Arahan Umum Dalam
Menyikapi Fitnah Perselisihan Dikalangan Ulama’ (Bagian 1)
PENULIS: Abu Ukasya
Ilham Gorontalo
Catatan kaki: Mujahid
as Salafiy
MUQADDIMAH
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، الرحمن الرحيم، مالك
يوم الدين; وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده
ورسوله، أرسله رحمة للعالمين، وحجة على الكافرين، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه،
ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، وسلم تسليما.
Maha
suci Allah Ta’ala yang telah berfirman lagi termaktub dalam Qur’an yang mulia
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍۢ فِتْنَةً
وَكَذَٰلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُم بِبَعْضٍۢ
Dan
demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka dengan sebahagian mereka. (Q.S Al
An ‘am :53) .
Dua
ayat yang mulia ini Allah Ta’ala mengabarkan sebagian kita terhadap sebagian
yang lain menjadi fitnah. Manusia akan dilanda fitnah melalui saudara – saudara
mereka sendiri , tak lepas juga Ahlus Sunnah akan tertimpa pula fitnah. Dan
fitnah bertambah dahsyat dengan bertambahnya waktu.
Dalam
hadits Amru bin Ash disebutkan :
Umat
kamu ini kebaikannya di jadikan pada awalnya , akhir umat ini akan di timpa
musibah dan perkara – perkara yang kamu ingkari. Hadits riwayat Muslim Abdullah
bin Mas’ud berkata : Demi Allah Sesungguhnya aku tahu bahwa kemarin lebih baik
daripada hari ini, dan hari ini lebih baik dari besok. (Hadits riwayat Ath
Thobari).
Karena
pada saat ini hidup di jaman fitnah maka hendaknya kita kembalikan urusan nya
hanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala
dengan berpegang teguh pada perintahNya dan perintah nabiNya. Rasulullah
Sallallohu ‘alaihi Wasallam bersabda : Aku tinggalkan pada kalian dua perkara
yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka tidak akan sesat selamanya
yaitu Kitabulloh dan sunnah Rasululloh Sallallohu’alaihi wasallam.
Siapa
diantara kalian yang hidup sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak maka
wajib berpegang taguh pada sunnahku dan sunnah Khulafaur rosyidin yang diberi
petunjuk, gigitlah dengan gigi geraham. ( H.R Abu Dawud ).
Ini
adalah risalah ringkas yang ditulis akhuna Abu Ukasyah Ilham Gorontalo
berisikan cara bijak menyikapi fitnah di kalangan Ahlus Sunnah. Aku memohon
kepada Allah Subhanahu Wata’ala dzat yang maha mulia agar membalasnya dengan
kebaikan dan semoga bermanfaat baginya dan bagi kaum muslimin terkhusus Ahlus
Sunnah. Wal ‘ilmu indallah wa billahit taufiq wa Shallallohu’ala muhammadin wa
‘ala ‘alihi wa shohbihi ajma’in.
Mujahid
as salafi
Pengelola
———————————————————————–
MUQADDIMAH
PENULIS
Kami
mendapati beberapa berkomentar dalam fitnah ini, yang kami lihat mereka mau
bersikap pertengahan dalam fitnah ini , namun kami lihat pada perkataan nya
masih ada sikap taqshir dan guluw dan kecenderungan terhadap kelompok lain, dan
masih terbawa sikap ta’ashub dan kejahilan, dan mereka hanya membahas langsung
pada inti masalah, tanpa memberikan poin poin pengarahan sebelum masuk dalam
masalah, agar dengan pengarahan tersebut orang bisa bersikap diatasnya , dan
agar orang memahami kadar dirinya masing – masing, jadi kami terdorong untuk
andil memberikan pengarahan.
Mudah
– mudahan memberikan titik gambaran solusi dari fitnah tersebut dengan taufiq
dan bantuan dari Allah Subhanahu Wata’ala.
Abu
Ukasyah Ilham Gorontalo
——————————————————————————
(sebelumnya
kami nasehatkan pada diri ini dan saudara – saudara kami [1])Marilah kita
menyibukkan diri mempebaiki diri- diri kita dan keluarga- keluarga kita[2], dan
berdakwah di jalan Allah Subhanahu Wata’ala kepada orang – orang yang ada di
sekitar kita atau orang – orang yang bisa kita jangkau untuk menyampaikan
tauhid dan Sunnah[3], Nabi Shalallohu’alaihi wasallam bersabda :
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْأَيَةٌ
“Sampaikanlah
dariku meskipun hanya satu ayat”[4]
Orang
yang berakal adalah orang yang bisa menjaga dirinya tetap istiqomah diatas
jalan Allah ketika terjadi fitnah, dia tidak tersibukan mengurus perkara –
perkara yang belum bisa di jangkaunya, dia berdakwah memulai dengan perkara
yang paling terpenting kemudian yang penting lainnya. Nabi Shalallohu’alaihi
Wasallam bersabda :
إِنَّ السَعِيْدَ لِمَنْ جُنِّبَ الفِتَنْ
“Sesungguhnya
orang –orang yang beruntung adalah orang yang dijauhkan dari fitnah”.[5]
Perlu
di ketahui ! bahwa perkara Ulama saling mentahdzir dan saling menghukumi itu
bukan perkara baru, tapi sudah ada sejak jaman para Aimmah terdahulu, fitnah
Ulama itu akan berdampak negatif bagi para pengikut mereka, sampai pada masa
kita sekarang ini, namun bagi orang –orang yang faham maka janganlah kemudian
dia melibatkan orang – orang awam atau orang – orang yang baru mengaji dan
kenal dakwah, karena itu akan membuat mereka bingung dan akhirnya lari dari
dakwah, dan ini bertentangan dengan sabda Nabi Shalallahu’alaihi Wasallam:
“Sesungguhnya
kalian diutus untuk mempermudah ( dalam dakwah ) dan bukan mempersulit”.[6]
Beliau
-shalallahu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda kepada Mu’adz dan Abu Musa yang
mau dikirim berdakwah ke Yaman
“Bersatulah
kalian dalam dakwah dan jangan berselisih. Permudahlah dan jangan mempersulit,
berilah kabar gembira dan jangan membuat lari”.[7]
Inilah nasehat beliau-shalallahu ‘alaihi wa
sallam- kepada para Da’I secara umum.
Perkara
Ulama saling mentahdzir dan saling menghukumi itu memang bidang mereka , karena
ini masuk dalam BAB Jarh Wa Ta’dil , hendaknya kita berprasangka baik terhadap
mereka, karena mereka juga dalam mentahdzir bukan karena hawa nafsu atau karena
Ta’ashub atau pembelaan kelompok, namun karena kecemburuan mereka terhadap
agama ini , niat baik mereka ingin menjaga agama yang mulia ini,dan niat baik
mreka ingin menjaga Ummat dan menasehatinya, ini sikap yang harus kita
kedepankan terhadap para Ulama, jika mereka salah maka itu adalah ijtihad yang
mereka tetap mendapat pahala karena nya[8] , kecuali nampak dari mereka niat
jahat dalam usaha tersebut, baru kita hukumi sesuai dzohir nya.
Sekali
lagi untuk para da’I dalam fitnah ini , jangan kemudian melibatkan orang –
orang awam atau orang – orang yang baru ngaji ( kenal dakwah ) karena akal dan
pemahaman mereka belum bisa menjangkau fitnah ini, karena sahabat Ali bin Abi
Tholib –radliyallahu ‘anhu-berkata :
‘Sampaikanlah
kepada manusia sesuai dengan kadar akal – akal mereka “
Adapun
jika hanya sekedar menghabarkan secara umum bahwa telah terjadi fitnah Ulama
fulan dengan Ulama fulan, dan memberikan sedikit arahan kepada mereka, maka ini
tidak mengapa, namun jangan kemudian fitnah tersebut di jadikan saran untuk
mengelompok. Sarana untuk tahazzub, sarana untuk fanatik, membela ulama sana
atau sini, membela Geng sana atau geng sini. Inilah bukanlah tujuan syari’at ,
ini bukanlah tujuan dakwah, tetapi ini adalah Manhaj Perang, Manhaj Partai,
Manhaj tahazzub. Wala Haula Wala Quwwata
Illa Billah !
Ringkas
masalah, dalam fitnah ini orang – orang yang menyikapi nya terbagi menjadi tiga
yaitu :
1).
Orang – orang yang guluw
2).
Orang – orang yang tafrith / taqshir / meremehkan.
3).
Muqtashid / orang – orang pertengahan.
Gologan
yang pertama yakni orang – orang yang ghuluw[9]adalah orang – orang yang
menjadikan fitnah ini sebagai sarana tahazzub , perpecahan dan permusuhan , dan
melibatkan orang – orang awam dan para thullab yang masih baru, kemudian
mendesak mereka untuk bersikap atau membela Ulama sana atau sini.
Golongan
yang kedua , yakni orang – orang yang taqshir[10], meremehkan tidak mau tahu
dengan fitnah Ulama, alergi dengan fitnah Ulama, berprasangka buruk terhadap
Ulama , menyangka bahwa dalam fitnah ini Ulama membuat fitnah, Ulama membuat
perpecahan, Ulama tidak faham kondisi , Ulama tidak hikmah, mereka tidak mau
tahu dan berprasangka buruk terhadap fitnah ini.
Adapun
Golongan Muqtashid [11]yakni orang – orang yang selamat ketika terjadi fitnah ,
mereka tidak ghuluw dan tidak taqshir , mereka tetap berprasangka baik terhadap
Ulama, dan mereka tetap mendo’akan para Ulama dengan kebaikan[12] , tidak
terpengaruh dengan fitnah, dan tidak membuat masalah jadi rumit, tidak membuat
masalah menjadi besar, tidak memperkeruh masalah , mereka tetap istiqomah
berdakwah di jalan Allah , menyampaikan perkara – perkara yang bermanfaat
tentang tauhid dan sunnah dengan cara hikmah, mereka tidak melibatkan orang –
orang yang baru ngaji ( kenal dakwah ) mereka tidak mendesak orang lain untuk
bersikap dalam fitnah ini, mereka saling menasehati sesama untuk sibuk mengurus
aib diri sendiri dan keluarga, semua itu bukan karena sikap meremehkan fitnah
yang terjadi di kalangan Ulama , namun mereka menjaga jangan sampai ketika
terlibat dalam fitnah tersebut sehingga menyebabkan muncul fitnah baru yang
lebih besar, seperti yang terjadi di kalangan para ustadz , akibat terlibat
dalam fitnah akhirnya di cela, di fitnah , di hukumi di tahdzir, di bongkar
aibnya. Padahal kita diperintah menyembunyikan aib kita setelah bertaubat.
Namun dengan sebab kita masuk dalam fitnah ini, kita mentahdzir yang dengan itu
orang lain membalas dengan membongkar aib kita yang tidak pantas ditampakkan,
yang ujungnya menyebabkan orang lain tidak menerima nasehat kita, tidak
menerima kebenaran yang kita sampaikan.
Maka
hendaknya Seorang Dai merenungi hal ini, bisa jadi dia masuk dalam hadits :
“semua
kesalahan ummatku akan diampuni kecuali orang yang menampakkan maksiatnya
terang – terangan.”[13]
Bukan
kita yang menampakkan secara langsung, tapi akibat perbuatan kita akhirnya
orang lain mengumbar – umbar aib kita. Makanya dalam hadits disebutkan :
“celakalah
orang yang mencela kedua orang tuanya! Yaitu orang mencela orang tua orang lain
kemudian orang tersebut membalas mencela orang tuanya.”[14]
Orang
– orang yang muqtashid mereka mengambil sikap diam dalam fitnah tersebut, jika
mereka menyikapi maka tidaklah mengomentari kecuali hanya sekedar memberikan
arahan – arahan yang bersifat umum, jika mereka terjun dalam fitnah mereka
bersikap bijaksana, berniat baik ingin mencari kebenaran dan berusaha membuat
solusi, sikap mereka terjun dalam fitnah tidaklah menimbulkan fitnah yang baru
yang lebih besar, yang mana kesemuanya itu mereka lakukan diatas dasar nasehat
dan keikhlasan dan diatas dasar sikap mengikuti Rasulullah –shalallahu ‘alaihi
wa sallam- dan mengikuti jejak para salafush shaleh, jauh dari sikap mengikuti
hawa nafsu dan fanatik. [15]
Orang
– orang yang ingin mengetahui dan mempelajari fitnah yaman, maka hendaknya
bersikap adil[16], bijaksana, dan
tatsabut. Jangan dia mengikuti sesuatu yang dia tidak tahu tentangnya atau dia
menghukumi sesuatu yang belum jelas permasalahannya, karena hanya sekedar
menerima berita dari sepihak. Karena dalam menyikapi dua pihak yang bersengketa
harus mengetahui hujjah dari masing – masing pihak. Inilah yang dilakukan
Rasulullah dan dilakukan para Nabi –‘alaihim ash shalatu wa as salam-. Setelah
dia mengetahui duduk masalah dan mengetahui pihak mana yang benar. Maka dalam
hal ini berlakulah sabda Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-:
“tolonglah
saudaramu yang dizhalimi atau yang menzhalimi, adapun orang yang menzhalimi
maka engkau mencegahnya dari berbuat zhalim.”[17]
Jangan
kemudian dia memaksa dan mendesak orang lain untuk mengetahui dan mempelajari
fitnah ini, dengan perkataan “antum harus tahu dan mempelajari masalah ini,
antum harus bersikap!, jika antum tidak mencari kebenaran dalam hal ini maka
antm akan terseret pada hizbiyyah! Atau kalimat – kalimat yang senada, ujungnya
adalah memaksa dan mendesak orang harus bersikap, agar diketahui mana yang di
pihak sini dan mana yang di piak sana, seolah – olah perkara ini adalah yang
wajib diketahui dan dipelajari, serta akan menciderai ketsiqahan manhaj
seseorang. Bersambung insya Allah
[1]
Mengambil faidah dari firman Allah:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًۭا مِّمَّن دَعَآ إِلَى
ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحًۭا
Siapakah
yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh. ( QS. Fushhilat : 33 ) Tambahan dari pemberi
catatan kaki
[2]
Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟
أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًۭا
Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka. (
QS. At Tahrim : 06 )
[3]
Allah berfirman:
ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ
وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ
رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ
بِٱلْمُهْتَدِينَ
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. ( QS. An Nahl : 125 )
[4]
Hadits riwayat Bukhari dari sahabat Abdullah bin Amr bin Ash
[5]
Hadits riwayat Abu Dawud dalam sunannya di kitab al Fitan wal Malahim,
dishahihkan Syaikh al Albani dalam al Misykatul Mashabih 5405
[6]
Hadits Riwayat Bukhari dari Shahabat Abu Hurairah –radliyallahu ‘anhu- no 220
[7]
Hadits Riwayat Bukhari
[8]
Rasulullah-shalallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda:
Apabila
seorang hakim menghukumi suatu perkara, lalu berijtihad dan benar baginya dua
pahala. Dan apabila dia menghukumi suatu perkara, lalu berijtihad dan keliru,
maka baginya satu pahala. ( HR. Bukhari dan Muslim dari Amru bin Ash )
[9] Golongan ini dicela dalam al Qur’an dan Hadits
serta tidak sesuai dengan manhaj salaf. Allah berfirman:
يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى
دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلْحَقَّ ۚ
Wahai
Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. (QS. An Nisa’ : 17)
[10] Golongan ini juga merupakan makar syetan dan
bukan manhaj salaf. ( Mawaridul Amn 187 )
[11]
Inilah golongan yang beruntung dan manhaj Ahlus Sunnah berdiri diatasnya, allah
berfirman:
وَأَقْسِطُوٓا۟ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ
ٱلْمُقْسِطِينَ
dan
berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (
QS. Al Hujurat : 09 )
[12]
Syaikh Abdul Muhsin berkata: sepeninggal rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa
sallam- tiada seorangpun yang ma’sum, begitu pula orang alim, diapun tidak akan
leps dari kesalahan. Seorang yang terjatuh dalam kesalahan, janganlah kesalahan
itu digunakan untuk menjatuhkan dirinya dan tidak boleh kesalahannya itu
menjadi sarana untuk membuka kejelekannya yang lain dan melakukan tahdzir
terhadapnya….. sa’id bin Musayyib berkata: seorang ulama’ , orang yang mulia,
atau orang yang memiliki keutamaan tidak
akan luput dari kesalahan. Akan- —tetapi, barangsiapa yang keutamaannya lebih
banyak dari kekurangannya maka kekurangannya akan tertutup oleh keutamaannya.
Abdullah
bin al Mubarak berkata: apabila kebaikan seorang lebih banyak daripada
kesalahannya maka kesalahannya tidak dianggap. ( Siyaru A’lamin Nubala’ 8/352 )
( mengambil faidah dari risalah Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah, Syaikh
Abdul Muhsin al Abbad )
[13]
Hadits riwayat Bukhari no 6069
[14]
Hadits riwayat Bukhari dari Amru bin Ash
[15]
Allah melarang hambaNya mengikuti hawa nafsu, sebagaiamana dalam firmanNya:
أَفَرَءَيْتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ
هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍۢ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِۦ
وَقَلْبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةًۭ فَمَن يَهْدِيهِ مِنۢ بَعْدِ
ٱللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya,
dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?. ( QS. Al Jatsiyah : 23 )
[16]
Allah berfirman:
ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
Berlakulah
adil, karena adil itu lebih dekat kepada ketaqwaan. ( QS. Al Maidah: 08 )
[17]
Hadits riwayat Bukhari dalam kitab shahihnya dari shahabat Anas bin Malik
–radliyallahu ‘anhu-
Sumber
: millahmuhammad.blogspot.com
Arahan umum dalam menyikapi fitnah perselisihan
dikalangan ulama’ (Bagian 2)
PENULIS: Abu Ukasya
Ilham Gorontalo
Catatan kaki: Mujahid
as Salafiy
Dalam hadits Nabi
–shalallahu ‘alaihi wa sallam- “mencegah orang yang berbuat zhalim” harus
sesuai tahapan seperti hadits:
“siapa yang melihat
kemungkaran maka hendaklah dia cegah dengan lisannya…………dst[1]”
Jika dia mampu dengan
tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu pula maka
dengan hati. (Disini kita mendapatkan faidah)[2] jika dia tidak mampu merubah
dengan tangan maka janganlah dia memaksakan diri yang dengannya muncul bahaya
yang besar. Dan termasuk inkarul mungkar dengan tangan adalah hajr/ boikot,
maka jika dia tidak mampu menghajr atau akan menimbulkan kerusakan yang lebih
besar, maka janganlah dia memaksakan dirinya untuk menghajr karena akan
menimbulkan kerusakan[3], begitu pula jia dia tidak mampu merubah dengan lisan,
dalam artian tidak mampu memberikan penjelasan dan nasehat atau justru
menimbulkan bahaya, maka dia tidak boleh memaksakan dirinya dengan sebab bahaya
yang akan timbul[4], Maka tidaklah tersisa kecuali merubah dengan hati yakni
membenci dan meninggalkan maksiat dan pelakunya[5].
Yang harus dilakukan
oleh orang yang memahami fitnah ini dan mengetahui pihak yang benar, maka
hendaknya dia membelanya sesuai dengan keadilan dan jangan bersikap berlebihan
dalam pembelaan. Yakni dengan berusaha memberikan penjelasan kepada pihak yang
menzhalimi dan orang yang sefaham dengan mereka, agar mereka tidak terus menerus
dalam berburuk sangka, dan berusaha meluruskan serta mebuat perbaikan bukan
menambah keruh masalah dan membuat fitnah baru. Dan disisi lain hendaknya dia
tetap menolong saudara yang menzhlimi dengan mencegah kezhalimannya sesuai
tahapan dalam hadits, jika tidak mampu hendaknya dia diam, tidak berbuat apa –
apa kecuali mendoakan[6], jangan kemudian dia memaksakan diri mentahdzir atau
menghukumi karena hal itu akan
menimbulkan kerusakan yang tidak remeh.
FASAL TENTANG TAHDZIR
DAN HAJR
Masalah menghukumi itu bidangnya
orang – orang yang berilmu, punya keahlian dalam hal itu, atau para Qadli.
Karena hal itu masuk bab Ijtihad dan Bab Inkarul Munkar, namun jika kita sudah
menjadi Mujtahid maka silahkan menghukumi, jika tidak, maka jangan kita masuk
pada perkara yang bukan hak kita. [7]
Tahdzir terbagi menjadi
dua macam, Tahdzir secara umum dan secara Ta’yin. Tahdzir secara umum adalah
mentahdzir sifat dan perbuatan serta pelakunya secara umum, seperti mentahdzir
syirik dan orang – orang musyrik, mentahdzir bid’ah dan pelakunya, mentahdzir
kemaksiatan dan pelakunya secara umum, ini hukumnya wajib dan bukan termasuk
ghibah. Adapun yang ke dua yaitu mentahdzir secara ta’yin atau person tertentu
maka ini termasuk ghibah yang diperbolehkan bahkan termasuk nasehat serta
termasuk juga inkarul munkar jika didasari dengan ilmu, keikhlasan dan
wara’[8]. Jika hal itu tidak dimiliki oleh orang yang mentahdzir maka dia akan
berbuat kejahilan dan kezhaliman dalam tahdzirnya.
Adapun yang dimaksud
“diatas ilmu “ adalah dia mengetahui sebab – sebab tahdzir, keadaan orang yang
ditahdzir dan mampu menimbang mashlahat dan madlarat. Ringkasnya dia adalah
ahli Ijtihad, karena jika tidak, akan banyak madlaratnya.
Adapun syarat yang
ke-dua”dia harus memiliki sifat wara’[9] ”, karena bisa jadi dia mentahdzir
memang diatas ilmu tapi bermaksud ingin tampil, ingin didengar, ingin terkenal
dan maksud – maksud duniawi lainnya atau dia mentahdzir karena bisa jadi dia
mentahdzir karena ingin melampiaskan dendamnya, atau karena iri, atau ingin
menyenangkan teman – temannya, atau membuat teman – temannya ridla padanya
supaya keberadaan dan kedudukannya masih dianggap disisi teman – temannya,
sehingga tahdziran berubah menjadi ghibah yang diharamkan, sadar atau tidak
(dia telah melakukan ghibah). Walaa Haula Walaa Quwwata Illa Billah
Dari sisi tahdzir
secara ta’yin, perkara wajib yang harus dilihat oleh orang yang mentahdzir
adalah apakah tahdzirannya menghasilakn mashlahat ataukah madlarat atau
madlaratnya lebih besar dari pada mashlahatnya[10], karena kepincangan dalam
menimbang hal ini akan menimbulkan kerusakan yang tidak remeh dan dia juga
harus memperhatikan dirinya dan orang yang tahdzirnya. Apakah dirinya termasuk
orang yang didengar atau tidak, dia juga harus memperhatikan keadaan objek
orang yang ditahdzir, apakah orang tersebut orang berilmu atau tokoh yang
didengar masyarakat. Jika dia tidak memperhatikan hal ini maka bisa jadi orang
yang ditahdzir akan membalas mentahdzir dan membongkar aib kita dan membuat
fitnah, sehingga berpengaruh terhadap saudara – saudaranya yang lain yang
bersamanya atau yang sepaham dengannya dan menambah musuh yang lebih banayak,
membuat orang – orang menjauh dari dakwahnya, sehingga manfaat dari
tahdzirannya tidak berhasil bahkan sebaliknya hanya madlaratyang terjadi. Maka
dalam keadaan seperti ini dia tidak boleh mentahdzir orang tersebut dan mecari
thariqah lain yakni mentahdzir secara umum tanpa menyebut person agar orang
berhati – hati dari penyimpangan tersebut. Maka dengan ini dia insya Allah
telah menunaikan kewajibannya dalam menasehati dan berdakwah.
Adapun Hajr juga ada
dua macam yaitu hajr wiqayah dan hajr Tabdi’/Ta’zir. Hajr Wiqayah adalah
menjauhi maksiat dan pelakunya denangan maksud menjaga dirinya agar tidak
terjerumus di dalamnya, misalnya
menjauhi syirik, bid’ah, maksiat dan pelakunya, masuk juga dalam Hajr Wiqayah
yaitu hijrah dari tempat kesyirikan menuju tempat tauhid. Rasulullah
–shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“orang – orang yang
berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa –apa yang dilarang oleh Allah.” (
HR. Bukhari dan Muslim )
Hajr ini merupakan
kewajiban setiap muslim, adapun hajr yang ke dua yakni Hajr Tabdi’ atau Hajr
Ta’zir adalah memboikot pelaku bid’ah dengan maksud memberikan hukuman agar
pelakunya menyadari dirinya dan bertaubat, dan sebagai sebagai peringatan bagi
orang lain agar tidak melakukan hal yang serupa. Hajr ini menimbang mashlahat
dan madlarat , melihat kondisi orang yang menghajr dan yang diHajr disisi kuat
atau lemah dan dari sisi banyaknya jumlah atau sedikit. Jika orang yang diHajr
tidak menyadari kesalahan dirinya atau bertambah jauh dari Allah –ta’ala- maka
dalam keadaan seperti ini tidak boleh diHajr Tabdi’[11]. Wallahu a’lam
Ketika kita tidak mampu
menempuh tahdzir secara ta’yin, mka bisa kita tempuh dengan cara tahdzir secara
umum dengan membantah dan mencela penyimpangan tersebut tanpa menyebut
orangnya, maka dengan ini kita telah terhitung telah berInkarul Munkar dan
telah tercapai mentahdzir dan menyampaikan kebenaran, seperti yang dilakukan
oleh Rasulullah ketika beliau bersabda:
“ ada perihal apa suatu
kaum yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah. ”[12]
Jika telah kita ketahui
bersama bahwa Tahdzir, Hajr dan Tahkim adalah merupakan wasilah dakwah, wasilah
inkarul Munkar, maka tentunya harus dilihat tujuannya apakah terhasilkan
mashlahat lebih besar ataukah madlarat yang lebih besar? Jika seandainya tidak
terhasilkan maka wajib bagi kita untuk bersabar dan menahan diri dari merubah
kemungkaran tersebut. Tidak boleh kita karena terbakar semangat sehingga memaksakan
diri untuk merubahnya sehingga muncullah madlarat yang lebih besar, sehingga
kita terhitung berbuat zhalim dalam Inkarul Munkar kita. Maka dalam kondisi
seperti ini bukan berarti kita terlepas dari mengingkarinya, akan tetapi disana
ada kewajiban terakhir yaitu merubah dengan hati yakni dengan membenci dan
menjauhi perbuatan dan pelakunya tersebut.
Dan hal penting yang
perlu diperhatikan disini, bahwa tujuan dakwah kita adalah mengajak orang ke
jalan Allah, menyampaikan al Qur’an dan Sunnah berusaha, bagaimana orang yang
berbuat zhalim berhenti dan bertaubat dari kezhalimannya. Mengajak orang yang
melakukan kesyirikan bisa sadar dan bertaubat kepada Allah[13], begitu pula
pelaku bid’ah dan maksiat. Semuanya kita ajak ke jalan Allah dan bertaubat kepadaNya.
Inilah dakwah para Rasul, seperti ajakan Nabi Nuh dan yang lainnya –‘alihimus
salam- kepada kaumnya yang disebutkan dalam al Qur’an:
فَقُلْتُ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ إِنَّهُۥ
كَانَ غَفَّارًۭا
maka
aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia
adalah Maha Pengampun. [14]
وَيَٰقَوْمِ ٱسْتَغْفِرُوا۟ رَبَّكُمْ ثُمَّ
تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِ
Dan
(dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah
kepada-Nya.[15]
Inilah
yang kita hidupkan yakni dakwah bukan menghukumi orang, misalnya berusaha
menghukumi orang yang melakukan syirik dihukumi kafir, bagaimana pelaku bida’ah
dihukumi mubtadi’ atau hizbiy dan bagaimana pelaku maksiat dihukumi fasiq serta
membebani diatas itu, berusaha dan berusaha menacari apakah si fulan hizbiy
ataukah kafir ataukah fasiq. Bahkan mengangkat permasalahan kepada para Ulama’
untuk memberikan keputusan bahwa si fulan mubtadi’ atau hizbiy. Walaa Haula
walaa Quwwata illa Billah
Pertanyaannya,
apakah ini adalah dakwah para Rasul???! Dan perlu diingat bukan berarti
kita menihilkan masalah menghukumi
secara ta’yin, namun hal ini janganlah di hidupkan seperti halnya kita
menghidupkan dakwah. Mari kita lihat kembali hadits Nabi bagaimana menyikapi
kemungkaran diatas “siapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia cegah
dengan lisannya”, Disitu nabi tidak berkata: maka hendaklah dia menghukuminya.
[16]
-selesai
fasal ini dengan pertolongan Allah-
[1]
Hadits Muslim dari Abu Sa’id al Khudriy
[2]
Tambahan dari pemberi catatan kaki
[3] Muslim yang baik adalah yang menyelamatkan
muslim lain dari bahaya tangan dan lisannya, Rasulullah bersabda:
ان رجلا سأل رسول الله: أي مسلم خير؟ قال: من
سلم المسلمون من لسانه و يده. ( رواه مسلم
)
“Bahwa
seorang bertanya kepada Rasulullah Shallalla hu ‘alaihi wa Salam: siapa orang
muslim yang terbaik?, beliau menjawab:
orang yang menyelamatkan orang muslim lainnya dari lidah dan tangannya”. ( HR. Muslim )
[4]
Diantara sikap serang muslim yang dicontohkan oleh Nabi –shalallahu ‘alaihi wa
sallam- adalah bersikap diam jika tidak mampu berkata baik,
عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه أن رسول الله
صلى الله عليه وآله وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو
ليصمت
“Dari
Abu hurairah –radliyallahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah – Shallalla hu ‘alaihi
wa Salam – bersabda: “Barang siapa yang beriman dengan Allah dan hari ak hirat
maka hendaklah ia mengucapkan perkataan yang baik atau lebih baik diam”. ( HR.
Bukhari dan Muslim )
Asy
Syafi’I berkata: makna hadits tersebut adalah apabila ia ingin untuk berbicara
maka hendaklah ia pikirkan terlebih
dulu, apabila ia melihat tidak akan berbahaya diatasnya baru ia bicara, dan
apabila ia melihat bahwa didala mnya ada bahaya atau ia ragu-ragu antara
berbahaya atau tidaknya, maka lebih baik ia memilih diam”
Oleh
karena itu seorang muslim harus benar – benar menjaga lisannya agar bertutur
kata baik dan memberi manfaat bukan sebaliknya. Rasulullah bersabda:
“Tiadalah
yang membantingkan manusia kedalam neraka diatas muka atau hidung mereka
melainkan akibat panenan buah lidah mereka”. ( HR. Tirmidzi dalam sunannya )
“Sesungguhnya
seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat tanpa memikirkan apa yang terkandung
dalamnya, sehingga dengan sebab kalimat tersebut ia dicampakkan kedala m neraka
yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat”. ( HR. Bukhari dalam kitab
shahihnya )
[5] Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: begitu pula
wajib bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari setiap amalan yang tidak
diidlai Allah dan RasulNya, meskipun amalan itu tidak sampai pada derajat
kekafiran seperti kefasikan dan kemaksiatan, sebagaimana Allah ta’ala
berfirman:
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ
الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ
وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
“tetapi
Allah menjadikan kamu kecintaan kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu
indah di hatimu dan menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan
kedurhakaan. Mereka itulah yang mengikuti jalan yang lurus.” ( QS. Al Hujurat :
07 )
Jika
ada seorang mukmin yang memiliki keimanan sekaligus kemaksiatan maka kita wala’
padanya kerena keimanannya dan membenci karena kemaksiatannya dan hal ini
berlaku pula pada kehidupan kita, terkadang anda mengambil obat yang rasanya
tidak enak dan anda membencinya. Namun demikian anda tetap menyukainya karena
ada kesembuhan dari penyakit pada obat tersebut. Sebagian orang membenci
seorang mukmin pelaku kemaksiatan dengan
kebencian yang lebih besar dari pada kebencian terhadap orang kafir, ini adalah
keanehan dan membalik kenyataan yang sebenarnya. ( Majmu’ fatawa wa Rasail
Syaikh Ibnu utsaimin 2/12 )
[6]
Mendoakan kebaikan atas muslim yang lain adalah sebuah kebagusan yang banyak
dilalaikan terlebih orang yang mendalami masalah fitnah ini. Wallahu a’lam
Padahal
Rasulullah bersabda: apabila seorang muslim mendoakan kebaikan untuk saudaranya
yang berjauhan, maka malaikat akan mendoakannya pula: semoga engkau memperoleh
kebaikan juga. ( HR. muslim dalam kitab shahihnya )
[7]
Syaikh Ahmad bin Yahya an Najmi: Tidak
boleh bagi penuntut ilmu yang masih pemula untuk menghukumi seorang sebagai
pelaku bid’ah atau mengkafirkan kecuali setelah memiliki kemampuan untuk
itu,dan wajib baginya untuk menyerahkannya kepada ulama’, karena Allah
berfirman :
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ
أُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسْتَنۢبِطُونَهُۥ مِنْهُمْ
Dan
kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka,
tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). ( QS. An Nisa’ : 83 ) ( fatawa
al Jaliyyah: 32 )
Syaikh
Yahya bin Ali al Hajuri -hafizhahullah- berkata: Adapun kalau sekedar menerka
atau tidak punya kemampuan atau tidak dapat meletakkan perkara pada tempatnya
atau tidak mengetahui perkara ini, tidak
paham, bisa jadi dia hanya menyangka bahwa … orang itu berhak untuk
ditahdzir sedangkan orang itu tidak berhak untuk ditahdzir dan seterusnya, yang
seperti ini wajib baginya untuk menuntut ilmu dan bertanya kepada yang tahu
(ulama’) sehingga dia tidak menambah robekan semakin meluas dan demikian pula
mudharatnya lebih banyak dari pada manfaatnya. ( Mengambil faedah dari Nashul
Bayyin bi anna Tabdi’ Laisa bi Hayyin )
[8] Dan seorang yang mentahdzir juga harus
memiliki aqidah yang lurus, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Khatib Al
Baghdadi ( lihat Nashhul Bayyin bi anna Tabdi’ Laisa bi Hayyin )
[9] Wara’ berasal dari kata wara’a yara’u war’an
yang artinya menjaga dan menghindari dari hal – hal yang diharamkan. ( lihat
Mu’jamul Wasith )
[10]
Ini adalah kaidah penting dalam syariat islam secara umum dan dalam berInkarul
Munkar secara khusus. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: jika amar ma’ruf
dan Nahi munkar merupakan kewajiban dan amalan sunnah yang agung maka hendaknya
mashlahat di dalamnya lebih besar dari madlaratnya, karena Allah tidak menyukai
kerusakan. ( al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar hal 10 )
[11]
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin dalam syarah riyadlus
Shalihin hadits pertama bab ikhlas, konteks ucapan beliau adalah sebagai
berikut: adapun kalau memboikotnya tidak bermanfaat dan sekedar perbuataanya
adalah maksiat, bukan karena kekufuran maka tidak boleh memboikotnya. Karena
Rasulullah bersabda: tidak halal bagi seorang muslim tidak menegur/ membiarkan
saudaranya lebih dari tiga malam, jika berjumpa yang ini memalingkan muka dan
yang lain memalingkan muka, dan sebaik – baik dari keduanya adalah yang memulai
mengucapkan salam. ( HR. Bukhari dan Muslim )
[12] HR. Bukhari dalam kitab shaihnya bab asy
Syuruut
[13]
Ini adalah dakwah utama yang diemban oleh para Rasul, Allah berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍۢ
رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَ ۖ
Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
“Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. ( QS. An Nahl : 36 )
[14]
QS. Nuuh : 10
[15]
QS. Huud : 52
[16]
Selesai Fasal ini dengan pertolongan Allah.
Sumber
: millahmuhammad.blogspot.com