Benarkah kitab al ibanah sudah dipalsukan?
Ust. Firanda Andirja
Syubhat : Kitab Al Ibanah Abul Hasan Al
Asy'ari Sudah Dipalsukan,Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi (34 Comments)
Apakah salafi gemar merubah kitab-kitab
ulama
Ust. Firanda Andirja
Kitab Al-Ibanah Bertentangan dengan
Aqidah Asy'ariyah
Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc, MA
Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc, MA
Kitab Al-Ibanah tidak di pakai lagi ! Ustadz
Abdul Somad dan Azzary Hasyim (175 Comments)
TJ Asyairah: Apakah benar Kitab Al Ibanah
telah di palsukan? (30 Comments)
Imam Abul Hasan Asy'ari, Al-Ibanah - Ust.
Firanda Andirja
Index “Asy'ariyyah Dan Maturidiyyah”
(sebagian isinya :Apakah Al Asy’ariyyah
Termasuk Ahlu Sunnah ?, Pertanyaan - 226290, Sesatnya Firqah Asy’ariyyah
Menurut Pandangan Ulama Besar Dari Berbagai Madzhab, Penyimpangan-penyimpangan Asy’ariyah,
Sufi adalah Pengikut Firqah Asy’ariyah, Madzhab Syafi'i = Aqidah Asy'ari ?, Memahami
Asal-Usul Firqoh Sesat Asy’ariyah dan Beberapa Artikel menarik)
Index ”Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”
Abul-Hasan Al-Asy’ariy Bertaubat ke ‘Aqidah
Asy’ariyyah atau Salafiyyah ?
Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy, Asyaa’irah
(Asy’ariyyah), dan Bahasan Pemalsuan Kitab Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah
Mereka Membenci Kitab “Al-Ibanah” Karya Abul
Hasan al-Asy’ari?! (Bagian 1 dari 2 Tulisan)
Mereka Membenci Kitab “al-Ibanah” Karya Abul
Hasan al-Asy’ari?! (Bagian 2 dari 2 Tulisan)
Pengaruh Aqidah Asy’ariyah Terhadap Umat Dan
Napak Tilas Perjalanan Hidup Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari
Pengikut Asy’ariyah ‘Meradang’ Hebat, Mereka
Mendatangkan Para Qadhi Dan Ulamanya Untuk Mendebat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rohimahullah Yang Menulis Aqidah Firqah Najiyah Dalam Kitab Al-Aqidah
Al-Wasithiyahnya.
Ulama Syafi’iyah Antara Salafi Dan Asy’ari
Daftar Artikel
●Beberapa Masalah yang Sangat Penting di Mana Asya’irah Menyalahi Ahlus
Sunnah wal Jama’ah
●Al Ibanah : Kupas Tuntas Penyimpangan Aqidah Al Asy’ariyah
●Perbedaan Pokok Antara Aqidah Asy'ariah Dengan Aqidah Ahlusunnah Wal Jama'ah
●Aqidah Imam Abul Hasan Al-Asyari Tentang Dimana Allah
●Aqidah Imam Abul Hasan Al-Asyari Tentang Dimana Allah
●Asy’ariyah, bukan Pengikut abul Hasan
Al-Asy’ari
Beberapa Masalah yang Sangat Penting di Mana Asya’irah
Menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah
oleh : Prof. DR. Nashir bin Abdul Kariem al-’Aql
Seolah-olah penulis di
sini diminta oleh pembaca untuk menyebutkan hal-hal apa saja yang
diperselisihkan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah di dalam masalah
prinsip-prinsip agama dan aqidah. Maka penulis katakan secara singkat, dengan
memohon taufiq kepada Allah :
Di antara masalah yang
sangat prinsipil di mana Asya’irah menyalahi Ahlus Sunnah adalah kelancangan
mereka terhadap sifat-sifat Allah Subhaanahu Wata’ala dengan melakukan ta’wil
yang dilarang oleh para ulama salaf, terutama sifat-sifat khabariyah yang
dengan sifat-sifat itu Allah mensifati diri-Nya, atau dengannya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mensifati Allah. Seperti sifat-sifat berikut: tangan (yad),
mata (‘ain), diri (nafs), wajah (wajh), bersemayan di ‘arasy (istawa ‘alal
‘arsy), turun (nuzul), datang (maji’), rela (ridha), murka (ghadhab), mencintai
(hubb), membenci (bughdhu) [56] dan sifat-sifat khabariyah lainnya
yang disebutkan oleh Allah Subhaanahu Wata’ala di dalam al-Qur’an atau
diungkapkan oleh Rasul-Nya di dalam hadits-hadits shahih. Mereka (Asya’irah)
tidak mempercayainya sebagaimana adanya dan sebagaimana diyakini oleh para
ulama salaf. Mereka menta’wilkannya dan memalingkan lafazh-lafzhnya dari
(makna) lahirnya, karena takut terperosok ke dalam syubhat tajsim dan tamtsil.
Mereka telah melupakan efek buruk dari perbuatan mereka men¬tahrif firman
Allah, mengabaikan (ta’thil) maknanya, mengatakan sesuatu atas nama Allah tanpa
dasar ilmu dan hal lain yang mengharuskan melakukan ta’wil dan bertentangan
dengan prinsip taslim, patuh dan tunduk kepada Allah Subhaanahu Wata’ala.
Sebab, bagaimana bisa layak, kalau Allah mengungkapkan tentang diri-Nya, dan
Rasul-Nya mengungkapkan tentang-Nya dengan sifat-sifat yang tidak layak! atau
mengharuskan tasybih dan tajsim, kemudian masalah ini tidak terungkap kecuali
oleh para mutakallimun sesudah abad ketiga hijriyah!!?
Bagaimana mungkin
pemahaman ini tidak diketahui oleh para shahabat, tabi’in dan para pemuka ulama
salaf, lalu hanya diketahui oleh para mutakallimun!! Ini benar-benar merupakan
hal yang tidak pantas dilakukan terhadap firman Allah (kalamullah) Subhaanahu Wata’ala
dan sabda Rasul-Nya, para shahabat, tabi’in dan para pemuka ulama terdahulu
yang lebih alim (mengetahui) dari pada mereka dan lebih bertaqwa kepada Allah!
Padahal Allah Subhaanahu Wata’ala ketika mensifati diri-Nya dengan sifat-sifat,
seperti dua tangan, wajah, diri, ridha, murka, datang, bersemayam, tinggi dan
sifat-sifat lainnya, Dia pun telah menutup rapat pintu syubhat tamtsil dan
ketidakjelasan berdasarkan firman-Nya:“Tidak ada sesuatu apapun yang
menyerupai-Nya. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.(Asy-Syura:
11)
Apakah orang-orang yang
melakukan penta’wilan terhadap sifat-sifat Allah itu lebih mengetahui tentang
Allah daripada Allah sendiri?!
Apakah mereka lebih
mensucikan Allah dari pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam??
Dan apakah mereka yang
lebih mengetahui maksud Allah Subhaanahu Wata’ala dari pada para shahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pemuka ulama salaf, para
tabi’in, tabi’it tabi’in dan para pemuka ulama pembela petunjuk dan sunnah yang
hidup dalam tiga qurun yang mulia?! Yaitu mereka yang memahami sifat-sifat
Allah dan perkara-perkara ghaib yang lain yang bersumber dari Allah dan
Rasul-Nya secara apa adanya baik lafazh maupun makna menurut maksud Allah dan
Rasul-Nya tanpa tasybih, tanpa ta’thil dan tanpa ta’wil.
Kaum Mutakallimun,
termasuk Asya’irah benar-benar telah ditimpa bencana disebabkan ta’wil yang
mereka lakukan terhadap sifat-sifat Allah dan terhadap beberapa masalah aqidah
lainnya. Yaitu bencana memasukkan istilah-istilah, lafazh-lafazh dan
dugaan-dugaan akal yang tidak layak dikatakan di dalam hak Allah Subhaanahu
Wata’ala, baik secara penafian ataupun itsbat (penetapan).
Setidaknya itu
merupakan ungkapan bid’ah (kalam mubtada’) tidak bersumber dari Allah ataupun
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka menahan diri darinya adalah lebih
selamat, dan masuk ke dalam wilayah ini merupakan kelancangan terhadap Allah
tanpa landasan ilmu, seperti masalah hudud (batas), ghayat (batas sesuatu),
jihat (arah), mahiyah (hakikat), harakah (gerak), haiz (wilayah), ’aradh
(accident), jauhar (substansi), huduts (baru) dan qidam (dahulu, lebih dahulu).
Dan klaim kepastian
(qath’iyah) akal dan kezhanniyahan nash (naql)…. Seperti ungkapan mereka
tentang: tarkib (tersusun, susunan) dan tab’idh (terbagi menjadi beberapa
bagian). Dan juga perkataan mereka tentang Allah Subhaanahu Wata’ala :”Dia
tidak berada di dalam alam semesta dan tidak pula di luarnya” [57], dan
ungkapan-ungkapan lain yang mereka buat mengenai Allah Subhaanahu Wata’ala, baik
secara nafi maupun itsbat dalam rangka penyesuaian diri dengan kaedah-kaedah
teologis Mu’tazilah, jahmiyah dan falsafat rasionalis konfrontalis.
Memang
ungkapan-ungkapan mereka di dalam masalah-masalah ini kadang mengandung
sebahagian kebenaran, akan tetapi Allah Subhaanahu Wata’ala telah melarang kita
berbuat seperti mereka. Setidaknya perbuatan seperti itu dapat dipastikan
merupakan al-qaul ‘alallahi bighairi ‘ilm, ucapan terhadap Allah
tanpa ilmu. Padahal Allah Subhaanahu Wata’ala telah berfirman:
“Janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (al-Isra’: 46)
Dan Dia juga berfirman:
“Hanya milik Allah
Asma’ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu
dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut
nama-nama-Nya”. (al-A’raf:
180)
(Maka berdasarkan
firman Allah di atas) Ahlus Sunnah tidak membicarakan masalah-masalah
sifat-sifat ketuhanan kecuali dalam rangka memberikan sanggahan, menegakkan
Hujjah (argumentasi) dan hanya sebatas kebutuhan. Jadi penyelisihan Asya’irah
terhadap Ahlus Sunnah di dalam masalah sifat-sifat Allah adalah bukan masalah
yang bersifat furu’iyah, karena permasalahannya berkaitan dengan salah satu
bagian dasar (prinsip) teragung dari dasar-dasar agama, yaitu tauhid
sifat-sifat yang berkaitan dengan Allah Maha Pencipta.
Sekalipun begitu,
Asya’irah tetap merupakan kelompok aliran teologis yang lebih dekat kepada
Ahlus Sunnah, karena maksud mereka melakukan ta’wil itu adalah tanzih
(mensucikan Allah), hanya saja tidak berdasarkan petunjuk dan mengikuti
tuntunan (para ulama salaf). Bahkan mereka terperosok ke dalam apa yang
diperingatkan oleh Ahlus Sunnah, yaitu haram melakukan ta’wil, berdebat dan
memberikan perumpamaan bagi Allah Subhaanahu Wata’ala dan hal-hal yang serupa
yang bertentangan dengan kewajiban tunduk dan pasrah kepada nash-nash agama
(syar’i). [58]
Prinsip dasar lain yang
diperselisihkan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah adalah sandaran mereka kepada
akal, debat dan ilmu kalam (nazhor) di dalam masalah sifat-sifat Allah, masalah
qadar (taqdir) dan masalah-masalah ghaib. Mereka lebih mengutamakan akal, apa
yang mereka sebut al-qawathi’ al-’aqliyah, daripada an-naql
(al-Qur’an dan as-Sunnah) di dalam mengkaji masalah-masalah ghaib, aqidah, bahkan
di dalam masalah yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah Subhaanahu
Wata’ala.Kaidahnya menurut mereka, sebagaimana ditetapkan oleh Fakhrur Razi,
al-Juwaini dan lain-lain adalah “bahwa sesungguhnya dalil-dalil naqli
(al-Qur’an dan Hadits) itu tidak memberikan kepastian (keyakinan)” [59].
Dan “bahwasanya dalil-dalil naqli itu zhanniy (relatif), sedangkan dalil-dalil
aqli (rasional) itu qath’i (pasti); dan zhanni itu tidak bisa menentang yang
qath’i” [60]. Subhanallah!!
Tafsiran mereka terhadap tauhid terbatas pada tauhid rububiyah saja.
Mereka lupa akan tauhid uluhiyah dan ibadah hanya kepada Allah Subhaanahu
Wata’ala semata, padahal tauhid uluhiyah ini merupakan tauhid yang karenanya
para rasul diutus, sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wata’ala:“Dan Kami
tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya: “Bahwasannya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka
sembahlah oleh kamu sekalian akan Aku”. (al-Anbiya: 25)
Ia merupakan tauhid yang karenanya Allah menciptakan manusia,
sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan sekali-kali Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka hanya beribadah kepada-Ku”. (adz-Dzariyat:56)
Oleh karena itu, kita dapatkan perbuatan bid’ah di dalam berbagai
bentuk ibadah dan terperosok di dalam perbuatan kesyirikan yang cukup banyak
sekali pada orang-orang yang berintisab kepada Asya’irah muta’akhkhirin,
disebabkan kelalaian mereka di dalam tauhid uluhiyah.
Ini tidak berarti bahwa Ahlus Sunnah menganggap remeh masalah tauhid
rububiyah, sekali-kali tidak begitu! Akan tetapi memulai (dakwahnya) sesuai
dengan dari mana Allah memulai dan dari mana pula Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam memulainya. Tauhid Rububiyah itu juga bersifat fitri, hampir
tidak ada yang mengingkarinya kecuali sangat jarang sekali. Dan kebanyakan
ayat-ayat yang berbicara tentang tauhid rububiyah itu dalam konteks
membicarakan konsekwensinya, yaitu tauhid ibadah dan ta’at (uluhiyah). Maka
dari itu tidak dikenal adanya suatu umat yang mengingkari tauhid Rububiyah.
Bahkan tidak ada satu golongan yang sepakat atas masalah ini sebenarnya; dan
sekiranya ada, niscaya Allah Subhaanahu Wata’ala menyebutkannya di dalam
kisah-kisah para nabi. Lain halnya dengan tauhid Uluhiyah, banyak sekali umat,
golongan dan kelompok yang tersesat darinya hingga saat ini.
Dari itu pula kita lihat bahwa para peneliti dan pemuka Asya’irah
memulai karya-karya mereka di dalam bidang aqidah dengan masalah-masalah
aqliyat, teori-teori, keyakinan-keyakinan dan pandangan-pandangan,
istilah-istilah teologis dan filosofis serta (ditegaskan) bahwasanya dali-dalil
naqli (sam’iyat, wahyu) tidak memberikan kepastian (keyakinan)! Dan bahwasanya
dalil-dalil aqli itu pasti dan meyakinkan. Lalu dibicarakan pula masalah
hudutsul’alam (alam ini baru), kepastian ada Pencipta dan lain-lainnya (yang
sangat sarat dengan) filsafat dan ilmu kalam, dan kemudian diakhiri dengan
pembahasan tauhid Rububiyah. [61]
Yang demikian itu sangat jauh berbeda dengan metode yang ditempuh oleh
Ahlus Sunnah, bahkan berbeda dengan metode (manhaj) al-Qur’an itu sendiri.
Ayat-ayat yang datang untuk mengukuhkan tauhid Rububiyah itu sedikit dibanding
dengan ayat-ayat yang datang untuk mengukuhkan tauhid Uluhiyyah, dan kebanyakan
ayat-ayat yang berkenaan dengan tauhid Rububiyyah itu datang untuk mempertegas
tauhid Uluhiyyah (tauhid Ibadah), sebagaimana dijelaskan di muka.
Mereka juga menyalahi
Ahlus Sunnah pada prinsip-prinsip yang lain, seperti dalam masalah al-Qur’an
dan Kalamullah, [62] Iman [63], Qadar [64] dan
Nubuwwat (masalah kenabian) [65]di mana mereka sangat terpengaruh dengan
kaedah-kaedah kalam dan filosofis di dalam pandangan mereka terhadap
masalah-masalah tersebut. Maka aqidah mereka lahir dalam bentuk campuran dari
haq dan kebatilan, campuran antara aqidah Ahlus Sunnah, Mu’tazilah dan kaum
filosof. Oleh kerena itu, banyak kita dapatkan mereka menggunakan
istilah-istilah filosofis dialektis mengandung makna haq dan batil dan berbeda
jauh dengan lafazh (istilah-istilah) yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Demikianlah…
Sesungguhnya masalah-masalah yang diperselisihkan Asya’irah terhadap Ahlus
Sunnah tersebut di atas adalah merupakan prinsip-prinsip aqidah dan furu’
(cabang)nya menuntut peneliti yang obyektif dikala melakukan penelitian, agar
memberikan penilaian –sebagaimana pendapat para Ahli dari pemuka-pemuka Ahlus
Sunnah [66]– bahwa sesungguhnya aliran (madzhab) Asya’irah di dalam aqidah
merupakan madzhab independen di dalam beberapa aspek terpisah dari Ahlus Sunnah,
mempunyai prinsip-prinsip, metodologi, pandangan-pandangan, dan
ketetapan-ketetapan tersendiri, terutama di dalam masalah-masalah sifat-sifat
Allah, iman, wahyu, nubuwwat, al-Qur’an, kalamullah dan qadar atau taqdir.
Maka, Asya’irah di dalam beberapa masalah sependapat dengan Ahlussunnah, namun
berselisih di dalam masalah-masalah yang lain.
Sesungguhnya tidak
boleh kita membebani Salaf (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) dengan aqidah dan
istilah-istilah yang dibuat oleh Asya’irah, seperti ilmu kalam dan filsafat. Dan
sesungguhnya merupakan tindakan tidak etis kalau kita menisbatkan
keyakinan-keyakinan dan istilah-istilah seperti itu kepada para shahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, para tabi’in dan para pemuka ulama sunnah yang
ada dalam generasi mulia, padahal keyakinan-keyakinan dan istilah-istilah itu
lebih mendominasi di dalam aqidah Asya’irah, sebagaimana penulis uraikan di
muka.
Ahlus Sunnah adalah
mereka yang tidak melenceng dan tidak menambah madzhab salaf hingga masa kini.
Maka orang yang ber-intima’ dan ber-intisab (berafiliasi) kepada Ahlus Sunnah
harus meyakini dan beraqidahkan apa yang telah dijadikan aqidah oleh Ahlus
Sunnah di dalam masalah prinsip-prinsip (ushul) agama, mengikuti apa yang telah
mereka katakan dan telah mereka tetapkan, bukan malah meyakini (apa) yang
sesuai dengan kaidah-kaidah rasional dan filosofis yang ia miliki, lantas
kemudian menisbatkan keyakinannya dan aqidahnya itu kepada Salaf, sebagaimana
dilakukan oleh tidak sedikit dari para pengkaji di kalangan Asya’irah.
Jika kita suguhkan
keyakinan dan aqidah Asya’irah kepada keyakinan dan aqidah yang kita nukil dari
Salaf yang hidup pada qurun (generasi) yang mulia, niscaya kita temukan
perbedaan yang sangat menonjol. Kita akan temukan bahwa Asya’irah telah
melakukan bid’ah (hal baru) dan membuat beberapa keyakinan dan istilah yang
dilarang oleh para pemuka ulama Salaf seperti mengkaji masalah sifat-sifat
ketuhanan, perkara-perkara yang ghaib dengan meraba-raba dan
pendekatan-pendekatan bid’ah teologis. Sebagaimana telah kami sampaikan
contoh-contohnya di muka. [67]
Adalah haq dan adil
kalau kita katakan: Sesungguhnya Asya’irah, secara umum, merupakan aliran yang
paling dekat kepada Ahlus Sunnah daripada aliran-aliran teologis lainnya, dan
di antara mereka (penganut aliran Asya’irah) itu sendiri ada orang-orang yang lebih
dekat kepada Sunnah dari pada yang lain, dan ada pula dari pengikut aliran
Asya’irah ini yang tergolong : Ahli hadits terkemuka, ulama ahli tafsir
terkenal, ahli fiqih, ahli bahasa Arab, dll. Ada di antara mereka yang
mempunyai kedudukan dan keutamaan tinggi di dalam ilmu dan agama. Bahkan ada di
antara tokoh-tokoh ulama Ahlul Hadits yang berintisab atau dinisbatkan kepada
Asya’irah yang secara umum di dalam aqidahnya tergolong Ahlus Sunnah, maka
menisbatkan mereka kepada Asya’irah membutuhkan kehati-hatian dan penelitian
lebih jauh, terutama seperti: Imam al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu ‘Asakir, Imam
an-Nawawi dan Ibnu Hajar al-’Asqalani serta para tokoh dan pemuka ulama sunnah
dan hadits yang lain. Mereka lebih dekat kepada Ahlussunnah daripada kepada
kaum mutakallimin.
Orang yang alim dari
Asya’irah, setiap kali ilmu mereka di dalam sunnah, hadits dan atsar makin
bertambah, maka kebanyakannya mereka makin lebih dekat kepada Ahlus Sunnah di
dalam aqidah.
Ada satu hal lain yang
layak disebut di sini adalah bahwa uraian di atas mengandung bukti yang sangat
kuat bahwa Asya’irah menyalahi Ahlus Sunnah di dalam beberapa masalah besar
prinsip aqidah, dan bahwasanya ketika mereka melakukan kajian dan penelitian
mendalam secara obyektif, maka mereka meninggalkan aqidah Asya’irah dan kembali
kepada aqidah Ahlus Sunnah. Bukti yang dimaksud adalah kembalinya kebanyakan
tokoh terkemuka Asya’irah dan para peneliti kawakan mereka kepada haribaan
aqidah Ahlus Sunnah, tunduk dan patuh kepadanya pada akhir petualangan mereka atau
di akhir usia mereka, sebagaimana terjadi pada Imam Abul Hasan Ali al-Asy’ari
itu sendiri, dimana beliau memastikan menganut Aqidah Salaf Ahlus Sunnah di
dalam kitabnya “al-Ibanah” [68], juga Imam Abul Ma’ali al-Juwaini, Abu
Muhammad al-Juwaini, Imam Fakhrurrazi, Imam Asy-Syahristani, Imam Ghazali, Imam
Ibnul Arabi dan lain-lain. [69]
Di antara mereka ada
yang kembali kepada aqidah Ahlus Sunnah dan meninggalkan ilmu kalam. Hal itu
dijelaskan melalui tulisannya tentang aqidah yang menjadi pegangannya. Dan di
antara mereka ada pula yang memproklamirkan keyakinannya kepada aqidah Ahlus
Sunnah dengan gamblang sebelum wafat dan ia tidak sempat untuk menuangkannya
dalam bentuk tulisan. [70]
Penulis akan mengakhiri
pembahasan ini dengan menjelaskan bahwa tampak jelas bagi penulis bahwa
kelompok Asya’irah masa kini (kontemporer) jauh dari Ahlus Sunnah melebihi para
pendahulu mereka, hal itu disebabkan minimnya pengetahuan mereka tentang Aqidah
Salaf, juga karena mereka telah terkontaminasi dengan faham filsafat, ilmu
kalam, berbagai bid’ah, khurafat dan kebanyakan mereka bernaung di bawah payung
tarikat-tarikat tasawwuf dan yang serupa dengannya. [71] Semoga Allah
memberi mereka petunjuk, membukakan mata hati kita dan mereka semua bagi
kebenaran dan jalan yang lurus.
Perlu disebutkan di
sini bahwa apa yang telah penulis uraikan di atas tentang menjauhnya Asya’irah
dari Ahlus Sunnah di dalam beberapa prinsip-prinsip aqidah tidak berarti
penulis mengkafirkan atau memandang mereka sesat. Penulis sama sekali tidak menyinggung
masalah ini, karena bagi penulis, masalah ini sangat besar lagi berbahaya,
membutuhkan uraian lebih lanjut dan bukan di sini tempatnya.
Di Mana Ahlus Sunnah
Berada?
Pada bagian terdahulu
telah penulis singgung mengenai definisi Ahlus Sunnah, ciri dan karakteristik
aqidah mereka, dan telah penulis jelaskan bahwa Asya’irah, mazhab yang paling
banyak tersebar di hampir seluruh dunia Islam, mereka bukan Ahlus Sunnah. Maka
adalah benar kalau seseorang bertanya-tanya: Kalau begitu di mana Ahlus Sunnah?
Bagaimana kita dapat mengenal mereka di tengah-tengah kaum muslimin?
Secara singkat,
jawabannya menurut hemat penulis adalah sebagai berikut:
Bahwa sesungguhnya
Ahlus Sunnah itu telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan telah ditentukan sejelas-jelasnya hingga tampak jelas seperti matahari,
bagi orang yang diberi taufiq oleh Allah dan selamat dari cengkeraman hawa
nafsu, fanatisme dan taklid buta. Di antara sifat dan ciri-ciri Ahlus Sunnah
yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu ialah:
●Mereka adalah orang-orang yang konsisten dengan
petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik secara penampilan, tutur
kata, aqidah, prilaku maupun ibadah. Petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam itu telah dijelaskan sejelas-jelasnya oleh Sunnah-nya.Jadi, Ahlus
Sunnah adalah tokoh-tokoh yang menonjol lagi terkemuka dari generasi ke
generasi semenjak generasi para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
hingga generasi kita sekarang ini, mereka dikenal dengan sikap ittiba’, iqtida’
dan ihtida’ (patuh, meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
konsisten dan berpegang teguh kepada sunnah).
●Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada
aqidah salaf, yaitu para shahabat Nabi, para tabi’in dan para tokoh pemuka
agama yang ada pada tiga masa generasi yang utama. Aqidah salaf itu
diriwayatkan dan dikenal serta tercatat –alhamdulillah- di dalam karya-karya
para ulama terkemuka seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Ibnu Abi
‘Ashim, Imam Ad-Darimi, Imam Abdullah bin Ahmad, Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Baththah, Ibnu Mandah, Imam al-Khallal, Imam al-Asy’ari [72] setelah
ia memproklamirkan aqidah salaf, Imam Isma’il as-Shabuni, Imam ath-Thahawi,
Imam Ibnu Taimiyah dan banyak lagi imam-imam lainnya, mereka sangat dikenal
oleh para ahli ilmu (ulama) dan oleh setiap orang yang mempunyai keinginan
untuk mengenal mereka.
●Mereka adalah orang-orang yang selamat (bebas), tidak
tercemar oleh bid’ah, kesyirikan dan ajaran-ajaran tarikat sufi. Anda tidak
pernah melihat Ahlus Sunnah, kapan saja dan di mana saja mengusap-usap kuburan,
manusia, bebatuan, benda-benda peninggalan nenek moyang dan patung-patung;
mereka juga tidak berdo’a (memohon) kepada selain Allah, tidak meminta
keselamatan kepada orang-orang yang sudah mati, tidak mendirikan bangunan atau
kubah di atas kuburan, dan mereka tidak melakukan perayaan-perayaan hari
kelahiran (maulid) dan berbagai perkumpulan bid’ah lainnya. Dan amat sangat
jarang anda temukan seorang Ahlus Sunnah yang bernaung di bawah asuhan tarekat
sufi, kecuali karena kebodohan, keawaman, kelalaian atau karena bertaqlid buta
tidak berdasarkan pengetahuan, sebagaimana dilakukan oleh sebahagian orang
awam.
●Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada
syi’ar-syi’ar agama, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana diperintahkan
oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasul-Nya. Maka mereka selalu menegakkan shalat
fardhu (secara berjama’ah), mengerjakan amalan-amalan sunnah dan mengajak orang
lain kepadanya, dan mereka meninggalkan dosa, kemunkaran, hal-hal yang
diharamkan dan segala bentuk bid’ah serta melarang (manusia) melakukannya.
●Mereka adalah orang-orang yang lantang (tampil) di
tengah-tengah mesyarakatnya menyuarakan kebenaran (al-haq), beramar ma’ruf dan
bernahi munkar, memberantas segala bentuk bid’ah dengan tidak peduli terhadap
celaan orang yang mencela mereka. Terkadang sifat atau karekter ini
berbeda-beda di satu negeri dari negeri-negeri muslim lainnya, karena ada
sebagian negeri dimana kaum muslimin yang tidak bisa menampakkan syi’ar-syi’ar
agama mereka di sana atau melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Secara umum, Ahlus
Sunnah itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka –alhamdulillah- berada
di berbagai tempat dan di berbagai negeri; di suatu negeri jumlah mereka
sedikit, namun di negeri yang lain jumlah mereka banyak. Jadi, mereka tersebar
luas di bumi Allah yang luas ini sesuai dengan kondisi masing-masing.
Jika anda perhatikan
kondisi kaum muslimin saat ini, niscaya anda temukan bahwa di antara Ahlus Sunnah
itu mempunyai keunggulan tersendiri sesuai dengan kondisi yang melingkupinya,
banyak atau sedikit, kuat atau lemah. Anda temukan mereka di Mesir dan di Sudan
kebanyakannya ada di dalam wadah gerakan Ansharus Sunnah al-Muhammadiyah, dan
sedikit sekali yang berada di gerakan-gerakan yang lain. Di negeri Syam (Suria,
Yordan, Palestina) mayoritas mereka terdapat pada kelompok Ahli hadits dan
atsar dan sedikit sekali yang ada pada kelompok yang lain, di India, Pakistan
dan Afganistan kebanyakan mereka terdapat pada Ahli hadits, kelompok-kelompok
dan ormas-ormas keagamaan salafiyah dari pada di tempat-tempat
lainnya. [73]
Telah penulis singgung
di muka bahwa di antara ciri khas Ahlus Sunnah yang paling menonjol di negeri
yang tidak banyak terdapat hal-hal bid’ah dan ajaran tarekat sufi di dalamnya
adalah cap Wahabiyah bagi mereka, yaitu nisbat kepada dakwah yang dilakukan
oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, atau cap Hanabilah, yaitu nisbat kepada
Imam Ahmad bin Hanbal.
Da’wah yang diserukan
oleh Muhammad bin Abdul Wahhab itu merupakan contoh nyata yang hidup bagi Ahlus
Sunnah wal Jama’ah, baik yang berupa aqidah maupun berupa prilaku. Dengan
da’wah yang beliau serukan itu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
benar-benar menjadi kenyataan:
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ
حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ.
“Akan tetap ada
segolongan dari umatku yang tampil di atas kebenaran hingga hari kiamat kelak”.[74] Dakwah beliau (Syaikh) ini masih tampak
sampai saat ini. Segala puji hanya bagi Allah.
Perlu diketahui pula
bahwa awam kaum muslimin yang masih menegakkan syi’ar-syi’ar agama, sedangkan
mereka bersih dari perbuatan kesyirikan (penyekutuan terhadap Allah),
sesungguhnya mereka masih dalam kondisi fitrah dan mereka tergolong dalam
sawadul ummah dan Ahlus Sunnah di mana pun dan kapan pun mereka berada.
Ahlus Sunnah (wallahu
a’lam) di akhir zaman nanti tidak merupakan mayoritas ummat, karena Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa mereka adalah tha’ifah (segolongan
atau sekelompok), mereka adalah orang-orang asing, bahkan mereka adalah
sekelompok kecil saja dan merupakan salah satu golongan dari tujuh puluh tiga
golongan yanga ada. [75]
Dengan demikian,
gugurlah klaim sebahagian kaum Asya’irah dan Maturidiyah akhir-akhir ini bahwa
mereka adalah Ahlus Sunnah, dengan alasan karena mereka merupakan kelompok
mayoritas di berbagai negeri kaum muslimin. Jadi secara kuantitas (mayority)
itu sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai argumen atau dalil yang cukup untuk
kebenaran. Yang menjadi ukuran itu adalah ittiba’, patuh dan ta’at kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berpegang teguh kepada ajaran
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, menelusuri jejak para shahabat, para tabi’in
dan para pemuka tokoh agama yang ada di dalam tiga generasi utama dan meniti
langkah orang-orang yang mengikuti jejaknya dengan tidak mengganti atau
mengubah (sedikitpun dari ajaran Rasulullah) hingga hari kiamat meskipun jumlah
mereka sedikit.
Dari sisi lain, perlu
diketahui bahwa mayoritas kaum muslimin saat ini adalah orang awam yang
diliputi kebodohan, tidak mengerti rincian ‘Aqidah Islam, dan kebanyakan mereka
masih dalam kondisi fitrah (tauhidnya masih murni), hati mereka masih bersih
dan aqidah mereka masih lurus. Jika demikian adanya, maka mereka masih
tergolong dalam sawadul muslimin, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan catatan:
mereka belum diseret oleh syetan-syetan bid’ah dan khurafat, syetan-syetan
aliran sesat, tariqat-tariqat sufi dan menyeru kepada kesesatan. Wallahu a’lam.
Catatan Kaki :
[1] Penulis
menyimpulkan kaidah-kaidah tersebut dari hasil kajian penulis terhadap sebagian
literatur para tokoh agama. Di antara buku-buku yang banyak memberikan
pelajaran kepada saya di dalam menyimpulkan kaidah-kaidah tersebut adalah:
1. Kitabul Iman, karya Qasim bin Sallam (wafat 224 H)
2. Ar- Raddu ‘alaz zanadiqah wal Jahmiyyah, karya Imam Ahmad (wafat 241 H)
3. Kitabul Iman, karya al-Hafizh al ‘Adani, (243)
4. Al-Ikhtilaf fil Lafzhi war Raddu alal Jahmiyyah wal Musyabbihah, karya Ibnu Qutaibah
(276 H)
5. As Sunnah, karya Ibnu ‘Ashim (wafat 287 H)
6. Ar-Raddu alal Jahmiyah dan Ar-Raddu alal Murisi, karya Imam Ad-Darimi (wafat
280 H)
7. al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, karya Abul Hasan al-Asy’ari (324 H)
8. Asy-Syari’ah, karya al-Ajuri (wafat 360 H)
9. As-Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat 290)
10. Aqidatus Salaf Ash habil Hadits, karya Abu Ismail as Shabuni (wafat 449 H)
11. Asy-Syarh wal Ibanah, karya Ibnu Baththah (wafat 387 H)
12. Dzammut Ta’wil, karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi, (wafat 620)
13. Beberapa buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728) , terutama
at-Tadmuriyah, al-Wasithiyah, Hamuwiyah, Majmu’ Fatawa (1-9), al-‘Aql wan Naql,
Minhajus Sunnah, Naqdlut ta’sis, dan lain-lain.
14. Ash Shawa’iq al-mursalah ‘alal jahmiyah al-mu’aththilah, karya Ibnu Qayyim,
(wafat 792 H)
15. Syarah al-Aqidah ath-Thawiyyah, karya Ibnu Abil ‘Izz, (wafat 792)
16. Syarah Kitabuttauhid dari Shahih Bukhari di dalam fathul Bari, karya Ibnu
Hajar (wafat 852 H)
Syarah Kitabuttauhid min Shahihil Bukhari, karya Syekh Abdullah bin Muhammad
al-Ghunaiman. Dll.
[2] Mukhtashar
ash-Shawa’iq al-Mursalah, karya Ibnu Al-Qayyim. Vol. 2, hal. 359-446. Diringkas
oleh Muhammad bin al-Mushili.
[3] Al-I’tiqad wal
Hidayah ila Sabilir Rasyad, karya Imam Al-Baihaqi, hal. 227.
[4] Diriwayatkan
oleh Bukhari kitab “ash Shulh” dan Muslim, kitab al-Aqdhiyah.
[5] Syarah
al-Aqidah ath-Thahawiyah, karya Ibnul Abi Al-‘Izzi al-Hanafi, hal. 143.
[6] Ibid, hal.140.
[7] Asy-Syarah wal
Ibanah, hal. 123-127; Syarah al-Asidiq ath-Thahawiyyah, hal. 258; dan
asy-Syari’ah, karya al-Ajurri, hal. 54-67.
[8] Ini berbeda
dengan nash-nash yang berkenaan dengan hukum-hukum, sebab ia boleh dita’wil dan
dialihkan dari zhahirnya bila ada dasar syar’inya dan memenuhi syarat-syarat
yang disebutkan oleh para tokoh agama terpandang.
[9] Ash-Shawa’iq
al-Mursalah, karya Ibnu Qayyim, hal. 10-90. Dzammut Ta’wil, karya Muwaffiquddin
Ibnu Qudamah al-Maqdisi, wafat 620 H.
[10] Silakan
pembaca merujuk kepada As-Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, vol 1,
hal. 264-307. Di sana disebutkan perkataan para ulama salaf dalam hal ini. Dan
asy-Syarhul wal Ibanah, karya Ibnu Baththah, hal.127-129 dan 213-218.
[11] As-Sunnah (opcit),
vol.1/307, asy-Syarhul wal ibanah (opcit) hal. 176-177., al-Itiqad, karya Imam
Baihaqi, hal 174, al-Iman, karya Ibnu Taimiyah, hal. 186-288, ‘Aqidatus Salaf,
karya As-Shabuni, hal. 68 dan Syarhus Sunnah, karya Imam al-Baghawi. Vol.1,
hal. 33.
[12] Tauhid asma’
wa shifat maksudnya adalah menetapkan dan meyakini nama dan sifat yang telah
ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya, dan
menafikan apa yang dinafikan oleh Allah dari diri-Nya dan dinafikan oleh
Rasul-Nya serta mensucikan Allah dari segala aib dan kekurangan.
[13] Asy-Syarhul
wal Ibanah (opcit), hal. 210, dan Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah (opcit) hal.
243-248.
[14] Syarah
al-Aqidah ath-Thahawiyah, (opcit), hal. 257.
[15] Asy-Syarhu
wal Ibanah (opcit), hal. 211 dan Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal 256-257.
[16] Syarah Aqidah
Thahawiyah,, opcit, hal. 103-105 dan al-I’tiqad , opcit. hal. 255-305.
[17] Syarah
al-Aqidah ath-Thahawiyah, opcit, hal. 344-353 dan 369, Aqidatus Salaf Ashhabil
Hadits, opcit, hal.60-63 dan asy-Syarh wal Ibanah, opcit, hal. 197-208,
219-223.
[18] Syarah
al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 447 dan Lum’atul i’tiqad . opcit. hal. 30-31.
[19] Aqidatus
Salaf, opcit, Hal. 75-82, asy Syarh wal Ibanah, opcit. Hal. 192. , al-Ibanah,
opcit, hal. 56, dan Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, opcit, hal. 185 dan 185.
Lihat pula Tafsir Ibnu Katsir, hal. 227-229.
[20] As-Sunnah,
karya Abdullah bin Ahmad, vol. 1 hal. 132, Lum’atul I’tiqad, opcit, hal. 15-18,
al-I’tiqad, opcit, hal. 94-110, asy-Syarhu wal Ibanah, hal. 184-186, al-Ibanah,
hal. 56. Syarah Thahawiyah, hal. 107-109 dan Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits,
hal. 7.
[21] As-sunnah,
karya Ibnu Abi ‘Ashim, vol. 2, hal. 364, Syarah ath-Thahawiyah, hal. 174,
asy-Syari’ah, opcit, hal. 321-326, Lum’atul I’tiqad, hal. 34, Majmu Fatawa,
opcit, vol. 1, hal. 116-117.
[22] Syarah
Al-Aqidah ath-Thahawiyah, opcit, hal. 167. Asy-Syari’ah, opcit, karya al-Ajuri,
hal. 481.
[23] Al-Ibanah,
opcit, hal. 59; Lum’atul I’tiqad, opcit, karya al-Maqdisi, hal. 36 asy-Syarh
wal Ibanah, opcit, hal 159-170, 264-265, 271, dan al-Washiyah al-Kubra, karya
Ibnu Taimiyah, hal 55-58.
[24] Al-Washiyah
al-Kubra, hal. 59-60; Asy-Syarh, wal Ibanah hal 414, karya Ibnu Baththah, hal.
257-261; al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal 323; al-Ibanah, karya al-Asy’ari,
hal. 59; Aqidatus Salaf, karya al-Shabuni, hal. 86.
[25] Syarah
al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 413; al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal.
331-332; dan Aqidatus Salaf, karya ash-Shabuni, hal. 83.
[26] al-Washiyah
al-Kubra, karya Ibnu, Taimiyah, hal. 58-59; al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal.
324-330; Lam’ atul Itiqad, opcit, hal. 42.
[27] Termasuk di
dalamnya aliran-aliran pemikiran, madzhab dan isme-isme modern, seperti
Komunisme, Qadyanisme, Bahaisme, dan demikian pula Sosialisme, Sekulerisme dan
segenap nasionalisme atau kebangsaan yang berdasarkan Fanatisme kelompok.
[28] Al-Ibanah,
karya Al-Asy’ari, hal. 64; Lum’atul I’tiqad, hal. 42-43; Aqidatus Salaf, karya
ash-Shabuni, hal. 112; dan Syarhus Sunnah, karya al-Baghawi, hal. 217-230.
[29] Yang dimaksud
Jama’ah di sini adalah Ahlus Sunnah, yaitu mereka yang konsisten mengikuti
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabatnya, para tabi’in dan
para pemuka agama terkemuka yang ada pada tiga qurun (tiga generasi) yang utama
serta orang-orang yang menempuh jalan mereka hingga hari kiamat baik dalam
beraqidah, ucapan maupun dalam beramal. (Lihat pembahasan pertama dari kajian
ini).
[30] Syarhus
Sunnah, karya al-Baghawi, hal 189-209; al-Washiyyah al-Kubra, karya Ibnu
Taimiyah, hal. 74; Syarah al-Aqidah at-Thahawiyah, hal. 458; dan al-I’tiqad,
karya al-Baihaqi, hal. 242-246.
[31] Syarah
al-Aqidah ash-Thahawiyah, hal. 327-330; Lum’atul I’tiqad, al-Maqdisi, hal. 42;
al-Ibanah, hal. 64; asy-Syarhu wal Ibanah, karya Ibnu Baththah, hal. 277-280.
dll.
[32] Syarah
al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 336; al-Aqidah al-Wasithiyah, hal. 181; Aqidafus
Salaf Ashabul Hadits, karya ash-Shabuni, hal. 92-93.
[33] Risalah fil
Amri bil Ma’ruf, karya Ibnu Taimiyah.
[34] Lihat Syarah
al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 258.
[35] Syarah
al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 258, 261-262; al-Ibanah, karya Al-Asyari, hal.
57; Lum’atul I’tiqad, karya Maqdisi, hal. 39.
[36] Al-Ibanah,
karya al-Asy’ari, hal. 58; Lum’atul I’tiqad, hal. 39.
[37] Syarah
al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 317; al-Ibanah, hal. 58.
[38] Syarah
al-Aqidah ash-Thahawiyah, hal. 321-326; al-Ibanah, hal. 62-63; ‘Aqidatus Salaf,
hal 92.
[39] Syarah
al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 331-332; Kitabul Iman, karya al-Adani, hal.
128.
[40] Al-Furqan
baina Auliyaui Rahman wa Auliyaisy Syaithan, karya Ibnu Taimiyah, hal. 159-188;
an-Nubuwwat, karya Ibnu Taimiyah, hal. 7-10; Syarah al-Aqidah ash-Thahawiyyah,
hal. 442-446.
[41] Hadits
riwayat Abu ‘Ashim di dalam as-Sunnah dengan beberapa sanad yang shahih. Lihat
vol.1, hal. 29, hadits no. 54.
[42] Diriwayatkan
oleh Ibnu Baththah di dalam asy-Syarhu wal Ibanah, hal. 407; dan hadits ini
mempunyai banyak syawahid di dalam Musnad Ahmad: 2/338 dan 378; dan al-Baghawi
di dalam Syarhus Sunnah: 2/270; dan Al-Albani menilai hasan hadits tersebut di
dalam Tarkhrijul Misykat, 1/63.
[43] Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Ashim di dalam As-Sunnah dengan banyak sanad, dan dinilai shahih
oleh Al-Albani (As-Sunnah: 1/26-27. Hadits no. 47, 48 dan 49. Ibnu Majid di
dalam muqaddimahnya, hal. 16, hadits no. 43, 44.
[44] Klaim
kelompok Asya’irah dan Maturidiyah beserta yang lainnya bahwasanya mereka
adalah Ahlus Sunnah atau termasuk Ahlus Sunnah adalah merupakan klaim yang
berlebihan, pengelabuan dan penga-buran. Maka dari itu penulis akan membahas
pasal tersendiri pada akhir kajian ini mengenai hal ini.
[45] Yang penulis
maksud di sini adalah para da’i, penuntut ilmu dan ulama. Adapun masyarakat
awam, maka para ulama salaf berpandangan bahwa mereka tidak dibebani tugas
untuk mengetahui segala rincian masalah Aqidah. Cukup bagi mereka mengetahuinya
secara global saja. (Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 10-11 dan Dar’u
Ta’arudhil ‘Aqli wan Naqli,Ibnu Taimiyah. Vol. 1, hal. 51.
[46] Biasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mencela suatu perbuatan para
shahabatnya tidak menyebut langsung nama pelakunya dan tidak pula dimaksudkan
untuk menyebarkan kesalahan orang itu. Beliau hanya berkata: “Kenapa kok kaum
ini…” sebagaimana pernah beliau ucapkan: “Kenapa kok ada sekelompok orang yang
enggan melakukan apa yang aku lakukan…”. (Hadits ini dikeluarkan oleh
Al-Bukhari)
[47] Ini diarahkan
kepada kelompok Asya’irah, karena pemikiran mereka menyebar hampir ke seluruh
penjuru dunia Islam.
[48] Penulis
katakan “tanpa alasan yang benar”, karena menurut pengetahuan penulis ada
sebahagian kaum muslimin yang hidup di beberapa negeri muslim disiksa,
diintimidasi dan dilecehkan hak-haknya karena mereka memanjangkan jenggotnya.
La haula wala quwwata illa billah.
[49] Lihat kajian
pertama dari buku ini.
[50] Tepatnya pada
akhir abad ketiga hijriyah, yaitu setelah Imam Abul Hasan al-Asy’ari
meninggalkan aqidah Mu’tazilah pada tahun 300 H.
[51] Tabyin
Kadzibil Muftari, karya Ibnu Asakir, hal 38-45. Dan Pengantar Syaikh Hammad
al-Anshari pada kitab Al-Ibanah ‘an Ushulid diyanah, karya Imam Al-Asy’ari,
penerbit: Islamic Univercity in Madinah.
[52] Lihat kedua
sumber sebelumnya (Ibid).
[53] Di dalam
kitab tersebut Imam al-Asy’ari meyakini madzhab Ahlus Sunnah wal-Jama’ah di
dalam semua masalah prinsip aqidah. (Silakan merujuk kitab tersebut karena
sudah diterbitkan)
[54] Lihat
al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, hal. 52.
[55] Berkat taufiq
dari Allah kepada para tokoh terkemuka tersebut, kebanyakan mereka meninggalkan
seluruh keyakinan mereka di dalam ta’wil atau sebahagiannya yang menyalahi
Aqidah Ahlus Sunnah.
[56] Sebagai
contoh, silahkan lihat di dalam kitab Asasut taqdis, karya Fakhrurrazi, hal.
111-19, dan Al-Irsyad, karya Juwaini, hal. 146-154.
[57] Lihat
Al-Iqtishad fil I’tiqad, karya al-Ghazali, hal. 12-135; Al-Arbain fi Ushuludin,
karya Al-Ghazali, hal. 13-16; Ushuludin, karya Fakhrurrazi, hal. 19-55; Asasut
Taqdis, karya fakhrurrazi, hal. 15-49; At-Tauhid, karya Al-Baqlani, hal. 40-50;
dan Syarhul Maqashid, karya At-Taftazani, vol. 2, hal 57-68. Telah driwayatkan
dari para Imam yang senior, seperti Imam Ahmad, Ibnu Madini, Auzail, Bukhari,
Abu Zur’ah, Abu Hatim dan banyak lagi bahwa mereka memperingatkan dari
perkataan debat, ta’wil dan ilmu kalam, Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah
wal Jama’ah, karya Abi Qashim al-Lalakai, vol. 1, hal. 151-186).
[58] Lihat
Ushuludin, karya Fakhrurrazi, hal. 24, dan Al-Irsyad, karya Juwaini, hal.
25-37.
[59] Ushuludin,
karya Fakhrurrazi, hal. 24.
[60] Lihat
permulaan kitab At-Tauhid dan kitab Lushaf, keduanya karya Al-Baqlain; permulaan
kitab Ushuluddin, karya Fakhrurrazi; permulaan kitab Al-Iqtishad fil I’tiqad,
karya Ghozali; permulaan kitab Ushuluddin, karya Al-Baghdadi; permulaan kitab
Al-Irsyad, karya Juwaini; permulaan kitab Al-I’tiqad wal Hidayah ila Sabilir
Rasyad, karya Al-Baihaqi; dan kitab-kitab lain yang menjadi pegangan kaum
Asya’irah, semuanya dimulai dengan pemikiran, teori-teori akal, ilmu kalam,
menetapkan kaidah-kaidah pemikiran akal dan filsafat, hampir tidak disebutkan
tauhid ibadah dan tujuan kecuali hanya sedikit sekali, padahal umat yang dulu
dan sekarang ini sangat membutuhkannya.
[61] Lihat
Al-Inshaf, hal. 62-126; Ushuludin, hal. 63-67; Al-Arbain fi Ushuluddin, hal.
27-28.
[62] Lihat kitab
Al-Iman, karya Ibnu Taimiyah, hal. 100-102; Ushuluddin, hal. 91-105; Al-Iqtishad,
hal. 165-179.
[63] Lihat
Al-Inshaf, hal. 39-44; Al-Arbain fi Ushuluddin hal. 16-27.
[64] Lihat
An-Nubuwwat, karya Ibnu Taimiyah, hal. 100-102; Ushuluddin, hal. 91-105;
Al-Iqtishad, hal. 165-179.
[65] Di antara
ulama yang banyak menjelaskan permasalahan ini juga meletakan pundamennya
adalah syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, silakan lihat beberapa karyanya, di
antaranya Al-Aqidah At-Tadmuriyah, Al-Fatwa Al-Hawariyah Al-Kubra, Al-Aqidah
Al-Wasithiyah dan lihat pula Majmu’ Fatawa, vol. 4 ha. 1-190.
[66] Lihat
pembahasannya yang telah lalu.
[67] lihat
kitabnya Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah.
[68] Lihat
kitabnya Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah.
[69] Lihat
pembahasan pada hal yang terdahulu.
[70] Syarh
Ath-Thahawiyah, hal. 150-153.
[71] Ini sangat
berbeda dengan tokoh-tokoh Aya’irah pertama, karena mereka lebih dekat kepada
Sunnah, mereka belum terkontaminasi dengan sufisme, falsafat dan perdebatan
(dialegtika), mereka adalah Ahlus Sunnah di dalam amal dan peribadatannya. Sedangkan
kaum Asya’irah masa kini, kebanyakan mereka adalah pembela tarekat-tarekat sufi
dan ahlu bid’ah di dalam masalah keyakinan dan peribadatan. Yang demikian itu,
karena sikap tasahul (mengampang-gampangkan, kendor) di dalam masalah tauhid
uluhiyah di dalam prinsip-prinsip dasar aqidah kaum Asya’irah, sebagaimana
telah penulis ungkapkan di atas.
[72] Abul Hasan
al-Asy’ari telah memproklamirkan kepatuhannya kepada aqidah salaf di dalam
kitabnya “al-Ibanah…”. Silahkan anda pelajari.
[73] Itu hanya
sekedar contoh saja, tidak secara pasti, karena untuk menetapkan ketetapan yang
sesungguhnya membutuhkan studi yang lebih serius dan secara teliti. Penulis
dalam hal ini hanya memberikan contoh saja.
[74] Hadits ini
bersumber dari sejumlah besar para shahabat nabi diriwayatkan di dalam
shahihain (Bukhari dan Muslim) dan lain-lain dengan redaksi yang berbeda-beda.
Lihat: Shahih Bukhari- Fathul Bari, kitab al-Manaqib, bab ke 27 (6/632), Shahih
Muslim, kitab: al-Imarat, bab 53. Hadits no. 1920-1924.
[75] Lihat hadits
terdahulu di dalam bahasan “Mengenal Ahlus Sunnah”
Penafsiran makna "Tauhid" yang
dibatasi pada "Tauhid Rububiyah" dan kelalaian mereka dari Tauhid
Uluhiyah dan Ibadah.
Kita telah memahami bahwa para rasul datang
mendakwahkan Tauhid Uluhiyah. Sebagaimana dalam Al-Qur'an surah Al-Anbiya' : 25,
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada yang diibadahi (dengan haq) melainkan
Aku, maka sembahlah olehmu akan Aku."
Inilah tauhid yang menjadi tujuan diciptakannya
jin dan manusia, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an surah Adz-Dzariyat ayat
56 : "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku."
Manhaj Asy'ari dalam Tauhid Uluhiyah tidaklah
jelas. Hal ini karena beberapa sebab diantaranya adalah :
1. Definisi Al-Ilah yang mereka artikan sebagai
"Yang Maha Kuasa untuk mencipta" seperti disebutkan oleh Al-Baghdadi
yang dia nisbatkan kepada Abu Al-Hasan Al-Asy'ari.
2. Kitab-kitab karangan mereka dalam hal aqidah
tidak membahas Tauhid Uluhiyah secara khusus. Bahkan para tokoh Asy'ariyah
dalam tulisan-tulisan mereka menggunakan cara-cara ahli filsafat atau ahlu
kalam. Mereka memulai tulisan-tulisannya dengan pengertian-pengertian logika,
teori-teori, bukti kebenaran nyata berdasarkan akal, tashawwur dan berbagai
istilah ahlu kalam dan filsafat. Kemudian penyebutan dalil-dalil naqliyah
(tekstual) tidak memberikan faedah berupa keyakinan sedang dalil-dalil akal
adalah qath'I (pasti) dan yakin. Setelah itu pembicaraan berpusat sekitar
kejadian alam, penetapan pencipta dan hal-hal lain yang berasal dari filsafat
dan ilmu kalam, kemudian alur pembicaraan akhirnya tertumpu pada penetapan
Tauhid Rububiyah.
3. Asy'ariyah menetapkan bahwa kewajiban
pertama bagi mukallaf (orang yang sudah mencapai masa baligh) adalah an-Nazhar
(melihat) untuk menetapkan wujud Allah dan akhirnya keesaan Allah dalam dzat
dan perbuatan. Bukan berarti Ahlusunnah mengenyampingkan Tauhid Rububiyah,
tetapi orang-orang Asy'ariyah telah memulai dengan suatu hal yang tidak
dicontohkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa salam. Sebab Tauhid
Rububiyah adalah fitrah, hampir-hampir tidak ada yang mengingkari secara
keseluruhan melainkan sedikit. Tidak pernah kita mengenal suatu umat yang
sepakat untuk mengingkari Tauhid Rububiyah, kalaulah ada kita akan dapatkan
dalam kisah-kisah para nabi. Sebaliknya kesesatan berbagai umat, firqah atau
kelompok terdapat pada penentangan terhadap Tauhid Uluhiyah.
4. Sebagai akibat dari penafsiran tauhid yang
dibatasi pada Tauhid Rububiyah oleh Asy'ariyah secara umum, kita jumpai
bermacam bid'ah dalam ibadah bahkan perbuatan syirik atau membela perbuatan
syirik pada orang-orang yang menisbatkan diri mereka kepada Asy'ariyah. Ini
karena sikap remeh dan menganggap enteng Tauhid Uluhiyah. Disamping itu Asy'ariyah
memang memiliki hubungan lama dengan Sufiyah. Al-Hafizh Ibnu Asakir menyebut
lima tabaqat (generasi) orang-orang yang menisbatkan diri mengambil dari Abu
Al-Hasan Asy'ari. Dari setiap tabaqat (generasi) terdapat orang yang
ber-intisab kepada sufi.
Al Ibanah : Kupas Tuntas Penyimpangan
Aqidah
Al Asy’ariyah
Judul asli : Al-Ibaanah ‘An Ushulud
Diyaanah
Penulis : Imam Abul Hasan Al Asy’ari
Taqdim : Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshari, Syaikh Isalamil Al Anshari, Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
Fisik : buku ukuran sedang, softcover, 242 hal
Penerbit : pustaka at Tibyan
Taqdim : Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshari, Syaikh Isalamil Al Anshari, Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
Fisik : buku ukuran sedang, softcover, 242 hal
Penerbit : pustaka at Tibyan
Mayoritas kaum muslimin yang berada di
berbagai belahan negeri Islam menisbatkan aqidah mereka kepada Abul Hasan
Al-Asy’ary. Namun sangat disayangkan, mereka tidak mengenal sedikitpun tentang
Abul Hasan dan juga tidak mengetahui aqidah terakhir yang beliau yakini yang
menjadikan diri beliau termasuk dalam deretan imam-imam yang menjadi panutan.
Kami ingin menerangkan kepada mereka hakikat sebenarnya tentang imam yang tidak
diketahui oleh kebanyakan orang-orang yang menisbatkan diri mereka kepada
beliau dan berpegang dengan aqidah beliau berdasarkan literatur muktabar yang
telah diteliti.
Siapa Abul Hasan Al-Asy’ary?
Beliau adalah Ali bin Ismail bin Ishaq
bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu Musa
Al-Asy’ary -rahimahulloh-
Lahir pada tahun 260 H. Identitas ini disebutkan oleh :
Abul Qasim Ali bin Hasan bin Hibatullah bin ‘Asaakir Ad-Dimasyqy [imam ibnu
asaakir asy syafii] dalam kitabnya Tabyiinul Kidzbil Muftari Fima Nusiba
Ila Abil Hasan Al-Asy’ary, Khathib Al-Baghdady dalam kitab Tarikh
Baghdaady, Ibnu Khalkan dalam Wafayaatul A’ay an, Adz-Dzahaby dalam Tarikh
Islam, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah dan Thabaqaatul
Asy-Syaafi’iyah, Taajuddin As-Subki dalam ThabaqaatulAsy-Syaafl’iyah Kubra,
Ibnu Farhun Al-Maaky dalam Dibadzul Madzhab Fi Al-A’yaanil AhliI Madzhab,
Murtadha Az-Zubaidy dalam Itthaafus Saadatul Mutqin bt Syarh Asrar Ihya
‘Ulumuddtn, Ibnul Ammar Al-Hanbali dalam Syadzraat Adz-Dzahab fi Al-A’yaani min
Dzahab dan lain-lain.
Imam Abul Hasan Al-Asy’ary datang ke kota
Baghdad dan mengambil hadits dari Al-Hafizh Zakariya bin Yahya As-Saajy [Salah
seorang murid Imam Ahmad bin Hanbal] salah seorang imam hadits dan fiqh, dari
Abi Khalifah Al-Jumahi, Sahl bin Sarh, Muhammad bin Ya’qub al-Muqry dan
Abdurrahman bin Khalaf Al-Bashry. Beliau banyak meriwayatkan dari mereka dalam
kitab tafsir beliau berjudul Al-Mukhtazin. Beliau juga mengambil ilmu kalam
dari gurunya yaitu suami ibunya yang bernama Abi Ali Al-Jubba’i, salah seorang
tokoh Mu’tazilah.
Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit yang
dikenal dengan sebutan Al-Khathib Al-Baghdady wafat tahun 463 H dalam tarikhnya
yang terkenal, tarikh al Baghdadi juz 10 halaman 346 berkata, “Abul Hasan
Al-Asy’ary adalah pemilik berbagai kitab yang membantah kaum mulhid dan lain-lainnya
dari kalangan Mu’tazilah, Rafidhah, Jahmiyah, Khawarij dan berbagai kelompok
bid’ah lainnya.”…. kemudian beliau mengatakan, “Pada waktu itu kaum Mu’tazilah
sedang berjaya hingga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala memunculkan Abul Hasan
Al-Asy’ary yang akhirnya menghujat mereka hingga tak berkutik.”
Ibnu Farhun berkata dalam kitab Ad-Dibaj, “Abu Muhammad bin Abi Zaid
Al-Qiruwany dan imam-imam lainnya memberi pujian terhadap Abul Hasan
Al-Asy’ary.”
Ibnul ‘Imad Al-Hanbali berkata dalam
kitab Asy-Syadzaraat (II/303), “Di antara perkara yang membuat Ahli Sunnah
semakin kuat dan membuat hina panji-panji kaum Mu’tazilah dan Jahmiyah serta
menjelaskan kebenaran yang sudah nyata dan membuat dada ahli iman dan ahli
ma’rifah sejuk adalah perdebatan Abul Hasan Al-Asy’ary dengan gurunya,
Al-Jubbaa’i, yang hasilnya mematahkan kekuatan semua pelaku bid’ah dan tukang
debat. Perdebatan ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Khalkan, “Abul
Hasan Al-Asy’ary mengajukan tiga pertanyaan kepada ustadznya, Abu Ali
Al-Jubbaa’i tentang tiga orang bersaudara. Yang pertama seorang mukmin, baik
dan bertaqwa, yang kedua kafir, fasiq dan jahat dan yang ketiga masih kecil.
Kemudian ketiga-tiganya mati, bagaimana keadaan mereka nanti?” Al-Jubba’i
menjawab, “Adapun yang mukmin maka ia berada di tempat yang tinggi (surga),
sedang yang kedua berada di tempat yang paling rendah (neraka) dan yang masih
kecil termasuk orang-orang yang selamat (dari neraka).”
Abul Hasan Al-Asy’ary bertanya lagi,
‘Jika si kecil ingin ke tempat saudara yang mukmin tadi, apakah ia akan diberi
izin?” Al-Jubba’i menjawab, “Tidak boleh! Karena akan dikatakan kepadanya bahwa
saudaramu dapat mencapai derajat ini karena ia banyak beramal, sementara kamu
tidak mempunyai amal ketaatan.” Abul Hasan Al-Asy’ary berkata, “Jika si kecil
menjawab, “Kesalahan ini tidak terletak padaku, karena Allah tidak membiarkan
usiaku panjang dan tidak mentakdirkan kepadaku untuk melaksanakan ketaatan.”
Al-Jubba’i berkata, “Alloh Subhanahu Wa Ta’ala akan berkata, “Aku mengetahui,
jika Aku biarkan usiamu panjang, kamu akan menjadi orang yang durhaka dan
berarti kamu berhak mendapat azab yang pedih. Maka hal itu Aku lakukan demi
kemaslahatanmu.”
Abul Hasan Al-Asy’ary berkata, “Jika
saudaranya yang kedua berkata, “Wahai Ilaah semesta alam, sebagaimana Engkau
mengetahui keadaannya tentunya Engkau juga sudah mengetahui keadaanku, lantas
mengapa Engkau tidak memperhatikan kemaslahatanku?” Mendengar hal itu
Al-Jubbaa’i pun terdiam.”
Ibnul Imaad berkata, “Perdebatan ini menunjukkan bahwa Alloh Subhanahu Wa Ta’ala
memberikan rahmat-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan menimpakan azab
atas siapa saja yang Dia kehendaki.”
Taajuddin As-Subki dalam Thabaqaat
Asy-Syaafi’iyah, ia berkata, “Abul Hasan Al-Asy’ary seorang ulama besar Ahli
Sunnah setelah Imam Ahmad bin Hanbal dan tidak diragukan lagi bahwa aqidah
beliau sama dengan aqidah Ahmad bin Hanbal. Hal ini dengan jelas beliau
sebutkan berkali-kali dalam buku-buku beliau, “Aqidahku seperti aqidah Al-Imam
Ahmad bin Hanbal.” Demikianlah ucapan Syaikh Abul Hasan Al-Asy’ary di berbagai
tempat dalam bukunya.
Ulama-ulama hadits sepakat bahwa Abul
Hasan Al-Asy’ary adalah salah seorang imam ahli hadits dan madzhab beliau juga
madzhab ahli hadits. Beliau berbicara tentang ushuluddin menurut metode ahlu
sunnah, membantah kelompok sesat dan bid’ah. Beliau menghunuskan pedangnya
terhadap kaum Mu’tazilah, Rafidhah dan para mubtadi’ dari kalangan kaum
muslimin dan juga terhadap orang-orang kafir. Barangsiapa mencela atau mencerca
beliau berarti ia telah mencela seluruh ahli sunnah. Karena Abul Hasan
Al-Asy’ary bukanlah orang pertama yang berbicara atas nama ahli sunnah tetapi
sebelum beliau banyak para pembela madzhab yang haq ini. Beliau memperkuat
hujjah dan penjelasan. Beliau bukan orang yang telah membuat metode baru atau
madzhab khusus dan tidak berada di luar madzhab yang telah dipaparkan dan
dijelaskan oleh para imam selain beliau.
Abu Bakar Ibnu Faurak berkata, “Abul
Hasan Al-Asy’ary meninggalkan madzhab Mu’tazilah dan berpegang pada madzhab
ahlu sunnah pada tahun 300 H.
Di antara ulama-ulama yang mengatakan
bahwa Abul Hasan Al-Asy’ary bertaubat dari madzhab Mu’tazilah adalah Abul Abbas
Syamsuddin Ahmad bin Muhammad bin Abi
bakar bin Khalkan Asy-Syaafi’i [wafat pada tahun 681 H]. Beliau berkata dalam
bukunya berjudul Wafayaaatul A’yaan (11/446), “Abul Hasan Al-Asy’ary dahulu
adalah seorang penganut paham Mu’tazilah kcmudian bertaubat dari madzhab
tersebut.”
‘Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasqy
Asy-Syaafi’i [wafat pada tahun 774 H] mengatakan dalam kitabnya berjudul
Al-Bidaayah wan Nihaayah (Xl/187), “Abul Hasan Al-Asy’ary dahulu adalah
pengikut paham Mu’tazilah kemudian beliau bertaubat dari madzhab tersebut di
kota Bashrah di atas mimbar lalu beliau membeberkan kekeliruan dan borok-borok
Mu’tazilah.”
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman
Ad-Dimasyqy Asy-Syaafi’i yang dikenal dengan sebutan Adz-Dzahaby [wafat pada
tahun 748 H] berkata dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Uluw Lil ‘Aliyil
Ghaffaar, “Dahulu Abul Hasan Al-Asy’ary adalah seorang penganut madzhab
Mu’tazilah yang beliau ambil dari Abu Ali Al-Jubba’i kemudian
beliau membuang madzhab tersebut dan memberikan bantahannya, maka beliau
pun menjadi seorang yang mendakwahkan As-Sunnah sesuai dengan imam-imam ahli
hadits. Jika shahabat-shahabat kita yang mendalami ilmu kalam membaca buku Abul
Hasan Al-Asy’ary tentunya mereka akan menjadikan buku tersebut sebagai pegangan
dan tentunya mereka akan menjadi baik, namun mereka lebih suka menyelami ilmu
tersebut sebagaimana para hukama’ terdahulu dalam menyelami sesuatu dan
berjalan di belakang ilmu manthiq. Lahaula wala quwwata illa billah”
Taajuddin Abu Nashr Abdul Wahhab bin
Taqiyyuddin As-Subky Asy-Syaafi’i [wafat taun 771 H] berkata dalam kitabnya
Thabaqaat Asy-Syaafi’iyah AI-Kubra (11/246), “Abul Hasan Al-Asy’ary memegang
madzhab Mu’tazilah selama 40 tahun hingga beliau menjadi seorang tokoh
Mu’tazilah. Tatkala Allah ingin menolong agama-Nya, Dia mernbuka hati beliau
untuk menerima kebenaran dan berdiam di rumahnya, menghilang dari keramaian
masyarakat.” Kemudian ia menyebutkan perkataan Ibnu Asaakir yang lalu.
Burhanuddin Ibrahim bin Ali bin Muhammad
bin Farhun Al-Ya’mari Al-Madany AI-Makky [wafat tahun 799 H] berkata dalam
kitabnya yang berjudul Dibaajul Madzhab fi Ma’rifat A’yaani Ulama Madzhab hal.
193, “Pada awalnya Abul Hasan Al-Asy’ary adalah seorang penganut paham
Mu’tazilah kemudian rujuk kepada madzhab yang benar yaitu madzhab Ah!u Sunnah.
Banyak orang yang merasa heran hingga beliau ditanya tentang perkara tersebut, beliau
menjawab bahwa beliau pernah melihat Nabi $g pada bulan Ramadhan yang
memerintahkannya agar kembali kepada kebenaran dan membelanya. Demikianlah
kenyataannya.
Sayyid Muhammad bin Muhammad Al-Husainy
Az-Zubaidy yang dikenal dengan Murtadha Hanif [wafat pada tahun 1145 H]
mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Ittihqfus Saadah Al-Muttaqiin Blsyarh
Asraar Ihya’ ‘Ulumuddin (II/3), “Abul Hasan Al-Asy’ary mengambil ilmu kalam
dari gurunya, Abu Ali Al-Jubbaa’i, salah seorang pembesar dan tokoh Mu’tazilah.
Kemudian beliau meninggalkan gurunya tersebut disebabkan mimpi yang beliau
lihat lalu beliau bertaubat dari paham Mu’tazilah dan mengumumkannya, beliau
naik ke atas mimbar di kota Bashrah pada hari Jum’at dan berkata dengan
lantang, “Bagi yang sudah mengenalku berarti ia telah mengetahui tentang diriku
dan bagi yang belum kenal maka aku adalah fulan bin fulan, aku dahulu
berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan di akhirat kelak makhluk tidak
dapat melihat Allah serta para hamba menciptakan perbuatannya sendiri. Sekarang
aku bertaubat dari keyakinan Mu’tazilah dan aku akan membantah keyakinan
Mu’tazilah.”
Kemudian beliau memulai membantah keyakinan mereka dan menulis buku-buku
bantahan terhadap mereka.
Kemudian Sayyid
Muhammad bin Muhammad Al-Husainy berkata lagi
bahwa Ibnu Katsir berkata, “Disebutkan bahwa Abul Hasan AI-Asy’ary telah
melalui tiga tahapan:
Tahapan pertama: Madzhab Mu’tazilah yang telah beliau tinggalkan secara total.
Tahapan kedua: Penetapan sifat aqliyah yang tujuh: Hayaat, Ilmu, Qudrah,
Iradah, Mendengar, Melihat, Berkata-kata dan mentakwil khabar tentang wajah,
dua tangan, kaki, betis dan yang semisalnya.
Tahapan ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allah dengan tidak menanyakan
tentang kaifiyah-Nya, tidak menyerupakan dengan makhluk dan membiarkannya
menuait kaidah-kaidah manhaj salaf. Demikianlah metode beliau dalam kitab
Al-Ibaanah yang merupakan tulisan beliau yang terakhir.
Dengan demikian jelaslah bahwasanya apa
yang dinukil dari para ulama tersebut adalah suatu hal tidak diragukan lagi dan
tidak ada keraguan lagi bahwa Abul Hasan Al-Asy’ary setelah meninggalkan paham
Mu’tazilah beliau berpegang dengan aqidah salaf yang datang dari Al-Qur’anul
Karim dan sunnah Nabi -Sholallahu Alaihi Wassalam-
Kitab Al Ibanaah
Al-Hafizh Asaakir dalam kitabnya
Tcrbyiinu Kidzbil Muftari berkata, “Ibnu Hazm Azh-Zhahiry menyebutkan bahwa
Abul Hasan Al-Asy’ary mempunyai 55 tulisan. Kemudian ia berkata, “Ibnu Hazm
meninggalkan setengah dari jumlah tulisan beliau lantas tnenyebutkannya secara
mendetail diantaranya kitab Al-Luma’ dan kitab yang menjelaskan tentang
kekeliruan paham Mu’tazilah yang beliau beri judul Kasyful Asrar wa Hatkul
Asrar.
Tafsir Al-Mukhtazin, menurut anggapannya
sebanyak 500 jilid. Tidak satupun ayat yang berkaitan dengan kebid’ahan kecuali
membatalkan kaitan tersebut dan menjadikannya sebagai hujjah bagi penganut
kebenaran, menjelaskan yang masih global dan memberi penjelasan ayat yang rumit
serta membatalkan apa yang telah diselewengkan oleh Al-Jubaa’i dan Al-Balkhi dalam
tafsir mereka.
Kitab al-Fushul fi Raddi ‘Ala Mulhidiin wa Khaarijin ‘ala Mittah ka
al-Falaasifah wa Thabaai’in wad Dahriyin wa Ahli Tasybih.
Maqalaat al-Muslimin yang mencakup semua perselisihan dan makalah-makalah kaum
muslimin. Al-Hafizh Ibnu Asaakir menyebutkan dengan nama-nama serta tema kitab
tersebut dalam kitabnya At-Tabyiin hal. 128 -136..
Ibnu Asaakir dalam buku At-Tabyiin hal.
128 berkata, “Tulisan-tulisan Abul Hasan Al-Asy’ary sudah masyhur dan populer
di kalangan alim ulama. Upaya dan keakuratan beliau dalam meneliti mendapat
pujian dari kalangan para peneliti. Barangsiapa yang membaca kitab Al-lbaanah
pasti akan mengetahui kedudukan beliau dalam bidang ilmu dan agama.
Kemudian pada hal. 152, ia berkata, “Abul
Hasan Al-Asy’ary mempunyai aqidah yang lurus sebagaimana yang telah disebutkan.
Menurut pandangan ahli ilmu dan para kritisi, beliau mempunyai madzhab yang
benar dan sesuai dengan apa yang dipegang oleh kebanyakan ulama yang senior
(dalam bidang ilmu). Tidak ada yang mencela aqidah beliau melainkan orang-orang
jahil dan keras kepala. Untuk menunaikan amanah, kita harus menceritakan aqidah
beliau yang sebenarnya. Untuk menghindari sifat khianat maka kita berupaya
tidak menambah-nambahi atau menguranginya agar pembaca mengetahui bagaimana
sebenarnya keadaan beliau yang mempunyai keyakinan landasan agama yang benar.
Di antara para ulama yang menisbatkan
buku Al-Ibaanah ini kepada Abul Hasan Al-Asy’ary adalah Al-Hafizh Al-Kabir Abu
Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqy, [wafat pada tahun 458 H] dalam
kitabnya Al-I’tiqad wal Hidayah Ilaa Sabili Ar-Rasyaad pada bab Al-Qaulu bil
Al-Qur’an hal. 31, “Asy-Syaafi’i menyebutkan bahwa bukti yang menunjukkan
Al-Qur’an yang kita baca dengan lisan, yang kita dengar dengan telinga dan yang
kita tulis dalam mushaf disebut Kalaamullah adalah bahwasanya Allah berbicara
dengan Al-Qur’an kepada hamba-Nya dan mengutus Rasul-Nya dengan membawa
Al-Qur’an dan maknanya. Hal ini juga disebutkan oleh Ali bin Ismail dalam
kitabnya Al-lbaanah. Pada halaman 22 dalam buku yang sama ia berkata, “Abul
Hasan Ali bin Ismail dalam kitabnya Al-Ibaanah berkata, “Jika seseorang
berkata, “Kalian katakan bahwa Kalamullah ada di lauhul mahfuzh.” Maka
dikatakan kepadanya, “Kami berkata seperti itu karena Allah fli berfirman:
Yang tersimpan dalam Lauhul Mahfuzh. ” (QS. AI-Buruuj: 21-22)
Jadi AI-Qur’an yang berada di Lauhul
Mahfuhz itulah yang berada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu dan yang
dibaca dengan lisan sebagaimana firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) AI-Qur’an karena hendak
cepat-cepat (menguasai)nya. ” (QS. Al-Qiyaamah: 16)
Dan AI-Qur’an itulah yang tertulis dalam mushhaf, terpelihara dalam dada,
terucap oleh lisan dan juga terdengar oleh kita. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman:
“Dan jika seseorang dari orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan
kepadamu, maka lindungilah ia supaya la sempat mendengar firman Allah. ” (QS.
At-Taubah: 6)
Kemudian pada halaman 36, setelah menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan
bahwa AI-Qur’an adalah Kalamullah bukan makhluk, beliau berkata, “Ali bin
Ismail Abul Hasan AI-Asy’ary berhujjah dcngan pasal-pasal ini.” Dari
naskah manuskrip yang ditulis pada tahun 1086 H
Al-Hafizh Adz-Dzahaby juga menisbatkan
kitab Al-Ibaanah kepada Abul Hasan Al-Asy’ary. la berkata dalam kitabnya
Al-‘Uluw AI ‘Aliyil Ghaffaar hal. 278, ‘Abul Hasan Al-Asy’ary berkata dalam
kitabnya Al-Ibaanah ft ushulud Dlyaanah dalam bab istiwa’ (bersemayamnya Allah
di atas arsy), “Jika seseorang berkata, “Apa pendapatmu tentang istiwa’?” Maka
jawabnya, “Kami berpendapat bahwa Allah beristiwa’ di atas Arsy sebagaimana
firman Allah
“(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thaahaa: 5)
‘ Demikianlah hingga akhir kitab Al-Ibaanah.
Lantas ia berkata, “Kitab Al-Ibaanah
adalah kitab Abul Hasan Al-Asy’ary yang paling populer. Kitab ini diperkenalkan
oleh Al-Hafizh Ibnu Asaakir. Kitab ini disalin dan dipegang oleh Al-Imam
Muhyiddin An-Nawawy.
Adz-Dzahaby meriwayatkan dari Al-Hafizh Abul Abbas Ahmad bin Tsabit
Ath-Thuraqy, bahwa ia berkata, “Aku membaca kitab Abul Hasan Al-Asy’ary yang
berjudul Al-Ibaanah tentang dalil yang menetapkan bahwa Allah bersemayam di
atas Arsy. la juga menukil dari Abu Ali Ad-Daqqaaq bahwa ia mendengar Zahir bin
Ahmad Al-Faqih berkata, “Imam Abul Hasan Al-Asy’ary wafat di rumahku. Ketika
sedang sekarat beliau mengucapkan, “Semoga Allah melaknat Mu’tazilah yang
keliru dan bodoh.” sampai di sini selesai ucapan Adz-Dzahabi.
Di antara yang menisbatkan buku ini
kepada Imam Abul Hasan Al-Asy’ary adalah Ibnu Farhuun Al-Maaliky. la berkata
dalam kitabnya Ad-Dibaaj hal. 193-194, “Di antara kitab yang ditulis Abul Hasan
Al-Asy’ary adalah Al-Luma’ Al-Kabir, Al-Luma’ Ash-Shaghir dan kitab Al-Ibaanah
fl Ushulid Diyaanah.”
Di antara yang menisbatkan buku ini
kepada Imam Abul Hasan Al-Asy’ary adalah Abu Fallah Abdul Hayyi bin ‘Imaad
Al-Hanbaly [wafat pada tahun 1098 H]. la berkata dalam kitabnya Syadzaraat
Adz-Dzahab fi A’yaanil Madzhab (11/303), “Abul Hasan Al-Asy’ary telah
berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah ft Ushulid Diyaanah dan ini adalah kitab
beliau yang terakhir. Dan kitab ini menjpakan pegangan bagi para pembela beliau
terhadap orang-orang yang mencela beliau. Kemudian Abu Fallah menyebutkan satu
pasal lengkap dari buku Al-lbaanah tersebut.
Di antara yang menisbatkan buku ini
kepada Imam Abul Hasan Al-Asy’ary adalah Sayyid Murtadha Az-Zubaidy. la berkata
dalam kitab Ithaafus Saadah AI-Muttaqiin bi Syarhi Asraari Ihya’ Ulumuddin
(II/2), “Setelah Abul Hasan Al-Asy’ary meninggalkan madzhab Mu’tazilah beliau
menulis kitab At-Mujiz sebanyak 3 jilid, kitab Mufiid fi Radd ala Jahmiyah wal
Mu’tazilah, Maqalaatul Islamiyin dan kitab Al-Ibaanah.
Telah kita singgung perkataan Ibnu Katsir bahwa Al-Ibaanah adalah kitab
terakhir yang ditulis oleh Abul Hasan Al-Asy’ary.
Di antara yang meyebutkan bahwa
Al-Ibaanah adalah tulisan Abul Hasan AJ-Asy’ary adalah Abul Qaasim Abdul Malik
bin Isa bin Darbas Asy-Syaafi’I [w 605H] ia berkata dalam kitab Adz-Dzabb
‘An Abil Hasan Al-Asy’ary, “Wahai saudara-saudara sekalian! Ketahuilah bahwa
Al-Ibaanah ‘An Ushulud Diyaanah adalah kitab yang ditulis oleh Al-Imam Abul
Hasan Ali bin Isma’il Al-Asy’ary yang merupakan keyakinan beliau yang terakhir
berkat kanunia dan rahmat Allah, buku ini berisikan kepercayaan beliau dalam
agama Allah setelah beliau bertaubat dari keyakinan Mu’tazilah. Semua
buku yang dinisbatkan kepada beliau yang bertentangan dengan yang beliau rulis
setelah beliau bertaubat maka beliau tidak bertanggung jawab di depan Allah. Sebab
dengan tegas beliau menyatakan bahwa (buku) ini mengungkapkan kepercayaan
beliau dalam agama Allah. Beliau meriwayatkan dan menetapkan bahwa buku
tersebut berisi keyakinan para shahabat, tabi’in, imam-imam hadits yang
terdahulu dan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal -rahimahulloh- Isi buku
tersebut dapat dibuktikan kebenarannya dari kitabullah dan sunnah Rasulullah
Lantas apakah boleh dikatakan bahwa beliau telah bertaubat dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah? Lalu dari madzhab manakah beliau bertaubat? Bukankah meninggalkan
madzhab Al-Qur’an dan Sunnah Nabi bertentangan dengan ajaran yang dipegang oleh
para shahabat, tabi’in dan para imam ahli hadits yang diridhai? Berarti
jelaslah bahwa beliau berada di atas madzhab mereka dan meriwayatkan dari
mereka. Sungguh hal ini tidak pantas dilakukan oleh orang awam muslimin apalagi
para imam kaum muslimin! Atau apakah dikatakan bahwa beliau jahil terhadap apa
yang beliau nukil dari para salaf terdahulu padahal 13 Wafat tahun 605 H.
Beliau telah menghabiskan usia untuk
meneliti berbagai madzab dan rnengetahui berbagai jenis agama. Bagi orang
yang insyaf akan mengakui hal ini dan tidaklah berprasangka seperti itu kecuali
seorang yang takabbur dan congkak.”
la (Abul Qasim ibnu darbas) ada
menyinggung tentang kitab al ibaanah serta menjadikannya sebagai pegangan
dan me nyimpulkan kitab itu adalah tulisan Abul Hasan Al-Asy’ary. Ia juga
memuji isi kitab tersebut dan membersihkan segala kebid’ahan yang
dituduhkan kepada beliau. Banyak para imam terkenal dari kalangan pakar
ahu fiqih Islam, qurra’, para penghafal hadits dan lain-lain menukil dari kitab
Al-Ibaanah ini.
Ibnu Darbas menyebutkan kelompok yang
telah kita singgung tadi dan ditambahkan oleh Al-Hafizh Abul Abbas Ahmad bin
Tsabit Al-‘Iraqy dan disebutkan bahwa beliau menjelaskan dalam bukunya tentang
masalah istiwa’, “Aku melihat orang-orang Jahmiyah berorientasi pada keyakinan
yang menafikan ketinggian Allah di atas arsy-Nya dan menakwil kata istiwa’
lantas menisbatkan hal itu kepada Abul Hasan Al-Asy’ary. Ini bukanlah awal
kebatilan yang mereka ucapkan dan bukan pula awal kedustaan yang mereka
lontarkan. Aku telah rnelihat berbagai dalil penetapan sifat istiwa’ yang
tercantum dalam kitab beliau yang bernama Al-Ibaanah ‘An Ushulul Diyaanah,
seperti yang telah aku sebutkan. Al-Imam Al-Ustadz Al-Haafizh Abu Utsman
Isma’il bin Abdirrahman bin Ahmad Ash-Shaabuni tidak keluar dari majelis
ta’limnya kecuali kitab Al-Ibaanah tulisan Abul Hasan Al-Asy’ary dalam
pegangannya dan menampakkan kekaguman beliau terhadap kitab tersebut dan berkata,
“Tiada alasan untuk mengingkari kitab ini yang berisi penjelasan madzhabnya.”
Di antara yang menisbatkan buku ini
kepada Imam Abul Hasan AI-Asy’ary adalah AJ-Faqih Abul-Ma’aly Mujla
pemilik kitab Fiqih Adz-Dzakhaair. Ibnu Darbas berkata, “Beberapa orang telah
menceritakan kepadaku dari Abi Muhammad AI-Mubaarak bin Ali Al-Baghdaadi dan
aku nukil dari tulisan Abul Hasan Al-Asy’ary sendiri pada akhir kitab
Al-Ibaanah, ia berkata, “Aku menukil semuanya dari naskah yang disimpan oleh
Syaikh AI-Faqih Al-Mujalla Asy-Syaafi’i yang beliau keluarkan dari sebuah
jilid. Kemudian aku menyalinnya dan memperlihatkan kepada beliau. Beliau
(AI-Faqih AI-Mujalla Asy-Syaafi’i) menjadikan keterangan yang terdapat
dalam kitab itu (Al-lbaanah) sebagai pegangan beliau
seraya berkata, “Sungguh hebat penulisnya, ia mematahkan hujjah siapa saja yang
mengingkarinya.” Hal ini ia katakan langsung kepadaku dan berkata, “Inilah
madzhab yang aku pegang. Aku menukilnya pada tahun 540 H di kota Makkah dan
inilah akhir dari apa yang aku nukil dari tulisan Ibnu Baththah dan menyebutkan
di antara orang-orang yang menisbatkan Al-Ibaanah kepada Abul Hasan AI-Asy’ary
ialah Abu Muhammad bin Ali AI-Baghdady yang tinggal di Makkah. Ibnu Darbas
berkata, ‘Aku menyaksikan naskah kitab Al-Ibaanah yang beliau (Abul Hasan
Al-Asy’ary) tulis dari awal hingga akhir milik guru kami, pimpinan ulama
AI-Faqih Al-Haafizh Ai-‘Allamah Abul Hasan bin Mufadhdhal Al-Maqdisy lalu aku
menyalinnya. Kemudian aku bandingkan dengan naskah lain yang telah kutulis dari
kitab Al-Imam Nashr Al-Maqdisy di Baitul Maqdis. Beberapa shahabat kami
memperlihatkannya kepada salah seorang tokoh Jahmiyah di Baitul Maqdis yang
menisbatkan diri secara dusta kepada Abul Hasan AI-Asy’ary, namun ia
mengingkari dan menyangkalnya seraya berkata, “Kami belum pernah rnendengar
tentang buku itu! Buku itu bukan tulisan Abul Hasan AI-Asy’ary!”
Pada akhirnya ia berusaha mengingkarinya
dengan akal piciknya untuk menepis syubhat dalam otaknya, sambil
menggaruk-garuk janggutnya ia berkata, “Mungkin buku ini ditulis saat beliau
masih sebagai seorang hasyawi (kacau pikirannya}.”
Ibnu Darbaas berkata, “Aku tidak tahu
perkara mana yang lebih aneh, apakah tentang kejahilannya terhadap kitab yang
terkenal itu dan banyak disebutkan oleh para ulama dalam buku-buku mereka, atau
kejahilannya terhadap kondisi gurunya dengan menisbatkan kedustaan kepada
beliau dan ketenaran beliau di kalangan umat Islam baik di kalangan terpelajar
maupun awam. Terhadap guru mereka yang mereka jadikan pegangan mereka berani berbuat
seperti ini, apalagi terhadap para salaf dan imam terdahulu dari kalangan
shahabat, tabi’in, pakar fiqih dan hadits, tentunya mereka tidak pernah
mengindahkan kitab-kitab mereka dan tidak pernah memperhatikan hadits- hadits.
Demi Allah mereka sangat jahil dalam perkara ini. Bagaimana tidak, sebagian
dari mereka menyatakan dengan suka rela menisbatkan diri kepada Abul Hasan
Al-Asy’ary, namun realitanya mereka menyelisihi kitab Abul Hasan Al-Asy’ary
yang di dalamnya disebutkan tentang taubat beliau dan prinsip agama yang beliau
pegang. Penulis mengambil prinsip yang tercantum dalam kitab yang pertama.
Padahal yang bertentangan dengan hal itu justru lebih tepat dan lebih benar,
agar sesuai dengan kaidah dan agar tercapai kata sepakat dalam masalah ini.”
Selesailah penukilan ucapan Ibnu Darbas -rahimahulloh-
Artikel: http://al-aisar.com/
Artikel: http://al-aisar.com/
Perbedaan
Pokok Antara Aqidah Asy'ariah Dengan Aqidah Ahlusunnah Wal Jama'ah
Disebut aqidah Asy'ariah karena pencetus
awalnya adalah Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari. Pada awalnya beliau adalah
tokoh firqah Mu'tazilah (paham rasionalisme) sebelum beliau bertaubat kembali
kepada pemahaman Manhaj Salaf, karena sejak kecil beliau diasuh oleh Bapak
angkatnya yang juga sebagai tokoh Mu'tazilah pada masa itu yakni Abu Ali
al-Jubba'i. Maka tidak heran jika beliau juga menjadi tokoh Mu'tazilah pada
waktu itu disebabkan kecerdasan yang beliau miliki atas karunia Allah Ta'ala.
Kemudian atas taufiq dari Allah Ta'ala, beliau menyadari atas kekeliruannya
selama ini dan dengan ijin Allah jua beliau mengoreksi kembali dan memberikan
bantahan atas penyimpangan-penyimpangan pemahaman Mu'tazilah yang beliau kagumi
selama 40 tahun. Walau, tatkala itu beliau pun masih menonjolkan akal dalam
menyergah faham-faham Mu'tazilah. Dan itu merupakan proses perjalanan panjang
pemikiran dan keyakinan Abu Al-Hasan Al-Asy'ari yang akhirnya berujung pada
sikapnya untuk kembali kepada ajaran yang haq, yakni berpegang kepada pemahaman
salaf.
Dalam mengomentari perkembangan pemikiran
Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari, Al-Imam Ibnu Katsir berkata, "Mereka
menyebut bahwa Abu Al-Hasan Al-Asy'ari memiliki tiga tahapan :
Pertama :
Memegangi paham Mu'tazilah dimana kemudian beliau taubat tak diragukan lagi.
Kedua :
Menetapkan tujuh sifat bagi Allah berdasarkan akal yakni: Al-Hayat, Al-Ilmu,
Al-Qudrah, Al-Iradah, As-Sam'u, Al-Bashar, Al-Kalam dan menta'wil sifat-sifat
khabariyah seperti, wajah Allah, tangan Allah, kursi Allah dan lain-lain.
Ketiga :
Menetapkan semua sifat Allah tanpa takyif dan tasybih sesuai dengan pemahaman
as-Salaf sebagaimana dalam kitab Al-Ibanah 'An Ushul Ad-Dieniiyah yang
merupakan tulisan terakhirnya. (Dan kitab ini merupakan taubat dan kembalinya
beliau kepada Manhaj Salaf-pen) Pengaruh Mu'tazilah yang sangat kuat membawanya
melalui tahapan kedua sebelum akhirnya kembali pada madzhab salaf yang murni.
Meski demikian, pemahaman yang telah
dikembangkan oleh beliau dikala belum kembali kepada manhaj yang haq, hingga
kini masih bergulir dan digeluti oleh banyak kaum muslimin. Dan yang paling
menonjol diantara faham yang pernah diajarkannya adalah berkenaan dengan penetapan
7 sifat wajib bagi Allah dan 7 sifat mustahil bagi Allah. Dan yang kemudian
dikembangkan oleh Syaikh Maturidiyah menjadi 13 sampai 20 sifat. Dan bila
ditelusuri lebih lanjut, nyatalah bahwa penetapan sifat wajib dan mustahil bagi
Allah sebanyak tujuh sifat merupakan penetapan beliau berdasarkan akal.
Padahal, untuk masalah-masalah yang menyangkut eksistensi Allah, segala
penetapannya harus bersandar kepada apa yang telah dikhabarkan oleh Allah
Ta'ala melalui firmanNya dan RasulNya shallallahu 'alaihi wa salam melalui
hadits-haditsnya yang shahih dengan tanpa ta'thil, takyif, tahrif, tasybih atau
tamsil. Oleh karena itu, ada kesalahpahaman yang sempat melanda kaum muslimin,
baik dulu maupun sekarang. Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa aqidah Asy'ariyah
tidak berbeda dengan aqidah Ahlussunnah, atau mereka itulah Ahlusunnah yang
sesungguhnya.
Perlu diketahui bahwa Asy'ariyah dalam
masalah aqidah, telah melewati masa-masa yang kian menambah jarak antara mereka
dengan Ahlussunnah. Terutama setelah para tokohnya yang datang terakhir
memasukkan prinsip-prinsip keyakinan yang diambil dari filsafat, tasawuf,
mantiq dan ilmu kalam. Pada gilirannya Asy'ariyah tercemari oleh
pemikiran-pemikiran bathil. Mereka (Asy'ariyah) sejalan dengan Ahlusunnah dalam
beberapa masalah aqidah dan berbeda dalam beberapa perkara lainnya. Beberapa
masalah penting yang menjadi perbedaan antara Asy'ariyah dengan Ahlussunnah
adalah :
Pertama :
Penafsiran makna "Tauhid" yang dibatasi pada "Tauhid
Rububiyah" dan kelalaian mereka dari Tauhid Uluhiyah dan Ibadah.
Kita telah memahami bahwa para rasul
datang mendakwahkan Tauhid Uluhiyah. Sebagaimana dalam Al-Qur'an surah
Al-Anbiya' : 25, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu
melainkan Kami wahyukan kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada yang diibadahi (dengan
haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu akan Aku."
Inilah tauhid yang menjadi tujuan
diciptakannya jin dan manusia, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an surah
Adz-Dzariyat ayat 56 : "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku."
Manhaj Asy'ari dalam Tauhid Uluhiyah
tidaklah jelas. Hal ini karena beberapa sebab diantaranya adalah :
1. Definisi Al-Ilah yang mereka artikan
sebagai "Yang Maha Kuasa untuk mencipta" seperti disebutkan oleh
Al-Baghdadi yang dia nisbatkan kepada Abu Al-Hasan Al-Asy'ari.
2. Kitab-kitab karangan mereka dalam hal
aqidah tidak membahas Tauhid Uluhiyah secara khusus. Bahkan para tokoh
Asy'ariyah dalam tulisan-tulisan mereka menggunakan cara-cara ahli filsafat atau
ahlu kalam. Mereka memulai tulisan-tulisannya dengan pengertian-pengertian
logika, teori-teori, bukti kebenaran nyata berdasarkan akal, tashawwur dan
berbagai istilah ahlu kalam dan filsafat. Kemudian penyebutan dalil-dalil
naqliyah (tekstual) tidak memberikan faedah berupa keyakinan sedang dalil-dalil
akal adalah qath'I (pasti) dan yakin. Setelah itu pembicaraan berpusat sekitar
kejadian alam, penetapan pencipta dan hal-hal lain yang berasal dari filsafat
dan ilmu kalam, kemudian alur pembicaraan akhirnya tertumpu pada penetapan
Tauhid Rububiyah.
3. Asy'ariyah menetapkan bahwa kewajiban
pertama bagi mukallaf (orang yang sudah mencapai masa baligh) adalah an-Nazhar
(melihat) untuk menetapkan wujud Allah dan akhirnya keesaan Allah dalam dzat
dan perbuatan. Bukan berarti Ahlusunnah mengenyampingkan Tauhid Rububiyah,
tetapi orang-orang Asy'ariyah telah memulai dengan suatu hal yang tidak
dicontohkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa salam. Sebab Tauhid
Rububiyah adalah fitrah, hampir-hampir tidak ada yang mengingkari secara
keseluruhan melainkan sedikit. Tidak pernah kita mengenal suatu umat yang
sepakat untuk mengingkari Tauhid Rububiyah, kalaulah ada kita akan dapatkan
dalam kisah-kisah para nabi. Sebaliknya kesesatan berbagai umat, firqah atau kelompok
terdapat pada penentangan terhadap Tauhid Uluhiyah.
4. Sebagai akibat dari penafsiran tauhid
yang dibatasi pada Tauhid Rububiyah oleh Asy'ariyah secara umum, kita jumpai
bermacam bid'ah dalam ibadah bahkan perbuatan syirik atau membela perbuatan syirik
pada orang-orang yang menisbatkan diri mereka kepada Asy'ariyah. Ini karena
sikap remeh dan menganggap enteng Tauhid Uluhiyah. Disamping itu Asy'ariyah
memang memiliki hubungan lama dengan Sufiyah. Al-Hafizh Ibnu Asakir menyebut
lima tabaqat (generasi) orang-orang yang menisbatkan diri mengambil dari Abu
Al-Hasan Asy'ari. Dari setiap tabaqat (generasi) terdapat orang yang
ber-intisab kepada sufi.
Kedua :
Mendahulukan akal yang mereka istilahkan dengan kepastian-kepastian akal dari
pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam perkara-perkara ghaib, I'tiqad dan
sifat-sifat Allah.
Beberapa permasalahan penting yang
menjadi kesepakatan Asy'ariyah, Maturidiyah, Mu'tazilah dan Jahmiyah adalah
mendahulukan akal daripada wahyu. Kaidah mereka dalam hal ini diungkap oleh Al-Juwaini
dan Ar-Razi dan juga yang lainnya, yaitu dalil naqli tidak memberikan faedah
berupa keyakinan, karena dalil naqli sifatnya zhanni sedang dalil aqli sifatnya
qath'I (pasti), perkara yang bersifat zhanni (dugaan) tidak bisa menentang yang
qath'i.
Oleh karena itu, lihatlah di dalam
majlis-majlis mereka dalam membahas perkara-perkara agama sedikit sekali mereka
menggunakan cara-cara Ahlusunnah dalam menyampaikan ilmu dien yakni cara ahlu
hadits/ ahlu atsar. Kebanyakan mereka berbicara tentang agama dengan kepastian
kebenaran akal. Bisa jadi pembahasan satu ayat Al-Qur'an atau hadits Nabi,
ditakwilkan dengan berbagai macam-macam bentuk penakwilan agar dapat diterima
oleh akal-akal mereka dan memuaskan hawa nafsunya. Mereka memulai penyampaian
ilmu dengan pengertian-pengertian logika, teori-teori, bukti kebenaran nyata
berdasarkan akal, tashawwur dan berbagai istilah ahlu kalam dan filsafat.
Kemudian penyebutan dalil-dalil naqliyah (tekstual) tidak memberikan faedah
berupa keyakinan sedang dalil-dalil akal adalah qath'I (pasti) dan yakin.
Setelah itu pembicaraan berpusat sekitar kejadian alam, penetapan pencipta dan
hal-hal lain yang berasal dari filsafat dan ilmu kalam, kemudian alur
pembicaraan akhirnya tertumpu pada penetapan Tauhid Rububiyah
Ketiga :
Asy'ariyah tenggelam dalam ta'wil sifat-sifat Allah yang telah dilarang oleh
para salaf as-Shalih
Asy'ariyah dan para pengikutnya seperti
Maturidiyah dan lain-lainnya. Mereka, dalam mengimani masalah Asma' dan Sifat
Allah adalah dengan menetapkan nama-nama Allah dan sebagian sifat-Nya serta
menolak sebagian besarnya. Mereka menetapkan nama-nama dan menolak sebagian
besar sifat-sifat Allah berdasarkan kesesuaian akal manusia. Mereka menetapkan
sifat tujuh bagi Allah yakni Al-Iradah, Al-Qudrah, Al-'Ilmu, Al-Hayah,
Al-Bashar, As-Sama', dan Al-Kalam. Mereka meyakini sifat-sifat yang mereka
tolak itu bila ditetapkan (menurut mereka) akan terjadi tasybih (penyerupaan
dengan makhluk). Mereka katakan, "Kami menetapkan sifat tujuh bagi Allah
ini lantaran secara akal memang demikian."
Cobalah lihat cara mereka menetapkan
sifat-sifat Allah itu dengan logika: "Dengan adanya makhluk, berarti
menunjukkan bahwa Allah itu Al-Qudrah (memiliki sifat kuasa). Kemudian, dengan
adanya makhluk yang mempunyai kekhususan masing-masing menunjukkan Allah itu
mempunyai sifat Al-Iradah (berkehendak). Selanjutnya, dengan ihkam (keserasian
penciptaan) makhluk menunjukkan Allah itu mempunyai sifat Al-Ilmu (berilmu).
Dan semua sifat-sifat Al-Ilmu, Al-Qudrah, Al-Iradah menunjukkan Allah itu hidup
(Al-Hayyu) dan hidup tentunya mempunyai sifat Al-Bashar (melihat), As-Sam'u
(mendengar), Al-Kalam (berbicara). Inilah sifat yang sempurna, kemudian
meletakkan sifat-sifat yang berlawanan dengan hal-hal di atas, seperti bisu,
buta, dan tuli sebagai sifat terlarang bagi Allah."
Adapun sifat-sifat Allah yang lain yang
mereka tolak karena tidak cocok dengan akal mereka. Mereka menolak sifat-sifat
itu dengan cara menakwil dengan merubah makna asli kepada makna yang lain.
Ta'wil yang mereka lakukan khususnya pada sifat-sifat khabariyah seperti
tangan, mata, wajah, istiwa', nuzul (turunnya Allah ke langit dunia), benci,
ridha dan lain-lain. Asy'ariyah tidak mengimaninya seperti kedatangan
kabar-kabar tentang itu sebagaimana yang dilakukan oleh Salaf as-Shalih. Tetapi
mereka mena'wil dan memalingkan lafazh-lafazhnya dari bentuk zhahirnya. Hal ini
menurut mereka karena adanya tajsim (menjasmanikan) dan tamsil (menyerupakan).
Mereka lalai bahwa akibat dari perbuatan ini berarti mereka telah berbuat
tahrif (penyimpangan) pada kalam Allah dan mena'wil maknanya. Mereka juga
berkata tentang Allah tanpa dilandasi ilmu dan keharusan-keharusan lainnya
(perangkat dalam memahami ilmu agama) akibat dari perbuatan ta'wil serta
menafikan (menolak) sikap penyerahan terhadap Allah. Bagaimana mungkin Allah
memberitakan tentang diri-Nya atau Rasulullah shallallahu 'alahi wa salam
dengan sesuatu yang tidak layak atau mengharuskan tasybih dan tajsim, kemudian
baru dapat disingkap kebenarannya oleh ahlu kalam setelah abad III hijriyah.
Tidak mungkin pemahaman yang benar tentang sifat-sifat Allah itu terlepas dari
para shahabat, tabi'in dan salaf al-Ummah yang lainnya. Padahal Allah telah
menutup pintu tasybih dan tamsil dengan firmanNya yang artinya :
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Dia dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (As-Syura: 11)
Kaidah Ahlussunnah wal Jama'ah dalam
menyikapi tentang khabar-khabar yang datang dari Allah dalam kitab-Nya dan apa
yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu 'alahi wa salam yang tertera
dalam kitab-kitab hadits yang shahih adalah wajib untuk diimani, baik dipahami
maknanya atau tidak, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa':136 yang
artinya :
"Wahai orang-orang yang beriman,
tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah
turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.
Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya dan
hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (
An-Nisa' : 136 )
Atau surat An-Nisa' : 170 yang artinya :
"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad shallallahu
'alaihi wa salam) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Rabbmu, maka
berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka
kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di
langit dan di bumi itu adalh kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana." (An-Nisa' : 170 )
Dalam hal ini, apa yang sudah disepakati
oleh Salaf al-Ummah dan imam-imam Ahlussunnah yang menerima nash-nash yang
berhubungan dengan asma' dan sifat, seperti bersemayam (istiwa'), tangan
(al-yad) dengan tanpa tahrif, ta'thil, takyif, tasybih atau tamsil.
Mentauhidkan Allah dalam asma dan
sifat-sifat-Nya termasuk perkara yang amat besar dalam pembahasan ilmu
ushuluddin. Pendapat-pendapat para ahli filsafat dan ahli Ilmu Kalam telah
rancu dan simpang siur dalam masalah ini. Ada yang menafikan sama sekali, ada
yang mengakui asma Allah secara mujmal tapi menafikan sifat-sifat-Nya dan ada
pula yang mengakui kedua-duanya (asma dan sifat) tetapi menolak sebagiannya dan
mentakwilnya dengan mengubah makna dan lafazhnya. Dalam masalah ini, Salafush
Shalihin mengimani seluruh apa yang ada pada Kitabullah dan yang disebutkan
dengan Sunnah yang shahih tanpa tahrif (menyimpangkan lafazh kepada lafazh yang
lain), ta'thil (mengurangi/menolak), takyif (menanyakan bagaimana hakikatnya),
tasybih (penyerupaan dengan makhluk) atau tamsil. Mereka meyakini bahwa asma
Allah Ta'ala dan sifat-sifat-Nya bersifat tauqifiyah (apa adanya dari Allah dan
Rasul-Nya) tak boleh ditetapkan (itsbat) atau ditolak (dinafikan) kecuali
dengan izin syara'. Yakni mereka tidak mengitsbat asma dan sifat untuk Allah
kecuali asma dan sifat yang Allah itsbatkan sendiri dan yang diitsbatkan Rasul
untuk diri-Nya dengan izin Allah. Dan bahwa asma dan sifat yang telah tetap
bagi Allah ialah bahwa Dia tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, bahkan
seluruh sifat-sifat kesempurnaan yang tetap bagi Allah yang disebutkan oleh
nash-nash yang jelas adalah khusus buat-Nya saja. Jika ada asma yang ditetapkan
bagi Allah tetapi juga dimiliki makhluk-Nya, maka persamaan tersebut hanya
dalam lafazh, tidak dalam hakikat. Karena dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak
sama dengan dzat-dzat selain Allah, maka sifatnya pun demikian, karena Allah
itu tidak dapat disamakan dengan makhluk-Nya baik pada dzat maupun sifat-Nya.
Seperti contoh di dalam firman-Nya bahwa Allah mempunyai tangan (yaddullah),
ini berarti bahwa tangan Allah berbeda dengan tangan makhluk-Nya. Hanya sama
dalam lafazh tetapi berbeda dalam hakikat. Sebagaimana kata Ibnu Abbas yang
artinya :
"Tidaklah sama apa-apa yang di surga
dengan apa yang ada di dunia kecuali hanya sama dalam masalah nama."
(Sanadnya shahih. Lihat dalam Taqrib at_tadmuriyah, hal. 42)
Dan dalam hadits Qudsi dengan sanad yang
shahih yang artinya : "Telah Kami siapkan untuk hamba-Ku yang shalih
apa-apa (nikmat surga) yang tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak juga
didengar oleh telinga dan tidak pernah terdetak di hati manusia." Padahal
Allah telah mengkhabarkan di dalam Al-Qur'an tentang kenikmatan di surga,
seperti Allah memberitakan, dalam surga itu ada makanan, minuman, pakaian,
istri-istri, rumah, kurma, anggur, buah-buahan, daging, arak, susu, madu, air,
emas, perka, dan lain-lain. Berita-berita tersebut benar dan benar-benar ada.
Walau nama-nama tersebut sama dengan apa yang ada di dunia tetapi hakikatnya
berbeda, kita tidak mengetahuinya. Apalagi tentang nama-nama dan sifat-sifat
Allah Yang Maha Suci, tentu Allah Yang Maha Tahu tentang hakikat diri-Nya.
Mengenai pembatasan sifat-sifat Allah
menjadi beberapa bahagian, misal sifat wajib dan mustahil bagi Allah atau sifat
wajib bagi Allah ada 13 atau 20, hal ini sangat bertentangan dengan hukum
syara' dan kaidah salafush-shalih. Karena Allah lah yang mengetahui tentang
diri-Nya sendiri bukan makhluk-Nya. Karena jika sifat Allah dibatasi berarti
hilang lah kesempurnaan bagi Allah, karena dengan pembatasan tersebut berarti
mengurangi kesempurnaan bagi Allah Yang Maha Sempurna. Sekiranya Allah
menyebutkan tentang diri-Nya dalam Asma-ul Husna, maka kita wajib mengimani apa
adanya dengan tanpa pembatasan, mengurangi atau menambah, takwil, penyimpangan
makna dll. Maka kita wajib mengimani apa-apa yang diterangkan Allah di dalam
kitab-Nya yang mulia (Al-Qur'an) dan petunjuk Rasul-Nya. Sedangkan makhluk-Nya
mengetahui asma dan sifat Allah hanya sebatas asma-asma dan sifat-sifat Allah
yang Allah terangkan di dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. Selain itu Allah
lah Yang Maha Tahu.
Dalam menyikapi akal sebagai karunia yang
diberikan oleh Allah kepada manusia, maka manhaj Ahlussunnah memberikan
penjelasan yang gamblang dan terang. Kita mengetahui bahwa akal adalah media
pengetahuan yang terbatas yang tak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib
kecuali dengan gambaran semata, tidak sampai yakin. Para salafush shalihin
mengimani apa yang diberitakan oleh nash Al-Qur'an dan sunnah Nabi-Nya yang
mulia dalam perkara-perkara ghaib dengan tidak mencoba-coba memikirkan hakikat
sebenarnya, karena hal itu di luar jangkauan akal. Membatasi akal dari
memikirkan perkara-perkara seperti itu bukan berarti membelenggunya secara
keseluruhan, karena kaum muslimin telah sepakat bahwa seorang anak kecil dan
orang gila tidak terkena taklif (beban syari'at) lantaran akalnya kurang. Allah
juga menyuruh kita untuk mentadaburi kitab-Nya, dan tadabur ini tidak mungkin
kecuali dengan akal. Akal hanya dilarang digunakan untuk masalah yang bukan
bidangnya atau digunakan untuk menarik kesimpulan bagi manhaj (metodologi) yang
bertentangan dengan manhaj Al-Qur'an dan Sunnah. Sikap salafush-shalihin dalam
mensyukuri nikmat akal sebagai karunia dari Allah adalah bahwa mereka tidak
mengunggulkan akal, tidak menuhankannya dan tidak menganggapnya cukup dan
berdiri sendiri, tetapi mereka menempatkan fungsi akal sesuai dengan
kedudukannya. Mereka menggunakan akal dalam batas-batas wilayahnya, seperti
dalam mentafakuri alam, dalam masalah-masalah fikih (amaliah) dan dalam menemukan
ilmu-ilmu yang bersifat kebendaan yang bertujuan meningkatkan dan mengembangkan
masyarakat. Inilah kesempurnaan ilmu dan jangkauan pandangan serta selamatnya
pemikiran mereka. Seandainya akal dijadikan penafsir seluruh masalah, maka tak
perlu Rasul-Rasul diutus dan tak perlu kitab-kitab suci (kitab-kitab samawi)
diturunkan. Wallahu a'lam
Sumber : Majalah Assunah edisi
19/II/1417-1996
Penerbit : Lajnah Istiqamah - Surakarta
Aqidah
Imam Abul Hasan Al-Asyari Tentang Dimana Allah
Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (meninggal
tahun 324 H) rahimahullahu
berkata di dalam kitab beliau yang berjudul Risalah Ila Ahli Tsaghar
hal.231-234 dengan tahqiq Abdullah Syakir Muhammad
Junaidi: Ijma’ kesembilan…para ulama sepakat bahwa Allah ta’ala di atas
langit-Nya, di atas ‘arsy-Nya bukan di bumi. Dan dalil tentang hal ini
adalah firman Allah:
ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ أَن يَخۡسِفَ
بِكُمُ ٱلۡأَرۡضَ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah
yang berada di atas langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama
kamu. (QS. Al-Mulk : 16)
إِلَيۡهِ يَصۡعَدُ ٱلۡكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ
وَٱلۡعَمَلُ ٱلصَّـٰلِحُ يَرۡفَعُهُۚ
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan
yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya.(QS. Fathir : 10)
ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah.
yang tinggi di atas ‘Arsy (QS. Thaha : 5)
Dan bukanlah makna istawa
itu istaula (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok
Qadariyah. Hal ini dikarenakan Allah senantiasa menguasai segala sesuatu (bukan
hanya ‘arsy).
– Beliau juga berkata di dalam kitab
beliau yang berjudul Maqoolaat Al-Islaamiyyin 1/345 dengan tahqiq
Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid: Inilah ucapan ahli hadits dan sunnah …
bahwasanya Allah subhanahu di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana Allah berfirman:
ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah.
yang tinggi di atas ‘Arsy (QS. Thaha : 5)
Dan beliau berkata: Inilah yang diseru
oleh ahli hadits dan sunnah, yang mereka berpegang teguh serta berpendapat
dengannya. Dan kami mengatakan seperti apa yang telah kami nukilkan dari mereka
dan kami pun berpendapat seperti yang mereka ucapkan. (Maqoolaat
Al-Islamiyyin hal.350)
– Beliau juga berkata di dalam kitab
beliau yang berjudul Al-Ibanah ‘an ushul ad-diyanahhal.46-50 dengan ta’liq
Abdullah Mahmud Muhammad Umar: Jika ada orang yang bertanya kepadamu: Apa
pendapat anda tentang istiwa’? Maka kami katakan kepadanya bahwa Allah tinggi
di atas ‘arsy-Nya. Sebagaimana Allah berfirman:
ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah.
yang tinggi di atas ‘Arsy (QS. Thaha : 5)
Dan Allah menceritakan tentang ucapan
Fir’aun:
وَقَالَ فِرۡعَوۡنُ يَـٰهَـٰمَـٰنُ ٱبۡنِ لِى
صَرۡحً۬ا لَّعَلِّىٓ أَبۡلُغُ ٱلۡأَسۡبَـٰبَ (٣٦) أَسۡبَـٰبَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ
فَأَطَّلِعَ إِلَىٰٓ إِلَـٰهِ مُوسَىٰ وَإِنِّى لَأَظُنُّهُ ۥ ڪَـٰذِبً۬اۚ
Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman,
buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu.
(yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan
Sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta. (QS. Ghafir : 36-37)
Fir’aun mendustakan Nabi Musa yang
mengatakan bahwa Allah ada di atas langit.
Kelompok Mu’tazilah, Jahmiyah dan Haruriyah
(Khawarij) mengatakan bahwa makna:
ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
(istawa adalah istaula/ menguasai dan
bahwsanya Allah ada dimana-mana. Mereka mengingkari bahwa Allah ada di atas
asry-Nya sebagaimana yang dikatakan oleh ahlul haq (kelompok yang benar).
Asy’ariyah, bukan Pengikut abul Hasan
Al-Asy’ari
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman
Mubarak)
Telah kita ketahui bahwa Asy’ariyah
adalah kelompok ahlul kalam yang muncul setelah berakhirnya masa generasi
utama. Kelompok ini menisbahkan diri mereka kepada Abul Hasan al-Asy’ari t.
Dalam pembahasan sebelumnya, kita mengetahui bahwa Asy’ariyah bukanlah Ahlus
Sunnah dan telah kita ketahui beberapa penyimpangan mereka dari as-Sunnah, maka
dalam tulisan ini kami ingin menunjukkan bahwa paham mereka pun berbeda dengan
akidah Abul Hasan al-Asy’ari.
Jika kita bandingkan akidah mereka dengan akidah al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari,
akan kita dapatkan bahwa nisbah (penyandaran) mereka kepada Abul Hasan
al-Asy’ari hanyalah pengakuan semata. Nyatanya, mereka banyak menyelisihi
akidah al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t.
Sebelum kita membuktikan penyimpangan Asy’ariyah dari Ahlus Sunnah wal Jamaah,
kami akan menyebutkan beberapa ucapan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari yang
menjelaskan prinsip akidah beliau.
Dalam Kitab al-Ibanah
Beliau t berkata, “Pendapat yang kami yakini dan agama yang kami beragama
dengannya, ‘Berpegang teguh dengan kitab Rabb kita dan sunnah nabi kita
Muhammad n dan yang diriwayatkan dari para sahabat, tabiin, dan aimatul (para
imam) hadits. Kami berpegang teguh dengannya dan dengan pendapat yang diucapkan
oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal—mudah-mudahan Allah l menyinari
wajahnya dan mengangkat derajatnya serta memberinya pahala yang banyak—, dan
kami menjauhkan diri dari pendapat-pendapat yang menyelisihi prinsip al-Imam
Ahmad bin Hanbal, karena beliau adalah imam yang memiliki keutamaan, seorang
tokoh yang dengannya Allah l menjelaskan al-haq, menolak kebatilan, menjelaskan
manhaj serta menghancurkan kebid’ahan ahlul bid’ah, penyimpangan orang-orang
yang menyimpang dan menghilangkan keraguan orang-orang yang ragu….”
Kemudian beliau t berkata:
• Allah l memiliki wajah, namun tidak boleh menanyakan bagaimananya,
sebagaimana dalam firman-Nya:
‘Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.’
(ar-Rahman: 27)
• Allah l memiliki dua tangan, namun tidak boleh ditanyakan bagaimananya,
sebagaimana dalam firman-Nya:
Allah berfirman, ‘Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah
Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku….’ (Shad: 75)
‘(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka.’ (al-Maidah: 64)
• Allah memiliki dua mata, namun tidak boleh ditanyakan bagaimananya,
sebagaimana firman Allah l:
‘Yang berlayar dengan penglihatan dua mata kami.’ (al-Qamar: 14).”
Dalam Kitab Maqalat al-Islamiyin
Beliau menjelaskan secara global akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Ahlul Hadits,
dan beliau menegaskan bahwa beliau meyakininya dan beragama dengannya, “Inilah
nukilan pendapat Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah, sejumlah (prinsip) yang
diyakini oleh Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah secara global:
• Beriman kepada Allah l, malaikat-Nya, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya, serta
mengimani semua yang datang dari Allah l dan Rasul-Nya melalui jalan
orang-orang tepercaya, tidak menolaknya sedikit pun.
• Allah l adalah satu, tempat bergantung makhluk-Nya, tidak ada sesembahan yang
benar selain Dia, tidak memiliki istri atau anak, Muhammad adalah hamba dan
rasul-Nya;
• Beriman bahwa surga dan neraka adalah haq, kiamat pasti akan datang.
• Beriman bahwa Allah l akan membangkitkan penghuni kubur.
• Mengimani bahwa Allah l di atas Arsy-nya, sebagaimana firman-Nya:
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pengasih, Yang breistiwa di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
• Mengimani bahwa Allah l memiliki dua tangan, namun jangan ditanya
bagaimananya, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (Shad: 75)
• Allah l memiliki dua mata, namun jangan ditanya bagaimananya, sebagaimana
dalam firman-Nya:
‘Yang berlayar dengan penglihatan dua mata kami.’
• Allah l memiliki wajah, namun jangan ditanya bagaimananya, sebagaimana dalam
firman-Nya:
‘(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka.’ (al-Maidah: 64)
Beliau t juga mengatakan bahwa:
• Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.
• Membenarkan hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Allah l turun ke langit
dunia lalu berfirman, ‘Apakah ada yang meminta ampun sehingga Aku memberinya
ampunan?’ sebagaimana dalam hadits yang sahih.
• Berpegang dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana dalam firman-Nya:
ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada
Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).” (an-Nisa: 59)
• Berpendapat untuk mengikuti salaf umat ini dan tidak berbuat bid’ah dalam
agama yang tidak diizinkan oleh Allah l.”
Kemudian beliau t berkata, “Kami berpendapat dan bermazhab dengan semua
pendapat mereka yang telah kami sebutkan di atas, tidaklah datang taufik kepada
kita melainkan dari Allah l. Dialah pencukup kami dan Dia adalah sebaik-baik
tempat bertawakal. Kepada-Nya kita meminta tolong dan bertawakal, serta
kepada-Nya kita kembali.” (Maqalat al-Islamiyin)
Dalam Suratnya kepada Penduduk Perbatasan
Beliau t berkata, “Mereka telah ijma’ menetapkan sifat hidup bagi Allah l,
terus-menerus hidup, Allah l memiliki sifat ilmu dan terus-menerus berilmu,
memiliki sifat kuasa dan terus-menerus berkuasa, memiliki sifat kalam, dan
tetap memilikinya, memiliki kehendak dan terus-menerus berkehendak, memiliki
sifat mendengar dan melihat, serta Dia terus-menerus Maha Mendengar dan
Melihat.”
Beliau t berkata, “Mereka ijma’ bahwasanya Allah l mendengar dan melihat,
memiliki dua tangan yang terbentang, bumi digenggam-Nya pada hari kiamat dan
matahari terlipat di tangan kanan-Nya, namun tidak seperti anggota tubuh
manusia dan dua tangan-Nya bukanlah nikmat, dan ini menunjukkan kemuliaan yang
Dia berikan kepada Adam yang diciptakan dengan tangan-Nya, dan cercaan-Nya
kepada Iblis karena sombong tidak mau sujud kepada Adam, yang telah diberi
kemuliaan oleh Allah l dengan firman-Nya:
Allah berfirman, ‘Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah
Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku….’ (Shad: 75)
Mereka ijma’ bahwa Allah l datang di hari kiamat dalam keadaan malaikat
bershaf-shaf, ketika ditampakkan umat-umat untuk dihisab…. Allah l mengampuni
orang yang berdosa bagi yang dikehendaki-Nya dan menyiksa orang yang dikehendaki-Nya.”
Beliau t berkata, “Allah l ada di atas Arsy-nya, tidak di bumi. Ini telah
ditunjukkan oleh firman Allah l:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang berada di atas langit bahwa dia
akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
bergoncang?” (al-Mulk: 16)
Firman Allah l:
“Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu
semuanya, kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya, dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab
yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (Fathir: 10)
Firman Allah l:
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
[Dinukil dari Ta’kidat Musalamat Salafiyat]
Sekarang kita buktikan bahwa akidah Asy’ariyah berbeda dengan akidah Abul Hasan
al-Asy’ari.
1. Abul Hasan menyatakan Allah l memiliki wajah, tangan, dan dua mata yang
sesuai dengan kemuliaan-Nya.
Adapun Asy’ariyah menafikannya, mereka melakukan takwil dalam memaknakan
nash-nash yang ada tentang masalah tersebut.
2. Abul Hasan mengimani semua yang datang dari Allah l dan Rasul-Nya melalui
jalan orang-orang tepercaya, tidak menolaknya sedikit pun.
Adapun Asy’ariyah, mereka menolak nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang
menurut mereka bertentangan dengan akal.
Ibnu Taimiyah t berkata, “Ucapan ini—yaitu mendahulukan akal dari nash
al-Qur’an dan as-Sunnah—asalnya adalah ucapan Jahmiyah, Mu’tazilah, dan semisal
mereka, bukanlah ucapan Abul Hasan al-Asy’ari dan sahabatnya….” (Darut Ta’arudh,
7/97) (Lihat Ta’kidat Musalamat hlm. 21)
3. Abul Hasan mengimani bahwa Allah l di atas Arsy-Nya.
Adapun Asy’ariyah, kebanyakan mereka menyatakan Allah l ada di mana-mana.
4. Abul Hasan berkata, “Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.”
Adapun Asy’ariyah menyatakan bahwa iman hanya pembenaran dengan hati.
5. Abul Hasan berkata membenarkan hadits-hadits yang menyebutkan Allah l turun
ke langit dunia.”
Adapun Asy’ariyah, mereka tidak menetapkan sifat-sifat fi’liyah (perbuatan).
6. Abul Hasan menetapkan sifat istiwa’ bagi Allah.
Adapun Asy’ariyah tidak menetapkan sifat istiwa’. Mereka menakwilnya menjadi
kekuasaan, sebagaimana dilakukan ar-Razi dan al-Amidi.
7. Abul Hasan berkata, “Mereka (Ahlus Sunnah) ijma’ bahwa Allah l datang di hari
kiamat dalam keadaan malaikat bershaf-shaf.”
Asy’ariyah tidak menetapkannya, mereka menakwilnya dengan takwilan batil.
Inilah sebagian penyelisihan Asy’ariyah terhadap al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari.
Mudah-mudahan apa yang kami sampaikan cukup sebagai bukti bahwa Asy’ariyah
bukanlah pengikut Abu Hasan al-Asy’ari t.
Mengapa Asy’ariyah Terjatuh ke dalam Takwil?
Ibnu Taimiyah t berkata, “Barang siapa yang menyatakan Abul Hasan al-Asy’ari
menafikan sifat dan beliau memiliki dua pendapat dalam menakwilkan sifat Allah
l, maka orang tersebut telah berdusta atas nama Abul Hasan t.
Yang melakukan takwil seperti ini adalah pengikutnya yang belakangan seperti
Abul Ma’ali dan lainnya. Mereka memasukkan ushul (akidah/prinsip pokok)
Mu’tazilah ke dalam mazhabnya.” (Majmu Fatawa, 12/203)