Jabhah Nusrah,
organisasi cabang terbesar dalam sejarah al-Qaidah, pada hari Kamis (28/07)
mengumumkan nama baru bagi entitas mereka menjadi “Jabhah Fath Syam” atau dalam
versi Inggris “Levant Conquest Front”, sekaligus menyatakan tidak lagi terkait
dengan pihak asing manapun. Yang dikhawatirkan Barat, bahwa Qatar dan sejumlah
negara Teluk lainnya akan segera mengirim dukungan/bantuan material kepada
organisasi “baru” tersebut, sebagai sebuah kompensasi yang pernah ditawarkan
kepada pemimpin Jabhah Nusrah setahun yang lalu.
Washington sebagai
penjamin keamanan negara-negara Teluk barangkali merupakan satu-satunya pemain
yang mampu mencegah negara-negara Teluk itu memberikan legitimasi kepada sebuah
kelompok jihadis. Meskipun telah melakukan re-branding dengan mengubah namanya
dan secara resmi memutus hubungan dengan al-Qaidah, namun oleh Barat, kelompok
jihadis yang paling efektif di Suriah ini masih dianggap sangat berbahaya.
Komunikasi Publik yang Efektif
Sebelum mengumumkan
secara resmi nama barunya, JN telah merilis sebuah rekaman audio Syeikh Hasan
Abu al-Khair al- Masri yang diidentifikasi sebagai wakil pemimpin al-Qaidah, Dr
Aiman adz-Dzawahiri. Dalam rilisan tersebut, al-Masri memberikan otorisasi kepada
JN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan demi membela kepentingan
Islam dan kaum Muslimin, serta untuk melindungi jihad penduduk Syam.
Tidak lama setelah
pesan audio al-Masri, pemimpin JN Abu Muhammad al-Jaulani mengumumkan identitas
baru kelompoknya melalui sebuah video yang disiarkan oleh stasiun televisi yang
berbasis di Doha dan Dubai. Namun demikian, al-Jaulani tidak secara eksplisit
membatalkan baiatnya kepada adz-Dzawahiri atau berjanji bahwa kelompoknya tidak
akan bekerja sama dengan al-Qaidah di masa yang akan datang. Sejumlah figur di
jajaran pemimpin senior al-Qaidah, termasuk barangkali al-Masri sendiri diduga
telah hijrah ke Suriah, sehingga neo-JN ini masih bisa tetap memberikan laporan
kepada pemimpin al-Qaidah tanpa harus mengakui memiliki hubungan dengan pihak
luar.
Direktur Intelijen
Nasional, James Clapper, menyebut deklarasi/pengumuman terbaru JN tersebut
lebih sebagai sebuah manuver komunikasi publik. Ia menjelaskan bahwa waktu akan
membuktikan apakah mereka betul-betul berpisah dengan al-Qaidah. Sebagaimana
yang pernah didokumentasikan TLWJ sebelumnya, bahwa sejak awal al-Qaidah memang
tidak ingin terlalu membuka hubungannya dengan JN.
Meski demikian,
orang-orang Amerika dan media internasional secara luas terlanjur mengartikan
pengumuman al-Jaulani itu betul-betul sebagai pemisahan JN dari al-Qaidah, dan
ini adalah sebuah contoh komunikasi publik jihadis yang berhasil. Mengingat
bahwa publik telah menerima “rebranding” tersebut, ada alasan bagi musuh-musuh
jihadis untuk khawatir bahwa Qatar dan sejumlah negara Teluk lainnya akan
segera mengambil langkah-langkah dengan memberikan bantuan finansial kepada
“entitas baru” organisasi jihadis itu.
Investigasi Reuters
Maret 2015, Reuters
pernah membuat laporan adanya upaya beberapa pihak/negara di bawah koordinasi
Qatar yang mendorong “rebranding” Jabhah Nusrah sehingga memungkinkan oposisi
jihadis tersebut menerima dukungan/bantuan yang lebih besar. Mengutip dari
sumber orang dalam dan dari pihak yang dekat dengan kelompok itu, Reuter
melaporkan bahwa sejumlah pejabat intelijen Qatar dan negara-negara Teluk
lainnya pernah lebih dari sekali menemui al-Jaulani dalam beberapa bulan
terakhir.
Meskipun
pejabat-pejabat Qatar menolak berkomentar mengenahi pertemuan tersebut,
sebagaimana laporan Reuters, sebuah sumber yang dekat dengan Kementerian Luar
Negeri di Doha mengkonfirmasi bahwa Qatar memang menjanjikan akan memberikan
bantuan & dukungan lainnya, termasuk finansial dan material/logistik,
begitu JN memutus hubungan dengan al-Qaidah.
Pada bulan Desember
2015, Reuters kembali menyebutkan bahwa Qatar melihat Jabhah Nusrah sebagai
salah satu kelompok pejuang dengan kemampuan bertempur sangat efektif di
Suriah. Oleh karena itu, Doha menginginkan kelompok tersebut mau melunak dengan
harapan pada akhirnya mau berpisah dengan al-Qaidah, sehingga bisa diberikan
bantuan senjata.
Wall Street Journal
mengutip pernyataan seorang anggota JN pada hari Kamis (28/07) bahwa Qatar,
Arab Saudi, dan Turki menekan supaya dilakukan pemutusan hubungan JN dengan
al-Qaidah melalui kelompok jihadis sekutu mereka, yaitu Ahrarus Syam. Di hari
yang sama, Reuters menulis bahwa pesan al-Masri akan memberikan jalan bagi
dukungan & bantuan yang lebih besar kepada JN dari Qatar dan negara-negara
Teluk lainnya.
Tantangan Bagi Kebijakan AS dan Resolusi DK PBB
Jika bantuan Qatar
dan negara-negara Teluk lainnya benar-benar terwujud, bantuan semacam itu akan
bertentangan dengan kebijakan AS yang tertuang dalam sebuah kesepakatan
multilateral Amerika dengan negara-negara kawasan Teluk, termasuk “melanggar”
sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB.
Tidak lama setelah
pengumuman al-Jaulani, juru bicara Departemen Luar Negeri AS John Kirby
menekankan bahwa “mereka (Jabhah Nusrah) masih dianggap sebagai organisasi
teroris asing, karena kami melabeli sebuah kelompok berdasarkan apa yang mereka
lakukan, bukan berdasarkan cara mereka menamakan diri mereka sendiri.” Lebih
lanjut, pada tahun 2013 Jabhah Nusrah mendapat sanksi pembekuan aset,
pelarangan melakukan perjalanan, dan embargo senjata, berdasarkan resolusi DK
PBB terkait perang melawan terorisme, dan juga berdasarkan Piagam PBB Bab VII.
Qatar dan beberapa
monarkhi di kawasan Teluk juga berkewajiban memenuhi komitmen kesepakatan
berupa inisiatif diplomatik yang diprakarsai oleh AS pada tahun 2014 yang
dikenal sebagai “Komunike Jeddah”. Dalam kesepakatan tersebut, mereka berjanji
melakukan aksi bersama memerangi “semua terorisme”, termasuk “melakukan
kebijakan kontra-finansial terhadap ISIS dan berbagai ekstrimisme kekerasan
lainnya”. Ada keraguan bahwa pasca pengumuman rebranding oleh al-Jaulani
tersebut, apakah “JN baru” itu akan masuk dalam kategori seperti yang dimaksud
dalam Komunike Jeddah. Jika tidak, inilah yang dikhawatirkan sejumlah pihak di
Barat yang selama ini melihat reputasi Qatar terkait dengan JN bermasalah.
Reputasi Qatar di Mata Washington
Dalam laporan Deplu
AS yang dirilis pada bulan Juni kemarin menyebutkan sejumlah entitas dan
individu di Qatar masih terus menyediakan sumber finansial bagi
kelompok-kelompok teroris dan ekstrimisme kekerasan, terutama cabang-cabang
regional al-Qaidah seperti JN. Belum ada bukti bahwa Doha yang pada tahun 2014
mendapat predikat sebagai negara yang memiliki “aturan yang longgar” terkait
keuangan terorisme, pernah menghukum salah satu di antara individu-individu
tersebut. Dan juga, Qatar dilaporkan membiarkan sejumlah komandan Jabhah Nusrah
berkunjung ke Doha untuk keperluan penggalangan dana dan konsultasi militer di
awal tahun 2012.
Peran Amerika
sebagai superpower pelindung Qatar, berarti tidak banyak yang bisa dilakukan
oleh komunitas internasional untuk mencegah dukungan negara-negara Teluk
terhadap JN pasca rebranding kecuali jika Washington lebih dahulu mengambil
tindakan. Di samping itu, kemungkinan AS tidak punya banyak waktu untuk membuat
semacam sanksi yang jelas yang akan mencegah Doha dan negara-negara Teluk
lainnya memberikan bantuan finansial baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada organisasi jihadis itu.
Terhadap satu
negara Qatar, pemerintah Obama dapat dengan mudah menetapkan sanksi bagi
pelanggaran komitmen internasional oleh Qatar. Namun secara lebih persuasif, AS
bisa menjelaskan bahwa memberikan bantuan uang dan senjata baik secara langsung
maupun tidak langsung kepada JN bisa menyebabkan Qatar masuk ke dalam daftar
negara sponsor terorisme. Labelisasi semacam ini termasuk jarang terjadi yang
berdampak pada pemberlakuan sanksi.
Upaya Berlapis Amerika
Washington juga
bisa mengumumkan bahwa mereka akan menggunakan sumber daya intelijen untuk
memonitor pelanggaran oleh negara-negara partner. Mereka bisa bekerja untuk
mengkonfirmasi bahwa “entitas baru” Jabhah Nusrah masih dikenakan sanksi PBB,
termasuk membuat hukuman yang spesifik di Dewan Keamanan bagi negara-negara
yang melanggar ketentuan tersebut.
AS juga bisa secara
eksplisit memberikan peringatan kepada sekutu-sekutu mereka seperti Qatar untuk
tidak mengambil tindakan melalui “pintu belakang” dalam mengalirkan bantuan
kepada JN. Seperti contoh, dengan sengaja membiarkan senjata-senjata canggih
jatuh ke tangan kelompok tersebut melalui perantara milisi oposisi lain, atau
melakukan negosiasi senilai jutaan dolar untuk pembebasan sandera/tawanan
dengan kelompok yang sama. Sebagai lembaga eksekutif, pemerintah juga dapat
memberikan isyarat dukungan bagi sejumlah legislasi bipartisan di bawah
persetujuan Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS untuk menghukum negara-negara
yang gagal menghentikan aktifitas penggalangan dana kelompok tersebut di
wilayah mereka.
Kepala bagian
penerangan Gedung Putih, Josh Earnest, mengkonfirmasi pekan ini bahwa
pemerintah meyakini Jabhah Nusrah telah berkembang menjadi ancaman yang semakin
besar bagi negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Sementara peluang untuk
mengantisipasi ancaman tersebut semakin menipis tidak sebanding dengan besarnya
level ancaman.
Reporter : Yasin Muslim
Sumber : TLWJ