Kabar Gembira dan solusi di Tengah Keterpurukan
Umat
Umat
7 November 2016 by abunamirahasna
Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah–
Roh GentayanganDimana-mana kita telah
menyaksikan, mendengar dan mendapatkan berita tertekan atau tertindasnya Islam
dan kaum muslimin.
Sebaliknya kaum kafir semakin menunjukkan
taring kebuasannya di hadapan kaum muslimin bagaikan singa yang siap menerkam
mangsanya.
Islam dan pengikutnya selalu disempitkan
geraknyaoleh orang-orang kafir sehingga kebenaran yang akan disuarakan oleh
penegak dan pembawa panji kebenaran terpinggirkan, bahkan hampir tenggelam oleh
kekuatan kaum kafir dan segala makarnya dalam memadamkan cahaya kebenaran
Islam.
Allah –ta’ala– berfirman,
يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ
بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ
الْكَافِرُونَ (32) هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ
لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ (33)
[التوبة/32، 33]
“Mereka (kaum kafir) berkehendak
memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah
tidak menghendaki, selain menyempurnakancahayanya, walaupun orang-orang yang
kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa)
petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala
agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai”. (QS. At-Taubah : 32-33)
Ahli Tafsir Jazirah Arab, Syaikh Abdur
Rahman bin Nashir As-Sa’diy –rahimahullah– berkata,
ونور اللّه: دينه الذي أرسل به الرسل، وأنزل به
الكتب، وسماه اللّه نورا، لأنه يستنار به في ظلمات الجهل والأديان الباطلة، فإنه
علم بالحق، وعمل بالحق، وما عداه فإنه بضده، فهؤلاء اليهود والنصارى ومن ضاهوه من
المشركين، يريدون أن يطفئوا نور اللّه بمجرد أقوالهم، التي ليس عليها دليل أصلا.
(انظر : تيسير الكريم الرحمن – ص 335)
“Cahaya Allah adalah agama-Nya yang Dia
mengutus para rasul untuk membawanya dan menurunkan kitab-kitab dengannya.
Allah menamainya sebagai “cahaya”, karena ia (agama Islam) dijadikan pelita di
dalam gelapnya kejahilan dan agama-agama batil. Sebab Islam itu adalah ilmu
tentang kebenaran dan pengamalan terhadap kebenaran. Adapun selainnya, maka
justru sebaliknya!! Orang-orang Yahudi dan Nasrani (Kristen) serta orang-orang
serupa dengan mereka dari kalangan kaum musyrikin, menginginkan untuk
memadamkan cahaya (agama) Allah dengan sekedar ucapan-ucapan mereka yang pada
asalnya tidak didasari oleh suatu dalil”. [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman
(hal. 335)]
Orang-orang kafir dengan berbagai macam
tipe dan jenisnya, semuanya bersepakat ingin memadamkan cahaya Islam yang
dibawa oleh Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– kepada umat manusia.
Upaya memadamkan cahaya Islam, mereka
lakukan dengan berbagai macam propaganda busuk yang mengkambinghitamkan Islam,
menyudutkan, merendahkan dan menekannya.
Namun semua upaya itu tidaklah berarti di
sisi Allah, sebab Dia ingin menyempurnakan cahaya Islam dan memenangkannya di
atas segala agama batil!!!
Di dalam ayat ini terdapat busyro (berita
gembira) bagi kaum beriman bahwa Islam akan dimenangkan atas semua agama batil.
Inilah yang diisyaratkan oleh Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam– dalam
beberapa hadits yang shohih dari beliau.
Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam–
bersabda,
إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِىَ الأَرْضَ فَرَأَيْتُ
مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِى سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِىَ
لِى مِنْهَا
“Sesungguhnya Allah telah menghimpun bumi
bagiku. Karenanya, aku melihat bagian-bagian timur dan baratnya. Sesungguhnya
umatku, kerajaannya (kekuasaannya) akan mencapai sesuatu yang telah dihimpunkan
bagiku dari bumi itu”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Fitan wa Asyrooh As-Sa’ah
(no. 2889)]
Mungkin ada diantara kita yang bertanya
dalam hati, “Siapa tahu kejayaan itu telah berlalu?”
Jawabnya, “Tidaklah demikian, kejayaan
Islam tidaklah berakhir, bahkan akan ada saatnya kejayaan itu kembali di akhir
zaman sebagaimana yang akan anda lihat dalam hadits-hadits lainnya di bawah
ini”.
Dari A’isyah –radhiyallahu anha– berkata,
“Aku pernah mendengarkan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لاَ يَذْهَبُ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ حَتَّى
تُعْبَدَ اللاَّتُ وَالْعُزَّى . فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُ
لأَظُنُّ حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ (هُوَ الَّذِى أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى
وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ
الْمُشْرِكُونَ) أَنَّ ذَلِكَ تَامًّا قَالَ: إِنَّهُ سَيَكُونُ مِنْ ذَلِكَ مَا
شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ رِيحًا طَيِّبَةً فَتَوَفَّى كُلَّ مَنْ فِى
قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ فَيَبْقَى مَنْ لاَ خَيْرَ
فِيهِ فَيَرْجِعُونَ إِلَى دِينِ آبَائِهِمْ
“Siang dan malam tak akan hilang sampai
Laata dan Uzza disembah lagi”. Aku (A’isyah) katakan, “Wahai Rasulullah, sunguh
aku kira -saat Allah turunkan ayat (lalu beliau bacakan ayat 32 dari Surah
At-Taubah di atas)- bahwa hal itu (yakni, kemenangan Islam) telah sempurna”.
Beliau bersabda, “Sesungguhnya kemenangan
itu kelak akan terjadi sebagaimana yang Allah kehendaki. Kemudian Allah akan
mengutus angin yang harum. Allah pun mewafatkan semua orang yang di dalam
hatinya ada keimanan seberat biji sawi. Akhirnya, tersisalah orang-orang yang
tak ada kebaikan sama sekali pada dirinya. Lalu mereka kembali kepada kepada
agama nenek moyang mereka”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2907)]
Ulama Negeri Syam, Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albaniy –rahimahullah– usai membawakan ayat di atas dan sebelum
membawakan hadits ini berkata,
تبشرنا هذه الآية الكريمة بأن المستقبل للإسلام
بسيطرته و ظهوره و حكمه على الأديان كلها , و قد يظن بعض الناس أن ذلك قد تحقق في
عهده صلى الله عليه وسلم و عهد الخلفاء الراشدين و الملوك الصالحين , و ليس كذلك ,
فالذي تحقق إنما هو جزء من هذا الوعد الصادق (انظر : سلسلة الأحاديث الصحيحة، 1/
31)
“Ayat yang mulia ini memberikan kabar
gembira kepada kita bahwa masa depan Islam dengan berkuasanya Islam, menang dan
berhukumnya Islam atas seluruh agama. Terkadang sebagian orang menyangka bahwa
hal itu telah terealisasi di zaman beliau -Shallallahu alaihi wa sallam-, zaman
Khulafa’ Rosyidin dan raja-raja sholih. Padahal bukanlah demikian halnya!!
Kemenangan yang terealisasi hanyalah sebagian dari janji ini”. [Lihat Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/31)]
Kejayaan Islam tidaklah terbatas pada zaman
Nabi –Shallallahu alaihi wa sallam-, bahkan akan meluas dan merata sampai tak
ada tempat dan negeri, kecuali akan dikuasai oleh Islam.
Dari Tamim Ad-Dariy –radhiyallahu anhu–
berkata,
“Aku telah mendengar Rasulullah
–Shallallahu alaihi wa sallam– bersabda,
لَيَبْلُغَنَّ هَذَا الأَمْرُ مَا بَلَغَ
اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ ، وَلاَ يَتْرُكُ اللَّهُ بَيْتَ مَدَرٍ وَلاَ وَبَرٍ
إِلاَّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ هَذَا الدِّينَ ، بِعِزِّ عَزِيزٍ أَوْ بِذُلِّ ذَلِيلٍ
، عِزًّا يُعِزُّ اللَّهُ بِهِ الإِِسْلاَمَ ، وَذُلاًّ يُذِلُّ اللَّهُ بِهِ
الْكُفْرَ.
“Urusan (agama) ini akan mencapai sesuatu
yang dicapai oleh malam dan siang. Allah tak akan menyisakan rumah kota dan
pedalaman, kecuali Allah akan memasukkan agama ini ke dalamnya dengan kemuliaan
orang yang mulia dan dengan kehinaan orang yang hina; kemuliaan yang Allah akan
memuliakan dengan Islam dan kehinaan yang akan menghinakan dengannya
kekafiran”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (4/103). Dinilai shohih oleh Al-Albaniy
dalam Ash-Shohihah (no. 3)]
Hanya saja kejayaan dan kemenangan
tentunya akan diraih oleh kaum muslimin dengan kesabaran, dan usaha keras dari
mereka, bukan berpangku tangan dan sekedar berangan-angan. Kaum muslimin harus
menguatkan fisik, materi dan iman mereka. Ini yang harus diusahakankan, jangan
tergesa-gesa!! Kemenangan bukan hanya sekedar emosi dan semangat belaka!!!
Khobbab bin Al-Arott –radhiyallahu anhu– berkata,
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً (بُرْدَهُ) وَهُوَ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ
وَقَدْ لَقِينَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ شِدَّةً فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَلَا
تَدْعُو اللهَ فَقَعَدَ وَهُوَ مُحْمَرٌّ وَجْهُهُ فَقَالَ لَقَدْ كَانَ مَنْ
قَبْلَكُمْ لَيُمْشَطُ بِمِشَاطِ (بِأَمْشَاطِ) الْحَدِيدِ مَا دُونَ عِظَامِهِ
مِنْ لَحْمٍ أَوْ عَصَبٍ مَا يَصْرِفُهُ (يَصْرِفُ) ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُوضَعُ
الْمِنْشَارُ عَلَى مَفْرِقِ رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَيْنِ مَا يَصْرِفُهُ
ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَلَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ
الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ مَا يَخَافُ إِلَّا اللهَ * زَادَ
بَيَانٌ: وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ
“Aku mendatangi Nabi -Shallallahu alaihi
wa sallam-, sedangkan beliau berbantalkan kain selimut, di bawah bayangan
Ka’bah. Sungguh kami telah mendapati sikap keras dari kaum musyrikin. Aku
berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa anda tak berdoa kepada Allah?” Tiba-tiba
beliau duduk, sedang wajahnya memerah seraya bersabda, “Sungguh orang-orang
sebelum kalian, dengan sisir besi, disisirilah sesuatu sebelum tulangnya berupa
daging atau urat. Hal itu tidaklah memalingkan mereka dari agamanya. Gergaji
diletakkan di atas sigaran (belahan) kepalanya, lalu dibelah menjadi dua. Hal
itu tidaklah memalingkan mereka dari agamanya. Sungguh Allah akan
menyempurnakan urusan (agama) inisampai seorang pengendara akan berjalan dari
kotaShon’a menuju Hadhromaut, ia tak takut, kecuali kepada Allah dan serigala
atas kambingnya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3852)]
“Masa depan adalah untuk Islam!! Allah
akan menolong agama-Nya dengan kemuliaan orang yang mulia dan kehinaan orang
yang hina; suatu kemuliaan yang Allah muliakan dengannya Islam dan kaum
muslimin dan suatu kehinaan yang Allah hinakan dengannya kekafiran dan
pengikutnya…Hadits-hadits dalam perkara ini adalah mutawatir”. [Lihat Bahjah
An-Nazhirin (1/101)]
Para pembaca yang budiman, sambutlah
datangnya kemenangan dan kejayaan Islam di akhir zaman dengan kesabaran dan
usaha, baik materiil, maupun yang lainnya berupa usaha nyata yang baik menurut
syariat.
Dengan kata lain, umat harus kembali
kepada prinsip agama dan syariatnya yang suci.
Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam–
bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ
أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ
اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Apabila kalian melakukan transaksi
“al-inah”(riba) dan kalian sibuk beternak sapi, serta kalian rela (puas) dengan
bercocok tanam dan kalian meninggalkan jihad, pastilah Allah menimpakan
kehinaan kepada kalian, dan Allah tidak akan melepaskan kehinaan itu dari
kalian sebelum kalian kembali ke agama kalian”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad
(4825), Ath-Thobraniy dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (3/208/1), dan lainnya. Hadits
ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 11)]
Di dalam hadits ini terdapat peringatan
kaum muslimin bahwa apabila mereka meninggalkan jihad dan ajaran agama, lalu
menyibukkan diri dengan dunia, maka kehinaan akan menimpa mereka.
Al-Imam Izzuddin Abu Ibrahim Al-Amir
Ash-Shon’aniy –rahimahullah– berkata,
وَفِي هَذِهِ الْعِبَارَةُ زَجْرٌ بَالِغٌ
وَتَقْرِيعٌ شَدِيدٌ حَتَّى جَعَلَ ذَلِكَ بِمَنْزِلَةِ الرِّدَّةِ وَفِيهِ
الْحَثُّ عَلَى الْجِهَادِ. (انظر : سبل السلام – (2 / 58)
“Di dalam ungkapan ini terdapat celaan
mendalam dan teguran keras sampai mendudukkan hal seperti kemurtadan. Di dalam
hadits ini terdapat dorongan kepada jihad.” [Lihat Subul As-Salam (2/58)]
Jika teguran keras yang terdapat di dalam
hadits ini, kita tidak indahkan dan perhatikan dengan baik, maka yakin dan
pasti kehinaan, keterpurukan, kemunduran dan kelemahan akan mendera umat ini.
Kita sibuk masing-masing memperhatikan kehidupan dunia kita, dan pada
gilirannya kesenangan dunia yang indah membuat kita takut mati di jalan Allah
demi mempertahankan dan mendakwahkan agama ini.
Al-Imam Syamsul Haqq Al-Azhim Abadiy –rahimahullah–
berkata,
وسبب هذا الذل والله أعلم أنهم لما تركوا الجهاد
في سبيل الله الذي فيه عز الإسلام وإظهاره على كل دين عاملهم الله بنقيضه وهو
إنزال الذلة بهم فصاروا يمشون خلف أذناب البقر بعد أن كانوا يركبون على ظهور الخيل
التي هي أعز مكان.” (انظر : عون المعبود – (9 / 242)
“Sebab kehinaan ini –Wallahu A’lam- bahwa
mereka (kaum muslimin) tatkala meninggalkan jihad di Jalan Allah yang di dalam
terdapat kewibawaan Islam dan kejayaannya di atas seluruh agama, maka Allah
membalas mereka dengan sebaliknya yakni, dengan diturunkannya kehinaan pada
mereka (kaum muslimin). Akhirnya, mereka pun berjalan di belakang ekor-ekor
sapi, dimana sebelumnya menunggangi pungggung-punggung kuda yang merupakan
tempat termulia.” [Lihat Aun Al-Ma’bud(9/242)]
Ketika kaum muslimin menyelesihi tuntunan
agama yang terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, maka mereka akan
mendapatkan kehinaan. Sebaliknya, siapapun dari kalangan umat ini yang berusaha
dengan sungguh-sungguh dan bersabar serta ikhlash dalam berpegang teguh dengan
ajaran-ajaran agama, maka pertolongan itu akan turun dari langit.
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rojab As-Salamiy
Al-Dimasyqiy –rahimahullah– berkata,
“ومن
أعظم ما حصل به الذل من مخالفة أمر الرسول صلى الله عليه وسلم ترك ما كان عليه من
جهاد أعداء الله، فمن سلك سبيل الرسول صلى الله عليه وسلم عز، ومن ترك الجهاد مع
قدرته عليه ذل…فمن ترك ما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم من الجهاد مع قدرته
واشتغل عنه بتحصيل الدنيا من وجوهها المباحة حصل له من الذل فكيف إذا اشتغل عن
الجهاد بجمع الدنيا من وجوهها المحرمة؟!” (الحكم الجديرة بالإذاعة – (ص / 40_41)
“Diantara sebab terbesar terjadi
dengannya kehinaan, penyelisihan urusan (agama) Rasul -Shallallahu alaihi wa
sallam-, yakni meninggalkan sesuatu yang dahulu dipijaki oleh beliau berupa
berjihad melawan musuh-musuh Allah.
Jadi, barangsiapa yang menempuh jalan
Rasul -Shallallahu alaihi wa sallam-, maka ia mendapatkan kewibawaan dan
kejayaan. Siapapun yang meninggalkan jihad –padahal mampu berjihad-, maka ia
akan menjadi hina.
Siapa saja yang meninggalkan sesuatu yang
dahulu dipijaki oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- berupa jihad –padahal
ia mampu berjihad- dan malah menyibukkan diri (lalai) dari jihad gara-gara
mengejar dunia dari arah-arah yang mubah, maka akan terjadi baginya kehinaan.
Nah, bagaimana lagi bila seseorang menyibukkan diri (lalai) dari jihad
gara-gara mengumpulkan dunia dari arah-arah yang diharamkan.”[Lihat Al-Hikam
Al-Jadiroh bi Al-Idza’ah (hal. 40_41) karya Ibnu Rojab Al-Hambaliy, dengan
tahqiq Syaikh Abdul Qodir Al-Arna’uth, cet. Dar Al-Ma’mun, 1990]
Sumber: abufaizah75.blogspot.co.id
Mengatasi kondisi perpecahan ummat islam
Bersatu dan berpisah
karena Allah
Kondisi umat Islam yang
berpecah sering memunculkan keprihatinan. Dari beberapa tokoh Islam sering
muncul ajakan agar semua kelompok bersatu dalam satu wadah, tidak perlu
mempermasalahkan perbedaan yang ada karena yang penting tujuannya sama yaitu
memajukan Islam. Mungkinkah umat Islam bersatu dan bagaimana caranya?
Persatuan dan
perpecahan merupakan dua kata yang saling berlawanan. Persatuan identik dengan
keutuhan, persaudaraan, kesepakatan, dan perkumpulan. Sedangkan perpecahan
identik dengan perselisihan, permusuhan, pertentangan dan perceraian.
Persatuan merupakan
perkara yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah, sedangkan perpecahan
merupakan perkara yang dibenci dan dilarang oleh-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
“Dan berpegang teguhlah
kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.”
(Ali Imran: 103)
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu
Katsir rahimahullah berkata: “Allah telah memerintahkan kepada mereka (umat
Islam, red) untuk bersatu dan melarang mereka dari perpecahan. Dalam banyak
hadits juga terdapat larangan dari perpecahan dan perintah untuk bersatu dan
berkumpul.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/367)
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz
bin Baaz rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Nabi kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam telah menjelaskan kepada kita satu jalan yang wajib ditempuh
oleh seluruh kaum muslimin, yang merupakan jalan yang lurus dan manhaj bagi agama-Nya
yang benar ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan bahwasanya (yang
Kami perintahkan) ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia, dan
janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah perintahkan
kepada kalian agar kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153).
Sebagaimana pula Dia
telah melarang umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari perpecahan dan
perselisihan pendapat, karena yang demikian itu merupakan sebab terbesar dari
kegagalan dan merupakan kemenangan bagi musuh. Sebagaimana firman Allah
subhanahu wa ta’ala:
“Dan berpegang teguhlah
kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.”
(Ali Imran: 103)
Dan firman-Nya ta’ala:
Dia telah mensyariatkan
bagi kalian tentang agama, apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa
yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan ‘Isa, yaitu: ‘Tegakkanlah
agama dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya’. Amat berat bagi orang
musyrik agama yang kalian seru mereka kepada-Nya.” (Asy-Syura: 13).
(Majmu’ Fataawa wa
Maqaalat Mutanawwi’ah, 5/202, dinukil dari kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at,
karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, hal. 176)
Asas dan Hakekat Persatuan
Asas bagi persatuan
yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah, bukanlah kesukuan, organisasi,
kelompok, daerah, partai, dan lain sebagainya. Akan tetapi asasnya adalah: Al
Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman As-Salafush
Shalih. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan berpegang teguhlah
kalian semua dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.”
(Ali Imran: 103)
Al-Imam Al-Qurthubi
rahimahullah berkata: “Allah subhanahu wa ta’ala mewajibkan kepada kita agar
berpegang teguh dengan Kitab-Nya (Al Quran) dan Sunnah Nabi-Nya, serta merujuk
kepada keduanya di saat terjadi perselisihan. Ia (juga) memerintahkan kepada
kita agar bersatu di atas Al Qur’an dan As Sunnah secara keyakinan dan amalan,
itulah sebab keselarasan kata dan bersatunya apa yang tercerai-berai, yang
dengannya akan teraih maslahat dunia dan agama serta selamat dari
perselisihan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/105)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sebagaimana tidak ada generasi yang lebih
sempurna dari generasi para shahabat, maka tidak ada pula kelompok setelah
mereka yang lebih sempurna dari para pengikut mereka. Maka dari itu siapa saja
yang lebih kuat dalam mengikuti hadits Rasulullah dan Sunnahnya, serta jejak
para shahabat, maka ia lebih sempurna. Kelompok yang seperti ini keadaannya,
akan lebih utama dalam hal persatuan, petunjuk, berpegang teguh dengan tali
(agama) Allah dan lebih terjauhkan dari perpecahan, perselisihan, dan fitnah.
Dan siapa saja yang menyimpang jauh dari itu (Sunnah Rasulullah dan jejak para
shahabat), maka ia akan lebih jauh dari rahmat Allah dan lebih terjerumus ke
dalam fitnah.” (Minhaajus Sunnah, 6/368)
Oleh karena itu,
walaupun berbeda-beda wadah, organisasi, yayasan dan semacamnya, namun dengan
syarat “tidak fanatik dengan ‘wadah’-nya dan berada di atas satu manhaj”,
berpegang teguh dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan pemahaman para shahabat (As-Salafush Shalih), maka ia tetap
dinyatakan dalam koridor persatuan dan bukan bagian dari perpecahan.
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata: “Tidak masalah jika mereka
berkelompok-kelompok di atas jalan ini, satu kelompok di Ib dan satu kelompok
di Shan’a, akan tetapi semuanya berada di atas manhaj salaf, mengikuti Al
Qur’an dan As Sunnah, berdakwah di jalan Allah dan ber-intisab kepada Ahlus
Sunnah Wal Jamaah, tanpa ada sikap fanatik terhadap kelompoknya. Yang demikian
ini tidak mengapa, walaupun berkelompok-kelompok, asalkan satu tujuan dan satu
jalan (manhaj).” (At-Tahdzir Minattafarruqi Wal Hizbiyyah, karya Dr. Utsman bin
Mu’allim Mahmud dan Dr. Ahmad bin Haji Muhammad, hal. 15).
Asy-Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Bila kita anggap bahwa di
negeri-negeri kaum muslimin terdapat kelompok-kelompok yang berada di atas
manhaj ini (manhaj salaf, pen), maka tidak termasuk kelompok-kelompok
perpecahan. Sungguh ia adalah satu jamaah, manhajnya satu dan jalannya pun
satu. Maka terpisah-pisahnya mereka di suatu negeri bukanlah karena perbedaan
pemikiran, aqidah dan manhaj, akan tetapi semata perbedaan letak/tempat di
negeri-negeri tersebut. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok dan
golongan-golongan yang ada, yang mereka itu berada di satu negeri namun
masing-masing merasa bangga dengan apa yang ada pada golongannya.” (Jama’ah
Wahidah Laa Jama’at, hal. 180).
Dengan demikian, kita
bisa menyimpulkan bahwa bila suatu persatuan berasaskan Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman para shahabat
(As-Salafush Shalih) maka itulah sesungguhnya hakekat persatuan yang diridhai
dan diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, walaupun terpisahkan oleh
tempat.
Bahaya Perpecahan
Bila kita telah
mengetahui bahwa hakekat persatuan yang diridhai dan diperintahkan oleh Allah
adalah yang berasaskan Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman As-Salafush
Shalih, maka bagaimana dengan firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang ada di
masyarakat kaum muslimin, yang masing-masing berpegang dengan prinsip dan
aturan kelompoknya, saling bangga satu atas yang lain, loyalitasnya dibangun di
atas kungkungan ikatan kelompok, apakah sebagai embrio persatuan umat, ataukah
sebagai wujud perpecahan umat?
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz
bin Baaz rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya firqah dan
jamaah di masyarakat kaum muslimin merupakan sesuatu yang diupayakan oleh setan
dan musuh-musuh Islam dari kalangan manusia.” (Majmu’ Fataawa wa Maqaalat
Mutanawwi’ah, 5/204, dinukil dari kitab Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 177).
Beliau juga berkata:
“Adapun berkelompok untuk Ikhwanul Muslimin atau Jama’ah Tabligh atau demikian
dan demikian, kami tidak menasehatkannya, ini salah! Akan tetapi kami
nasehatkan mereka semua agar menjadi satu golongan, satu kelompok, saling
berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran, serta bersandar kepada Ahlus Sunnah
Wal Jamaah.” (At-Tahdzir Minattafarruqi wal Hizbiyyah, hal. 15).
Asy-Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Tidaklah asing bagi setiap muslim
yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah serta manhaj As-Salafush Shalih,
bahwasanya bergolong-golongan bukan dari ajaran Islam, bahkan termasuk yang
dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam banyak ayat dari Al Qur’anul
Karim, di antaranya firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kalian
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Yaitu orang-orang yang memecah
belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan
merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum:
31-32).[Fataawa Asy-Syaikh Al-Albani, karya ‘Ukasyah Abdul Mannan, hal. 106,
dinukil dari Jama’ah Wahidah Laa Jama’at, hal. 178]
Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dan tidak diragukan lagi bahwa
kelompok-kelompok ini menyelisihi apa yang telah diperintahkan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala, bahkan menyelisihi apa yang selalu dihimbau dalam
firman-Nya:
“Sesungguhnya (agama
tauhid) ini, adalah agama kalian semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhan
kalian, maka bertakwalah kepada-Ku.” (Al-Mu’minun: 52)
Lebih-lebih tatkala
kita melihat akibat dari perpecahan dan bergolong-golongan ini, di mana
tiap-tiap golongan mengklaim yang lainnya dengan kejelekan, cercaan dan
kefasikan, bahkan bisa lebih dari itu. Oleh karena itu saya memandang bahwa
bergolong-golongan ini adalah perbuatan yang salah.” (At-Tahdzir Minattafarruqi
wal Hizbiyyah, hal. 16).
Asy-Syaikh Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan berkata: “Agama kita adalah agama persatuan, dan perpecahan
bukanlah dari agama. Maka berbilangnya jamaah-jamaah ini bukanlah dari ajaran
agama, karena agama memerintahkan kepada kita agar menjadi satu jamaah.”
(Muraja’at fii Fiqhil Waaqi’ As Siyaasi wal Fikri, karya Dr. Abdullah bin
Muhammad Ar-Rifa’i rahimahullah, hal. 44-45).
Beliau juga berkata:
“Hanya saja akhir-akhir ini, muncul kelompok-kelompok yang disandarkan kepada
dakwah dan bergerak di bawah kepemimpinan yang khusus, masing-masing kelompok
membuat manhaj tersendiri, yang akhirnya mengakibatkan perpecahan, perselisihan
dan pertentangan di antara mereka, yang tentunya ini dibenci oleh agama dan
terlarang di dalam Al Qur’an dan As Sunnah.” (Taqdim/Muqaddimah kitab Jama’ah
Wahidah Laa Jama’at).
Bukankah mereka juga
berpegang dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah? Demikian terkadang letupan
hati berbunyi.
Asy-Syaikh Shalih bin
Sa’ad As-Suhaimi berkata: “Jika benar apa yang dinyatakan oleh
kelompok-kelompok yang amat banyak ini, bahwa mereka berpegang dengan Al Qur’an
dan As Sunnah, niscaya mereka tidak akan berpecah belah, karena kebenaran itu
hanya satu dan berbilangnya mereka merupakan bukti yang kuat atas perselisihan
di antara mereka, suatu perselisihan yang muncul dikarenakan masing-masing
kelompok berpegang dengan prinsip yang berbeda dengan kelompok lainnya. Tatkala
keadaannya demikian, pasti terjadi perselisihan, perpecahan, dan permusuhan.”
(An-Nashrul Azis ‘Alaa Ar Raddil Waziz, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al
Madkhali rahimahullah, hal. 46)
Pertanyaan Penting
1.Bagaimanakah masuk
menjadi anggota kelompok-kelompok yang ada dengan tujuan ingin memperbaiki dari
dalam ?
Asy-Syaikh Abdul ‘Azis
bin Baaz rahimahullah berkata: “Adapun berkunjung untuk mendamaikan di antara
mereka, mengajak dan mengarahkan kepada kebaikan dan menasehati mereka, dengan
tetap berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah Wal Jamaah maka tidak apa-apa. Adapun
menjadi anggota mereka, maka tidak boleh. Dan jika mengunjungi Ikhwanul
Muslimin atau Firqah Tabligh dan menasehati mereka karena Allah seraya berkata:
‘Tinggalkanlah oleh kalian fanatisme, wajib bagi kalian (menerima) Al Qur’an
dan As Sunnah, berpegang teguhlah dengan keduanya, bergabunglah kalian bersama
orang-orang yang baik, tinggalkanlah perpecahan dan perselisihan’, maka ini
adalah nasehat yang baik.” (At-Tahdzir Minattafarruqi Wal Hizbiyyah, hal.
15-16)
2. Bukankah dengan
adanya peringatan terhadap kelompok-kelompok yang ada dan para tokohnya, justru
semakin membuat perpecahan dan tidak akan terwujud persatuan?
Asy-Syaikh Hamd bin
Ibrahim Al-‘Utsman berkata: “Kebanyakan orang-orang awam dari kaum muslimin
kebingungan dalam permasalahan ini, mereka mengatakan: ‘Mengapa sesama ulama
kok saling memperingatkan satu dari yang lain?!’ Di kalangan terpelajar pun
demikian, mereka meminta agar bantahan dan peringatan terhadap orang-orang yang
salah dan ahlulbid’ah dihentikan demi terwujudnya persatuan dan kesatuan umat.
Mereka tidak mengetahui bahwa bid’ah-bid’ah, kesalahan-kesalahan dan jalan yang
berbeda-beda (dalam memahami agama ini, pen) justru merupakan faktor utama
penyebab perpecahan, dan faktor utama yang dapat mengeluarkan manusia dari
jalan yang lurus. Dengan tetap adanya jalan-jalan yang menyimpang itu, tidak
akan terwujud persatuan selama-lamanya.” (Zajrul Mutahaawin bi Dharari Qa’idah
Al-Ma’dzirah Watta’aawun, hal. 98)
Nasehat dan Ajakan
Asy-Syaikh ‘Ubaid bin
Abdullah Al-Jabiri berkata: “Tidak ada solusi dari perpecahan,
tercabik-cabiknya kekuatan dan rapuhnya barisan kecuali dengan dua perkara:
Pertama: Menanggalkan
segala macam bentuk penyandaran (atau keanggotaan) yang dibangun di atas ikatan
kelompok-kelompok nan sempit, yang dapat menimbulkan perpecahan dan permusuhan.
Kedua: Kembali kepada
jamaah Salafiyyah (yang bermanhaj salaf, pen), karena sesungguhnya dia adalah
ajaran yang lurus, dan cahaya putih yang terang benderang, malamnya sama dengan
siangnya, tidaklah ada yang tersesat darinya kecuali orang-orang yang binasa.
Dia adalah Al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat, pen), dan At-Thaifah
Al-Manshurah (kelompok yang ditolong dan dimenangkan oleh Allah, pen). Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ‘Tidak tercela bagi siapa saja yang
menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang
demikian itu disepakati dan wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar…’.”
(Tanbih Dzawil ‘Uquulis Salimah ilaa Fawaida Mustanbathah Minassittatil Ushulil
‘Azhimah, hal. 24).
Sungguh benar apa yang
dinasehatkan oleh Asy-Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah Al-Jabiri, karena
As-Salafiyyah tidaklah sama dengan kelompok-kelompok yang ada. As-Salafiyyah
tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, kelompok tertentu,
daerah tertentu, pemimpin tertentu… suatu kungkungan hizbiyyah yang sempit,
bahkan As-Salafiyyah dibangun di atas Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman As-Salafush Shalih. Siapa pun
yang berpegang teguh dengannya maka ia adalah saudara, walaupun dipisahkan oleh
tempat dan waktu… suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj, manhaj
yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
shahabatnya.
Mudah-mudahan Allah
subhanahu wa ta’ala, senantiasa menjauhkan kita semua dari perpecahan, dan
menyatukan kita semua di atas persatuan hakiki yang berasaskan Al Qur’an dan
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pemahaman As- Salafush
Shalih.
Sumber://Salafy.or.id
offline Penulis: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc Judul: Bersatu
dan Berpisah Karena Allah
Related Articles :
Al-Wala’ wal Bara’
Inilah 4 Alasan Terjadinya Perpecahan Di
Antara Kaum Muslimin!
Langkah-langkah untuk menang
https://almanhaj.or.id/1566-langkah-langkah-untuk-menang.html
https://almanhaj.or.id/1566-langkah-langkah-untuk-menang.html
Mengembalikan Kejayaan Umat Islam
Perpecahan Umat, Sebab dan Solusinya (1) http://muslim.or.id/10125-perpecahan-umat-sebab-dan-solusinya-1.html
Perpecahan Umat, Sebab dan Solusinya (2) http://muslim.or.id/10145-perpecahan-umat-sebab-dan-solusinya-2.html
Sebab Utama Perpecahan Umat
http://muslim.or.id/6421-sebab-utama-perpecahan-umat.html
http://muslim.or.id/6421-sebab-utama-perpecahan-umat.html
Solusi perpecahan umat
Sebab-Sebab Perpecahan Umat dan Cara
Penanggulangannya
Wajib baca.... Kenapa islam sekarang
mengalami kemunduran yang amat.
https://m.facebook.com/notes/fahmi-amhar/diagnosis-kemunduran-ummat/10151180267906921
https://m.facebook.com/notes/fahmi-amhar/diagnosis-kemunduran-ummat/10151180267906921