Tahun 2011 Iran menempati posisi kedua di
bawah Afghanistan pemakai tertinggi narkoba sedunia
Oleh: A. Kholili Hasib
REVOLUSI ‘Islam’ Iran telah berumur 36
tahun, namun kata Vali Nasr masih sering terjebak dalam berbagai macam
kontradiksi. Laporan Economist Inteligent Unit (UEI) bertajuk The Safe Cities
Index 2015 yang dilansir beberapa pekan lalu menempatkan Tehran, Ibu Kota Iran,
sebagai salah satu kota tidak aman di dunia. Satu tingkat di dengan Jakarta.
Iming-iming Ayatullah Khomeini menjadikan
Iran imperium kebanggan Islam juga masih berbentuk fatamorgana.
Gambaran-gambaran keindahan negeri Persi dalam faktanya sekarang tidak seperti
kenyataan yang sesungguhnya.
Negara Iran sendiri dengan sistem
diktatornya masih menghadapi tekanan-tekanan kaum reformis dalam negeri Iran.
Tahun 2003 silam, perempuan Iran bernama Shirin Ebadi mendapatkan hadiah Nobel
Perdamaian.
Shirin adalah aktivis perempuan Iran yang
menolak terang-terangan kekuasaan di tangan para Mullah (wilayah al-faqih).
Menariknya, ia disamput hangat banyak
perempuan dengan busana yang tidak biasa dalam kultur wanita Syiah. Bahkan
sambutan tersebut dipelopori oleh seorang cucu Ayatullah Khomeini, Zahra
Eshraqi (Mohammad Baharun, Dari Imamah sampai Mut’ah, hal. 141).
Teokrasi ala Ayatullah Khomeini dengan
sistem wilayah al-faqih berhadap-hadapan dengan kultur sekuler anak-anak
mudanya yang mulai menggemari gaya Barat.
Tahun 2011 Iran menempati posisi kedua di
bawah Afghanistan sebagai pemakai tertinggi narkoba sedunia. Di kalangan
generasi muda minat terhadap narkoba industrial seperti Desomorphin terus
meningkat.
Heroin sintetis itu mudah diproduksi dan
gampang diperoleh. Iran saat ini bahkan dikabarkan tergolong eksportir utama
narkoba sintetis semacam ini.
Tidak hanya itu, Iran saat ini menghadapi
problem ekspor narkoba ke luar negeri, termasuk ke Indonesia. Tahun 2010 lalu
Humas Polri (Kepolisian Republik Indonesia) melaporkan di antara negara-negara
yang paling banyak mensuplai narkoba ke Indonesia adalah Iran dan Belanda (jpnn
30/11/210).
Dua tahun lalu ‘prestasi’ Iran sebagai
penyuplai narkoba ke Indonesia masih bertahan. Tahun 2012 kembali Polri
melansir laporan. Seperti ditulis kompas.com Indonesia saat ini sudah menjadi
sasaran utama ekspor untuk negara-negara yang banyak terdapat produsen narkoba
seperti ekstasi dari Belanda dan sabu dari Iran (kompas.com 4/10/2012).
Ayatullah Khomeini tahun 1980
mencanangkan untuk ekspor Revolusi Syiah-nya ke negara-negara Muslim, termasuk
ke Indonesia. Tetapi dalam dekade belakangan, Iran mengespor dua ‘penyakit’;
ekspor aliran Syiah dan ekspor sabu-sabu Iran. Ekspor narkoba tidak pernah
diijinkan Khomeini, tapi kenyataannya masyarakat Iran yang belakangan mengalami
kemunduran perekonomian sebagiannya mencari kehidupan secara instan, yaitu
melalui bisnis narkoba.
Semantara narkoba belum tuntas, ancaman
virus HIV/AIDS oleh kementrian Kesehatan Iran dipandang cukup serius. Seperti dilaporkan
harian the Guardian, mengutip pernyataan menteri Kesehatan Iran, terdapat
kenaikan 9 kali lipat jumlah orang pengidap AIDS dalam kurun waktu 11 tahun
terakhir dengan pertambahan 80% setiap tahunnya. Faktornya antara lain
rendahnya kesadaran akan bahaya penyakit mematikan. Diakui oleh Menteri
Kesehatan, bahwa penyebaran HIV/AIDS lebih banyak melalui hubungan seksual
daripada jarum suntik.
Gonta-ganti pasangan seks dalam kawin
mut’ah jelas mengandung resiko tinggi terjangkiti HIV/AIDS. Bahkan, konon ada
kabar sekitar 250 ribu anak terlantar tanpa bapak hasil kawin mut’ah yang tak
bertanggung jawab. Fakta ini pernah menjadi keprihatinan pejabat.
Namun, tetap saja itu dilegalkan karena
teks-teks kitab utama Syiah menghalalkan. Otoritas Wilayat al-Faqih punya hak
melakukan ijtihad ajaran Syiah, tapi soal mut’ah belum terdengar suara resmi
untuk menghapuskannya.
Praktik kawin mut’ah jelas saja membawa
masalah dalam negeri Iran. Sejumlah kaum hawa Iran pada tahun 1992 pernah
melakukan unjuk rasa menuntut penghapusan kawin mut’ah dari negara Iran. Unjuk
rasa itu dipelopori oleh Fatimah Karroubi (majalah Semeseta, Juli 1992).
Negeri yang membawa menjalankan
undang-undanganya berdasarkan akidah Syiah itu sedang dirundung dilemma sosial
dan keagamaan. Apakah peningkatan penyebaran HIV/AIDS itu karena praktik kawin
mut’ah? Dalam laporan the Guardian maupun Menteri Kesehatan tidak ada. Tapi
yang jelas, kawin mut’ah (kawin kontrak) yang menjadi ajaran aliran Syiah
membuka peluang cukup besar untuk seseorang berganti-ganti pasangan seks.
Inilah kenyataan dilematis yang menurut
Vali Nasr dayat tarik modernitas dan reformasi di kalangan sebagian pemudanya
cukup kuat akhir-akhir ini. Mungkin saja mereka merasa jenuh dengan sistem
kekuasaan sentral Mullah.
Wilayat al-Faqih, yang dikatakan
merupakan ijtihad untuk mengisi kekosongan imamah belum menjanjikan kebangkitan
sepenuhnya. Sentralisasi keagamaan yang diikuti dengan sentralisasi finansial
mungkin saja tidak disenangi kaum reformasi.
Kaum Mullah yang berhak mendapatkan
khumus memancing kecemburuan aktivis
reformasi dan kaum sekuler. Sebagai catatan, sistem ini tidak pernah di temukan
dalam teks-teks induk Syiah terdahulu.
Agaknya, fakta-fakta ini membuka mata
bahwa Revolusi tahun 1979 dengan
mengusung jargon Islam seperti berada dalam ujung tanduk. Iran yang katanya
Islami tapi praktik di dalam negeri banyak bertentangan dengan nilai Islami.
Islam yang diusung Iran akhirnya sekedar simbol belaka. Bendera Iran terdapat
lafadz “Allah”, namun hakikatnya tidak menunjukkan keagungan Allah Subhanahu
Wata’ala.
Maka, sebaiknya Iran tidak perlu
mengespor ajaran Syiah-nya ke negeri-negeri Muslim. Iran sepatutnya membenahi
persoalan dalam negerinya itu yang makin lama semakin rumit itu. Ekspor
Syiah-nya jelas saja membawa masalah tersendiri. Simbol-simbol revolusi
akhirnya sekedar simbol yang meninggalkan masalah. Syria perang saudara, Yaman
membara dan Iran masih berdarah-darah. Semuanya setelah terinfiltrasi campur
tangan Syiah. Revolusi gagal di dalam negeri. Sehingga tidak perlu diekspor ke
luar negeri. Di balik kampanye keindahan dan kemajuan Iran, persoalan sosial
mendera negeri Mullah itu. Kita harus melihatnya dengan dua mata, bukan dengan
satu mata. Wallahu a’lam bisshowab.*
Penulis adalah Anggota MIUMI Jawa Timur