Kebodohan
Akan Menghalangi Seseorang Untuk Menerima Kebenaran
asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim al-Utsman
al-Haq (kebenaran) itu begitu gamblang
lagi jelas, firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ
فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al
Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (al-Qamar:
17)
Maka Allah Ta’ala mudahkan lafazhnya
untuk bisa dibaca, dan maknanya bisa dipahami.
Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam,
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ
بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan
yang haram itu jelas. Di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat
(samar-samar).” (Muttafaqun’alaih dari hadits Nu’man bin Basyir
Radhiallahu’anhu)
Dan telah sepakat para ulama ahlussunnah
akan ushul (perkara pokok) ini. (Taudhih al-Kaafiyatusy Syaafiyah, hal 79)
Oleh karena itu kebathilan akan masuk
kepada orang yang tidak berilmu tentangnya, juga kepada orang yang tidak
mengetahui bahwa itu bathil, juga kepada orang yang tidak ada upaya mencari
tahu dengan nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, ucapan shahabat, dan tabi’in.
Berkata Imam Ahmad Rahimahullah,
“Sesungguhnya perseilihan akan datang
kepada orang-orang yang berselisih, karena sedikitnya pengetahuan mereka
terhadap apa-apa yang datang dari nabi Shallallahu’alaihi wasallam.” (I’laamul
Muwaqi’iin, 1/44)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
“al-Haq itu (kebenaran) telah diketahui
oleh setiap orang, karena sesungguhnya dengan al haq itulah Allah Ta’ala
mengutus para Rasul ‘Alaihimus Salam. al-Haq itu tidak serupa dengan selainnya
bagi al-’Aaraf (orang-orang yang berpengetahuan) sebagaimana emas murni tidak
serupa dengan emas yang sudah bercampur dengan perak.” (Majmu’ al-Fatawa,
27/312-315)
Dan beliau juga berkata,
“Sesungguhnya asy-syaari’ (Rasulullah)
Shallallahu’alaihi wasallam telah menyampaikan setiap apa-apa yang bisa menjadi
pegangan dari kebinasaan-kebinasaan dengan penyampaian yang memutuskan (tidak
ada alasan) bagi orang yang mencari udzur.” (Dar-u Ta’aaridhul ‘Aqlu wan Naqlu,
1/73)
Dan beliau juga berkata,
“al-Haq itu banyak ditolak oleh orang
yang bodoh lagi buta huruf.” (Majmu’ al-Fatawa, 25/129)
Berkata asy-Syaukani Rahimahullah,
“Condong membela ucapan-ucapan bathil
bukanlah dari kebiasaan ahlut tahqiq (orang yang mencari kebenaran), yang
mereka memiliki kesempurnaan pengetahuan, pemahaman yang kuat, memiliki
istinbath, dan bisa membedakan mana yang shahih dari yang dhaif. Bahkan itu
adalah kebiasaan orang yang tidak memiliki bashirah (pemahaman) yang benar, dan
tidak memiliki pengetahuan yang bermanfaat.” (Adab ath-Thalab wa Muntahal Arab,
hal. 40)
Bahkan sampai-sampai madzhab Rafidhah
yang diada-adakan oleh Abdullah bin Saba’ al-Yahudi -inilah madzhab yang paling
sesat- bisa masuk atas sebagian kaum Muslimin disebabkan kebodohannya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
“Sesungguhnya orang yang mengada-adakan
madzhab Rafidhah adalah seorang zindiq, mulhid, memusuhi Islam dan kaum
Muslimin. Rafidhah bukanlah dari ahlul bid’ah yang suka mentakwil seperti
Khawarij dan Qadariyah (bahkan Rafidhah sudah keluar dari Islam). Ucapan-ucapan
Rafidhah itu masuk setelah itu atas sebuah kaum karena mereka terlalu bodoh.”
(Minhajus Sunnah, 4/363)
Berkata Ibnul Qayyim al-Jauziyyah,
“Sebab-sebab yang mencegah seseorang dari
menerima al-haq (kebenaran) banyak sekali. Di antaranya adalah karena
kebodohannya, inilah yang menimpa kebanyakan orang. Sesungguhnya barangsiapa
yang bodoh terhadap sesuatu, maka dia akan memusuhinya dan memusuhi orang yang
berpegang dengannya.” (Hidayatul Khuyara fii Ajwabatil Yahudi wan Nashara, hal.
18)
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
“Tidaklah didapatkan pada seseorang yang
terjerumus ke dalam bid’ah kecuali karena sedikitnya dia dalam mengikuti
sunnah, baik ilmu maupun amalan. Sebaliknya, barangsiapa yang berilmu dan dia
ittiba’ (mengikuti sunnah), niscaya tiada pada dirinya ajakan kepada bid’ah.
Karena sesungguhnya bid’ah akan menimpa orang yang bodoh tentang sunnah.”
(Syarhu Hadits “Laa Yaznii az Zaanii” hal. 35)
Barangsiapa yg tidak mau mengangkat
kebodohan dari dirinya, maka tidak diterima udzurnya karena kebodohan (bodoh
tidak dapat dijadikan udzur).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah,
“Telah pasti celaan bagi orang yang telah
jelas baginya kebenaran lalu dia meninggalkannya, atau bagi orang yang sedikit
mencari kebenaran yang akibatnya dia tidak paham, atau berpaling dari mencari
pengetahuan karena hawa nafsunya, atau karena malas, atau yang semisalnya.”
(Iqtidha ash-shirathal Mustaqim, 2/85)
Berkata al-Allamah Abdurrahman as-Sa’di
Rahimahullah,
“Barangsiapa yang rela dengan
kebid’ahannya, berpaling dari mencari dalil-dalil syar’i, dan tidak mencari
jawaban dari ulama yang bisa membedakan antara yang haq dan yang bathil,
membantah apa-apa yang datang dari al-Quran dan as-Sunnah bersamaan dengan
kebodohannya dan kesesatannya, dan berkeyakinan bahwa dia di atas kebenaran,
maka ini zhalim dan fasiq, dengan cukup dia meninggalkan jawaban Allah
Subhanahu wata’ala atasnya dan menerobos apa-apa yang diharamkan Allah Ta’ala.”
(Irsyaadu Ulil
Bashaair wal Albaab, hal. 300)
Berkata al-Walid al-Allamah Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin Rahimahullah,
“Sungguh tidak ada udzur bagi insan yang bodoh, itu jika
memungkinkan dia untuk belajar. Dia tidak melaksanakan (suatu syariat) karena
adanya syubhat, sebagaimana dikatakan kepada seseorang, ‘Ini haram.’ Sementara
dia meyakininya halal. Tatkala ada syubhat atas ucapannya, hendaknya dia terus
taklim hingga jelasnya hukumnya dengan yakin. Maka ini terkadang tidak ada
udzur dengan kebodohannya, karena dia tafrith (meremehkan) tidak mau taklim
(belajar). Dan sifat tafrith tidak mendapatkan udzur. Namun barangsiapa yang
betul-betul bodoh dan tiada syubhat padanya, dan berkeyakinan bahwa dia di atas
kebenaran atau mengatakan bahwa dia di atas kebenaran, maka ini tidak ragu
bahwa dia tidak menginginkan mukhalifah (penentangan), dan tidak menginginkan maksiat
serta tidak menginginkan kekufuran, maka tidak mungkin mengkafirkannya walaupun
dia bodoh dalam perkara pokok dari pokok-pokok agama.” (Syarhul Mumthi’,
6/193-194)
[Dinukil dari
Kitab Shawaarifu ‘anil Haq, Penulis asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim al-Utsman, Hal.
9-12]
Bahwasanya
Hati Nurani Setiap Orang Lebih Menyukai dan Menginginkan Kebenaran Ketimbang
Kebathilan
asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim al-Utsman
Alhamdulillah, wa ashshalatu wa assalamu
‘ala Rasulillah, wa ba’du.
Sesungguhnya Allah Azza wajalla
menciptakan setiap makhluk di atas fitrah (hati nurani yang lurus) sebagaimana
firman-Nya,
فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (ar-Ruum: 30)
Dan di antara fitrah manusia adalah dia
mencintai dan menginginkan al-haq (kebenaran). Berkata Syaikhul Islam Ibn
Taimiyyah, “Qalbu setiap makhluk mencintai, menginginkan, dan mencari al-haq.”
(Majmu’ Fatawa 10/88)
Beliau Rahimahullahu juga berkata, “Maka
sesungguhnya al-haq itu lebih disukai oleh fitrah manusia, dan fitrah itu suka
untuk menuju dan bersegera kepada al-haq, dan memusuhi kebathilan yang ada di
sisinya yang bukan karakternya, karena memang fitrah itu tidak menyukai
kebathilan.” (Majmu’ Fatawa 16/338)
Pada dasarnya, fitrah manusia sudah
menempel di hati nurani untuk mencintai al-haq, karena memang hati nurani itu
fitrahnya sudah mengenal al-haq, sebagaimana disebutkan dalam al Quran tentang
Nabi Musa ‘Alaihis Salam,
قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ
خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى
“Musa berkata: “Rabb kami ialah (Rabb)
yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian
memberinya petunjuk.” (Thaahaa: 50)
Dan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam,
وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ
أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Dan dosa adalah apa yang terasa
menganggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia.“ (Riwayat Muslim
No. 2553)
Berkata Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah,
“Hati nurani yang menyambut untuk merajihkan al-haq ketimbang kebathilan ketika
dihadapkan pada dua keyakinan dan keinginan, ini sudah mencukupi bahwasanya dia
dilahirkan dalam keadaan fitrah.” (Dar-u Ta’aridh al-‘Aqil wa an-Naqil 8/463)
Beliau Rahimahullahu juga berkata, “Allah
Subhanahu wata’ala menciptakan hamba-Nya di atas fitrah yakni al-haq dan
membenarkannya, juga mengenal kebathilan dan mendustakannya, juga mengenal
perkara yang bermanfaat dan menyukainya, juga mengenal perkara yang memudharatkan
dan memusuhinya, ini semua memang fitrahnya.
Maka, fitrah membenarkan bahwa al-haq
(kebenaran) itu lebih patut untuk diterima. Dan fitrah mengetahui bahwa al-haq
itu lebih bemanfaat. Fitrah lebih menyukai dan tenang menuju al-haq -yang
demikian ini ma’ruf-. Dan fitrah membenci kebathilan dan mendustakannya, juga
memusuhi serta mengingkarinya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ
الْمُنْكَرِ
“Yang menyuruh mereka mengerjakan yang
ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar.” (al-A’raaf: 157)
(Dar-u Ta’aridh al-‘Aqil wa an-Naqil 8/463)
Memang demikian kondisi hati nurani yang
mengenal al-haq, menginginkan dan menyukai al-haq, sebagaimana firman Allah
Ta’ala,
أَفَمَنْ كَانَ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ
وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِنْهُ
“Apakah (orang-orang kafir itu sama
dengan) orang-orang yang mempunyai bukti yang nyata (al-Qur’an) dari Rabbnya,
dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah.” (Hud: 17)
asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di
rahimahullahu mengatakan (dalam menafsirkan ayat di atas):
Bukti yang nyata yaitu wahyu yang
diturunkan oleh Allah, sedangkan seorang saksi yaitu dialah seorang saksi yang
memiliki fitrah yang lurus, berakal, dan bisa memahami. (Taisirul Karimir
Rahman, 379)
Berkata asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di
rahimahullahu, “Maka termasuk dari hikmah mereka orang-orang yang beragama
adalah mengenal kebenaran dan mengamalkan kebenaran, mereka juga mengenal
al-haq dan mengamalkan al-haq. (Taisirul Latiiful Muniir, 50)
Apabila hati nurani sudah menempel di
atas fitrah, dia tidak akan mencari kecuali al-haq. Dan al-haq itu terpampang
jelas lagi tidak tersamar.
Berkata Mu’adz bin Jabal
Radhiallahu’anhu,
فَإِنَّ عَلَى الْحَقِّ نُوْرًا
“Sesungguhnya di atas al-haq terdapat
nuur (cahaya).” (Diriwayatkan al-Hakim dalam al-Mustadrak (4/460)
Inilah Abdullah bin Salam
Radhiallahu’anhu, seorang Yahudi, tatkala ia melihat Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam yang hijrah sampai ke Madinah, ia mengetahui
bahwasanya wajah beliau Shallallahu’alaihi wasallam adalah wajah seorang yang
jujur.
Abdullah bin Salam Radhiallahu’anhu
mengatakan, “Setibanya Nabi Shallallahu’alaihi wasalam, manusia mengerumuninya,
maka aku termasuk dari mereka yang berkerumun. Manakala tampak jelas olehku
wajahnya, aku mengetahui bahwa wajah beliau Shallallahu’alaihi wasallam
bukanlah wajah seorang pendusta. Sesuatu yang aku dengar pertama kali dari
beliau Shallallahu’alaihi wasallam adalah,
أَفْشُو السَّلَامُ، وَأِطْعَمُو الطَّعَامُ،
وَصِلُو الْأَرْحَامُ، وَصّلُّوْا وَالنَّاسُ نِيَامُ، تَدْخُلُو الْجَنَّةَ
بِسَلَامِ
“Hai sekalian manusia, sebarkanlah salam,
berilah makan (kepada faqir miskin), dan sambunglah hubungan kekerabatan, dan
sholatlah di waktu malam tatkala manusia sedang tidur, niscaya kamu akan masuk
surga dengan selamat.” (Riwayat Ahmad dalam al-Musnad 5/451, Tirmidzi No. 485.
Berkata at-Tirmidzi bahwa hadits ini shahih)
Allah Azza wajalla dengan hikmah-Nya
menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dengan menegakkan hujjah atas setiap makhluk, mengutus para
Rasul ‘Alaihimus sholatu wasallam, dan menampakkan al-haq.
Maka wajib atas manusia untuk
mengilzamkan (senantiasa berpegang teguh) di atas fitrah, dan berhati-hati dari
sebab-sebab yang bisa menyimpangkan dan memalingkan dirinya dari al-haq. Jika
dia telah berpaling dari al-haq niscaya dia akan menyimpang, memusuhi al-haq,
dan memusuhi orang-orang yang berada di atas al-haq.
Merupakan karunia yang besar atas seorang
hamba manakala dia mencintai dan mengutamakan al-haq, juga mencari al-haq
(kebenaran) serta beriltizam (berpegang teguh) terhadapnya.
Berkata Abu Muhammad bin Hazm, “Karunia
terbesar atas seorang hamba manakala ia ittiba’ di atas keadilan dan mencintai
keadilan, juga ittiba’ di atas al-haq dan mengedepankan al-haq.” (Mudaawamah
an-Nufuus, 31)
Berkata Ibnul Qayyim Rahimahullahu,
“Merupakan kesempurnaan seorang insan manakala ia memiliki dua karakter pokok,
yakni mengetahui al-haq (kebenaran) dari yang bathil, dan mengedepankan al-haq
ketimbang kebathilan. Dan tidaklah kokoh kedudukan seorang makhluk di sisi
Allah Ta’ala di dunia dan akhirat kecuali dengan kadar kekokohan kedudukan
mereka pada dua perkara pokok ini. Dan kedua perkara pokok ini merupakan
sanjungan.
Allah Subhanahu wata’ala menyanjung para
nabi-Nya dengan kedua perkara pokok ini melalui firman-Nya,
وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ
وَيَعْقُوبَ أُولِي الأيْدِي وَالأبْصَارِ
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim,
Ishaq dan Yakub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu
yang tinggi.” (Shaad: 45)
Aidiy bermakna kekuatan dalam
mengedepankan al-haq, sedangkan Abshaar bermakna luasnya pengetahuan dan
pemahaman yang benar dalam perkara agama. Maka mereka berada dalam kesempurnaan
mengetahui dengan pasti al-haq dan kesempurnaan mengedepankan al-haq.”
(al-Jawaabul Kaafi, 139)
Dan di antara sebab-sebab untuk
senantiasa berada di atas al-haq adalah dia mengetahui apa-apa yang bisa memalingkan
darinya. Seluruh faktor-faktor yang bisa memalingkan seseorang dari al-haq
(kebenaran) bermuara pada:
1. Niat yang jelek dalam mencari al-haq,
2. Kebodohan dalam perkara agama,
3. Kezhaliman berupa syirik, bid’ah, dan
maksiat,
4. Menempuh jalan yang bukan jalan
petunjuk, yakni dia menempuh jalan yang menyimpang dari pemahaman salafuna
shalih.
Wallahu a’lam
[Dinukil dari Muqaddimah Kitab Shawaarifu
‘anil Haq, Penulis asy-Syaikh Hamd bin Ibrahim al-Utsman]
Kebenaran
Tercampakkan karena Kedengkian dan Kesombongan
Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Nikmat-nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan
kepada umat manusia tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di antara nikmat paling agung yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala limpahkan adalah diciptakan-Nya mereka di atas fitrah yang
mulia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar-Rum: 30)
Di antara fitrah yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala ciptakan umat manusia di atasnya adalah mencintai kebenaran dan
mencarinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Hati adalah
makhluk yang mencintai kebenaran, menginginkan dan mencarinya.” (Majmu’ Fatawa,
10/88)
Beliau pun berkata: “Maka sesungguhnya
al-haq (kebenaran) itu dicintai fitrah yang baik, dan dia (al-haq) itu lebih
dicintai, lebih dimuliakan, lebih lezat bagi fitrah dibandingkan kebatilan yang
tidak ada hakikatnya. Sungguh fitrah tidak mencintai hal ini.” (Majmu’ Fatawa,
16/338)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di
rahimahullahu berkata: “Agama Islam itu adalah agama yang hikmah. Maknanya,
mengilmui kebenaran dan mengamalkannya dalam seluruh perkara.” (Taisirul
Lathifil Mannan, hal. 58)
Sehingga apabila jiwa itu tetap di atas
fitrahnya, maka tidak akan menuntut kecuali kebenaran. Sedangkan kebenaran itu
telah jelas dan terang, tidak ada kesamaran atasnya.
Al-’Allamah Ibnul Qayyim rahimahullahu
berkata: “Sesungguhnya kesempurnaan seseorang itu berkisar pada dua hal:
1. Kemampuan membedakan antara kebenaran
dan kebatilan
2. Lebih memilih kebenaran tersebut
daripada kebatilan.
Tidaklah kedudukan makhluk di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala, baik di dunia maupun di akhirat, kecuali ditentukan oleh
kadar perbedaan mereka dalam dua perkara tersebut. Karena dua perkara inilah,
para nabi dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ
وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim,
Ishaq, dan Ya’qub yang memiliki kekuatan dan ilmu-ilmu yang tinggi.” (Shad: 45)
al aydii maknanya kuat dalam melaksanakan
kebenaran, al abshor maknanya kemampuan membedakan antara kebenaran dengan
kebatilan dalam urusan agama.
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyifati mereka, para nabi, dengan kesempurnaan memahami kebenaran dan
kesempurnaan dalam mengamalkannya.” (Al-Jawabul Kafi, hal. 139)
Oleh karena itulah, setiap hamba wajib
berpegang teguh dengan fitrahnya dan berhati-hati terhadap sebab-sebab yang
akan menghalanginya dari kebenaran (al-haq), serta takut terhadap segala
sesuatu yang akan menyimpangkannya. Apabila ada suatu hal yang telah
menggelincirkannya dari kebenaran tersebut, dia segera kembali kepada al-haq
itu dan berusaha memeganginya dengan kuat.
Adapun faktor-faktor yang akan
menghalangi dan menyimpangkan seorang hamba dari al-haq banyak sekali jumlahnya.
Bisa berasal dari diri sendiri, seperti kebodohan dan hawa nafsunya. Bisa juga
dari luar dirinya, seperti setan dari golongan jin dan manusia.
Di antara sekian banyak faktor tadi, yang
paling banyak menggelincirkan makhluk dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala
adalah al-kibr (kesombongan) dan al-hasad (kedengkian) yang ada pada dirinya.
Kesombongan dan kedengkian inilah yang
menyeret Iblis la’natullah alaih untuk durhaka kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Kedurhakaan Iblis ini adalah yang pertama kali dalam alam semesta. Hal
itu terjadi karena Iblis iri dan dengki dengan keutamaan serta kedudukan Adam
‘Alaihis salam. Di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih beliau untuk menjadi
khalifah di muka bumi, Allah Subhanahu wa Ta’ala ajari beliau berbagai nama
(benda) seluruhnya, serta Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan para malaikat
untuk sujud kepadanya. Hal inilah yang menyeret Iblis untuk durhaka kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian pula, kesombongan dan
kedengkianlah yang menyeret Yahudi untuk tidak beriman kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan mengingkari kenabian Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka adalah ahlul kitab, yang mengetahui berita akan diutusnya beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui kitab Taurat dan Injil. Sebelum beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, mereka juga sering menceritakan kepada
orang-orang Arab bahwa waktu diutusnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah dekat. Setelah diutusnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka
juga betul-betul yakin bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan
Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana yakinnya mereka terhadap anak-anak
mereka sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ
كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ
الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang
telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka
mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka
menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (Al-Baqarah: 146)
Yang menyeret mereka untuk mendustakan
dan enggan untuk beriman kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
kesombongan dan kedengkian. Hal ini terjadi karena beliau bukan berasal dari
bangsa mereka, di mana mereka merasa lebih mulia daripada bangsa Arab.
Apabila kesombongan dan kedengkian itu
mampu menyeret manusia ke dalam kekafiran, padahal dosa ini adalah dosa yang
paling besar, maka bagaimana tidak mungkin akan menyeret kepada dosa-dosa lain
yang lebih kecil? Tentunya sangat mudah, kecuali orang-orang yang mendapatkan
perlindungan dan hidayah taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Hasad (Kedengkian)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ
اللهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Ataukah mereka (orang-orang Yahudi)
dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang telah Allah berikan
kepadanya?” (An-Nisa’: 54)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ تَحَاسَدُوا
“Janganlah kalian saling iri dan dengki.”
(HR. Muslim)
Dalil-dalil di atas menunjukkan haramnya
hasad (iri dan dengki). Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk
bersungguh-sungguh menjaga dirinya dari penyakit tersebut, serta khawatir
dirinya akan terjatuh padanya. Juga senantiasa berupaya membersihkan diri
darinya. Karena hasad itu sangat tersembunyi di dalam jiwa, sewaktu-waktu bisa
muncul dan membinasakan dirinya. Wal ‘iyadzu billah.
Al-Allamah Abdurrahman Al-Mu’allimi
rahimahullahu berkata: “Hasad itu hakikatnya adalah apabila orang lain yang
menerangkan kebenaran, maka dia (orang yang dalam hatinya ada iri dan dengki)
menganggap bahwa bila dia meyakini kebenaran tersebut berarti dia mengakui
kelebihan ilmu dan keutamaan orang itu, serta mengakui kebenaran yang ada pada
diri orang tersebut. Sehingga akan semakin membesarkan kewibawaannya di mata
umat. Barangkali orang yang mengikuti dia akan semakin banyak. Sungguh engkau
akan dapati sebagian orang yang berambisi menyalahkan orang lain adalah dari
kalangan ulama, walaupun dengan cara yang batil sekalipun. Hal itu terjadi
karena kedengkiannya dan upaya menjatuhkan kedudukannya di mata umat.
Kebanyakan terjadinya saling iri dan dengki itu adalah di antara orang-orang
yang seusia, sederajat, seprofesi, atau sekelas (aqran dari kalangan penuntut
ilmu).” (At-Tankil, 2/190)
Oleh karena itulah, kebanyakan orang
menolak (tidak mau menerima) kebenaran apabila orang yang membawa kebenaran itu
adalah orang yang dianggap sederajat dengannya. Padahal dia akan menerima
kebenaran tersebut kalau yang menyampaikan adalah gurunya atau orang yang lebih
tinggi darinya.
Abu Hatim Ibnu Hibban rahimahullahu
berkata: “Kebanyakan hasad (iri dan dengki) itu terjadi di antara aqran
(orang-orang yang seumur, sekelas, seprofesi). Orang-orang yang sama
profesinya, seperti para penulis, tidak akan hasad kepadanya kecuali para
penulis juga. Sebagaimana para hafizh itu tidak akan hasad kepadanya kecuali
para hafizh pula. Dan seseorang tidak akan mencapai suatu kedudukan dari
berbagai kedudukan dunia kecuali dia pasti akan mendapati orang yang membenci
dirinya karena kedudukan tersebut (karena iri dan dengki kepadanya). Maka,
orang yang hasad adalah lawan yang senantiasa berusaha menentang.” (Raudhatul
‘Uqala, hal. 136)
Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: “Di
antara sebab yang menghalangi seseorang bersikap inshaf (adil dan ilmiah)
adalah apa yang terjadi di antara orang-orang yang berlomba-lomba mendapatkan
keutamaan di antara aqran (selevel). Hal itu terjadi pula dalam urusan
kepemimpinan dunia maupun agama. Maka apabila setan telah mengembuskan (api
hasad) pada dirinya, persaingan pun semakin sengit, sampai pada suatu tingkatan
yang bisa menjerumuskan masing-masingnya untuk menolak segala sesuatu yang
dibawa oleh lawannya (walaupun berupa kebenaran yang sangat jelas).
Dalam perseteruan ini, sungguh kita
menyaksikan dan mendengarkan peristiwa-peristiwa yang mengherankan yang
dilakukan oleh segolongan orang-orang yang berilmu layaknya perbuatan yang
dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman. Mereka menolak kebenaran yang
dibawa pihak lawannya serta membantah dengan cara yang batil [1].” (Adabuth
Thalib, hal. 91-92)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin rahimahullahu berkata: “Kesimpulannya, hasad adalah akhlak yang
tercela. Yang sungguh memprihatinkan adalah bahwa kebanyakan hasad tersebut
terjadi di antara para ulama dan thalabatul ilmi (penuntut ilmu). Terjadi pula
hasad di antara para pedagang. Orang-orang yang memiliki profesi yang sama akan
hasad terhadap orang-orang yang seprofesi dengannya. Namun yang paling
memprihatinkan adalah hasad di antara para ulama lebih dahsyat. Hasad di antara
para penuntut ilmu juga lebih dahsyat. Padahal semestinya orang-orang yang berilmu
adalah orang yang paling jauh dari penyakit ini. Mereka mestinya adalah orang
yang paling baik akhlaknya. (Kitabul ‘Ilmi, hal. 74)
Al-Kibr (Kesombongan)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ
مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ
“Demikianlah Allah mengunci mati hati
orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (Ghafir: 35)
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong itu adalah menolak kebenaran dan
merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu berkata: “Karena faktor-faktor inilah, orang-orang Yahudi
terus-menerus di atas kebatilannya. Yaitu karena apa yang ada dalam hati-hati
mereka seperti kesombongan, kedengkian, keras kepala, dan tabiat-tabiat jelek
lainnya.” (Naqdhul Manthiq, hal. 27)
Dengan hal inilah kita mendapatkan
kejelasan bahwa kesombongan itu adalah salah satu penghalang untuk menerima
kebenaran.
Demikian juga apabila kesombongan itu
telah memenuhi hatinya, akan menjadikan pemiliknya menganggap dirinya tinggi
dan sempurna, sehingga merasa tidak membutuhkan orang lain. Hal ini juga akan
menghalanginya dari evaluasi dan introspeksi diri, barangkali yang keliru
adalah dirinya. Inilah keadaan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu.
Ibnul Jauzi rahimahullahu berkata: “Orang
yang sombong adalah orang yang menganggap dirinya lebih tinggi daripada orang
lain (dalam segala perkara).” (At-Tabashshurah, 2/222)
Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu
berkata: “Orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai hakim bagi
dirinya, maka mereka tidak akan memedulikan apapun. Mereka tidak akan
memperhitungkan hal-hal yang menyelisihi pendapatnya sama sekali. Mereka juga
tidak mau introspeksi diri atau mengevaluasi pandangan-pandangannya. Tidak
sebagaimana sikap orang-orang yang berusaha mencurigai dirinya sendiri
(barangkali kesalahan ada di pihaknya), dan akan berhenti tatkala menimbulkan
suatu permasalahan (padahal inilah sikap orang-orang yang berakal).”
(Al-I’tisham, 2/269)
Orang-orang yang mengikuti kebenaran
adalah orang-orang yang tawadhu’. Orang-orang yang senantiasa mengintrospeksi
dirinya adalah orang-orang yang gigih mencari dan menuntut kebenaran. Oleh
karena itu, mereka tidaklah enggan untuk mengevaluasi pendapatnya. Tidak enggan
pula untuk menuntut hakikat kebenaran dari suatu pemasalahan. Lebih-lebih pada
hal-hal yang menimbulkan masalah.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata:
“Sungguh aku telah mendengar Asy-Syaikh Muqbil lebih dari sekali berkata: ‘Demi
Allah, kami tidak mengkhawatirkan dakwah ini, kecuali dari diri-diri kami.’ Aku
(Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam) katakan: Demi Allah, sungguh Asy-Syaikh Muqbil
rahimahullahu memiliki firasat yang tepat, di mana Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam membuka khutbahnya dengan ucapan:
وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا
وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا
“Kami berlindung kepada Allah dari
kejahatan jiwa kami dan dari kejelekan amalan kami.”
Maka, jiwa kita, apapun kebaikan yang ada
padanya, mesti terdapat kekurangan atau kejelekan.” (At-Tanbihul Hasan, hal.
68-69)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu berkata: “Seseorang beralih dari suatu pendapat kepada pendapat
yang lain karena kejelasan yang dia dapatkan, adalah sikap terpuji. Berbeda
dengan sikap orang yang sombong, terus-menerus di atas suatu pendapat yang
tidak mengandung hujjah atau dalil yang kuat (ini adalah sikap yang tercela).
Sedangkan meninggalkan suatu pendapat yang telah jelas hujjah atau dalilnya,
atau berpindah dari suatu pendapat kepada pendapat lain karena adat dan
mengikuti hawa nafsu, itu adalah sikap yang tercela pula.” (Al-Fatawa Al-Kubra,
5/125)
Terapi Hati dari Penyakit Sombong dan
Hasad
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلاَّ رَفَعَهُ
اللهُ
“Tidaklah seseorang merendahkan diri
karena Allah, melainkan Allah akan mengangkatnya.” (HR. Muslim dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu
berkata: “Makna tawadhu’ adalah menerima kebenaran dengan tunduk kepadanya,
menghina diri, patuh, dan masuk di bawah perbudakannya. Di mana kebenaran
itulah yang mengatur dirinya, sebagaimana seorang raja mengatur kekuasaannya.
Dengan inilah seorang hamba akan mendapatkan akhlak tawadhu’. Agar bisa
bersikap demikian, seorang muslim membutuhkan ilmu, ikhlas, sabar, dan latihan
yang terus-menerus, diiringi doa, serta senantiasa menjaga keselamatan hati
dari penyakit-penyakitnya (ujub, riya, sum’ah sombong, hasad, dll).
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ
دَسَّاهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
(Asy-Syams: 9-10)
Hammad bin Ibrahim berkata: “Kebenaran
itu telah jelas dan mudah. Di mana manusia diciptakan di atas fitrahnya untuk
mengetahui, mencintai, dan menerima kebenaran tersebut, kecuali orang yang
telah rusak fitrahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu untuk mengatakan kebenaran walaupun pahit. Hal ini
(kebenaran yang pahit rasanya) adalah bagi orang yang belum terlatih jiwanya.
Demikian juga bagi ahli bid’ah serta orang yang mengikuti hawa nafsunya.”
(Ash-Shawarif ‘anil Haq, hal. 41)
Ar-Raghib Al-Asfahani berkata: “Ucapan
mereka bahwa kebenaran itu pahit, itu adalah bagi orang yang belum terlatih
jiwanya (untuk menerimanya) dan hatinya sakit. Seorang penyair berkata:
فَمَنْ يَكُنْ ذَا فَمٍ مُرّ مَرِيضٍ يَجِدْ
مُرًّا بِهِ الْمَاءَ الزُّلَالَا
Orang yang mulutnya pahit, dia sakit
dia merasakan pahit dengannya air yang
segar.
Maka, orang yang sehat fitrahnya akan
senang dengan (kebenaran) itu walaupun berat.” (Adz-Dzani’ah ila Makarisy
Syari’ah, hal. 126)
Al-Khaththabi rahimahullahu berkata:
“Manusia itu tidak akan berubah dari tabiat-tabiatnya yang jelek, dan tidak
akan meninggalkan kesenangannya terhadap berbagai macam kebiasaan kecuali
dengan latihan-latihan yang keras dan pengobatan yang serius.” (A’lamul Hadits,
1/218)
Siapapun yang jiwanya belum terlatih
menerima kebenaran, maka jiwa tersebut membutuhkan latihan dan pendidikan
sampai jiwa itu menuruti kebenaran dan tunduk kepadanya, senantiasa mengoreksi
amalan-amalan yang telah dia lakukan, dan senantiasa mensyukuri segala nikmat
Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga mudah menerima al-haq.
اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا
اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
Ya Allah, tampakkanlah kepada kami
kebenaran itu adalah kebenaran dan karuniakanlah kepada kami rezeki untuk
mengikutinya. Dan tampakkanlah kepada kami yang batil itu adalah batil dan
karuniakanlah kepada kami rezeki untuk menjauhinya. Amin, ya Rabbal ‘alamin.
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ
الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا
تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ
الْمُسْلِمِينَ
“Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku
dan supaya aku dapat berbuat amal yang shalih yang Engkau ridhai. Berilah
kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya
aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri.” (Al-Ahqaf: 15)
Ya Allah, limpahkanlah qalbun salim (hati
yang selamat dan bersih) kepada kami kaum muslimin, mukminin, salafiyyin, hati
yang selalu menerima al-haq, mencintainya dan selalu mendahulukannya, hati yang
putih bersih yang memancarkan cahaya iman, yang kokoh di atas al-haq.
Amin ya Rabbal ‘alamin.
[Sumber:
Dinukil dari majalah Asy Syariah]
__________
Footnote:
[1]
Jawa: Waton suloyo, atau yang penting beda, asal mencela. –pen
Kebenaran Tidak Diukur Dengan Banyaknya
Orang Yang Mengikutinya.Berpegang Pada Suara Mayoritas Adalah Kaidah Kaum Jahiliyah.