Al Ayyubi Al Bakashi on May 6, 2008 2:03 pm
Alhamdulillah
semoga Allah merahmati Ahlu Sunnah dan semoga Allah meluluh lantahkan Ahli
Syirik dan Ahli Bid’ah.
Akh
habiburrahman, ingat nanti di akhirat semua tuduhan tak berdasar antum akan di
hisab . Maka bertaqwalah kepada Allah dan jagalah perkataan, apalagi engkau
berkata tentang Dien tanpa ilmu dan hujjah, hanya luapan emosi belaka.
Wahai
akh habiburrahman semoga dirahmati Allah, Islam itu Sunnah dan Sunnah itu Islam
keduanya tidak dapat dipisahkan dan tak terpisahkan (Syarhus Sunnah, Imam
Barbahari)
Engkau
mencela dakwah sunnah maka engkau mencela Islam, engkau mencela ulama Sunnah
sama saja engkau mencela Islam. Janganlah engkau taqlid dengan belenggu-belengu
hizbiyah dan memandang dakwah sunnah ini dengan kaca mata hizbiyah, yang hanya
akan membuat antum terus-menerus ada didalam hizbiyah. Hancurkanlah belenggu
itu ya akhi…
Ingatlah
tuduhan antum saat ini akan diminta pertanggung jawabannya, maka tunjukanlah
buktinya bila engkau adalah orang yang benar.
Akan
tetapi banyak orang yang menuduh hanya karena dia mendengarkan perkataan orang
lain tanpa tabayun terlebih dahulu, ada juga yang menuduh hanya berdaarkan
perkataan yang dia pahami dengan pemahamannya sendiri yang mengakibatkan salah
paham.
Berilmulah
sebelum berkata, teliti dahulu sebelum berkaca. Hati-hati jangan-jangan nanti
kacanya pecah.
Comment
by Daud Al Ayyubi Al Bakashi on May 6, 2008 2:28 pm
Untuk
Akh Habbiburrahman, Antum perlu memahami dakwah sunnah dari sumber aslinya,
jangan mudah terprovokasi oleh kaum yang membenci sunnah dan menebarkan tuduhan
dusta.
Antum
harus mempelajari bagaimana mencintai Rasulullah dan para shahabatnya, apakah
dengan maulid?
Mengenai
Tauhid asma wa shifat yang disebutkan oleh Imam Abu Jaffar At Thohawiy, antum
salah paham dan kami ahlu sunnah tidak menyakini apa yang antum tuduhkan (bahwa
kami menyerupakan Allah dengan Makhluq, naudzubillah). Kami meyakini Asma dan
Shifat sesuai dengan makna zhahirnya tanpa tahrif, ta’wil, ta’til, tasybih,
takyif. itulah aqidah para Imam Ahlu Sunnah.
Mengenai
Syaikh Albani mengkafirkan Imam Bukhari, janganlah engkau berdusta yaa akhi,
secara akalpun tidak mungkin. Dalah Syarh Aqidah Thahawiyah Syaikh Albani
mengatakan Shahih Bukhari adalah kitab paling Shahih setelah Al Qur’an, dan
beliau menulis mukhtashor Shahih Bukhari, Shahih Adabul Mufrad Imam Bukhari.
Hal ini bagaikan matahari di siang bolong yaa akhi…. Kecuali bagi orang yang
buta.
Antum
menyampaikan sebuah haduts tentang negeri najed, yaa akhi sebelum engkau
berkomentar sebaiknya engkau melihar syarh hadits ini oleh para ulama ahli
sunnah, apakah najed yang dimaksud hadits tersebut?
Memang
engkau siapa ya akhi bisa menentukan maksud najed ini adalah ibnul wahhab?
Intinya
ana tidak mau mencela antum karena kejahilan antum atas ilmu agama. belajarlah
dulu.
Comment
by hood on May 11, 2008 5:35 pm
Daud,
engkau yang musti belajar………..
Comment
by Daud El Bakashi on May 16, 2008 12:19 pm
Alhamdulillah
ana diberi kemudahan oleh Allah untuk belajar mengenal Sunnah dan tidak
membenci dakwah Sunnah. Insya Allah berbicara dengan ilmu lebih baik daripada
menuangkan hasud.
Jazakallah
ya akhi hood.
Comment
by lani on June 19, 2008 10:14 am
heheehe
pada ribut mulu, payah Islam ribut mulu, emang tuhan ama nabinya siapa seh?
Comment
by Daud Al Bakashi on August 6, 2008 11:59 am
Siapa
Ahlul Bait??? Apakah seperti yang diklaim oleh Syiah??? Lalu bagaimana dengan
Paman Nabi Abu Sofyan yang mereka Kafirkan??? Bagaimana dengan Utsman yang
mereka kafirkan??? Bagaimana dengan Abu Bakar yang mereka Kafirkan???
Relakah
engkau melihat mereka mengkafirkan para Shahabat Rasulullah dan juga termasuk
Ahli Bait Beliau.
Comment
by n.bunga shaleha on April 1, 2010 1:24 pm
assalamu’alaikum….
baru
baca nie….diskusinya seru bgt…ana disini cuma mau nimbrung aja,moga akhi daud
tetap semangat dan istiqomah dalam da’wahnya,karena memang buaaanyak sekali
kebid’ahan2 yang dilakukan oleh masyarakat dan kebid’ahan2 itu memang harus
dihentikan,,,,bukanya ana mudah membid’ahkan seseorang,tapi memang kenyataanya
begitu…
Comment
by rachmad on June 2, 2010 2:03 pm
assalamu’alaykum
y akhi
ana
sudah cukup lama mendengar syubhat ini, akan tetapi setelah membaca artikel ini
masih
ada yang kurang jelas bagi ana.
1.
bagaimanakah wujud/kisah ruju’nya syaikh sulaiman bin abdul wahab menuju manhaj
salaf?
2.
apakah ada bukti kuat bahwa perawi2 kisah ini melihat/mengetahui secara
langsung
mengenai
ruju’nya syaikh sulaiman?
Mohon
dijelaskan karna ana masih kesulitan mendapatkan kitab2 referensi yang
disebutkan diatas.
Hal
ini semata-mata agar pemahaman ana lebih mantap dalam menghadapi syubhat ini.
jazakallah.
Comment
by umar mustofa on January 14, 2011 2:32 pm
saya
jadi semakin yakin bila mazhab wahabi memang aneh, mudah mengamnggap ini itu
bid’ah, syirik dan sebagainya, rujukannya hanya syeh muhammad bin abdul wahab
melulu ( ya iyalah namanya juga wahabi) mbok coba di tengok seperti apa akidah
syeikh Juneid Al baghdadi, atau Syeikh hasan Al Bashri, tentu kedua Ulama
tersebut, hidup pada masa yang lebih dekat dengan Rosululloh, mestinya
pemahaman akidah dan muamalahnya lebih baik daripada umat yang hidup pada masa
yang lebih jauh dari mereka. Ajaran Wahabi yang Jumud, gampang menyalahkan,
bagi saya kog mirip ajaran Talmud, yang intinya menganggap Klan Yahudi adalah
Klan mulia, dan yang lainnya adalah binatang. barangkali memang demikian
adanya, sebab kalu kita tengok lahirnya Wahabi adalah ajaran Muhammad bin Abdul
Wahab yang kemudian di dukung Al Said dengan dana dari Inggris. Jika Saud dan
Wahabi benar, kenapa harus konflik dengan Kholifah Ustmani pada saat itu.
lantaran pemberontakan saudi, khilafah runtuh dan akhirnya masjidil aqsha
dinodai oleh yahudi, Nampaknya nanti yang akan tertinggal hanya madzhab wahabi,
sebab wahabi adalah mazhab yang dekat dengan yahudi (dari sisi politis, ekonomi
, maupun praktek lapangan) tidak menutup kemungkinan, mazhab-mazhab yang lain,
yang mengikuti ahlussunnah wal jama’an akan dibantai sebagaimana khowarij
dibantu yahudi inggris membantai ahlussunah demi berdirinya kerajaan
(pura-pura) Ilsam dengan judul saudi arabia. semoga pandangan saya salah dan
saya berkesempatan bertaubat. saya masih khusnudzon kepada panjenengan sekalian
teman-teman wahabi.
Comment
by Abu Hanif on October 28, 2012 9:39 am
sebagai
seorang awam saya hanya ingin mengomentari tulisan Muchtar Luthfi yang
di-‘copy-paste’ oleh Hendriawan, khususnya pada akhir paragraf ke-2 di bab
Definisi Salafi. Di akhir paragraf itu tertulis bahwa “…Inggris pun akhirnya
dapat menghilangkan dahaga negaranya dengan menyedot sebagian kekayaan negara
itu,terkhusus minyak bumi……”
Setahu
saya dari referensi sejarah yang saya punya Keluarga Saud sangat membenci
dominasi Inggris saat itu di Timur Tengah, oleh karena itu Raja Saud lebih
memilih perusahaan Amerika Standard Oil of California (sekarang Chevron)- ini
jelas bukan perusahaan Inggris- yang akhirnya menemukan sumber minyak pertama
kali di Saudi Arabia pada tahun 1933 di masa resesi global kala itu. Posisi
Arab Saudi betul-betul genting saat depresi global saat itu dan penemuan sumber
minyak itu benar-benar membantu mereka.
Dan
juga tentunya faktor kenyataan dari pesaingnya bahwa Iran telah menemukan dan
mengelola sumber minyak bumi jauh sebelumnya pada tahun 1908. Dan perlu dicatat
bahwa penemu sumber minyak pertama kali di Iran itu adalah perusahaan minyak
Inggris yaitu Anglo-Persian Oil Company (AIPOC) yang sekarang menjadi Bristish
Petroleum.
Jadi
sepertinya ada sesuatu yang tidak akurat di tulisan Muchtar Lutfi di atas.
Inggris seelumnya sudah menyedot sumber minyak bumi Iran jauh sebelum Amerika
menemukan sumber minyak di Arab Saudi:)
Wassalam
Comment
by ikhwan on October 30, 2012 3:53 am
sifat
khas ahlil bid’ah wa hawa, kalau sdh tdk punya argumen lalu membolakbalik fakta
Comment
by abid on August 7, 2013 12:41 am
berbahagialah
yg membunuh atau terbunuh tanduk setan !!!
Kykx
bnyk jg dkampung gua ni, silahkan mencoba:)
Related articles
Bantahan terhadap buku Idahram yang berjudul
"Ulama sejagat menggugat Wahhabi
KERANCUAN SEJARAH WAHHABI : Sebuah kritik atas
pertentangan memoar Hempher dalam Buku Catatan Harian Seorang Mata-Mata: Kisah
Penyusupan Mata-Mata Inggris untuk Menghancurkan Islam
Meluruskan Pemahaman Keliru Tentang Syaikh Muhammad
Bin Abdul Wahhab (Penulis: Asy Syaikh
Shalih bin Abdul Aziz As Sindi)
Muhammad bin Abdul Wahhab: Fitnah Nejed?
Pembelaan
terhadap syaikh muhammad bin abdul wahhab (Fitnah dan Tuduhan Dusta Kelompok Sesat Hizbut
Tahrir Terhadap Dakwah Syaikh Imam Muhammad bin Abdil Wahhab
rahimahullahu) Oleh : Abu Salma Muhammad al-Atsari