Mendahulukan Akidah Sebelum Ukhuwah
Perselisihan Adalah Rahmat? Yang Benar
Saja!
Solusi Di Tengah Kondisi Keterpurukan Dan
Perpecahan Ummat Islam.
Tantangan Aktual Ahlusunnah Wal Jama’ah
Tong Sampah
Ahlus Sunnah Untuk Keutuhan NKRI
Al Aqidah Al Washithiyah: Penjelasan
Aqidah Islam
Nasehat Menggugah Hadratus Syaikh Kh.
Hasyim Asy’ari Untuk Menjaga Persatuan
oleh Abu Al-Jauzaa
Seandainya kita mengaji dan mendakwahkan
tauhid yang 3 (Rubuubiyyah, Uluuhiyyah, dan Asmaa wa Shifaat), mengatakan
sebagian amalan tawassul dan istighatsah termasuk bid'ah bahkan syirik, ritual
tahlilan dan perayaan maulid bid'ah, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah adalah
salah satu ulama besar Islam; apakah itu akan membuat umumnya orang-orang
Asw*j* tenang dan suka cita ? Tidak, bahkan mereka terusik serta akan
senantiasa menggembosi dan memprovokasi sebagaimana terekam dalam sejarah bapak
dan kakek-kakek kita.
Seandainya kita mengatakan cara-cara
politik praktis, demokrasi dan demonstrasi, serta taktik oportunistik ala
Al-Ikhwaanul-Muslimuun tidak disyari'atkan dalam Islam, terlarang, dan perlu
ditahdzir; apakah ini akan membuat mereka lapang dada dalam menerima kita ?.
Belum lagi jika kita katakan 'aqiidah tafwiidl-nya Hasan Al-Bannaa dan fikrah
takfiriy nya Sayyid Quthb merupakan bentuk penyimpangan dari manhaj
Ahlus-Sunnah..... tentu akan membuat mereka meradang.
Apakah Anda mengira sebagian habaaib
(include : para penganut thariqah) bersama pengikut dan simpatisan fanatiknya
itu akan gembira ria dengan dakwah tauhid yang telah berabad-abad ingin mereka
musnahkan dengan stigma dakwah Wahabi (sesat) ?
Apakah Anda mengira orang Hizbut-Tahriir,
Jama'ah Tabligh, LDII, dan yang lainnya menjadi tambah sehat, gemuk-gemuk,
sejahtera, dan sentausa jika dakwah tauhid atau dahwah salafiyyah menjadi
bergema di semua penjuru tempat disertai penjelasan penyelisihan mereka
terhadap manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah ?
Sebaliknya, kita pun tak akan tenang
bergaul akrab dengan penggemar klenik berdalih karamah, pelaku bid'ah, takfiri,
atau oportunis politik yang gemar menggunakan label dakwah untuk kepentingan
dunia. Atau, (pasti) tidak akan tenang pula membiarkan anak, istri, dan
keluarga kita banyak memperoleh siraman rohani pencerahan dari mereka.....
Mereka akan 'menerima' kita dengan syarat
tak mengusik/mengkritik 'aqidah dan amalan mereka atau - sukur-sukur - kita
menerima apa yang menjadi bagian dari agama mereka. Dan itu tak mungkin,….
karena ketika kita bicara tauhid, pasti akan menyinggung syirik dan segala
macam bentuk amalannya. Ketika kita bicara sunnah, tentu kita ikuti dengan
kebalikannya, bid'ah. Ketika bicara manhaj Ahlus-Sunnah, secara langsung atau
tidak langsung akan bicara manhaj lain yang menjadi musuhnya. Sejarah
permusuhan antara tauhid dan syirik, bid’ah dan sunnah sudah sangat tua. Lebih
tua dibandingkan Prasasti Ciaruteun di Cibungbulang, Kabupaten Bogor.
Jika kita ingin diterima semua golongan
tanpa gesekan, PASTI ada yang dikorbankan. Sedikit atau banyak. Silakan lihat
kenyataan yang dapat diindera dengan mata dan telinga kita, bagaimana keadaan
para penyeru 'pluralitas' itu ..... Mulut mereka terpenjara. Mau bilang syirik
dan bid'ah; dari semula bebas, jelas, dan lantang dikatakan di setiap
pengajian; menjadi lirih, bisik-bisik, dan akhirnya blackout alias mati lampu.
Sunyi dan sepi. Sesekali terdengar suara jangkrik. Lidah yang semula sangat
berat mengatakan yang bid'ah bukan bid'ah; sekali, dua kali, dan tiga kali,
menjadi terbiasa. Bahasa diplomatis keluar : perkara khilafiyyah. Akhirnya
malah berani mengatakan : Tak mengapa, atau bahkan Sunnah.
Hati orang yang seaqidah dan semanhaj
akan nyaman berkumpul dengan yang sejenisnya. Nabi ﷺ bersabda:
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا
تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Ruh-ruh itu bagaikan tentara yang
berkelompok-kelompok. Jika saling mengenal (mempunyai kesesuaian) di antara
mereka, maka akan bersatu. Namun jika saling mengingkari (tidak ada
kesesuaian), maka akan berselisih” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3336,
Muslim no. 2638, Abu Daawud no. 4834, dan yang lainnya].
Ini adalah realitas, sunnah kauniyyah.
Bukan kampanye pendikotomian antar kelompok, tapi memang wujud riil dikotomi
itu sendiri. Bukankah Allah ta'ala berfirman:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً
وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ * إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ
"Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia
menjadikan manusia umat yang satu, akan tetapi mereka senantiasa berselisih.
Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu" [QS. Huud : 118-119].
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً
وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia
menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” [QS.
An-Nahl : 93].
???
Dalam sebuah hadits:
عَنْ أَبِي عَامِرٍ الْهَوْزَنِيِّ، عَنْ
مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ، أَنَّهُ قَامَ فِينَا، فَقَالَ: أَلَا إِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَامَ
فِينَا، فَقَالَ: " أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ
سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ،
وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Dari Abu ‘Aamir Al-Hauzaniy, dari
Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan bahwasannya ia (Mu’aawiyyah) pernah berdiri di
hadapan kami, lalu ia berkata : “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah berdiri di
hadapan kami, kemudian beliau bersabda : ‘Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang
sebelum kamu dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) terpecah menjadi 72 (tujuh
puluh dua) golongan, dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh
puluh tiga) golongan. (Adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan satu
golongan akan masuk surga, yaitu Al-Jama’ah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no.
4597].
Tujuhpuluh dua golongan tersebut adalah
sekte-sekte yang menyimpang dari Ahlus-Sunnah dari kalangan ahlul-bid’ah.
Sekte-sekte tersebut ada yang masih tetap dalam keislamannya, ada yang telah
keluar dari wilayah Islam (kafir).
Ketika menafsirkan ayat ‘akan tetapi
mereka senantiasa berselisih, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Rabbmu’ (QS. Huud : 118-119), beberapa ulama menjelaskan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: وَلا يَزَالُونَ
مُخْتَلِفِينَ، قَالَ: أَهْلُ الْبَاطِلِ، إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، قَالَ:
أَهْلُ الْحَقِّ
Dari Ibnu ‘Abbaas tentang ayat ‘akan
tetapi mereka senantiasa berselisih’, ia berkata : “Yaitu Ahlul-Baathil”; dan
ayat ‘kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu’, ia berkata :
“Ahlul-Haq”.
عَنْ عِكْرِمَةَ، فِي قَوْلِهِ: "وَلا
يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، قَالَ: لا يَزَالُونَ
مُخْتَلِفِينَ فِي الْهَوَى
Dari ‘Ikrimah tentang firman-Nya ‘Akan
tetapi mereka senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat
oleh Rabbmu’, ia berkata : “Mereka senantiasa berselisih dalam hawa nafsu”.
عَنْ قَتَادَةَ، قَوْلَهُ: "وَلا يَزَالُونَ
مُخْتَلِفِينَ إِلا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ، فَأَهْلُ رَحْمَةِ اللَّهِ أَهْلُ
جَمَاعَةٍ، وَإِنْ تَفَرَّقَتْ دُورُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ، وَأَهْلُ مَعْصِيَةِ
اللَّهِ أَهْلُ فُرْقَةٍ، وَإِنْ اجْتَمَعَتْ دُورُهُمْ وَأَبْدَانُهُمْ
Dari Qataadah tentang firman-Nya ‘Akan
tetapi mereka senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat
oleh Rabbmu’, ia berkata : ‘Orang yang diberikan rahmat Allah adalah
Ahlul-Jamaa’ah, meskipun tempat tinggal dan badan-badan mereka (secara fisik)
terpisah. Sedangkan orang yang bermaksiat kepada Allah adalah Ahlul-Furqah
(orang-orang yang berpecah-belah), meskipun tempat tinggal dan badan-badan
mereka (secara fisik) berkumpul”.
[Tafsiir Ath-Thabariy, 15/533].
Menilik ayat, hadits, dan atsar di atas
dapat diambil beberapa faedah:
1.
Merupakan sunnah kauniyyah umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan
dimana hanya ada satu yang masuk surga, yaitu Al-Jama’ah.
2.
Al-Jama’ah atau disebut Ahlur-Rahmah adalah orang-orang yang tidak
berselisih dan terpecah. Mereka adalah orang yang menetapi kebenaran meskipun
terpisah badan dan tempat tinggalnya.
3.
Tidak disebut Al-Jama’ah dengan berkumpulnya fisik selama mereka berada
di atas kemaksiatan, hawa nafsu, dan kebid’ahan.
Ketika ada perintah Allah untuk mengikat
persatuan di antara kaum muslimin, maksudnya adalah persatuan di atas asas
kebenaran (al-haq). Seandainya orang yang beridentitas Islam dan mengaku muslim
dengan segala ragam ‘aqidah dan manhaj semuanya disatukan – atau bahkan dipaksa
satu – tetap saja tidak dinamakan al-jama’ah, karena al-jama’ah itu satu, yaitu
orang-orang yang mengikatkan diri pada manhaj Nabi ﷺ dan para
shahabatnya, sebagaimana tafsiran Al-Jama’ah itu sendiri dalam riwayat yang
lain:
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
“Apa yang aku dan para shahabatku ada di
atasnya pada hari ini” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak
1/218-219].
Kenyataannya memang tidak bisa
(disatukan), sebagaimana realitas disebutkan di awal. Kecuali akan timbul sekte
baru yang ‘pluralis’, enjoy diam satu dengan yang lainnya (sukutiyyun).
Eksistensi al-jama’ah atau
al-firqatun-naajiyyah dengan sekte-sekte sesat dari kalangan pengikut
kebid’ahan dan hawa nafsu saling meniadakan dan saling bermusuhan. Dan memang
tidak akan dapat disatukan antara yang haq dan yang bathil. Al-haq akan senantiasa
bermusuhan dengan al-baathil. Allah ta’ala berfirman:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ
فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ
“Sebenarnya Kami melontarkan yang hak
kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta
yang batil itu lenyap” [QS. Al-Anbiyaa’ : 18].
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ
الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Dan katakanlah: "Yang benar telah
datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah
sesuatu yang pasti lenyap” [QS. Al-Israa’ : 81].
Allah ta’ala melarang untuk
mencampurk-adukkan yang haq dan yang bathil.
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ
وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang
hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu
mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 42].
Ketika kita mengajak berjama’ah (baca :
persatuan), maka jalan yang kita tempuh adalah berdakwah mengajak orang
beragama sesuai dengan pemahaman salaf. Sesuai patron Nabi ﷺ yang murni. Inilah
jama’ah yang hakiki atau persatuan yang hakiki.
Abu 'Abdillah Al-Marwaziy rahimahullah
pernah memberikan nasihat :
قَبَضَ اللَّهُ رَسُولَهُ ﷺ
إِلَيْهِ بَعْدَ أَنْ أَكْمَلَ لِلْمُسْلِمِينَ دِينَهُمْ ، فَقَالَ : الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الإِسْلامَ دِينًا سورة المائدة آية 3 ، نَزَلَتْ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ
وَاقِفٌ بِعَرَفَاتٍ ، فَلَمْ يَنْزِلْ بَعْدَهَا حَلالٌ وَلا حَرَامٌ ، وَرَجَعَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
فَمَاتَ
وَأَمَرَهُمُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
بِالاجْتِمَاعِ عَلَى مَا جَاءَهُمْ عَنْهُ ، وَنَهَاهُمْ عَنِ التَّفَرُّقِ مِنْ
بَعْدِ أَنْ جَاءَهُمُ الْبَيَانُ ، فَقَالَ : وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ
جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ
أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
سورة آل عمران آية 103 ، وَقَالَ سُبْحَانَهُ : وَلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ
تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ سورة آل عمران
آية 105 ،
وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
" لا تَقَاطَعُوا وَلا تَدَابَرُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
" ، وَقَالَ ﷺ :
" لا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ " ، وَقَالَ ﷺ :
مَنْ أَرَادَ بُحْبُوحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ
"Allah ta'ala mewafatkan Rasul-Nya ﷺ setelah
menyempurnakan bagi kaum muslimin agama mereka. Allah berfirman : 'Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu' (QS. Al-Maaidah :
3). Ayat itu turun dimana waktu itu Rasulullah ﷺ sedang berdiri di
'Arafah. Tidak turun perkara halal dan haram setelahnya (ayat tersebut). Lalu
Rasulullah ﷺ kembali dan kemudian
wafat.
Dan Allah tabaraka wa ta'ala
memerintahkan mereka untuk BERSATU di atas agama yang turun kepada mereka (yang
telah sempurna), dan melarang PERPECAHAN setelah datang penjelasan kepada
mereka. Allah ta'ala berfirman : 'Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
(agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyyah) bermusuh musuhan, maka
Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah
orang-orang yang bersaudara' (QS. Aali 'Imraan : 103). Dan Allah juga berfirman
: 'Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka' (QS. Aali 'Imraan : 105).
Rasulullah ﷺ bersabda :
‘Janganlah kalian saling memutuskan hubungan dan jangan pula saling memalingkan
muka. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara’. Beliau ﷺ bersabda : ‘Jangan
kalian berselisih sehingga hati-hati kalian berselisih’. Beliau ﷺ juga bersabda :
‘Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, hendaklah ia menetapi
jama’ah” [As-Sunnah, hal. 43-44 no.
6].[1]
Selain itu, jama’ah juga dapat berarti :
‘berkumpul di atas pemimpin (ulil-amri) yang satu’. Nabi ﷺ bersabda:
ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ امْرِئٍ
مُسْلِمٍ: إِخْلَاصُ الْعَمَلِ لِلَّهِ، وَالنُّصْحُ لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ،
وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ
“Ada tiga perkara yang membuat hati
seorang muslim tidak merasa dengki terhadapnya : ikhlash beramal karena Allah,
menasehati para pemimpin kaum muslimin, dan menetapi jama’ah mereka”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2658].
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah
menjelaskan:
وقوله ولزوم جماعتهم هذا ايضا مما يطهر القلب من
الغل والغش فإن صاحبه للزومه جماعة المسلمين يحب لهم ما يحب لنفسه ويكره لهم ما
يكره لها ويسوؤه ما يسؤوهم ويسره ما يسرهم وهذا بخلاف من انجاز عنهم واشتغل بالطعن
عليهم والعيب والذم لهم كفعل الرافضة والخوارج والمعتزلة وغيرهم فإن قلوبهم ممتلئة
نحلا وغشا ولهذا تجد الرافضة ابعد الناس من الاخلاص اغشهم للائمة والامة واشدهم
بعدا عن جماعة المسلمين
Dan sabda beliau ﷺ : ‘dan menetapi
jama’ah mereka’; ini juga termasuk satu hal yang bisa membersihkan hati dari
sifat iri dan dengki. Karena pelakunya, dengan menetapi jama’ah kaum muslimin,
berarti dia mencintai mereka sebagaimana cintanya kepada diri sendiri. Dan akan
menyakitkannya apa yang membuat mereka sakit. Akan membuatnya mudah (lapang)
apa yang memudahkan mereka. Hal ini berbeda jauh dengan keadaan orang yang
menentang (membelot) dari imam dan menyibukkan diri dengan celaan-celaan kepada
mereka, serta (membeberkan) aib dan menghinakan mereka, seperti tindakan
Raafidlah, Khawaarij, Mu’tazillah, dan yang sejenis dengan mereka; karena hati
mereka telah dipenuhi dengan rasa dengki. Oleh karena itu kamu akan dapati
bahwa Rafidlah adalah sejauh-jauh manusia dari rasa ikhlash dan sedengki-dengki
manusia terhadap para penguasa dan rakyat jelata, serta sejauh-jauh manusia
dari jama’ah kaum muslimin….” [Miftaah Daaris-Sa’aadah, 1/72-73].
Dalam konteks pemahaman ini, terhadap
orang yang tidak atau belum sepenuhnya menetapi manhaj salaf, kita dapat
bersatu di bawah pemimpin kaum muslimin (ulil-amri) untuk mewujudkan
kemaslahatan umum yang diakui syari’at Islam. Yaitu, tetap mendengar dan taat
kepada mereka (pemimpin/ulil-amri) dalam perkara yang ma’ruf. Nabi ﷺ bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ
الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا
أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang Muslim untuk
mendengar dan taat (kepada penguasa) pada apa-apa yang ia cintai dan yang ia
benci, selama tidak diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Jika ia disuruh untuk
berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat (pada
perintah maksiat tersebut)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7144].
Implementasinya banyak dalam kehidupan
sehari-hari. Bersama-sama ikut menjaga stabilitas, keamanan, dan kenyamanan
umum/masyarakat……
Tapi apa lacur, sebagian mereka pun
enggan dalam prinsip ini dengan berbagai alasan. Pemimpin jadi objek yang
menyatukan mereka dalam celaan. Common enemy (selain salafi/wahabi tentu saja
he he he). Yang mengajak persatuan – yaitu mendengar dan taat kepada ulil amri
dalam perkara yang ma’ruf – mereka cibir sebagai penjilat.
Jadi kalau ada orang yang mengajak
persatuan, kita tanyakan : “Persatuan dalam hal apa dan atas dasar apa ?
Persatuan untuk kemudian berpecah? Persatuan agitasi ? Persatuan dalam
demonstrasi ? Persatuan saling memaklumi kerusakan masing-masing ?”.
Mari kita serukan persatuan dengan
menempuh jalannya. Bukan hanya dendangan slogan dan yel-yel fatamorgana.
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا
إِنَّ السَّفِيْنَةَ لاَ تَجْرِي عَلىَ الْيَبَسِ
"Engkau mengharapkan keselamatan,
namun tidak menempuh jalan-jalannya,....
Sesungguhnya perahu tidaklah berlayar di
atas daratan".
Mari kita upayakan sesuatu yang hakiki,
yang langgeng. Optimis, karena ini adalah tugas kita bersama, bukan tugas
sekelompok orang.
Terakhir, seorang muslim diberikan walaa’
dan baraa’ sesuai kadar ketaatan dan kemaksiatan mereka. Mereka kita cintai
karena ketaatan mereka kepada Allah, dan kita benci karena kemaksiatan mereka
kepada Allah. Cinta dan benci karena Allah. Kita tunaikan hak-hak mereka dan
tidak boleh mendhalimi mereka, siapapun mereka. Kita bermudarah dan tidak
bermudahanah.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – rnn – 17012018].
[1]
Faedah dari penjelasan beliau rahimahullah:
1.Agama telah sempurna.
2.Perintah untuk bersatu di atas
agama/syari'at yang telah sempurna tersebut.
3.Persatuan yang disyari'atkan didasarkan
oleh syari'at Allah, bukan didasarkan atas aneka macam maksiat dan kebid'ahan.
4.Larangan perpecahan setelah datangnya
penjelasan tentang syari'at yang sempurna kepada kita.
5.Barangsiapa yang menginginkan
keselamatan, wajib baginya menetapi jama’ah.
Diposting oleh Abu Al-Jauzaa'
Nabi ﷺ bersabda:
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ
الثَّيِّبُ الزَّانِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ
لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim yang
bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak untuk diibadai melainkan Allah
dan bersaksi bahwasannya aku adalah utusan Allah; kecuali dengan dengan satu diantara
tiga perkara : (1) orang yang pernah menikah lalu berzina; (2) jiwa dibalas
dengan jiwa, dan (3) orang yang meninggalkan agamanya (murtad), yang memisahkan
diri dari jama’ah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1676].
An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan salah
satu makna al-mufaariqu lil-jamaa'ah dari para ulama:
كل خارج عن الجماعة ببدعة أو بغي أو غيرهما وكذا
الخوارج
"Setiap orang yang keluar dari
jama'ah dengan kebid'ahan, pemberontakan, atau yang lainnya. Begitu juga dengan
Khawaarij" [Syarh Shahiih Muslim, 11/165].
Artinya, perbuatan bid'ah dan berbagai
bentuk pemberontakan yang keluar dari makna mendengar dan taat kepada pemimpin
muslim yang sah; maka itu paradoks dengan makna persatuan, dan persatuan itu
identik dengan jama'ah.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah:
ومن لم يندفع فساده في الأرض إلا بالقتل قُتل،
مثل المفرق لجماعة المسلمين، والداعي إلى البدع في الدين. قال تعالى: {من أجل ذلك
كتبنا على بني إسرائيل أنه من قتل نفساً بغير نفس أو فساد في الأرض فكأنما قتل
الناس جميعاً} [المائدة: 32]، وفي الصحيح عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه
قال: ((إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما)).
وقال: ((من جاءكم وأمركم على رجل واحد يريد أن
يفرق جماعتكم فاضربوا عنقه كائناً من كان))
"Barangsiapa yang kerusakannya di
muka bumi tidak dapat dihentikan kecuali dengan pembunuhan, maka ia (boleh)
dibunuh. Misalnya orang yang memisahkan diri dari jama'ah kaum muslimin dan
penyeru kebid'ahan dalam agama. Allah ta'ala berfirman : 'Oleh karena itu Kami
tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya' (QS. Al-Maaidah : 32). Dalam kitab Ash-Shahiih dari Nabi ﷺ, beliau bersabda :
'Apabila dua orang khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang paling akhir baiatnya
di antara mereka'. Beliau ﷺ juga bersabda :
'Barangsiapa yang mendatangi kalian sedangkan perkara kalian berkumpul pada
diri satu orang (pemimpin/ulil-amri) yang dirinya itu hendak memecah belah
jama'ah kalian, maka bunuhlah siapapun ia" [Majmuu' Al-Fataawaa,
28/108-109].
Bid'ah serta paham memberontak, enggan
untuk mendengar dan taat (terhadap ulil-amri); bertentangan dengan makna
persatuan.
Apakah kita bermimpi akan terjalin
persatuan dengan orang/kelompok yang keberadaan/eksistensinya justru menjadi
sebab perpecahan umat ?
Benar, dulu Nabi ﷺ pernah mengadakan
perjanjian dengan orang Yahudi dengan melahirkan beberapa butir kesepakatan
untuk kemaslahatan yang kaum muslimin - yang saat itu masih belum kuat.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa kesepakatan dalam perjanjian (Piagam Madinah)
itu dalam konteks ayat:
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ
تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Allah tiada melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil" [QS. Al-Mumtahanah : 8].
Meski demikian, bara'ah dan kebencian
kaum muslimin terhadap orang kafir dan kekafirannya tetap ada dan wajib
sebagaimana difirmankan Allah ta'ala dalam ayat:
لاّ تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ
وَالْيَوْمِ الاَخِرِ يُوَآدّونَ مَنْ حَآدّ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوَاْ
آبَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu adalah
bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara atau keluarga mereka” [QS.
Al-Mujaadalah : 22].
Dalam realitas kehidupan sehari-hari pun,
insya Allah terpraktekkan, seperti misal kerjasama kaum muslimin dengan orang
kafir dalam menjaga stabilitas dan keamanan lingkungan (desa, RT, RW), saling
menghormati hak dan tidak saling mengganggu, dan yang semisalnya.
Tolong-menolong dalam mengatasi krisis dan bencana. Banyak ikhwah yang telah
berpartisipasi.
Sama halnya dengan kerjasama kaum
muslimin pada umumnya seperti NU, Muhammadiyyah, Persis, PKS, HTI, dan yang
lainnya. Insya Allah kita hidup rukun dan saling menghormati (kecuali
gerombolan yang sering main persekusi ngalahin kerja pak polisi). Berkumpul
melakukan kerjabakti bersama, menjadi anggota DKM masjid komplek, menjadi
panitia kurban di lingkungan sekitar, dan hal lainnya. Hubungan muamalah yang
baik di kantor, di pasar, di jalan, dan yang lainnya. Atau bersama-sama
menangkal permurtadan (Kristenisasi).
Sayang memang, ada yang menginginkan
lebih. Persatuan dalam 'aqidah, manhaj, dan pemikiran. Memang tak vulgar
dikatakan, tapi cukup dapat dirasakan. Mencampurkan yang haq dan yang bathil.
Yang bathil disamarkan dengan nama 'khilaf ulama'. Bahkan yang syirik pun
dianjurkan agar kita meninjau ulangnya seperti shalawat nariyyah. Mungkin nanti
menyusul qasidah burdah, dan yang lainnya. Yang bid'ah menjadi bukan bid'ah.
Semua akhirnya berbungkus khilaf ulama. Semua kelompok dianggap benar berlabel
al-firqatun-naajiyyah. Apakah ini ilusi ? Tidak, lha wong saya lihat dan dengar
sendiri kok rekamannya. Bahkan muncul kemudian dagelan istilah 'pengkapling
surga'...😀😎. Haloo..... how are you ? Have you been to see
the doctor yet??
Allah ta'ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا
تَفَرَّقُوا
"Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai" [QS. Aali
'Imraan : 103].
Ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan
ayat tersebut:
وتمسَّكوا بدين الله الذي أمركم به، وعهده الذي
عَهده إليكم في كتابه إليكم، من الألفة والاجتماع على كلمة الحق، والتسليم لأمر
الله
“Dan berpegah teguhlah kepada agama Allah
yang telah Allah perintahkan kepada kalian dengannya, perjanjian-Nya yang telah
Allah mandatkan kepada kalian dalam Kitab-Nya untuk menjalin persahabatan dan
persatuan DI ATAS KALIMAT AL-HAQ, serta tunduk terhadap perintah Allah”
[Tafsiir Ath-Thabariy, 7/70].
Ibnu Mas'uud radliyallaahu 'anhu berkata:
إِنَّ هَذَا الصِّرَاطَ مُحْتَضَرٌ، تَحْضُرُهُ
الشَّيَاطِينُ يُنَادُونَ: يَا عِبَادَ اللَّهِ، هَذَا الطَّرِيقُ، فَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ، فَإِنَّ حَبْلَ اللَّهِ الْقُرْآنُ
“Sesungguhnya jalan ini dihadiri para
setan yang menyeru: 'Wahai hamba-hamba Allah, inilah jalanmu.' Oleh karena itu
berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah, sesungguhnya tali Allah itu adalah
Al-Qur'an” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 3317].
Perkataan Ibnu Mas’uud ini serupa dengan
yang ada dalam riwayat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ:
" خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِﷺ
خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: " هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ "، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا
عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: " هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ
سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ "، ثُمَّ قَرَأَ: وَأَنَّ هَذَا
صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata :
Rasulullah ﷺ membuatkan kami satu
garis kemudian beliau bersabda : “Ini adalah jalan Allah” Kemudian beliau
menggaris beberapa garis dari sebelah kanan dan sebelah kirinya, lalu beliau ﷺ bersabda : “Ini
adalah jalan-jalan, yang pada setiap jalan tersebut ada setan yang mengajak
kepadanya.” Kemudian beliau membaca ayat “dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan-Nya” (QS. Al-An’am (6) : 153) [Diriwayatkan oleh Ahmad, Ad-Daarimiy,
dll.].
Penjelasan riwayat Ibnu Mas’uud ini
memberikan faedah bagi kita bahwa:
1.
Berpegang pada tali Allah maksudnya adalah berpegang teguh pada
Kitabullah.
2.
Berpegang pada tali Allah adalah dengan menetapi jalan yang lurus
(ash-shiraathul-mustaqiim). Ibnu Mas’uud berkata:
الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ الَّذِي تَرَكَنَا
عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِﷺ
“Maksud jalan yang lurus adalah jalan
yang ditinggalkan Rasulullah ﷺ kepada kami”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani, shahih].
Selaras dengan sabda Nabi ﷺ :
تفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة، كلهم في النار إلا
ملة واحدة». قالوا: ومن هي يا رسول الله؟ قال: ما أنا عليه وأصحابي
“Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh
puluh tiga golonan. Semuanya masuk neraka kecuali satu”. Mereka (para shahabat)
bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang
aku dan para shahabatku berada di atasnya”.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:
وهذا الأصل العظيم وهو الإعتصام بحبل الله جميعا
وأن لا يتفرق هو من أعظم أصول الإسلام ومما عظمت وصية الله تعالى به فى كتابه
ومما عظم ذمه لمن تركه من أهل الكتاب وغيرهم ومما
عظمت به وصية النبى فى مواطن عامة وخاصة مثل قوله عليكم بالجماعة فإن يد الله على
الجماعة
“Ini adalah pokok yang agung, yaitu
berpegang teguh semuanya kepada tali Allah dan agar tidak berpecah-belah.
Perkara ini termasuk pokok Islam yang paling agung dan termasuk wasiat Allah
yang besar yang Allah wasiatkan dalam Kitab-Nya; celaan Allah yang sangat keras
terhadap orang yang meninggalkannya (berpegang teguh terhadap tali Allah) dari
kalangan Ahli Kitab dan yang laiunnya; serta termasuk wasiat Nabi ﷺ yang paling agung
dalam beberapa tempat secara umum maupun khusus, misalnya sabda beliau ﷺ : ‘Wajib atas
kalian berpegang pada Jama’ah, karena tangan Allah di atas Jama’ah” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 22/359].
Intinya, perintah untuk bersatu adalah
bersatu dalam berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan
pemahaman salaful-ummah. Ini adalah diantara pokok Islam yang paling agung.
Terakhir, ….. kaum muslimin pada
prinsipnya adalah bersaudara, namun mereka diberikan walaa’ dan baraa’ sesuai
kadarnya. Diberikan walaa’ berdasarkan kadar ketaatannya dan kesesuaiannya
terhadap sunnah; serta diberikan baraa’ berdasarkan jenis dan kadar kemaksiatan
dan penyimpangannya dari pokok-pokok Ahlus-Sunnah.
Jika kita ingin persatuan, maka tempuhlah
jalannya dengan menetapi ketauhidan serta berpegang pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah berdasarkan pemahaman salaful-ummah. Jangan sekedar berdendang
tentang persatuan namun melupakan jalannya……
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa – dps – 02122017].
Syaikh
Shalih bin Fauzan: “Tidak Akan Terwujud Persatuan Diatas Perbedaan Manhaj dan
Akidah”
Apakah Mungkin Persatuan Itu (Akan
Terwujud) Bersamaan Dengan Berbeda-Bedanya Manhaj Dan Aqidah?
Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Apakah mungkin
persatuan itu (akan terwujud) bersamaan dengan berbeda-bedanya Manhaj dan
Akidah ?
Jawaban.
Persatuan tidak akan terwujud bersamaan dengan (adanya berbagai kelompok) yang
memiliki bermacam-macam manhaj dan akidah, sebaik-baik bukti akan hal itu
adalah: Keadaan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasul shalallahu ‘alaihi
wasallam, di mana mereka saat itu berpecah-belah dan saling bertengkar, maka
setelah mereka masuk Islam dan berada di bawah bendera tauhid, akidah dan
manhajnya menjadi, maka bersatulah mereka, dan berdiri tegaklah daulahnya.
Sungguh Allah Ta’ala mengingatkan tentang
hal itu dengan firman-Nya.
“Artinya : Dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu, ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan maka Allah mempersatukan hatimu,
lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.”[Ali
Imran:103]
Dan Allah Ta’ala berfirman kepada
Nabi-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam.
“Artinya : Walaupun kamu membelanjakan
semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak bisa mempersatukan
hati mereka, akan tetapi Allah akan mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Al-Anfal: 63]
Allah Ta’ala selama-lamanya tidak akan
menyatukan antara hati orang-orang kafir, murtad dan firqah-firqah
(kelompok-kelompok) sesat [1], Allah hanya menyatukan hati orang-orang mukmin
yang bertauhid. Allah Ta’ala berfirman mengenai orang-orang kafir dan munafik
yang menyelisihi manhaj Islam dan akidahnya.
“Artinya : Kamu kira mereka itu bersatu,
sedang hati mereka berpecah-pelah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka
itu adalah kaum yang tidak mengerti.” [Al-Hasyr : 14]
Dan firman-Nya.
“Artinya : Dan mereka senantiasa
berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu.” [Hud
: 118]
“Kecuali orang-orang yang diberi rahmat
Rabbmu”, mereka itu ialah orang-orang yang memiliki akidah yang benar dan
manhaj yang benar, maka mereka itulah orang-orang yang selamat dari
perselisihan dan perpecahan.
Adapun orang-orang yang berusaha
menyatukan umat, padahal akidahnya masih rusak, manhajnya bermacam-macam dan
berbeda-beda, maka itu adalah (upaya) yang mustahil terwujud, karena
sesungguhnya menyatukan dua hal yang berlawanan itu adalah hal yang mustahil.
Karena tidak bisa menyatukan hati dan
menyatukan umat ini, kecuali kalimat tauhid [2], yang dimengerti
makna-maknanya, diamalkan kandungannya secara lahir dan batin, bukan hanya
sekedar mengucapkannya, sedang pada sisi yang lain masih mau menyelisihi apa
yang menjadi tuntutannya. Maka sesungguhnya ketika itu kalimat tauhid ini tidak
akan ada manfaatnya.
[Disalin dari kitab Al-Ajwibatu Al-Mufiah
?An-As-ilah Al-Manahij Al-Jadidah, edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj
Dakwah II, Pengumpul Risalah Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi,
Penerjemah Muhaimin, Penerbit Yayasan Al-Madinah]
_________
Foote Note
[1]. Keadaan firqah-firqah dan hizb-hizb (golongan-golongan yang menyimpang)
yang ada di muka bumi saat ini -sebagaimana dikatakan adalah merupakan saksi
dan menjadi bukti yang paling nyata, karena mereka berbeda-beda dalam memahami
Al-Kitab (Al-Qur’an), dan berbeda-beda dalam mengamalkannya, serta mereka
menyelisihi Al-Kitab. Apabila hati manusia itu sepakat dan saling mengenal maka
akan menyatu, dan demikian pula sebaliknya.
Sebagaimana Rasulullah menyebutkannya
dalam hadits shahih bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Ruh-ruh adalah pasukan tentara
maka yang saling mengenal akan bergabung dan yang saling mengingkari akan
berselisih.” [HR. Al-Bukhari: 3158]
[2]. Orang-orang yang berusaha menyatukan umat manusia bersamaan dengan
rusaknya akidah dan manhaj (berbagai kelompok) yang berbeda-beda itu -sebagai
contoh saja bukan hanya terbatas pada contoh ini- pada jaman kita ini adalah
firqah Ikhwanul Muslimin (IM) di mana mereka berusaha menyatukan
barisan-barisannya yang terdiri dari Rafidhah, Jahmiyyah, Asy’ariyah, Khawarij,
Mu’tazilah. Bahkan orang-orang Nasrani pun bisa masuk pada barisan mereka, maka
janganlah engkau lupakan perkara yang sangat nyata ini. Wahai para pembaca yang
budiman, telah kita lewati ucapan-ucapan beberapa ahli ilmu (ulama) mengenai
mereka ini dalam sela-sela kitab ini. Yang kesimpulannya merka (IM) tidak
mementingkan dakwah tauhid dan tidak berhati-hati dan memperingatkan
kesyirikan. Dan ini adalah meruapan sifat (ciri-ciri) khusus yang dimiliki oleh
‘firqah tabligh’ pula. Karena Ikhwanul Muslimin, Quthbiyyah (pengikut Sayyid
Quthub) tidaklah jauh berbeda dari firqah tablih ini.
almanhaj.or.id
almanhaj.or.id
Ahlul Sunnah Wal Jamaah, Al-Asyairah ,
Al-Maaturidiyyah, Salafiyah dan Wahabiyah
Ahlul Sunnah Wal Jamaah
Mereka adalah golongan yang berpegang
teguh pada al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad serta orang-orang yang mengikut
jejak langkah mereka. Generasi paling awal dan utama di kalangan mereka adalah
para sahabat, kemudian diikuti oleh para tabi’in dan orang-orang yang menurut
jejak langkah mereka.
Generasi pertama di kalangan mereka
dikenali dengan nama Salaf. Mereka berpandukan al-Quran dan sunnah tanpa membahas
secara mendalam ayat-ayat yang samar (mutasyabihat) dan menyerahkan maksudnya
kepada Allah. Ini berdasarkan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 7.
Maksudnya: “Dia lah Yang menurunkan
kepadamu (Wahai Muhammad) Kitab suci Al-Quran. sebahagian besar dari Al-Quran
itu ialah ayat-ayat “Muhkamaat” (yang tetap, tegas dan nyata maknanya serta
jelas maksudnya); ayat-ayat Muhkamaat itu ialah ibu (atau pokok) isi Al-Quran.
Dan yang lain lagi ialah ayat-ayat “Mutasyaabihaat” (yang samar-samar, tidak
terang maksudnya). Adapun orang-orang yang ada dalam hatinya kecenderungan ke
arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa yang mutasyaabihaat kerana
mempunyai tujuan menimbulkan fitnah dan mencari takwilnya. Padahal tidak ada
yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah. Dan
orang-orang yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya dalam ilmu-ilmu
ugama, berkata:” Kami beriman kepada-Nya, semuanya itu datangnya dari sisi
Tuhan kami” dan tiadalah yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan
orang-orang yang berfikiran.”
Pada zaman awal salaf, mereka tidak
banyak berhujah menggunakan logika akal. Mereka menerima tanpa perlu banyak
berhujah tentang apa saja yang dinyatakan dalam al-Quran, dan as-sunnah.
Mengenai para sahabat, mereka menjunjung
tinggi semuanya, mengakui keempat khalifah ar-Rasyidin adalah orang yang paling
layak pada zaman masing-masing. Mereka memohon supaya Allah mengampuni para
sahabat dalam perseturuan dan peperangan yang berlaku di kalangan mereka. Ini
kerana jasa mereka besar bagi menegakkan kalimah Allah walaupun di antara
mereka sudah tentu ada yang bersalah dalam pertentangan itu. Inilah yang
disifatkan oleh Allah dalam al-Quran surah al- Hasyr, ayat 10.
Maksudnya: “Dan orang-orang yang datang
kemudian daripada mereka berkata, “Wahai Tuhan kami! Ampuni kami dan
saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam iman dan janganlah engkau
menjadikan dalam hati kami perasaan hasad dan dendam terhadap orang-orang yang
beriman. Wahai Tuhan kami! Sesungguhnya Engkau amat limpah belas kasih-Mu dan
maha penyayang”.
Generasi pertama ini tidak menamakan diri
mereka dengan nama aliran-aliran pemahaman tertentu. Ini kerana umat Islam pada
waktu itu bersatu dari segi hidupnya dan para sahabat yang masih hidup menjadi
tumpuan bagi bertanya berbagai masalah. Amalan ini juga terjadi pada zaman para
tabi’in. Mereka bukan saja tidak mentakwilkan ayat-ayat mutasyabihat,
sebaliknya menyandarkan apa yang dinyatakan oleh Allah dan Nabi Muhammad tanpa
tambahan apapun dan penguraian yang bertele-tele.
Semua imam mazhab yang terkenal seperti
Abu Hanifah, Malik, Syafie, Ahmad bin Hambal, Sufian as-Sauri dan lain-lain
berpegang dengan aliran salaf ini.
Al-Asyairah
Apabila negara Islam berkembang luas,
terjadi perbincangan-perbincangan mengenai agama di antara mereka yang baru
masuk Islam. Di antara topik yang terpenting adalah membicarakan masalah
akidah. Sayangnya ketika membicarakan masalah akidah, mereka terpengaruh dengan
filsafat barat yang materialis dan rasionalis yang sedang diterjemahkan secara
besar-besaran ke dalam dunia Islam. Hasil dari beberapa pembicaraan itu,
lahirlah berbagai macam pemahaman yang berpandukan logika. Pemahaman-pemahaman
yang berdasarkan logika itu saja, menyebabkan penyelewengan dalam memahami teks
al-Quran yang sebenarnya. Dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa
menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Walaupun begitu, apapun yang terjadi
Allah berjanji memelihara agama-Nya dengan melahirkan ilmuwan untuk
mempertahankan akidah yang murni. Di antara ilmuwan-ilmuwan tersebut adalah
Imam Abu Hasan al-Asy’ari.
Abu Hasan al-Asy’ari dilahirkan di Basrah
pada tahun 260 Hijrah. Beliau pernah berpegang pada pemahaman Muktazilah dan
berguru kepada ayah tirinya Abu Ali aljubbai, syeikh aliran Mu’tazilah. Periode
ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat
mengerti seluk beluk aqidah Mu’tazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya
dan kelebihannya.
Abu Hasan al-Asy’ari membuat pembaharuan
dalam aliran Ahli Sunnah dengan mengemukakan hujah-hujah akal beserta teks-teks
al-Quran dan hadis yang ada. Hujah-hujah yang dikumpulkan cukup kuat bagi
mematahkan hujah Muktazilah yang berkembang pesat pada masa itu.
Untuk membedakan dengan aliran-aliran
akidah yang ada, beliau membangkitkan atau mempopulerkan kembali istilah Ahli
Sunnah wal Jamaah. Berlainan dengan anggapan kebanyakan pengikut aliran
Asya’irah, istilah Ahli Sunnah wal Jamaah sudah ada sejak zaman para sahabat
dan bukannya diciptakan oleh Abu Hasan al-Asy’ari. Sayangnya oleh sebagian
pengikut aliran Asya’irah yang fanatik, Ahli Sunnah wal Jamaah tetap identik
dengan Asya’irah. Jadi tidak bisa dikatakan golongan Ahli Sunnah wal Jamaah,
kalau tidak memakai metode Abu Hasan al Asy’ari dalam memahami akidah.
Hujah-hujah Abu Hasan al-Asy’ari membawa
kekuatan kepada Ahli Sunnah wal Jamaah bagi menghadapi hujah golongan
Muktazilah yang berkembang pesat dan mendapat dukungan dari kerajaan Abbasiah.
Pada akhirnya, golongan Muktazilah bukan saja dapat dibendung dengan hujah,
tetapi kerajaan yang didirikan di kemudian hari, memberi sumbangan politik yang
besar bagi mempertahankan dan mengembangkan pemahaman Asya’irah.
Akidah ini menyebar luas di zaman wazir Nizhamul
Muluk pada dinasti Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Semakin
berkembang lagi di masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di
Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah
universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti
Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin
Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama,
terutama para fuqaha mazhab Asy-syafi’i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir.
Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-’ariyah ini adalah
akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
Mereka yang beraqidah ini sebagaimana
yang dikatakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah adalah yang paling dekat di
antara yang lain kepada ahlussunnah wa al-jamaah yang sebenarnya. Aliran mereka
adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
Al-Maaturidiyyah
Di sebelah timur negara Islam yaitu di
daerah Maturid, wilayah Samarkand, lahir seorang ilmuwa Islam yang bernama Muhammad
bin Muhammad bin Mahmud Abu Mansur Maturidi. Beliau lahir pada tahun 332
Hijrah. Beliau membawa aliran ideologi akidah mengikuti pemahaman Ahli Sunnah
wal Jamaah bagi menghadapi beberapa penyelewengan pada zamannya. Beliau adalah
seorang ilmuwan Islam yang bermazhab Hanafi.
Beliau muncul di Asia Tengah pada waktu
masyarakat Islam dilanda aliran ideologi yang menyeleweng dari akidah yang
sebenarnya. Di antaranya adalah aliran Muktazilah, Mujassimah, Muhammad bin
Karam Sajassatani yaitu pemimpin ideologi Karamiah, Qaramitah yang dipimpin
oleh Hamdan As’ad, Jaham bin Safuan iaitu pemimpin ideologi Jahamiah, dan ahli
tasauf Husin bin Mansur al-Hallaj. Imam Abu Mansur Maturidi membawa peranan
yang besar bagi menghadapi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh
mereka.
Walaupun beliau hidup sezaman dengan Imam
Abu Hasan al-Asy’ari, namun beliau mempunyai teknik berhujah dan huraian yang
berbeda. Para sarjana Islam menyatakan, Imam Abu Mansur Maturidi lebih
cenderung kepada pendapat Imam Abu Hanifah dalam perkara akidah. Ini kerana
beliau merujuk risalah-risalah dan buku-buku yang ditulis oleh Imam Abu Hanifah
seperti Fikh Akbar, Fikh Absat, Kitab Ilm dan sebagainya.
Terdapat beberapa perselisihan antara Abu
Mansur Maturidi dengan Abu Hassan al-Asy’ari. Antaranya dalam isu Makrifatullah
(mengenal Allah), Abu Hassan menyatakan wajib mengetahuinya menurut sumber
agama tetapi Abu Mansur berkata wajib juga dengan berpandu dengan akal.
Pemahaman Maturidiah mewajibkan hukum
akal beserta syarak sehingga beliau bertentangan dengan sebagian ilmuwan Fikah
dan Hadis. Ada lagi penjelasan-penjelasannya mengenai Qada’ dan Qadar dan
lain-lain yang berbeda dengan penguraian aliran Asya’irah.
Pengikut golongan ini kebanyakan dari
ahli kalam, sufi, murjiah dan kuburiyah (lihat dalam Kitab Qawaid Fi Bayan
Hakikatul Iman tulisan Syeikh Adil Ali Syaikhan cetakan Maktabah Adhaul Salaf).
Abu Mansur Maturidi juga seperti Abu
Hassan Asy’ari yang membawa pembaharuan dalam pengajian akidah. Beliau
memasukkan hujah-hujah logika akal ketika menghadapi perkembangan pemahaman
baru yang timbul pada zamannya.
Pada zaman para sahabat dan generasi awal
kalangan tabi’in termasuk imam-imam mujtahidin yang pertama lebih bergantung
kepada hujah-hujah teks daripada al-Quran dan hadis Nabi Muhammad saja.
Ilmu kalam dan akal menurut Imam Abu
Yusof ra (Ya’kub Ibn Ibrahim) merupakan sesuatu yang tercela dan dibenci oleh
para ulama salaf soleh.
Pemahaman Maturidiyah ini adalah sebuah
pemahaman yang berdasarkan ilmu kalam dan filsafat. Pemahan seperti ini tidak
diakui oleh ulama ahlul sunnah seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafie, Imam Ahmad ra, serta ulama ahlul sunnah wal jamaah lainnya.
Salafiyah
Setelah lahir berbagai teori mengenai
akidah beserta lahirnya pemahaman yang bukan saja berhujah dengan logika tetapi
juga menggunakan falsafah, maka lahir pula dalam masyarakat Islam orang-orang
yang mahu supaya kembali pada sumber asli saja. Mereka muncul pada abad ke
tujuh Hijrah.
Aliran ini berasal dari Imam Ahmad bin
Hanbal yang mengingankan pembahasan mengenai akidah dikembalikan seperti zaman
Nabi Muhammad s.a.w, para sahabat dan tabi’in. Salah satu tokoh terkemuka yang
menghidupkan pendekatan ini kembali adalah Imam Ibnu Taimiyah.
Beliau dan pengikut-pengikutnya menentang
keras golongan yang mencoba menjelaskan ayat-ayat mutasyabihat. Mereka hanya
menyebut sifat-sifat Allah berdasarkan teks-teks yang jelas di dalam al-Quran
dan hadis. Di antara ayat-ayat mutasyabihat adalah seperti nuzul (turun),
istiwa’ (bersemanyam), al-dhahaq (ketawa) dan lain-lain, dengan tidak
menyamakan Allah dengan makhluk.
Selain itu, mereka membangkitkan kembali
isu amalan masyarakat yang berkaitan dengan perkara-perkara yang membawa kepada
kesyirikan, seperti kesalahan-kesalahan yang terjadi ketika bertawassul
(memohon dengan perantaraan), ziarah kubur dan sebagainya.
Mereka juga dengan tegas menentang
penggunaan ilmu logika. Ini menyebabkan golongan salaf yang baru ini bergesekan
dengan aliran Asya’irah dan Maturidiah yang menjadikan ilmu logika sebagai
bagian dari perbincangan akidah. Golongan salaf ini menolak penguraian
ayat-ayat mutasyabihat yang dilakukan oleh Asya’irah dan Maturidiah.
Wahabiyah
Sebenarnya istilah Wahabi bukanlah
istilah yang disepakati oleh mereka yang sering diidentikkan dengan istilah
itu. Mereka lebih sering menyebut dengan istilah salafiyyin, karena dakwah
mereka merupakan kesinambungan dari aliran salaf yang dibawa oleh Imam Ahmad
dan Ibnu Taimiyah.
Gerakan ini diperlopori oleh seorang
tokoh ulama terkemuka yaitu Syeikh Muhamad bin Abdul Wahhab At-Tamimi Al-Najdi
(1115-1206 H atau 1703-1791 M). Beliau lahir di Uyaynah dan belajar Islam dalam
mazhab Al-Hanabilah dan telah menghafal Al-Quran sejak usia 10 tahun.
Dakwah beliau banyak disambut ketika
beliau datang di Dir`iyah bahkan beliau dijadikan guru dan dimuliakan oleh
penguasa setempat yaitu pangeran Muhammad bin Suud yang berkuasa 1139-1179.
Oleh pangeran, dakwah beliau ditegakkan dan akhirnya menjadi semacam gerakan
nasional di seluruh wilayah Saudi Arabia hingga hari ini.
Para pendiri dakwah ini umunya bermazhab
fiqih dengan mazhab Al-Hanabilah, jadi tidak benar kalau dikatakan mereka
anti mazhab. Namun memang mereka tidak selalu terikat dengan mazhab tersebut
dalam fatwa-fatwanya. Terutama bila mereka menemukan dalil yang lebih rajih.
Oleh karena itu dakwah merka sering disebut La Mazhabiyyah, namun sebenarnya
lebih kepada masalah ushul, sedangkan masalah furu`nya, mereka tetap
pada mazhab Al-Hanabilah.
Dakwah ini jelas-jelas sebuah dakwah
ahlisunnah wal jamaah serta berpegang teguh dengannya. Mereka menyeru kepada
pemurnian tauhid dengan menuntut umat agar mengembalikan kepada apa yang
dipahami oleh umat Islam generasi pertama.
Mereka pun aktif menumpas segala bentuk
khurafat, syirik, bid`ah dan beragam hal yang menyeleweng dari ajaran Islam
yang asli. Mereka melarang membangun bangunan di atas kuburan, menyelimutinya
atau memasang lampu di dalamnya. Mereka juga melarang orang meminta kepada
kuburan, orang yang sudah mati, dukun, peramal, tukang sihir dan tukang teluh.
Mereka juga melarang tawassul dengan menyebut nama oran shaleh sepeti kalimat
bi jaahi rasul atau keramatnya syiekh fulan dan fulan.
Oleh : Ustadz Ahmad Zainuddin ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ
ﺗﻌﺎﻟﻰ
"Dimana pohon rindang disitulah
tempatku. Dimana yang sedang aman disitulah majelisku. Dimana yang paling
gampang itulah manhajku..."
Di zaman fitnah ini, syubhat menyambar-nyambar. Jalan pintas menerima syubhat
dalam agama adalah dengan *berprinsip belajar agama ke siapa pun, yang penting
ambil yang baiknya dan buang buruknya. Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu_
,berkata .
ﺍُﻧْﻈُﺮُﻭﺍ ﻋَﻤَّﻦْ ﺗَﺄْﺧُﺬُﻭﻥَ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ
ﻓَﺈِﻧَّﻤَﺎ ﻫُﻮَ ﺩِﻳﻦٌ
# Perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ilmu ini, karena, sesungguhnya ia
adalah agama” ```(Riwayat Al-Khaththib al Baghdadi di dalam al Kifayah, hlm.
121) Perkataan ini juga diriwayatkan dari sejumlah _Salafush Shalih,_ seperti
_Muhammad bin Siirin, adh Dhahhak bin Muzahim, dan lain-lain_ *(Lihat
muqaddimah Shahih Muslim) Jadi jangan sok-sok'an bisa menyaring kalimat "
#Ambil baiknya dan buang buruknya" karena engkau takkan pernah tahu pada
pertemuan keberapa syubhat itu telah merasuk ke dalam hatimu. #Tau -tau udah
terjangkit virus syubhat dan sulit keluarnya. .
Kunci
Kemenangan Kaum Muslimin
Dalam dirinya hanya ada satu kalimat,
asalkan agama Allah yang menang, jadi apapun diriku tidaklah begitu penting.
SESAAT setelah kabar kekalahan tentara
Romawi dari pasukan kaum Muslimin di bawah komando Khalid bin Walid, Raja
Romawi Heraklius berdiri di singgasananya lalu berkata.
“Katakan kepadaku siapa mereka (yang
telah mengalahkan Romawi)? Bukankah mereka orang-orang seperti kalian?”
Di antara para pembesar Romawi itu ada
yang menjawab, “Ya, benar. Mereka manusia seperti kita.”
Heraklius kian tak sabar, ia segera
mengejar dengan pertanyaan berikutnya, “Jumlah kalian yang lebih banyak atau
mereka?”
“Jumlah kami lebih banyak dan berlipat
ganda dari jumlah mereka,” ucap salah satu komandan pasukan Romawi.
Baca: Ketika Umat Islam Mengadopsi Sistem
Persi dan Romawi .
Dengan sedih bercampur marah dan kesal,
Heraklius berkata, “Mengapa kalian bisa kalah?”
Heraklius dan semua pembesar seperti
ditimpa kegelapan dan beban tak tertanggungkan. Frustasi, marah dan kecewa
menyeruak ke seluruh rongga dada mereka. Suasana hening, hanya deru nafas
mereka masing-masing yang terdengar begitu kuat, naik dan turun.
Hingga akhirnya, salah seorang yang
paling senior di antara mereka mengangkat tangan dan memberikan penjelasan
perihal mengapa Romawi bisa kalah.
“Karena mereka (pasukan Khalid bin Walid)
bangun malam hari untuk beribadah kepada Tuhannya dan pada siang hari mereka
berpuasa. Mereka menepati janji yang mereka sepakati, memerintahkan untuk
berbuat baik, mencegah dari perbuatan keji dan saling memberi nasihat di antara
mereka sendiri. Karena itu wajar Allah menolong dan memenangkan mereka.
Sedangkan kita dan pasukan kita, wahai
Raja kami, kita meminum minuman keras. Kita mengingkari janji yang telah kita
buat. Kita berbuat zalim dan melakukan kejahatan. Semua ini telah menjauhkan
datangnya pertolongan Allah. Bagaimana Dia akan menolong kita, jika kita tidak
menolong-Nya?”
Demikian dialog penuh hikmah yang terjadi
di dalam kubu Kerajaan Romawi pasca kekalahan mereka dari pasukan umat Islam di
bawah komando Khalid bin Walid yang ditulis oleh Dr. Abdurrahman ‘Umairah dalam
bukunya “Fursan Min Madrasatin Nubuwwah.”
Fakta tersebut semestinya menjadi
penggerak jiwa kita sebagai Muslim dalam keseharian. Bahwa kunci kemenangan
umat Islam akan terjadi jika dan hanya jika umat Islam sendiri benar-benar
mengamalkan ajaran Islam itu sendiri.
Baca: Beberapa Alasan Turunnya Nubuwah di
Hijaz
Perhatikan kaliman, mereka bangun di
malam hari dan berpuasa di siang hari. Artinya kunci kemenangan itu adalah amal
dan amal.
Betapa pentingnya ketaatan yang
dimanivestasikan dalam bentuk amal, Aid Al-Qarni dalam bukunya “Beginilah Zaman
Mengajari Kita” menulis, “Ada orang yang mengisi lembaran hidupnya dengan
kajian, produktivitas, dan penghimpunan pengetahuan, tapi dia lupa terhadap
amal shalih. Bagi yang mencermati Al-Qur’an, dia akan mendapati bahwa Al-Qur’an
memuji ilmu yang bermanfaat dan disertai dengan amal. Di dalamnya juga
disebutkan tentang ketaatan seperti sholat, puasa, zakat, jihad, dan takwa,
lebih banyak dari pada penyebutan ilmu. Hendaknya hal yang sedemikian mendapat
perhatian secara khusus.”
Tentu saja semua amal yang bisa dilakukan
tidak harus diumumkan baik melalui lisan kepada teman dekat. Apalagi melalui
status di media sosial.
Al-Qarni menekankan bahwa para sahabat
Nabi dalam beramal sangatlah luar biasa antusiasnya. Meski mereka sholat,
puasa, melakukan amalan yang bisa dilihat, akan tetapi amal-amal yang
tersembunyi jauh lebih banyak mereka amalkan dan itu hanya sedikit yang bisa
diselidiki.
Selain amal ibadah tentu saja, kunci
kemenangan dan kebahagiaan hidup umat Islam ada pada komitmen untuk saling
memberikan nasehat, menepati janji dan saling mendoakan, berjiwa besar dan
tetap mau mendengar.
Hal demikian pernah dilakukan Pendiri PP
Hidayatullah, KH Abdullah Said, “Kalau ada orang yang memberi teguran terhadap
apa yang kamu ceramahkan, mungkin karena kesalahan membaca ayat dan hadits aau
kekeliruan embawakan suatu kisah, dan lain-lain, janganlah merasa dipermalukan,
kendatipun teguran itu disampaikan di depan umum. Ucapkanlah terimakasih dan
jadikanlah sebagai gurumu, niscaya engakau akan dijadikan sahabat. Peganglah
prinsip ‘satu musuh itu sudah banyak sekali tapi seribu kawan itu masih sangat
kurang.” (Mencetak Kader: 130).
Sikap demikian lebih dahulu diteladankan
oleh Khalid bin Walid kala dirinya ditetapkan untuk tidak lagi menjadi panglima
pasukan kaum Muslimin.
Baca: Ibrah Tiga Jenderal Besar dan
Ksatria dalam Tiga Peradaban
Kala itu banyak yang mendesak Khalid agar
memprotes keputusan Umar bin Khathab, namun dengan jiwa besar, Khalid menjawab
tuntutan sahabat-sahabatnya.
“Tidak saudaraku yang seiman, saudara
semedan pertempuran. Kita telah menghancurkan kota-kota di Persia. Kita juga
telah enghancurkan benteng Romawi. Apakah ada kekuatan lain yang mengancam
penduduk Muslim yang membutuhkan kepada pedangnya Khalid?”
Khalid lalu melanjutkan, “Jadi, pada saat
ini negara lebih butuh kepada akal Umar bin Khathab daripada pedangnya Khalid.
Fitnah tidak akan terjadi selama Umar bin Khathab masih hidup.”
Demikianlah sikap Khalid, wujud
manivestasi keimanannya sebagai seorang jenderal besar yang tak pernah kalah
dalam pertempuran menolong agama Allah.
Sikapnya penuh ketangguhan moral dan
kecerdasan spiritual. Inilah kunci-kunci kemenangan umat yang kini harus kita
hidupkan dan segar-segarkan kembali.
Dalam dirinya hanya ada satu kalimat,
asalkan agama Allah yang menang, jadi apapun diriku tidaklah begitu penting.
Sebab tugas utamaku adalah mengamalkan ajaran Islam dengan baik sepanjang
hayat. Wallahu a’lam.*
Salafiyun bersikap berdasarkan manhaj,
sehingga tidak mudah terombang ambing dengan berita media, melihat ma'alaaat
umur (akibat jangka panjang) dan mempertimbangkan maslahat dan mafsadat,
sehingga sering pendapatnya dianggap tidak populer dan terlihat aneh bagi
muslimun lainnya
Harakiyun bersikap lebih karena didorong
faktor semangat bela islam, bergelora, menggelegar, namun -maaf- kurang bisa
melihat ma'alaat umur dan mempertimbangkan maslahat dan mafsadat
Mau contoh???? Mau bukti????
1. Lihat ketika khomaini mendeklarasikan
revolusi islamnya (baca revolusi syiah), berapa banyak kaum muslimin yang
tertipu...hingga bisa engkau lihat waktu itu saudara2 kita IM atau HT pun ikut
mengelu2kan revolusi tersebut, hal tsb berbeda dengan ulama salafiyun mereka
kokoh dengan manhajnya bahwa syiah sampai hari kiamat tidak akan pernah ridho
dengan sunni.
Dan realita membenarkan salafiyuun, meski
di awal kali di cap sebagai anti persatuan islam....dan dicap sebagai
penggerogot persatuan islam...
Tapi lihatlah sekarang siapa yang
benar????
2. Lihatlah Ketika kaum muslimin banyak
yg tertipu dengan hizbullah, bahkan syekh qordhowi pun sempat terkecoh dan ikut
mengkritik ulama saudi yg dianggap anti persatuan islam...
Tapi lihatlah hasilnya....siapa yang di
atas kebenaran???.. Dan akhirnya syekh qordhowi pun mengakui hal itu...semoga
Allah selalu membimbing dan menjaga beliau.
Syaikh Al-Qordhowi berkata :
ﻣﺸﺎﻳﺦ ﺍﻟﺴﻌﻮﺩﻳﺔ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺃﻧﻀﺞ ﻣﻨﻲ ﻷﻧﻬﻢ ﻋﺮﻓﻮﺍ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﻣﺎ
ﻳﺴﻤﻰ " ﺣﺰﺏ ﺍﻟﻠﻪ " ﻓﻲ ﺣﻴﻦ ﻛﻨﺖ ﺃﺩﺍﻓﻊ ﻋﻨﻪ ﺇﻧﻪ ﺣﺰﺏ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ
"Para ulama Saudi mereka lebih
matang dari pada saya, karena mereka mengetahui hakekat kelompok yang disebut
Hizbullah (syiah), di saat aku membela kelompok tersebut, sesungguhnya kelompok
tersebut adalah Hizbus Syaithon"
Dan lihatlah sampai detik inipun
harakiyun menganggap salafiyuun anti persatuan islam....
Tapi Biarlah hari-hari yang akan
menjawabnya...
Penyair Arab berkata:
ﺳﺘﺒﺪﻱ ﻟﻚ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﻣﺎ ﻛﻨﺖ ﺟﺎﻫﻼ ........ ﻭﻳﺄﺗﻴﻚ ﺑﺎﻷﺧﺒﺎﺭ
ﻣﻦ ﻟﻢ ﺗﺰﻭﺩ
hari-hari akan menampakkan kepadamu
sesuatu yang belum engkau ketahui
Dan akan datang kepadamu pembawa berita
yang engkau tidak membekalinya.
---------------------------
Silakan ditambhkan sendiri contoh2 yg
lain dan masih banyak.
Semoga Allah menjaga kaum muslimiin...
Amiin.
Akhukum fillah:
Fadlan Fahamsyah
(Dosen STAI Ali bin Abi tholib)
Dengan dakwah dakwah yang semakin besar
di NKRI, banyak dai-dai muncul ... Ini adalah sisi baiknya yang patut kita
syukuri, karena semakin banyak sunnah, semakin luas jangkauan sasaran, dan
semakin memudahkan tugas sunnah yang sudah ada. ada sebelumnya Tapi di sisi
lain, kita akan menghadapi penurunan dari sisi kualitas .. karena biasanya
kualitasnya akan turun, seiring bertambahnya kuantitas .. dan ini harus direalisasikan
dan diawasi. Penurunan kualitas tentu tidak hanya pada penonton, tapi juga pada
ustadznya ... Bisa dilihat, antara lain dari menurunnya semangat menyebarkan
atau mendengarkan tauhid ... Turunkan semangat penerapan sunnah Nabi
sallallaahu alaihi wasallam kepada pribadinya ... Berkurangnya semangat
mengemukakan pendapat generasi salaf. dalam membahas masalah ... dll. Karena
itu, sangat mendesak dan sangat penting bagi kita, untuk memilih ustadz yang
sudah jelas manhajnya .. apalagi di daerah yang memiliki banyak ustadznya. Di
antara cara sederhana dan mudah untuk melihat sunnah ustadz, entah bagus atau
tidak manhajnya adalah:
Dengan dakwah dakwah yang semakin besar
di NKRI, banyak dai-dai muncul ... Ini adalah sisi baiknya yang patut kita
syukuri, karena semakin banyak sunnah, semakin luas jangkauan sasaran, dan
semakin memudahkan tugas sunnah yang sudah ada. ada sebelumnya Tapi di sisi
lain, kita akan menghadapi penurunan dari sisi kualitas .. karena biasanya
kualitasnya akan turun, seiring bertambahnya kuantitas .. dan ini harus
direalisasikan dan diawasi. Penurunan kualitas tentu tidak hanya pada penonton,
tapi juga pada ustadznya ... Bisa dilihat, antara lain dari menurunnya semangat
menyebarkan atau mendengarkan tauhid ... Turunkan semangat penerapan sunnah
Nabi sallallaahu alaihi wasallam kepada pribadinya ... Berkurangnya semangat
mengemukakan pendapat generasi salaf. dalam membahas masalah ... dll. Karena
itu, sangat mendesak dan sangat penting bagi kita, untuk memilih ustadz yang
sudah jelas manhajnya .. apalagi di daerah yang memiliki banyak ustadznya. Di
antara cara sederhana dan mudah untuk melihat sunnah ustadz, entah bagus atau
tidak manhajnya adalah:
1. Lihatlah, bersama siapa ustadz yang
berkumpul .. apakah dengan ustadz² yanghish salaf atau tidak .. karena
seseorang diatas agama teman dekatnya.
2.
Dimana ustadz belajar, baik almamater, maupun ustadz dan masyikhnya .. Atau
siapa karakter kesayangannya .. karena sumber pengetahuannya akan sangat
mempengaruhi pengertian dan manhaj seseorang.
3.
Dari segi pendapat, memang banyak yang menyelisihi pendapat ulama yang bersikap
salaf atau tidak .. jika banyak pendapatnya yang menyelisihi pendapat ulama
yang bersikap salaf .. maka itu merupakan indikasi bahwa manhaj yang menjadi
dasar seseorang dalam menganalisa argumen juga berbeda.
4.
Dari topik khotbah khotbah, apakah yang menjadi perhatian adalah tauhid atau
tidak .. karena itulah perbedaan antara dakwah salaf dan dakwah lainnya.
5.
Dari sisi perhatiannya kepada generasi salafi Ijma .. jika dia tidak
memperhatikan sisi ini, maka dia akan memiliki kesempatan untuk membahas suatu
masalah, terutama dalam masalah iman dan bid'ah.
Karena itu, jadilah pintar dalam memilih
ustadz, karena itu adalah sumber agama kita .. yang terpenting adalah manhajnya
.. seperti untuk sisi lain seperti kecerdasan, retorika, hapalan yang kuat,
dll, maka itu adalah pelengkap .. jangan membuat pelengkap sebagai intinya.
Ingat, itu tidak menjadikannya referensi ustadz, tidak berarti membenci, atau
menyimpannya, atau tidak menerima kebenaran darinya .. seperti yang sering kita
lihat pada dokter tertentu dalam penyakit tertentu, dengan hati-hati, bukan
karena kita membenci dokter lain.
Semoga bermanfaat
Oleh: Ust. Musyaffa Ad Dariny
Hafizhahullah via Fanspage Ustadz Ahmad Zainuddin