Wednesday, March 8, 2017

Kebodohan Akan Menghalangi Seseorang Untuk Menerima Kebenaran. Bahwasanya Hati Nurani Setiap Orang Lebih Menyukai Dan Menginginkan Kebenaran Ketimbang Kebathilan.


Kebodohan Akan Menghalangi Seseorang Untuk Menerima Kebenaran

asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim al-Utsman
al-Haq (kebenaran) itu begitu gamblang lagi jelas, firman Allah Subhanahu wata’ala,

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (al-Qamar: 17)

Maka Allah Ta’ala mudahkan lafazhnya untuk bisa dibaca, dan maknanya bisa dipahami.

Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam,

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ

“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar).” (Muttafaqun’alaih dari hadits Nu’man bin Basyir Radhiallahu’anhu)

Dan telah sepakat para ulama ahlussunnah akan ushul (perkara pokok) ini. (Taudhih al-Kaafiyatusy Syaafiyah, hal 79)

Oleh karena itu kebathilan akan masuk kepada orang yang tidak berilmu tentangnya, juga kepada orang yang tidak mengetahui bahwa itu bathil, juga kepada orang yang tidak ada upaya mencari tahu dengan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, ucapan shahabat, dan tabi’in.

Berkata Imam Ahmad Rahimahullah,

“Sesungguhnya perseilihan akan datang kepada orang-orang yang berselisih, karena sedikitnya pengetahuan mereka terhadap apa-apa yang datang dari nabi Shallallahu’alaihi wasallam.” (I’laamul Muwaqi’iin, 1/44)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,

“al-Haq itu (kebenaran) telah diketahui oleh setiap orang, karena sesungguhnya dengan al haq itulah Allah Ta’ala mengutus para Rasul ‘Alaihimus Salam. al-Haq itu tidak serupa dengan selainnya bagi al-’Aaraf (orang-orang yang berpengetahuan) sebagaimana emas murni tidak serupa dengan emas yang sudah bercampur dengan perak.” (Majmu’ al-Fatawa, 27/312-315)

Dan beliau juga berkata,

“Sesungguhnya asy-syaari’ (Rasulullah) Shallallahu’alaihi wasallam telah menyampaikan setiap apa-apa yang bisa menjadi pegangan dari kebinasaan-kebinasaan dengan penyampaian yang memutuskan (tidak ada alasan) bagi orang yang mencari udzur.” (Dar-u Ta’aaridhul ‘Aqlu wan Naqlu, 1/73)

Dan beliau juga berkata,

“al-Haq itu banyak ditolak oleh orang yang bodoh lagi buta huruf.” (Majmu’ al-Fatawa, 25/129)

Berkata asy-Syaukani Rahimahullah,

“Condong membela ucapan-ucapan bathil bukanlah dari kebiasaan ahlut tahqiq (orang yang mencari kebenaran), yang mereka memiliki kesempurnaan pengetahuan, pemahaman yang kuat, memiliki istinbath, dan bisa membedakan mana yang shahih dari yang dhaif. Bahkan itu adalah kebiasaan orang yang tidak memiliki bashirah (pemahaman) yang benar, dan tidak memiliki pengetahuan yang bermanfaat.” (Adab ath-Thalab wa Muntahal Arab, hal. 40)

Bahkan sampai-sampai madzhab Rafidhah yang diada-adakan oleh Abdullah bin Saba’ al-Yahudi -inilah madzhab yang paling sesat- bisa masuk atas sebagian kaum Muslimin disebabkan kebodohannya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,

“Sesungguhnya orang yang mengada-adakan madzhab Rafidhah adalah seorang zindiq, mulhid, memusuhi Islam dan kaum Muslimin. Rafidhah bukanlah dari ahlul bid’ah yang suka mentakwil seperti Khawarij dan Qadariyah (bahkan Rafidhah sudah keluar dari Islam). Ucapan-ucapan Rafidhah itu masuk setelah itu atas sebuah kaum karena mereka terlalu bodoh.” (Minhajus Sunnah, 4/363)

Berkata Ibnul Qayyim al-Jauziyyah,

“Sebab-sebab yang mencegah seseorang dari menerima al-haq (kebenaran) banyak sekali. Di antaranya adalah karena kebodohannya, inilah yang menimpa kebanyakan orang. Sesungguhnya barangsiapa yang bodoh terhadap sesuatu, maka dia akan memusuhinya dan memusuhi orang yang berpegang dengannya.” (Hidayatul Khuyara fii Ajwabatil Yahudi wan Nashara, hal. 18)

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,

“Tidaklah didapatkan pada seseorang yang terjerumus ke dalam bid’ah kecuali karena sedikitnya dia dalam mengikuti sunnah, baik ilmu maupun amalan. Sebaliknya, barangsiapa yang berilmu dan dia ittiba’ (mengikuti sunnah), niscaya tiada pada dirinya ajakan kepada bid’ah. Karena sesungguhnya bid’ah akan menimpa orang yang bodoh tentang sunnah.” (Syarhu Hadits “Laa Yaznii az Zaanii” hal. 35)

Barangsiapa yg tidak mau mengangkat kebodohan dari dirinya, maka tidak diterima udzurnya karena kebodohan (bodoh tidak dapat dijadikan udzur).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,

“Telah pasti celaan bagi orang yang telah jelas baginya kebenaran lalu dia meninggalkannya, atau bagi orang yang sedikit mencari kebenaran yang akibatnya dia tidak paham, atau berpaling dari mencari pengetahuan karena hawa nafsunya, atau karena malas, atau yang semisalnya.” (Iqtidha ash-shirathal Mustaqim, 2/85)

Berkata al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di Rahimahullah,
“Barangsiapa yang rela dengan kebid’ahannya, berpaling dari mencari dalil-dalil syar’i, dan tidak mencari jawaban dari ulama yang bisa membedakan antara yang haq dan yang bathil, membantah apa-apa yang datang dari al-Quran dan as-Sunnah bersamaan dengan kebodohannya dan kesesatannya, dan berkeyakinan bahwa dia di atas kebenaran, maka ini zhalim dan fasiq, dengan cukup dia meninggalkan jawaban Allah Subhanahu wata’ala atasnya dan menerobos apa-apa yang diharamkan Allah Ta’ala.” (Irsyaadu Ulil Bashaair wal Albaab, hal. 300)

Berkata al-Walid al-Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin Rahimahullah,

“Sungguh tidak ada udzur bagi insan yang bodoh, itu jika memungkinkan dia untuk belajar. Dia tidak melaksanakan (suatu syariat) karena adanya syubhat, sebagaimana dikatakan kepada seseorang, ‘Ini haram.’ Sementara dia meyakininya halal. Tatkala ada syubhat atas ucapannya, hendaknya dia terus taklim hingga jelasnya hukumnya dengan yakin. Maka ini terkadang tidak ada udzur dengan kebodohannya, karena dia tafrith (meremehkan) tidak mau taklim (belajar). Dan sifat tafrith tidak mendapatkan udzur. Namun barangsiapa yang betul-betul bodoh dan tiada syubhat padanya, dan berkeyakinan bahwa dia di atas kebenaran atau mengatakan bahwa dia di atas kebenaran, maka ini tidak ragu bahwa dia tidak menginginkan mukhalifah (penentangan), dan tidak menginginkan maksiat serta tidak menginginkan kekufuran, maka tidak mungkin mengkafirkannya walaupun dia bodoh dalam perkara pokok dari pokok-pokok agama.” (Syarhul Mumthi’, 6/193-194)
 [Dinukil dari Kitab Shawaarifu ‘anil Haq, Penulis asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim al-Utsman, Hal. 9-12]

Bahwasanya Hati Nurani Setiap Orang Lebih Menyukai dan Menginginkan Kebenaran Ketimbang Kebathilan

asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim al-Utsman
Alhamdulillah, wa ashshalatu wa assalamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du.

Sesungguhnya Allah Azza wajalla menciptakan setiap makhluk di atas fitrah (hati nurani yang lurus) sebagaimana firman-Nya,

فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (ar-Ruum: 30)

Dan di antara fitrah manusia adalah dia mencintai dan menginginkan al-haq (kebenaran). Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, “Qalbu setiap makhluk mencintai, menginginkan, dan mencari al-haq.” (Majmu’ Fatawa 10/88)

Beliau Rahimahullahu juga berkata, “Maka sesungguhnya al-haq itu lebih disukai oleh fitrah manusia, dan fitrah itu suka untuk menuju dan bersegera kepada al-haq, dan memusuhi kebathilan yang ada di sisinya yang bukan karakternya, karena memang fitrah itu tidak menyukai kebathilan.” (Majmu’ Fatawa 16/338)

Pada dasarnya, fitrah manusia sudah menempel di hati nurani untuk mencintai al-haq, karena memang hati nurani itu fitrahnya sudah mengenal al-haq, sebagaimana disebutkan dalam al Quran tentang Nabi Musa ‘Alaihis Salam,

قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى

“Musa berkata: “Rabb kami ialah (Rabb) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (Thaahaa: 50)

Dan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam,

وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

“Dan dosa adalah apa yang terasa menganggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia.“ (Riwayat Muslim No. 2553)

Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, “Hati nurani yang menyambut untuk merajihkan al-haq ketimbang kebathilan ketika dihadapkan pada dua keyakinan dan keinginan, ini sudah mencukupi bahwasanya dia dilahirkan dalam keadaan fitrah.” (Dar-u Ta’aridh al-‘Aqil wa an-Naqil 8/463)

Beliau Rahimahullahu juga berkata, “Allah Subhanahu wata’ala menciptakan hamba-Nya di atas fitrah yakni al-haq dan membenarkannya, juga mengenal kebathilan dan mendustakannya, juga mengenal perkara yang bermanfaat dan menyukainya, juga mengenal perkara yang memudharatkan dan memusuhinya, ini semua memang fitrahnya.
Maka, fitrah membenarkan bahwa al-haq (kebenaran) itu lebih patut untuk diterima. Dan fitrah mengetahui bahwa al-haq itu lebih bemanfaat. Fitrah lebih menyukai dan tenang menuju al-haq -yang demikian ini ma’ruf-. Dan fitrah membenci kebathilan dan mendustakannya, juga memusuhi serta mengingkarinya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar.” (al-A’raaf: 157) (Dar-u Ta’aridh al-‘Aqil wa an-Naqil 8/463)

Memang demikian kondisi hati nurani yang mengenal al-haq, menginginkan dan menyukai al-haq, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِنْهُ

“Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (al-Qur’an) dari Rabbnya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah.” (Hud: 17)

asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullahu mengatakan (dalam menafsirkan ayat di atas):
Bukti yang nyata yaitu wahyu yang diturunkan oleh Allah, sedangkan seorang saksi yaitu dialah seorang saksi yang memiliki fitrah yang lurus, berakal, dan bisa memahami. (Taisirul Karimir Rahman, 379)

Berkata asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullahu, “Maka termasuk dari hikmah mereka orang-orang yang beragama adalah mengenal kebenaran dan mengamalkan kebenaran, mereka juga mengenal al-haq dan mengamalkan al-haq. (Taisirul Latiiful Muniir, 50)

Apabila hati nurani sudah menempel di atas fitrah, dia tidak akan mencari kecuali al-haq. Dan al-haq itu terpampang jelas lagi tidak tersamar.

Berkata Mu’adz bin Jabal Radhiallahu’anhu,

فَإِنَّ عَلَى الْحَقِّ نُوْرًا

“Sesungguhnya di atas al-haq terdapat nuur (cahaya).” (Diriwayatkan al-Hakim dalam al-Mustadrak (4/460)

Inilah Abdullah bin Salam Radhiallahu’anhu, seorang Yahudi, tatkala ia melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam yang hijrah sampai ke Madinah, ia mengetahui bahwasanya wajah beliau Shallallahu’alaihi wasallam adalah wajah seorang yang jujur.

Abdullah bin Salam Radhiallahu’anhu mengatakan, “Setibanya Nabi Shallallahu’alaihi wasalam, manusia mengerumuninya, maka aku termasuk dari mereka yang berkerumun. Manakala tampak jelas olehku wajahnya, aku mengetahui bahwa wajah beliau Shallallahu’alaihi wasallam bukanlah wajah seorang pendusta. Sesuatu yang aku dengar pertama kali dari beliau Shallallahu’alaihi wasallam adalah,

أَفْشُو السَّلَامُ، وَأِطْعَمُو الطَّعَامُ، وَصِلُو الْأَرْحَامُ، وَصّلُّوْا وَالنَّاسُ نِيَامُ، تَدْخُلُو الْجَنَّةَ بِسَلَامِ

“Hai sekalian manusia, sebarkanlah salam, berilah makan (kepada faqir miskin), dan sambunglah hubungan kekerabatan, dan sholatlah di waktu malam tatkala manusia sedang tidur, niscaya kamu akan masuk surga dengan selamat.” (Riwayat Ahmad dalam al-Musnad 5/451, Tirmidzi No. 485. Berkata at-Tirmidzi bahwa hadits ini shahih)

Allah Azza wajalla dengan hikmah-Nya menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan menegakkan hujjah atas setiap makhluk, mengutus para Rasul ‘Alaihimus sholatu wasallam, dan menampakkan al-haq.

Maka wajib atas manusia untuk mengilzamkan (senantiasa berpegang teguh) di atas fitrah, dan berhati-hati dari sebab-sebab yang bisa menyimpangkan dan memalingkan dirinya dari al-haq. Jika dia telah berpaling dari al-haq niscaya dia akan menyimpang, memusuhi al-haq, dan memusuhi orang-orang yang berada di atas al-haq.

Merupakan karunia yang besar atas seorang hamba manakala dia mencintai dan mengutamakan al-haq, juga mencari al-haq (kebenaran) serta beriltizam (berpegang teguh) terhadapnya.

Berkata Abu Muhammad bin Hazm, “Karunia terbesar atas seorang hamba manakala ia ittiba’ di atas keadilan dan mencintai keadilan, juga ittiba’ di atas al-haq dan mengedepankan al-haq.” (Mudaawamah an-Nufuus, 31)

Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullahu, “Merupakan kesempurnaan seorang insan manakala ia memiliki dua karakter pokok, yakni mengetahui al-haq (kebenaran) dari yang bathil, dan mengedepankan al-haq ketimbang kebathilan. Dan tidaklah kokoh kedudukan seorang makhluk di sisi Allah Ta’ala di dunia dan akhirat kecuali dengan kadar kekokohan kedudukan mereka pada dua perkara pokok ini. Dan kedua perkara pokok ini merupakan sanjungan.
Allah Subhanahu wata’ala menyanjung para nabi-Nya dengan kedua perkara pokok ini melalui firman-Nya,

وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الأيْدِي وَالأبْصَارِ

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Yakub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shaad: 45)

Aidiy bermakna kekuatan dalam mengedepankan al-haq, sedangkan Abshaar bermakna luasnya pengetahuan dan pemahaman yang benar dalam perkara agama. Maka mereka berada dalam kesempurnaan mengetahui dengan pasti al-haq dan kesempurnaan mengedepankan al-haq.” (al-Jawaabul Kaafi, 139)

Dan di antara sebab-sebab untuk senantiasa berada di atas al-haq adalah dia mengetahui apa-apa yang bisa memalingkan darinya. Seluruh faktor-faktor yang bisa memalingkan seseorang dari al-haq (kebenaran) bermuara pada:
1. Niat yang jelek dalam mencari al-haq,
2. Kebodohan dalam perkara agama,
3. Kezhaliman berupa syirik, bid’ah, dan maksiat,
4. Menempuh jalan yang bukan jalan petunjuk, yakni dia menempuh jalan yang menyimpang dari pemahaman salafuna shalih.

Wallahu a’lam
[Dinukil dari Muqaddimah Kitab Shawaarifu ‘anil Haq, Penulis asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim al-Utsman]

Kebenaran Tercampakkan karena Kedengkian dan Kesombongan

Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Nikmat-nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada umat manusia tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di antara nikmat paling agung yang Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan adalah diciptakan-Nya mereka di atas fitrah yang mulia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar-Rum: 30)

Di antara fitrah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan umat manusia di atasnya adalah mencintai kebenaran dan mencarinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Hati adalah makhluk yang mencintai kebenaran, menginginkan dan mencarinya.” (Majmu’ Fatawa, 10/88)

Beliau pun berkata: “Maka sesungguhnya al-haq (kebenaran) itu dicintai fitrah yang baik, dan dia (al-haq) itu lebih dicintai, lebih dimuliakan, lebih lezat bagi fitrah dibandingkan kebatilan yang tidak ada hakikatnya. Sungguh fitrah tidak mencintai hal ini.” (Majmu’ Fatawa, 16/338)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Agama Islam itu adalah agama yang hikmah. Maknanya, mengilmui kebenaran dan mengamalkannya dalam seluruh perkara.” (Taisirul Lathifil Mannan, hal. 58)

Sehingga apabila jiwa itu tetap di atas fitrahnya, maka tidak akan menuntut kecuali kebenaran. Sedangkan kebenaran itu telah jelas dan terang, tidak ada kesamaran atasnya.

Al-’Allamah Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kesempurnaan seseorang itu berkisar pada dua hal:
1. Kemampuan membedakan antara kebenaran dan kebatilan
2. Lebih memilih kebenaran tersebut daripada kebatilan.

Tidaklah kedudukan makhluk di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali ditentukan oleh kadar perbedaan mereka dalam dua perkara tersebut. Karena dua perkara inilah, para nabi dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub yang memiliki kekuatan dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shad: 45)

al aydii maknanya kuat dalam melaksanakan kebenaran, al abshor maknanya kemampuan membedakan antara kebenaran dengan kebatilan dalam urusan agama.

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati mereka, para nabi, dengan kesempurnaan memahami kebenaran dan kesempurnaan dalam mengamalkannya.” (Al-Jawabul Kafi, hal. 139)

Oleh karena itulah, setiap hamba wajib berpegang teguh dengan fitrahnya dan berhati-hati terhadap sebab-sebab yang akan menghalanginya dari kebenaran (al-haq), serta takut terhadap segala sesuatu yang akan menyimpangkannya. Apabila ada suatu hal yang telah menggelincirkannya dari kebenaran tersebut, dia segera kembali kepada al-haq itu dan berusaha memeganginya dengan kuat.

Adapun faktor-faktor yang akan menghalangi dan menyimpangkan seorang hamba dari al-haq banyak sekali jumlahnya. Bisa berasal dari diri sendiri, seperti kebodohan dan hawa nafsunya. Bisa juga dari luar dirinya, seperti setan dari golongan jin dan manusia.

Di antara sekian banyak faktor tadi, yang paling banyak menggelincirkan makhluk dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah al-kibr (kesombongan) dan al-hasad (kedengkian) yang ada pada dirinya.

Kesombongan dan kedengkian inilah yang menyeret Iblis la’natullah alaih untuk durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedurhakaan Iblis ini adalah yang pertama kali dalam alam semesta. Hal itu terjadi karena Iblis iri dan dengki dengan keutamaan serta kedudukan Adam ‘Alaihis salam. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih beliau untuk menjadi khalifah di muka bumi, Allah Subhanahu wa Ta’ala ajari beliau berbagai nama (benda) seluruhnya, serta Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan para malaikat untuk sujud kepadanya. Hal inilah yang menyeret Iblis untuk durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Demikian pula, kesombongan dan kedengkianlah yang menyeret Yahudi untuk tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengingkari kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah ahlul kitab, yang mengetahui berita akan diutusnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui kitab Taurat dan Injil. Sebelum beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, mereka juga sering menceritakan kepada orang-orang Arab bahwa waktu diutusnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dekat. Setelah diutusnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka juga betul-betul yakin bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yakinnya mereka terhadap anak-anak mereka sendiri.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 146)

Yang menyeret mereka untuk mendustakan dan enggan untuk beriman kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kesombongan dan kedengkian. Hal ini terjadi karena beliau bukan berasal dari bangsa mereka, di mana mereka merasa lebih mulia daripada bangsa Arab.

Apabila kesombongan dan kedengkian itu mampu menyeret manusia ke dalam kekafiran, padahal dosa ini adalah dosa yang paling besar, maka bagaimana tidak mungkin akan menyeret kepada dosa-dosa lain yang lebih kecil? Tentunya sangat mudah, kecuali orang-orang yang mendapatkan perlindungan dan hidayah taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Al-Hasad (Kedengkian)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ

“Ataukah mereka (orang-orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang telah Allah berikan kepadanya?” (An-Nisa’: 54)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَلاَ تَحَاسَدُوا

“Janganlah kalian saling iri dan dengki.” (HR. Muslim)

Dalil-dalil di atas menunjukkan haramnya hasad (iri dan dengki). Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk bersungguh-sungguh menjaga dirinya dari penyakit tersebut, serta khawatir dirinya akan terjatuh padanya. Juga senantiasa berupaya membersihkan diri darinya. Karena hasad itu sangat tersembunyi di dalam jiwa, sewaktu-waktu bisa muncul dan membinasakan dirinya. Wal ‘iyadzu billah.

Al-Allamah Abdurrahman Al-Mu’allimi rahimahullahu berkata: “Hasad itu hakikatnya adalah apabila orang lain yang menerangkan kebenaran, maka dia (orang yang dalam hatinya ada iri dan dengki) menganggap bahwa bila dia meyakini kebenaran tersebut berarti dia mengakui kelebihan ilmu dan keutamaan orang itu, serta mengakui kebenaran yang ada pada diri orang tersebut. Sehingga akan semakin membesarkan kewibawaannya di mata umat. Barangkali orang yang mengikuti dia akan semakin banyak. Sungguh engkau akan dapati sebagian orang yang berambisi menyalahkan orang lain adalah dari kalangan ulama, walaupun dengan cara yang batil sekalipun. Hal itu terjadi karena kedengkiannya dan upaya menjatuhkan kedudukannya di mata umat. Kebanyakan terjadinya saling iri dan dengki itu adalah di antara orang-orang yang seusia, sederajat, seprofesi, atau sekelas (aqran dari kalangan penuntut ilmu).” (At-Tankil, 2/190)

Oleh karena itulah, kebanyakan orang menolak (tidak mau menerima) kebenaran apabila orang yang membawa kebenaran itu adalah orang yang dianggap sederajat dengannya. Padahal dia akan menerima kebenaran tersebut kalau yang menyampaikan adalah gurunya atau orang yang lebih tinggi darinya.

Abu Hatim Ibnu Hibban rahimahullahu berkata: “Kebanyakan hasad (iri dan dengki) itu terjadi di antara aqran (orang-orang yang seumur, sekelas, seprofesi). Orang-orang yang sama profesinya, seperti para penulis, tidak akan hasad kepadanya kecuali para penulis juga. Sebagaimana para hafizh itu tidak akan hasad kepadanya kecuali para hafizh pula. Dan seseorang tidak akan mencapai suatu kedudukan dari berbagai kedudukan dunia kecuali dia pasti akan mendapati orang yang membenci dirinya karena kedudukan tersebut (karena iri dan dengki kepadanya). Maka, orang yang hasad adalah lawan yang senantiasa berusaha menentang.” (Raudhatul ‘Uqala, hal. 136)

Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: “Di antara sebab yang menghalangi seseorang bersikap inshaf (adil dan ilmiah) adalah apa yang terjadi di antara orang-orang yang berlomba-lomba mendapatkan keutamaan di antara aqran (selevel). Hal itu terjadi pula dalam urusan kepemimpinan dunia maupun agama. Maka apabila setan telah mengembuskan (api hasad) pada dirinya, persaingan pun semakin sengit, sampai pada suatu tingkatan yang bisa menjerumuskan masing-masingnya untuk menolak segala sesuatu yang dibawa oleh lawannya (walaupun berupa kebenaran yang sangat jelas).

Dalam perseteruan ini, sungguh kita menyaksikan dan mendengarkan peristiwa-peristiwa yang mengherankan yang dilakukan oleh segolongan orang-orang yang berilmu layaknya perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman. Mereka menolak kebenaran yang dibawa pihak lawannya serta membantah dengan cara yang batil [1].” (Adabuth Thalib, hal. 91-92)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata: “Kesimpulannya, hasad adalah akhlak yang tercela. Yang sungguh memprihatinkan adalah bahwa kebanyakan hasad tersebut terjadi di antara para ulama dan thalabatul ilmi (penuntut ilmu). Terjadi pula hasad di antara para pedagang. Orang-orang yang memiliki profesi yang sama akan hasad terhadap orang-orang yang seprofesi dengannya. Namun yang paling memprihatinkan adalah hasad di antara para ulama lebih dahsyat. Hasad di antara para penuntut ilmu juga lebih dahsyat. Padahal semestinya orang-orang yang berilmu adalah orang yang paling jauh dari penyakit ini. Mereka mestinya adalah orang yang paling baik akhlaknya. (Kitabul ‘Ilmi, hal. 74)

Al-Kibr (Kesombongan)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ

“Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Ghafir: 35)

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Karena faktor-faktor inilah, orang-orang Yahudi terus-menerus di atas kebatilannya. Yaitu karena apa yang ada dalam hati-hati mereka seperti kesombongan, kedengkian, keras kepala, dan tabiat-tabiat jelek lainnya.” (Naqdhul Manthiq, hal. 27)

Dengan hal inilah kita mendapatkan kejelasan bahwa kesombongan itu adalah salah satu penghalang untuk menerima kebenaran.

Demikian juga apabila kesombongan itu telah memenuhi hatinya, akan menjadikan pemiliknya menganggap dirinya tinggi dan sempurna, sehingga merasa tidak membutuhkan orang lain. Hal ini juga akan menghalanginya dari evaluasi dan introspeksi diri, barangkali yang keliru adalah dirinya. Inilah keadaan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu.

Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata: “Orang yang sombong adalah orang yang menganggap dirinya lebih tinggi daripada orang lain (dalam segala perkara).” (At-Tabashshurah, 2/222)

Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu berkata: “Orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai hakim bagi dirinya, maka mereka tidak akan memedulikan apapun. Mereka tidak akan memperhitungkan hal-hal yang menyelisihi pendapatnya sama sekali. Mereka juga tidak mau introspeksi diri atau mengevaluasi pandangan-pandangannya. Tidak sebagaimana sikap orang-orang yang berusaha mencurigai dirinya sendiri (barangkali kesalahan ada di pihaknya), dan akan berhenti tatkala menimbulkan suatu permasalahan (padahal inilah sikap orang-orang yang berakal).” (Al-I’tisham, 2/269)

Orang-orang yang mengikuti kebenaran adalah orang-orang yang tawadhu’. Orang-orang yang senantiasa mengintrospeksi dirinya adalah orang-orang yang gigih mencari dan menuntut kebenaran. Oleh karena itu, mereka tidaklah enggan untuk mengevaluasi pendapatnya. Tidak enggan pula untuk menuntut hakikat kebenaran dari suatu pemasalahan. Lebih-lebih pada hal-hal yang menimbulkan masalah.

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Sungguh aku telah mendengar Asy-Syaikh Muqbil lebih dari sekali berkata: ‘Demi Allah, kami tidak mengkhawatirkan dakwah ini, kecuali dari diri-diri kami.’ Aku (Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam) katakan: Demi Allah, sungguh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu memiliki firasat yang tepat, di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka khutbahnya dengan ucapan:

وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا

“Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami dan dari kejelekan amalan kami.”

Maka, jiwa kita, apapun kebaikan yang ada padanya, mesti terdapat kekurangan atau kejelekan.” (At-Tanbihul Hasan, hal. 68-69)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Seseorang beralih dari suatu pendapat kepada pendapat yang lain karena kejelasan yang dia dapatkan, adalah sikap terpuji. Berbeda dengan sikap orang yang sombong, terus-menerus di atas suatu pendapat yang tidak mengandung hujjah atau dalil yang kuat (ini adalah sikap yang tercela). Sedangkan meninggalkan suatu pendapat yang telah jelas hujjah atau dalilnya, atau berpindah dari suatu pendapat kepada pendapat lain karena adat dan mengikuti hawa nafsu, itu adalah sikap yang tercela pula.” (Al-Fatawa Al-Kubra, 5/125)

Terapi Hati dari Penyakit Sombong dan Hasad

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ

“Tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata: “Makna tawadhu’ adalah menerima kebenaran dengan tunduk kepadanya, menghina diri, patuh, dan masuk di bawah perbudakannya. Di mana kebenaran itulah yang mengatur dirinya, sebagaimana seorang raja mengatur kekuasaannya. Dengan inilah seorang hamba akan mendapatkan akhlak tawadhu’. Agar bisa bersikap demikian, seorang muslim membutuhkan ilmu, ikhlas, sabar, dan latihan yang terus-menerus, diiringi doa, serta senantiasa menjaga keselamatan hati dari penyakit-penyakitnya (ujub, riya, sum’ah sombong, hasad, dll).

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)

Hammad bin Ibrahim berkata: “Kebenaran itu telah jelas dan mudah. Di mana manusia diciptakan di atas fitrahnya untuk mengetahui, mencintai, dan menerima kebenaran tersebut, kecuali orang yang telah rusak fitrahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu untuk mengatakan kebenaran walaupun pahit. Hal ini (kebenaran yang pahit rasanya) adalah bagi orang yang belum terlatih jiwanya. Demikian juga bagi ahli bid’ah serta orang yang mengikuti hawa nafsunya.” (Ash-Shawarif ‘anil Haq, hal. 41)

Ar-Raghib Al-Asfahani berkata: “Ucapan mereka bahwa kebenaran itu pahit, itu adalah bagi orang yang belum terlatih jiwanya (untuk menerimanya) dan hatinya sakit. Seorang penyair berkata:

فَمَنْ يَكُنْ ذَا فَمٍ مُرّ مَرِيضٍ يَجِدْ مُرًّا بِهِ الْمَاءَ الزُّلَالَا

Orang yang mulutnya pahit, dia sakit
dia merasakan pahit dengannya air yang segar.
Maka, orang yang sehat fitrahnya akan senang dengan (kebenaran) itu walaupun berat.” (Adz-Dzani’ah ila Makarisy Syari’ah, hal. 126)

Al-Khaththabi rahimahullahu berkata: “Manusia itu tidak akan berubah dari tabiat-tabiatnya yang jelek, dan tidak akan meninggalkan kesenangannya terhadap berbagai macam kebiasaan kecuali dengan latihan-latihan yang keras dan pengobatan yang serius.” (A’lamul Hadits, 1/218)

Siapapun yang jiwanya belum terlatih menerima kebenaran, maka jiwa tersebut membutuhkan latihan dan pendidikan sampai jiwa itu menuruti kebenaran dan tunduk kepadanya, senantiasa mengoreksi amalan-amalan yang telah dia lakukan, dan senantiasa mensyukuri segala nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mudah menerima al-haq.

اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu adalah kebenaran dan karuniakanlah kepada kami rezeki untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kepada kami yang batil itu adalah batil dan karuniakanlah kepada kami rezeki untuk menjauhinya. Amin, ya Rabbal ‘alamin.

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Al-Ahqaf: 15)

Ya Allah, limpahkanlah qalbun salim (hati yang selamat dan bersih) kepada kami kaum muslimin, mukminin, salafiyyin, hati yang selalu menerima al-haq, mencintainya dan selalu mendahulukannya, hati yang putih bersih yang memancarkan cahaya iman, yang kokoh di atas al-haq.

Amin ya Rabbal ‘alamin.
[Sumber: Dinukil dari majalah Asy Syariah]
__________
Footnote:
[1] Jawa: Waton suloyo, atau yang penting beda, asal mencela. –pen

Kebenaran Tidak Diukur Dengan Banyaknya Orang Yang Mengikutinya.Berpegang Pada Suara Mayoritas Adalah Kaidah Kaum Jahiliyah.