Monday, August 12, 2019

Kitab Al-Ibanah 'An Ushul Ad-Diyanah = Aqidah Haq Al-Imam Abu Hasan Al-Asy'ari Rahimahullah = Aqidah Imam Ahmad Bin Hanbal = Aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah. Asy’ariyyun Tidak Mengakui Kitab Tersebut ?

Kitab Al-Ibanah karya Abu Al-Hasan Al-Asy'ari (Terjemahan Dilengkapi Teks Asal Berbahasa Arab)

Benarkah kitab al ibanah sudah dipalsukan? 
Ust. Firanda Andirja

Syubhat : Kitab Al Ibanah Abul Hasan Al Asy'ari Sudah Dipalsukan,Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi (34 Comments)

Apakah salafi gemar merubah kitab-kitab ulama
Ust. Firanda Andirja

Kitab Al-Ibanah Bertentangan dengan Aqidah Asy'ariyah 
Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc, MA

Kitab Al-Ibanah tidak di pakai lagi ! Ustadz Abdul Somad dan Azzary Hasyim (175 Comments)

TJ Asyairah: Apakah benar Kitab Al Ibanah telah di palsukan? (30 Comments)
Imam Abul Hasan Asy'ari, Al-Ibanah - Ust. Firanda Andirja

Index “Asy'ariyyah Dan Maturidiyyah”
(sebagian isinya :Apakah Al Asy’ariyyah Termasuk Ahlu Sunnah ?, Pertanyaan - 226290, Sesatnya Firqah Asy’ariyyah Menurut Pandangan Ulama Besar Dari Berbagai Madzhab, Penyimpangan-penyimpangan Asy’ariyah, Sufi adalah Pengikut Firqah Asy’ariyah, Madzhab Syafi'i = Aqidah Asy'ari ?, Memahami Asal-Usul Firqoh Sesat Asy’ariyah dan Beberapa Artikel menarik)
Index ”Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”
Abul-Hasan Al-Asy’ariy Bertaubat ke ‘Aqidah Asy’ariyyah atau Salafiyyah ?
Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy, Asyaa’irah (Asy’ariyyah), dan Bahasan Pemalsuan Kitab Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah
Mereka Membenci Kitab “Al-Ibanah” Karya Abul Hasan al-Asy’ari?! (Bagian 1 dari 2 Tulisan)
Mereka Membenci Kitab “al-Ibanah” Karya Abul Hasan al-Asy’ari?! (Bagian 2 dari 2 Tulisan)
Pengaruh Aqidah Asy’ariyah Terhadap Umat Dan Napak Tilas Perjalanan Hidup Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ari
Pengikut Asy’ariyah ‘Meradang’ Hebat, Mereka Mendatangkan Para Qadhi Dan Ulamanya Untuk Mendebat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahullah Yang Menulis Aqidah Firqah Najiyah Dalam Kitab Al-Aqidah Al-Wasithiyahnya.
Ulama Syafi’iyah Antara Salafi Dan Asy’ari

Daftar Artikel
Beberapa Masalah yang Sangat Penting di Mana Asya’irah Menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Al Ibanah : Kupas Tuntas Penyimpangan Aqidah Al Asy’ariyah
Perbedaan Pokok Antara Aqidah Asy'ariah Dengan Aqidah Ahlusunnah Wal Jama'ah
Aqidah Imam Abul Hasan Al-Asyari Tentang Dimana Allah
Asy’ariyah, bukan Pengikut abul Hasan Al-Asy’ari

Beberapa Masalah yang Sangat Penting di Mana Asya’irah Menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama’ah

oleh : Prof. DR. Nashir bin Abdul Kariem al-’Aql
Seolah-olah penulis di sini diminta oleh pembaca untuk menyebutkan hal-hal apa saja yang diperselisihkan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah di dalam masalah prinsip-prinsip agama dan aqidah. Maka penulis katakan secara singkat, dengan memohon taufiq kepada Allah :
Di antara masalah yang sangat prinsipil di mana Asya’irah menyalahi Ahlus Sunnah adalah kelancangan mereka terhadap sifat-sifat Allah Subhaanahu Wata’ala dengan melakukan ta’wil yang dilarang oleh para ulama salaf, terutama sifat-sifat khabariyah yang dengan sifat-sifat itu Allah mensifati diri-Nya, atau dengannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mensifati Allah. Seperti sifat-sifat berikut: tangan (yad), mata (‘ain), diri (nafs), wajah (wajh), bersemayan di ‘arasy (istawa ‘alal ‘arsy), turun (nuzul), datang (maji’), rela (ridha), murka (ghadhab), mencintai (hubb), membenci (bughdhu) [56] dan sifat-sifat khabariyah lainnya yang disebutkan oleh Allah Subhaanahu Wata’ala di dalam al-Qur’an atau diungkapkan oleh Rasul-Nya di dalam hadits-hadits shahih. Mereka (Asya’irah) tidak mempercayainya sebagaimana adanya dan sebagaimana diyakini oleh para ulama salaf. Mereka menta’wilkannya dan memalingkan lafazh-lafzhnya dari (makna) lahirnya, karena takut terperosok ke dalam syubhat tajsim dan tamtsil. Mereka telah melupakan efek buruk dari perbuatan mereka men¬tahrif firman Allah, mengabaikan (ta’thil) maknanya, mengatakan sesuatu atas nama Allah tanpa dasar ilmu dan hal lain yang mengharuskan melakukan ta’wil dan bertentangan dengan prinsip taslim, patuh dan tunduk kepada Allah Subhaanahu Wata’ala. Sebab, bagaimana bisa layak, kalau Allah mengungkapkan tentang diri-Nya, dan Rasul-Nya mengungkapkan tentang-Nya dengan sifat-sifat yang tidak layak! atau mengharuskan tasybih dan tajsim, kemudian masalah ini tidak terungkap kecuali oleh para mutakallimun sesudah abad ketiga hijriyah!!?

Bagaimana mungkin pemahaman ini tidak diketahui oleh para shahabat, tabi’in dan para pemuka ulama salaf, lalu hanya diketahui oleh para mutakallimun!! Ini benar-benar merupakan hal yang tidak pantas dilakukan terhadap firman Allah (kalamullah) Subhaanahu Wata’ala dan sabda Rasul-Nya, para shahabat, tabi’in dan para pemuka ulama terdahulu yang lebih alim (mengetahui) dari pada mereka dan lebih bertaqwa kepada Allah! Padahal Allah Subhaanahu Wata’ala ketika mensifati diri-Nya dengan sifat-sifat, seperti dua tangan, wajah, diri, ridha, murka, datang, bersemayam, tinggi dan sifat-sifat lainnya, Dia pun telah menutup rapat pintu syubhat tamtsil dan ketidakjelasan berdasarkan firman-Nya:“Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.(Asy-Syura: 11)
Apakah orang-orang yang melakukan penta’wilan terhadap sifat-sifat Allah itu lebih mengetahui tentang Allah daripada Allah sendiri?!

Apakah mereka lebih mensucikan Allah dari pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam??

Dan apakah mereka yang lebih mengetahui maksud Allah Subhaanahu Wata’ala dari pada para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pemuka ulama salaf, para tabi’in, tabi’it tabi’in dan para pemuka ulama pembela petunjuk dan sunnah yang hidup dalam tiga qurun yang mulia?! Yaitu mereka yang memahami sifat-sifat Allah dan perkara-perkara ghaib yang lain yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya secara apa adanya baik lafazh maupun makna menurut maksud Allah dan Rasul-Nya tanpa tasybih, tanpa ta’thil dan tanpa ta’wil.

Kaum Mutakallimun, termasuk Asya’irah benar-benar telah ditimpa bencana disebabkan ta’wil yang mereka lakukan terhadap sifat-sifat Allah dan terhadap beberapa masalah aqidah lainnya. Yaitu bencana memasukkan istilah-istilah, lafazh-lafazh dan dugaan-dugaan akal yang tidak layak dikatakan di dalam hak Allah Subhaanahu Wata’ala, baik secara penafian ataupun itsbat (penetapan).

Setidaknya itu merupakan ungkapan bid’ah (kalam mubtada’) tidak bersumber dari Allah ataupun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka menahan diri darinya adalah lebih selamat, dan masuk ke dalam wilayah ini merupakan kelancangan terhadap Allah tanpa landasan ilmu, seperti masalah hudud (batas), ghayat (batas sesuatu), jihat (arah), mahiyah (hakikat), harakah (gerak), haiz (wilayah), ’aradh (accident), jauhar (substansi), huduts (baru) dan qidam (dahulu, lebih dahulu).

Dan klaim kepastian (qath’iyah) akal dan kezhanniyahan nash (naql)…. Seperti ungkapan mereka tentang: tarkib (tersusun, susunan) dan tab’idh (terbagi menjadi beberapa bagian). Dan juga perkataan mereka tentang Allah Subhaanahu Wata’ala :”Dia tidak berada di dalam alam semesta dan tidak pula di luarnya” [57], dan ungkapan-ungkapan lain yang mereka buat mengenai Allah Subhaanahu Wata’ala, baik secara nafi maupun itsbat dalam rangka penyesuaian diri dengan kaedah-kaedah teologis Mu’tazilah, jahmiyah dan falsafat rasionalis konfrontalis.

Memang ungkapan-ungkapan mereka di dalam masalah-masalah ini kadang mengandung sebahagian kebenaran, akan tetapi Allah Subhaanahu Wata’ala telah melarang kita berbuat seperti mereka. Setidaknya perbuatan seperti itu dapat dipastikan merupakan al-qaul ‘alallahi bighairi ‘ilm, ucapan terhadap Allah tanpa ilmu. Padahal Allah Subhaanahu Wata’ala telah berfirman:

“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (al-Isra’: 46)

Dan Dia juga berfirman:

“Hanya milik Allah Asma’ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya”. (al-A’raf: 180)

(Maka berdasarkan firman Allah di atas) Ahlus Sunnah tidak membicarakan masalah-masalah sifat-sifat ketuhanan kecuali dalam rangka memberikan sanggahan, menegakkan Hujjah (argumentasi) dan hanya sebatas kebutuhan. Jadi penyelisihan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah di dalam masalah sifat-sifat Allah adalah bukan masalah yang bersifat furu’iyah, karena permasalahannya berkaitan dengan salah satu bagian dasar (prinsip) teragung dari dasar-dasar agama, yaitu tauhid sifat-sifat yang berkaitan dengan Allah Maha Pencipta.

Sekalipun begitu, Asya’irah tetap merupakan kelompok aliran teologis yang lebih dekat kepada Ahlus Sunnah, karena maksud mereka melakukan ta’wil itu adalah tanzih (mensucikan Allah), hanya saja tidak berdasarkan petunjuk dan mengikuti tuntunan (para ulama salaf). Bahkan mereka terperosok ke dalam apa yang diperingatkan oleh Ahlus Sunnah, yaitu haram melakukan ta’wil, berdebat dan memberikan perumpamaan bagi Allah Subhaanahu Wata’ala dan hal-hal yang serupa yang bertentangan dengan kewajiban tunduk dan pasrah kepada nash-nash agama (syar’i). [58]

Prinsip dasar lain yang diperselisihkan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah adalah sandaran mereka kepada akal, debat dan ilmu kalam (nazhor) di dalam masalah sifat-sifat Allah, masalah qadar (taqdir) dan masalah-masalah ghaib. Mereka lebih mengutamakan akal, apa yang mereka sebut al-qawathi’ al-’aqliyah, daripada an-naql (al-Qur’an dan as-Sunnah) di dalam mengkaji masalah-masalah ghaib, aqidah, bahkan di dalam masalah yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah Subhaanahu Wata’ala.Kaidahnya menurut mereka, sebagaimana ditetapkan oleh Fakhrur Razi, al-Juwaini dan lain-lain adalah “bahwa sesungguhnya dalil-dalil naqli (al-Qur’an dan Hadits) itu tidak memberikan kepastian (keyakinan)” [59]. Dan “bahwasanya dalil-dalil naqli itu zhanniy (relatif), sedangkan dalil-dalil aqli (rasional) itu qath’i (pasti); dan zhanni itu tidak bisa menentang yang qath’i” [60]. Subhanallah!!

Tafsiran mereka terhadap tauhid terbatas pada tauhid rububiyah saja. Mereka lupa akan tauhid uluhiyah dan ibadah hanya kepada Allah Subhaanahu Wata’ala semata, padahal tauhid uluhiyah ini merupakan tauhid yang karenanya para rasul diutus, sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wata’ala:“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasannya tidak ada Tuhan (yang haq) melainkan Aku, maka sembahlah oleh kamu sekalian akan Aku”. (al-Anbiya: 25)
Ia merupakan tauhid yang karenanya Allah menciptakan manusia, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan sekali-kali Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka hanya beribadah kepada-Ku”. (adz-Dzariyat:56)

Oleh karena itu, kita dapatkan perbuatan bid’ah di dalam berbagai bentuk ibadah dan terperosok di dalam perbuatan kesyirikan yang cukup banyak sekali pada orang-orang yang berintisab kepada Asya’irah muta’akhkhirin, disebabkan kelalaian mereka di dalam tauhid uluhiyah.

Ini tidak berarti bahwa Ahlus Sunnah menganggap remeh masalah tauhid rububiyah, sekali-kali tidak begitu! Akan tetapi memulai (dakwahnya) sesuai dengan dari mana Allah memulai dan dari mana pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memulainya. Tauhid Rububiyah itu juga bersifat fitri, hampir tidak ada yang mengingkarinya kecuali sangat jarang sekali. Dan kebanyakan ayat-ayat yang berbicara tentang tauhid rububiyah itu dalam konteks membicarakan konsekwensinya, yaitu tauhid ibadah dan ta’at (uluhiyah). Maka dari itu tidak dikenal adanya suatu umat yang mengingkari tauhid Rububiyah. Bahkan tidak ada satu golongan yang sepakat atas masalah ini sebenarnya; dan sekiranya ada, niscaya Allah Subhaanahu Wata’ala menyebutkannya di dalam kisah-kisah para nabi. Lain halnya dengan tauhid Uluhiyah, banyak sekali umat, golongan dan kelompok yang tersesat darinya hingga saat ini.

Dari itu pula kita lihat bahwa para peneliti dan pemuka Asya’irah memulai karya-karya mereka di dalam bidang aqidah dengan masalah-masalah aqliyat, teori-teori, keyakinan-keyakinan dan pandangan-pandangan, istilah-istilah teologis dan filosofis serta (ditegaskan) bahwasanya dali-dalil naqli (sam’iyat, wahyu) tidak memberikan kepastian (keyakinan)! Dan bahwasanya dalil-dalil aqli itu pasti dan meyakinkan. Lalu dibicarakan pula masalah hudutsul’alam (alam ini baru), kepastian ada Pencipta dan lain-lainnya (yang sangat sarat dengan) filsafat dan ilmu kalam, dan kemudian diakhiri dengan pembahasan tauhid Rububiyah. [61]

Yang demikian itu sangat jauh berbeda dengan metode yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah, bahkan berbeda dengan metode (manhaj) al-Qur’an itu sendiri. Ayat-ayat yang datang untuk mengukuhkan tauhid Rububiyah itu sedikit dibanding dengan ayat-ayat yang datang untuk mengukuhkan tauhid Uluhiyyah, dan kebanyakan ayat-ayat yang berkenaan dengan tauhid Rububiyyah itu datang untuk mempertegas tauhid Uluhiyyah (tauhid Ibadah), sebagaimana dijelaskan di muka.

Mereka juga menyalahi Ahlus Sunnah pada prinsip-prinsip yang lain, seperti dalam masalah al-Qur’an dan Kalamullah, [62] Iman [63], Qadar [64] dan Nubuwwat (masalah kenabian) [65]di mana mereka sangat terpengaruh dengan kaedah-kaedah kalam dan filosofis di dalam pandangan mereka terhadap masalah-masalah tersebut. Maka aqidah mereka lahir dalam bentuk campuran dari haq dan kebatilan, campuran antara aqidah Ahlus Sunnah, Mu’tazilah dan kaum filosof. Oleh kerena itu, banyak kita dapatkan mereka menggunakan istilah-istilah filosofis dialektis mengandung makna haq dan batil dan berbeda jauh dengan lafazh (istilah-istilah) yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Demikianlah… Sesungguhnya masalah-masalah yang diperselisihkan Asya’irah terhadap Ahlus Sunnah tersebut di atas adalah merupakan prinsip-prinsip aqidah dan furu’ (cabang)nya menuntut peneliti yang obyektif dikala melakukan penelitian, agar memberikan penilaian –sebagaimana pendapat para Ahli dari pemuka-pemuka Ahlus Sunnah [66]– bahwa sesungguhnya aliran (madzhab) Asya’irah di dalam aqidah merupakan madzhab independen di dalam beberapa aspek terpisah dari Ahlus Sunnah, mempunyai prinsip-prinsip, metodologi, pandangan-pandangan, dan ketetapan-ketetapan tersendiri, terutama di dalam masalah-masalah sifat-sifat Allah, iman, wahyu, nubuwwat, al-Qur’an, kalamullah dan qadar atau taqdir. Maka, Asya’irah di dalam beberapa masalah sependapat dengan Ahlussunnah, namun berselisih di dalam masalah-masalah yang lain.

Sesungguhnya tidak boleh kita membebani Salaf (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) dengan aqidah dan istilah-istilah yang dibuat oleh Asya’irah, seperti ilmu kalam dan filsafat. Dan sesungguhnya merupakan tindakan tidak etis kalau kita menisbatkan keyakinan-keyakinan dan istilah-istilah seperti itu kepada para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para tabi’in dan para pemuka ulama sunnah yang ada dalam generasi mulia, padahal keyakinan-keyakinan dan istilah-istilah itu lebih mendominasi di dalam aqidah Asya’irah, sebagaimana penulis uraikan di muka.

Ahlus Sunnah adalah mereka yang tidak melenceng dan tidak menambah madzhab salaf hingga masa kini. Maka orang yang ber-intima’ dan ber-intisab (berafiliasi) kepada Ahlus Sunnah harus meyakini dan beraqidahkan apa yang telah dijadikan aqidah oleh Ahlus Sunnah di dalam masalah prinsip-prinsip (ushul) agama, mengikuti apa yang telah mereka katakan dan telah mereka tetapkan, bukan malah meyakini (apa) yang sesuai dengan kaidah-kaidah rasional dan filosofis yang ia miliki, lantas kemudian menisbatkan keyakinannya dan aqidahnya itu kepada Salaf, sebagaimana dilakukan oleh tidak sedikit dari para pengkaji di kalangan Asya’irah.

Jika kita suguhkan keyakinan dan aqidah Asya’irah kepada keyakinan dan aqidah yang kita nukil dari Salaf yang hidup pada qurun (generasi) yang mulia, niscaya kita temukan perbedaan yang sangat menonjol. Kita akan temukan bahwa Asya’irah telah melakukan bid’ah (hal baru) dan membuat beberapa keyakinan dan istilah yang dilarang oleh para pemuka ulama Salaf seperti mengkaji masalah sifat-sifat ketuhanan, perkara-perkara yang ghaib dengan meraba-raba dan pendekatan-pendekatan bid’ah teologis. Sebagaimana telah kami sampaikan contoh-contohnya di muka. [67]

Adalah haq dan adil kalau kita katakan: Sesungguhnya Asya’irah, secara umum, merupakan aliran yang paling dekat kepada Ahlus Sunnah daripada aliran-aliran teologis lainnya, dan di antara mereka (penganut aliran Asya’irah) itu sendiri ada orang-orang yang lebih dekat kepada Sunnah dari pada yang lain, dan ada pula dari pengikut aliran Asya’irah ini yang tergolong : Ahli hadits terkemuka, ulama ahli tafsir terkenal, ahli fiqih, ahli bahasa Arab, dll. Ada di antara mereka yang mempunyai kedudukan dan keutamaan tinggi di dalam ilmu dan agama. Bahkan ada di antara tokoh-tokoh ulama Ahlul Hadits yang berintisab atau dinisbatkan kepada Asya’irah yang secara umum di dalam aqidahnya tergolong Ahlus Sunnah, maka menisbatkan mereka kepada Asya’irah membutuhkan kehati-hatian dan penelitian lebih jauh, terutama seperti: Imam al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu ‘Asakir, Imam an-Nawawi dan Ibnu Hajar al-’Asqalani serta para tokoh dan pemuka ulama sunnah dan hadits yang lain. Mereka lebih dekat kepada Ahlussunnah daripada kepada kaum mutakallimin.

Orang yang alim dari Asya’irah, setiap kali ilmu mereka di dalam sunnah, hadits dan atsar makin bertambah, maka kebanyakannya mereka makin lebih dekat kepada Ahlus Sunnah di dalam aqidah.

Ada satu hal lain yang layak disebut di sini adalah bahwa uraian di atas mengandung bukti yang sangat kuat bahwa Asya’irah menyalahi Ahlus Sunnah di dalam beberapa masalah besar prinsip aqidah, dan bahwasanya ketika mereka melakukan kajian dan penelitian mendalam secara obyektif, maka mereka meninggalkan aqidah Asya’irah dan kembali kepada aqidah Ahlus Sunnah. Bukti yang dimaksud adalah kembalinya kebanyakan tokoh terkemuka Asya’irah dan para peneliti kawakan mereka kepada haribaan aqidah Ahlus Sunnah, tunduk dan patuh kepadanya pada akhir petualangan mereka atau di akhir usia mereka, sebagaimana terjadi pada Imam Abul Hasan Ali al-Asy’ari itu sendiri, dimana beliau memastikan menganut Aqidah Salaf Ahlus Sunnah di dalam kitabnya “al-Ibanah” [68], juga Imam Abul Ma’ali al-Juwaini, Abu Muhammad al-Juwaini, Imam Fakhrurrazi, Imam Asy-Syahristani, Imam Ghazali, Imam Ibnul Arabi dan lain-lain. [69]

Di antara mereka ada yang kembali kepada aqidah Ahlus Sunnah dan meninggalkan ilmu kalam. Hal itu dijelaskan melalui tulisannya tentang aqidah yang menjadi pegangannya. Dan di antara mereka ada pula yang memproklamirkan keyakinannya kepada aqidah Ahlus Sunnah dengan gamblang sebelum wafat dan ia tidak sempat untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. [70]

Penulis akan mengakhiri pembahasan ini dengan menjelaskan bahwa tampak jelas bagi penulis bahwa kelompok Asya’irah masa kini (kontemporer) jauh dari Ahlus Sunnah melebihi para pendahulu mereka, hal itu disebabkan minimnya pengetahuan mereka tentang Aqidah Salaf, juga karena mereka telah terkontaminasi dengan faham filsafat, ilmu kalam, berbagai bid’ah, khurafat dan kebanyakan mereka bernaung di bawah payung tarikat-tarikat tasawwuf dan yang serupa dengannya. [71] Semoga Allah memberi mereka petunjuk, membukakan mata hati kita dan mereka semua bagi kebenaran dan jalan yang lurus.

Perlu disebutkan di sini bahwa apa yang telah penulis uraikan di atas tentang menjauhnya Asya’irah dari Ahlus Sunnah di dalam beberapa prinsip-prinsip aqidah tidak berarti penulis mengkafirkan atau memandang mereka sesat. Penulis sama sekali tidak menyinggung masalah ini, karena bagi penulis, masalah ini sangat besar lagi berbahaya, membutuhkan uraian lebih lanjut dan bukan di sini tempatnya.

Di Mana Ahlus Sunnah Berada?

Pada bagian terdahulu telah penulis singgung mengenai definisi Ahlus Sunnah, ciri dan karakteristik aqidah mereka, dan telah penulis jelaskan bahwa Asya’irah, mazhab yang paling banyak tersebar di hampir seluruh dunia Islam, mereka bukan Ahlus Sunnah. Maka adalah benar kalau seseorang bertanya-tanya: Kalau begitu di mana Ahlus Sunnah? Bagaimana kita dapat mengenal mereka di tengah-tengah kaum muslimin?

Secara singkat, jawabannya menurut hemat penulis adalah sebagai berikut:

Bahwa sesungguhnya Ahlus Sunnah itu telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah ditentukan sejelas-jelasnya hingga tampak jelas seperti matahari, bagi orang yang diberi taufiq oleh Allah dan selamat dari cengkeraman hawa nafsu, fanatisme dan taklid buta. Di antara sifat dan ciri-ciri Ahlus Sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu ialah:

Mereka adalah orang-orang yang konsisten dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik secara penampilan, tutur kata, aqidah, prilaku maupun ibadah. Petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu telah dijelaskan sejelas-jelasnya oleh Sunnah-nya.Jadi, Ahlus Sunnah adalah tokoh-tokoh yang menonjol lagi terkemuka dari generasi ke generasi semenjak generasi para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga generasi kita sekarang ini, mereka dikenal dengan sikap ittiba’, iqtida’ dan ihtida’ (patuh, meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam konsisten dan berpegang teguh kepada sunnah).
Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada aqidah salaf, yaitu para shahabat Nabi, para tabi’in dan para tokoh pemuka agama yang ada pada tiga masa generasi yang utama. Aqidah salaf itu diriwayatkan dan dikenal serta tercatat –alhamdulillah- di dalam karya-karya para ulama terkemuka seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Ibnu Abi ‘Ashim, Imam Ad-Darimi, Imam Abdullah bin Ahmad, Imam Ibnu Khuzaimah, Ibnu Baththah, Ibnu Mandah, Imam al-Khallal, Imam al-Asy’ari [72] setelah ia memproklamirkan aqidah salaf, Imam Isma’il as-Shabuni, Imam ath-Thahawi, Imam Ibnu Taimiyah dan banyak lagi imam-imam lainnya, mereka sangat dikenal oleh para ahli ilmu (ulama) dan oleh setiap orang yang mempunyai keinginan untuk mengenal mereka.
Mereka adalah orang-orang yang selamat (bebas), tidak tercemar oleh bid’ah, kesyirikan dan ajaran-ajaran tarikat sufi. Anda tidak pernah melihat Ahlus Sunnah, kapan saja dan di mana saja mengusap-usap kuburan, manusia, bebatuan, benda-benda peninggalan nenek moyang dan patung-patung; mereka juga tidak berdo’a (memohon) kepada selain Allah, tidak meminta keselamatan kepada orang-orang yang sudah mati, tidak mendirikan bangunan atau kubah di atas kuburan, dan mereka tidak melakukan perayaan-perayaan hari kelahiran (maulid) dan berbagai perkumpulan bid’ah lainnya. Dan amat sangat jarang anda temukan seorang Ahlus Sunnah yang bernaung di bawah asuhan tarekat sufi, kecuali karena kebodohan, keawaman, kelalaian atau karena bertaqlid buta tidak berdasarkan pengetahuan, sebagaimana dilakukan oleh sebahagian orang awam.
Mereka adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada syi’ar-syi’ar agama, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan dijelaskan oleh Rasul-Nya. Maka mereka selalu menegakkan shalat fardhu (secara berjama’ah), mengerjakan amalan-amalan sunnah dan mengajak orang lain kepadanya, dan mereka meninggalkan dosa, kemunkaran, hal-hal yang diharamkan dan segala bentuk bid’ah serta melarang (manusia) melakukannya.
Mereka adalah orang-orang yang lantang (tampil) di tengah-tengah mesyarakatnya menyuarakan kebenaran (al-haq), beramar ma’ruf dan bernahi munkar, memberantas segala bentuk bid’ah dengan tidak peduli terhadap celaan orang yang mencela mereka. Terkadang sifat atau karekter ini berbeda-beda di satu negeri dari negeri-negeri muslim lainnya, karena ada sebagian negeri dimana kaum muslimin yang tidak bisa menampakkan syi’ar-syi’ar agama mereka di sana atau melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.

Secara umum, Ahlus Sunnah itu tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Mereka –alhamdulillah- berada di berbagai tempat dan di berbagai negeri; di suatu negeri jumlah mereka sedikit, namun di negeri yang lain jumlah mereka banyak. Jadi, mereka tersebar luas di bumi Allah yang luas ini sesuai dengan kondisi masing-masing.

Jika anda perhatikan kondisi kaum muslimin saat ini, niscaya anda temukan bahwa di antara Ahlus Sunnah itu mempunyai keunggulan tersendiri sesuai dengan kondisi yang melingkupinya, banyak atau sedikit, kuat atau lemah. Anda temukan mereka di Mesir dan di Sudan kebanyakannya ada di dalam wadah gerakan Ansharus Sunnah al-Muhammadiyah, dan sedikit sekali yang berada di gerakan-gerakan yang lain. Di negeri Syam (Suria, Yordan, Palestina) mayoritas mereka terdapat pada kelompok Ahli hadits dan atsar dan sedikit sekali yang ada pada kelompok yang lain, di India, Pakistan dan Afganistan kebanyakan mereka terdapat pada Ahli hadits, kelompok-kelompok dan ormas-ormas keagamaan salafiyah dari pada di tempat-tempat lainnya. [73]

Telah penulis singgung di muka bahwa di antara ciri khas Ahlus Sunnah yang paling menonjol di negeri yang tidak banyak terdapat hal-hal bid’ah dan ajaran tarekat sufi di dalamnya adalah cap Wahabiyah bagi mereka, yaitu nisbat kepada dakwah yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, atau cap Hanabilah, yaitu nisbat kepada Imam Ahmad bin Hanbal.

Da’wah yang diserukan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab itu merupakan contoh nyata yang hidup bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah, baik yang berupa aqidah maupun berupa prilaku. Dengan da’wah yang beliau serukan itu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam benar-benar menjadi kenyataan:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ حَتَّى تَقُوْمَ السَّاعَةُ.

“Akan tetap ada segolongan dari umatku yang tampil di atas kebenaran hingga hari kiamat kelak”.[74] Dakwah beliau (Syaikh) ini masih tampak sampai saat ini. Segala puji hanya bagi Allah.

Perlu diketahui pula bahwa awam kaum muslimin yang masih menegakkan syi’ar-syi’ar agama, sedangkan mereka bersih dari perbuatan kesyirikan (penyekutuan terhadap Allah), sesungguhnya mereka masih dalam kondisi fitrah dan mereka tergolong dalam sawadul ummah dan Ahlus Sunnah di mana pun dan kapan pun mereka berada.

Ahlus Sunnah (wallahu a’lam) di akhir zaman nanti tidak merupakan mayoritas ummat, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa mereka adalah tha’ifah (segolongan atau sekelompok), mereka adalah orang-orang asing, bahkan mereka adalah sekelompok kecil saja dan merupakan salah satu golongan dari tujuh puluh tiga golongan yanga ada. [75]

Dengan demikian, gugurlah klaim sebahagian kaum Asya’irah dan Maturidiyah akhir-akhir ini bahwa mereka adalah Ahlus Sunnah, dengan alasan karena mereka merupakan kelompok mayoritas di berbagai negeri kaum muslimin. Jadi secara kuantitas (mayority) itu sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai argumen atau dalil yang cukup untuk kebenaran. Yang menjadi ukuran itu adalah ittiba’, patuh dan ta’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, berpegang teguh kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, menelusuri jejak para shahabat, para tabi’in dan para pemuka tokoh agama yang ada di dalam tiga generasi utama dan meniti langkah orang-orang yang mengikuti jejaknya dengan tidak mengganti atau mengubah (sedikitpun dari ajaran Rasulullah) hingga hari kiamat meskipun jumlah mereka sedikit.

Dari sisi lain, perlu diketahui bahwa mayoritas kaum muslimin saat ini adalah orang awam yang diliputi kebodohan, tidak mengerti rincian ‘Aqidah Islam, dan kebanyakan mereka masih dalam kondisi fitrah (tauhidnya masih murni), hati mereka masih bersih dan aqidah mereka masih lurus. Jika demikian adanya, maka mereka masih tergolong dalam sawadul muslimin, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan catatan: mereka belum diseret oleh syetan-syetan bid’ah dan khurafat, syetan-syetan aliran sesat, tariqat-tariqat sufi dan menyeru kepada kesesatan. Wallahu a’lam.

Catatan Kaki :
[1] Penulis menyimpulkan kaidah-kaidah tersebut dari hasil kajian penulis terhadap sebagian literatur para tokoh agama. Di antara buku-buku yang banyak memberikan pelajaran kepada saya di dalam menyimpulkan kaidah-kaidah tersebut adalah:

1. Kitabul Iman, karya Qasim bin Sallam (wafat 224 H)

2. Ar- Raddu ‘alaz zanadiqah wal Jahmiyyah, karya Imam Ahmad (wafat 241 H)

3. Kitabul Iman, karya al-Hafizh al ‘Adani, (243)

4. Al-Ikhtilaf fil Lafzhi war Raddu alal Jahmiyyah wal Musyabbihah, karya Ibnu Qutaibah (276 H)

5. As Sunnah, karya Ibnu ‘Ashim (wafat 287 H)
6. Ar-Raddu alal Jahmiyah dan Ar-Raddu alal Murisi, karya Imam Ad-Darimi (wafat 280 H)
7. al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, karya Abul Hasan al-Asy’ari (324 H)
8. Asy-Syari’ah, karya al-Ajuri (wafat 360 H)
9. As-Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (wafat 290)
10. Aqidatus Salaf Ash habil Hadits, karya Abu Ismail as Shabuni (wafat 449 H)
11. Asy-Syarh wal Ibanah, karya Ibnu Baththah (wafat 387 H)
12. Dzammut Ta’wil, karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi, (wafat 620)
13. Beberapa buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728) , terutama at-Tadmuriyah, al-Wasithiyah, Hamuwiyah, Majmu’ Fatawa (1-9), al-‘Aql wan Naql, Minhajus Sunnah, Naqdlut ta’sis, dan lain-lain.
14. Ash Shawa’iq al-mursalah ‘alal jahmiyah al-mu’aththilah, karya Ibnu Qayyim, (wafat 792 H)
15. Syarah al-Aqidah ath-Thawiyyah, karya Ibnu Abil ‘Izz, (wafat 792)
16. Syarah Kitabuttauhid dari Shahih Bukhari di dalam fathul Bari, karya Ibnu Hajar (wafat 852 H)
Syarah Kitabuttauhid min Shahihil Bukhari, karya Syekh Abdullah bin Muhammad al-Ghunaiman. Dll.

[2] Mukhtashar ash-Shawa’iq al-Mursalah, karya Ibnu Al-Qayyim. Vol. 2, hal. 359-446. Diringkas oleh Muhammad bin al-Mushili.
[3] Al-I’tiqad wal Hidayah ila Sabilir Rasyad, karya Imam Al-Baihaqi, hal. 227.
[4] Diriwayatkan oleh Bukhari kitab “ash Shulh” dan Muslim, kitab al-Aqdhiyah.
[5] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, karya Ibnul Abi Al-‘Izzi al-Hanafi, hal. 143.
[6] Ibid, hal.140.
[7] Asy-Syarah wal Ibanah, hal. 123-127; Syarah al-Asidiq ath-Thahawiyyah, hal. 258; dan asy-Syari’ah, karya al-Ajurri, hal. 54-67.
[8] Ini berbeda dengan nash-nash yang berkenaan dengan hukum-hukum, sebab ia boleh dita’wil dan dialihkan dari zhahirnya bila ada dasar syar’inya dan memenuhi syarat-syarat yang disebutkan oleh para tokoh agama terpandang.
[9] Ash-Shawa’iq al-Mursalah, karya Ibnu Qayyim, hal. 10-90. Dzammut Ta’wil, karya Muwaffiquddin Ibnu Qudamah al-Maqdisi, wafat 620 H.
[10] Silakan pembaca merujuk kepada As-Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, vol 1, hal. 264-307. Di sana disebutkan perkataan para ulama salaf dalam hal ini. Dan asy-Syarhul wal Ibanah, karya Ibnu Baththah, hal.127-129 dan 213-218.
[11] As-Sunnah (opcit), vol.1/307, asy-Syarhul wal ibanah (opcit) hal. 176-177., al-Itiqad, karya Imam Baihaqi, hal 174, al-Iman, karya Ibnu Taimiyah, hal. 186-288, ‘Aqidatus Salaf, karya As-Shabuni, hal. 68 dan Syarhus Sunnah, karya Imam al-Baghawi. Vol.1, hal. 33.
[12] Tauhid asma’ wa shifat maksudnya adalah menetapkan dan meyakini nama dan sifat yang telah ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya, dan menafikan apa yang dinafikan oleh Allah dari diri-Nya dan dinafikan oleh Rasul-Nya serta mensucikan Allah dari segala aib dan kekurangan.
[13] Asy-Syarhul wal Ibanah (opcit), hal. 210, dan Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah (opcit) hal. 243-248.
[14] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, (opcit), hal. 257.
[15] Asy-Syarhu wal Ibanah (opcit), hal. 211 dan Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal 256-257.
[16] Syarah Aqidah Thahawiyah,, opcit, hal. 103-105 dan al-I’tiqad , opcit. hal. 255-305.
[17] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, opcit, hal. 344-353 dan 369, Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits, opcit, hal.60-63 dan asy-Syarh wal Ibanah, opcit, hal. 197-208, 219-223.
[18] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 447 dan Lum’atul i’tiqad . opcit. hal. 30-31.
[19] Aqidatus Salaf, opcit, Hal. 75-82, asy Syarh wal Ibanah, opcit. Hal. 192. , al-Ibanah, opcit, hal. 56, dan Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, opcit, hal. 185 dan 185. Lihat pula Tafsir Ibnu Katsir, hal. 227-229.
[20] As-Sunnah, karya Abdullah bin Ahmad, vol. 1 hal. 132, Lum’atul I’tiqad, opcit, hal. 15-18, al-I’tiqad, opcit, hal. 94-110, asy-Syarhu wal Ibanah, hal. 184-186, al-Ibanah, hal. 56. Syarah Thahawiyah, hal. 107-109 dan Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits, hal. 7.
[21] As-sunnah, karya Ibnu Abi ‘Ashim, vol. 2, hal. 364, Syarah ath-Thahawiyah, hal. 174, asy-Syari’ah, opcit, hal. 321-326, Lum’atul I’tiqad, hal. 34, Majmu Fatawa, opcit, vol. 1, hal. 116-117.
[22] Syarah Al-Aqidah ath-Thahawiyah, opcit, hal. 167. Asy-Syari’ah, opcit, karya al-Ajuri, hal. 481.
[23] Al-Ibanah, opcit, hal. 59; Lum’atul I’tiqad, opcit, karya al-Maqdisi, hal. 36 asy-Syarh wal Ibanah, opcit, hal 159-170, 264-265, 271, dan al-Washiyah al-Kubra, karya Ibnu Taimiyah, hal 55-58.
[24] Al-Washiyah al-Kubra, hal. 59-60; Asy-Syarh, wal Ibanah hal 414, karya Ibnu Baththah, hal. 257-261; al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal 323; al-Ibanah, karya al-Asy’ari, hal. 59; Aqidatus Salaf, karya al-Shabuni, hal. 86.
[25] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 413; al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal. 331-332; dan Aqidatus Salaf, karya ash-Shabuni, hal. 83.
[26] al-Washiyah al-Kubra, karya Ibnu, Taimiyah, hal. 58-59; al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal. 324-330; Lam’ atul Itiqad, opcit, hal. 42.
[27] Termasuk di dalamnya aliran-aliran pemikiran, madzhab dan isme-isme modern, seperti Komunisme, Qadyanisme, Bahaisme, dan demikian pula Sosialisme, Sekulerisme dan segenap nasionalisme atau kebangsaan yang berdasarkan Fanatisme kelompok.
[28] Al-Ibanah, karya Al-Asy’ari, hal. 64; Lum’atul I’tiqad, hal. 42-43; Aqidatus Salaf, karya ash-Shabuni, hal. 112; dan Syarhus Sunnah, karya al-Baghawi, hal. 217-230.
[29] Yang dimaksud Jama’ah di sini adalah Ahlus Sunnah, yaitu mereka yang konsisten mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabatnya, para tabi’in dan para pemuka agama terkemuka yang ada pada tiga qurun (tiga generasi) yang utama serta orang-orang yang menempuh jalan mereka hingga hari kiamat baik dalam beraqidah, ucapan maupun dalam beramal. (Lihat pembahasan pertama dari kajian ini).
[30] Syarhus Sunnah, karya al-Baghawi, hal 189-209; al-Washiyyah al-Kubra, karya Ibnu Taimiyah, hal. 74; Syarah al-Aqidah at-Thahawiyah, hal. 458; dan al-I’tiqad, karya al-Baihaqi, hal. 242-246.
[31] Syarah al-Aqidah ash-Thahawiyah, hal. 327-330; Lum’atul I’tiqad, al-Maqdisi, hal. 42; al-Ibanah, hal. 64; asy-Syarhu wal Ibanah, karya Ibnu Baththah, hal. 277-280. dll.
[32] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 336; al-Aqidah al-Wasithiyah, hal. 181; Aqidafus Salaf Ashabul Hadits, karya ash-Shabuni, hal. 92-93.
[33] Risalah fil Amri bil Ma’ruf, karya Ibnu Taimiyah.
[34] Lihat Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 258.
[35] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 258, 261-262; al-Ibanah, karya Al-Asyari, hal. 57; Lum’atul I’tiqad, karya Maqdisi, hal. 39.
[36] Al-Ibanah, karya al-Asy’ari, hal. 58; Lum’atul I’tiqad, hal. 39.
[37] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 317; al-Ibanah, hal. 58.
[38] Syarah al-Aqidah ash-Thahawiyah, hal. 321-326; al-Ibanah, hal. 62-63; ‘Aqidatus Salaf, hal 92.
[39] Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah, hal. 331-332; Kitabul Iman, karya al-Adani, hal. 128.
[40] Al-Furqan baina Auliyaui Rahman wa Auliyaisy Syaithan, karya Ibnu Taimiyah, hal. 159-188; an-Nubuwwat, karya Ibnu Taimiyah, hal. 7-10; Syarah al-Aqidah ash-Thahawiyyah, hal. 442-446.
[41] Hadits riwayat Abu ‘Ashim di dalam as-Sunnah dengan beberapa sanad yang shahih. Lihat vol.1, hal. 29, hadits no. 54.
[42] Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah di dalam asy-Syarhu wal Ibanah, hal. 407; dan hadits ini mempunyai banyak syawahid di dalam Musnad Ahmad: 2/338 dan 378; dan al-Baghawi di dalam Syarhus Sunnah: 2/270; dan Al-Albani menilai hasan hadits tersebut di dalam Tarkhrijul Misykat, 1/63.
[43] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ashim di dalam As-Sunnah dengan banyak sanad, dan dinilai shahih oleh Al-Albani (As-Sunnah: 1/26-27. Hadits no. 47, 48 dan 49. Ibnu Majid di dalam muqaddimahnya, hal. 16, hadits no. 43, 44.
[44] Klaim kelompok Asya’irah dan Maturidiyah beserta yang lainnya bahwasanya mereka adalah Ahlus Sunnah atau termasuk Ahlus Sunnah adalah merupakan klaim yang berlebihan, pengelabuan dan penga-buran. Maka dari itu penulis akan membahas pasal tersendiri pada akhir kajian ini mengenai hal ini.
[45] Yang penulis maksud di sini adalah para da’i, penuntut ilmu dan ulama. Adapun masyarakat awam, maka para ulama salaf berpandangan bahwa mereka tidak dibebani tugas untuk mengetahui segala rincian masalah Aqidah. Cukup bagi mereka mengetahuinya secara global saja. (Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 10-11 dan Dar’u Ta’arudhil ‘Aqli wan Naqli,Ibnu Taimiyah. Vol. 1, hal. 51.
[46] Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mencela suatu perbuatan para shahabatnya tidak menyebut langsung nama pelakunya dan tidak pula dimaksudkan untuk menyebarkan kesalahan orang itu. Beliau hanya berkata: “Kenapa kok kaum ini…” sebagaimana pernah beliau ucapkan: “Kenapa kok ada sekelompok orang yang enggan melakukan apa yang aku lakukan…”. (Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari)
[47] Ini diarahkan kepada kelompok Asya’irah, karena pemikiran mereka menyebar hampir ke seluruh penjuru dunia Islam.
[48] Penulis katakan “tanpa alasan yang benar”, karena menurut pengetahuan penulis ada sebahagian kaum muslimin yang hidup di beberapa negeri muslim disiksa, diintimidasi dan dilecehkan hak-haknya karena mereka memanjangkan jenggotnya. La haula wala quwwata illa billah.
[49] Lihat kajian pertama dari buku ini.
[50] Tepatnya pada akhir abad ketiga hijriyah, yaitu setelah Imam Abul Hasan al-Asy’ari meninggalkan aqidah Mu’tazilah pada tahun 300 H.
[51] Tabyin Kadzibil Muftari, karya Ibnu Asakir, hal 38-45. Dan Pengantar Syaikh Hammad al-Anshari pada kitab Al-Ibanah ‘an Ushulid diyanah, karya Imam Al-Asy’ari, penerbit: Islamic Univercity in Madinah.
[52] Lihat kedua sumber sebelumnya (Ibid).
[53] Di dalam kitab tersebut Imam al-Asy’ari meyakini madzhab Ahlus Sunnah wal-Jama’ah di dalam semua masalah prinsip aqidah. (Silakan merujuk kitab tersebut karena sudah diterbitkan)
[54] Lihat al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, hal. 52.
[55] Berkat taufiq dari Allah kepada para tokoh terkemuka tersebut, kebanyakan mereka meninggalkan seluruh keyakinan mereka di dalam ta’wil atau sebahagiannya yang menyalahi Aqidah Ahlus Sunnah.
[56] Sebagai contoh, silahkan lihat di dalam kitab Asasut taqdis, karya Fakhrurrazi, hal. 111-19, dan Al-Irsyad, karya Juwaini, hal. 146-154.
[57] Lihat Al-Iqtishad fil I’tiqad, karya al-Ghazali, hal. 12-135; Al-Arbain fi Ushuludin, karya Al-Ghazali, hal. 13-16; Ushuludin, karya Fakhrurrazi, hal. 19-55; Asasut Taqdis, karya fakhrurrazi, hal. 15-49; At-Tauhid, karya Al-Baqlani, hal. 40-50; dan Syarhul Maqashid, karya At-Taftazani, vol. 2, hal 57-68. Telah driwayatkan dari para Imam yang senior, seperti Imam Ahmad, Ibnu Madini, Auzail, Bukhari, Abu Zur’ah, Abu Hatim dan banyak lagi bahwa mereka memperingatkan dari perkataan debat, ta’wil dan ilmu kalam, Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, karya Abi Qashim al-Lalakai, vol. 1, hal. 151-186).
[58] Lihat Ushuludin, karya Fakhrurrazi, hal. 24, dan Al-Irsyad, karya Juwaini, hal. 25-37.
[59] Ushuludin, karya Fakhrurrazi, hal. 24.
[60] Lihat permulaan kitab At-Tauhid dan kitab Lushaf, keduanya karya Al-Baqlain; permulaan kitab Ushuluddin, karya Fakhrurrazi; permulaan kitab Al-Iqtishad fil I’tiqad, karya Ghozali; permulaan kitab Ushuluddin, karya Al-Baghdadi; permulaan kitab Al-Irsyad, karya Juwaini; permulaan kitab Al-I’tiqad wal Hidayah ila Sabilir Rasyad, karya Al-Baihaqi; dan kitab-kitab lain yang menjadi pegangan kaum Asya’irah, semuanya dimulai dengan pemikiran, teori-teori akal, ilmu kalam, menetapkan kaidah-kaidah pemikiran akal dan filsafat, hampir tidak disebutkan tauhid ibadah dan tujuan kecuali hanya sedikit sekali, padahal umat yang dulu dan sekarang ini sangat membutuhkannya.
[61] Lihat Al-Inshaf, hal. 62-126; Ushuludin, hal. 63-67; Al-Arbain fi Ushuluddin, hal. 27-28.
[62] Lihat kitab Al-Iman, karya Ibnu Taimiyah, hal. 100-102; Ushuluddin, hal. 91-105; Al-Iqtishad, hal. 165-179.
[63] Lihat Al-Inshaf, hal. 39-44; Al-Arbain fi Ushuluddin hal. 16-27.
[64] Lihat An-Nubuwwat, karya Ibnu Taimiyah, hal. 100-102; Ushuluddin, hal. 91-105; Al-Iqtishad, hal. 165-179.
[65] Di antara ulama yang banyak menjelaskan permasalahan ini juga meletakan pundamennya adalah syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, silakan lihat beberapa karyanya, di antaranya Al-Aqidah At-Tadmuriyah, Al-Fatwa Al-Hawariyah Al-Kubra, Al-Aqidah Al-Wasithiyah dan lihat pula Majmu’ Fatawa, vol. 4 ha. 1-190.
[66] Lihat pembahasannya yang telah lalu.
[67] lihat kitabnya Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah.
[68] Lihat kitabnya Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah.
[69] Lihat pembahasan pada hal yang terdahulu.
[70] Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 150-153.
[71] Ini sangat berbeda dengan tokoh-tokoh Aya’irah pertama, karena mereka lebih dekat kepada Sunnah, mereka belum terkontaminasi dengan sufisme, falsafat dan perdebatan (dialegtika), mereka adalah Ahlus Sunnah di dalam amal dan peribadatannya. Sedangkan kaum Asya’irah masa kini, kebanyakan mereka adalah pembela tarekat-tarekat sufi dan ahlu bid’ah di dalam masalah keyakinan dan peribadatan. Yang demikian itu, karena sikap tasahul (mengampang-gampangkan, kendor) di dalam masalah tauhid uluhiyah di dalam prinsip-prinsip dasar aqidah kaum Asya’irah, sebagaimana telah penulis ungkapkan di atas.
[72] Abul Hasan al-Asy’ari telah memproklamirkan kepatuhannya kepada aqidah salaf di dalam kitabnya “al-Ibanah…”. Silahkan anda pelajari.
[73] Itu hanya sekedar contoh saja, tidak secara pasti, karena untuk menetapkan ketetapan yang sesungguhnya membutuhkan studi yang lebih serius dan secara teliti. Penulis dalam hal ini hanya memberikan contoh saja.
[74] Hadits ini bersumber dari sejumlah besar para shahabat nabi diriwayatkan di dalam shahihain (Bukhari dan Muslim) dan lain-lain dengan redaksi yang berbeda-beda. Lihat: Shahih Bukhari- Fathul Bari, kitab al-Manaqib, bab ke 27 (6/632), Shahih Muslim, kitab: al-Imarat, bab 53. Hadits no. 1920-1924.
[75] Lihat hadits terdahulu di dalam bahasan “Mengenal Ahlus Sunnah”

Penafsiran makna "Tauhid" yang dibatasi pada "Tauhid Rububiyah" dan kelalaian mereka dari Tauhid Uluhiyah dan Ibadah.
Kita telah memahami bahwa para rasul datang mendakwahkan Tauhid Uluhiyah. Sebagaimana dalam Al-Qur'an surah Al-Anbiya' : 25, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada yang diibadahi (dengan haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu akan Aku."
Inilah tauhid yang menjadi tujuan diciptakannya jin dan manusia, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an surah Adz-Dzariyat ayat 56 : "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku."
Manhaj Asy'ari dalam Tauhid Uluhiyah tidaklah jelas. Hal ini karena beberapa sebab diantaranya adalah :
1. Definisi Al-Ilah yang mereka artikan sebagai "Yang Maha Kuasa untuk mencipta" seperti disebutkan oleh Al-Baghdadi yang dia nisbatkan kepada Abu Al-Hasan Al-Asy'ari.
2. Kitab-kitab karangan mereka dalam hal aqidah tidak membahas Tauhid Uluhiyah secara khusus. Bahkan para tokoh Asy'ariyah dalam tulisan-tulisan mereka menggunakan cara-cara ahli filsafat atau ahlu kalam. Mereka memulai tulisan-tulisannya dengan pengertian-pengertian logika, teori-teori, bukti kebenaran nyata berdasarkan akal, tashawwur dan berbagai istilah ahlu kalam dan filsafat. Kemudian penyebutan dalil-dalil naqliyah (tekstual) tidak memberikan faedah berupa keyakinan sedang dalil-dalil akal adalah qath'I (pasti) dan yakin. Setelah itu pembicaraan berpusat sekitar kejadian alam, penetapan pencipta dan hal-hal lain yang berasal dari filsafat dan ilmu kalam, kemudian alur pembicaraan akhirnya tertumpu pada penetapan Tauhid Rububiyah.
3. Asy'ariyah menetapkan bahwa kewajiban pertama bagi mukallaf (orang yang sudah mencapai masa baligh) adalah an-Nazhar (melihat) untuk menetapkan wujud Allah dan akhirnya keesaan Allah dalam dzat dan perbuatan. Bukan berarti Ahlusunnah mengenyampingkan Tauhid Rububiyah, tetapi orang-orang Asy'ariyah telah memulai dengan suatu hal yang tidak dicontohkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa salam. Sebab Tauhid Rububiyah adalah fitrah, hampir-hampir tidak ada yang mengingkari secara keseluruhan melainkan sedikit. Tidak pernah kita mengenal suatu umat yang sepakat untuk mengingkari Tauhid Rububiyah, kalaulah ada kita akan dapatkan dalam kisah-kisah para nabi. Sebaliknya kesesatan berbagai umat, firqah atau kelompok terdapat pada penentangan terhadap Tauhid Uluhiyah.
4. Sebagai akibat dari penafsiran tauhid yang dibatasi pada Tauhid Rububiyah oleh Asy'ariyah secara umum, kita jumpai bermacam bid'ah dalam ibadah bahkan perbuatan syirik atau membela perbuatan syirik pada orang-orang yang menisbatkan diri mereka kepada Asy'ariyah. Ini karena sikap remeh dan menganggap enteng Tauhid Uluhiyah. Disamping itu Asy'ariyah memang memiliki hubungan lama dengan Sufiyah. Al-Hafizh Ibnu Asakir menyebut lima tabaqat (generasi) orang-orang yang menisbatkan diri mengambil dari Abu Al-Hasan Asy'ari. Dari setiap tabaqat (generasi) terdapat orang yang ber-intisab kepada sufi.

Al Ibanah : Kupas Tuntas Penyimpangan Aqidah 
Al Asy’ariyah


Judul asli : Al-Ibaanah ‘An Ushulud Diyaanah

Penulis : Imam Abul Hasan Al Asy’ari
Taqdim : Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshari, Syaikh Isalamil Al Anshari, Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
Fisik : buku ukuran sedang, softcover, 242 hal
Penerbit : pustaka at Tibyan

Mayoritas kaum muslimin yang berada di berbagai belahan negeri Islam menisbatkan aqidah mereka kepada Abul Hasan Al-Asy’ary. Namun sangat disayangkan, mereka tidak mengenal sedikitpun tentang Abul Hasan dan juga tidak mengetahui aqidah terakhir yang beliau yakini yang menjadikan diri beliau termasuk dalam deretan imam-imam yang menjadi panutan. Kami ingin menerangkan kepada mereka hakikat sebenarnya tentang imam yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang-orang yang menisbatkan diri mereka kepada beliau dan berpegang dengan aqidah beliau berdasarkan literatur muktabar yang telah diteliti.

Siapa Abul  Hasan Al-Asy’ary?

Beliau adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ary -rahimahulloh- 

Lahir pada tahun 260 H. Identitas ini disebutkan oleh :

Abul Qasim Ali bin Hasan bin Hibatullah bin ‘Asaakir Ad-Dimasyqy [imam ibnu asaakir asy syafii]  dalam kitabnya Tabyiinul Kidzbil Muftari Fima Nusiba Ila Abil  Hasan Al-Asy’ary, Khathib Al-Baghdady dalam kitab Tarikh Baghdaady, Ibnu Khalkan dalam Wafayaatul A’ay an, Adz-Dzahaby dalam Tarikh Islam, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah dan Thabaqaatul Asy-Syaafi’iyah, Taajuddin As-Subki dalam ThabaqaatulAsy-Syaafl’iyah Kubra, Ibnu Farhun Al-Maaky dalam Dibadzul Madzhab Fi Al-A’yaanil AhliI Madzhab, Murtadha Az-Zubaidy dalam Itthaafus Saadatul Mutqin bt Syarh Asrar Ihya ‘Ulumuddtn, Ibnul Ammar Al-Hanbali dalam Syadzraat Adz-Dzahab fi Al-A’yaani min Dzahab dan lain-lain.

Imam Abul Hasan Al-Asy’ary datang ke kota Baghdad dan mengambil hadits dari Al-Hafizh Zakariya bin Yahya As-Saajy [Salah seorang murid Imam Ahmad bin Hanbal] salah seorang imam hadits dan fiqh, dari Abi Khalifah Al-Jumahi, Sahl bin Sarh, Muhammad bin Ya’qub al-Muqry dan Abdurrahman bin Khalaf Al-Bashry. Beliau banyak meriwayatkan dari mereka dalam kitab tafsir beliau berjudul Al-Mukhtazin. Beliau juga mengambil ilmu kalam dari gurunya yaitu suami ibunya yang bernama Abi Ali Al-Jubba’i, salah seorang tokoh Mu’tazilah.

Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit yang dikenal dengan sebutan Al-Khathib Al-Baghdady wafat tahun 463 H dalam tarikhnya yang terkenal, tarikh al Baghdadi  juz 10 halaman 346 berkata, “Abul Hasan Al-Asy’ary adalah pemilik berbagai kitab yang membantah kaum mulhid dan lain-lainnya dari kalangan Mu’tazilah, Rafidhah, Jahmiyah, Khawarij dan berbagai kelompok bid’ah lainnya.”…. kemudian beliau mengatakan, “Pada waktu itu kaum Mu’tazilah sedang berjaya hingga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala  memunculkan Abul Hasan Al-Asy’ary yang akhirnya menghujat mereka hingga tak berkutik.”

Ibnu Farhun berkata dalam kitab Ad-Dibaj, “Abu Muhammad bin Abi Zaid Al-Qiruwany dan imam-imam lainnya memberi pujian terhadap Abul Hasan Al-Asy’ary.”
Ibnul ‘Imad Al-Hanbali berkata dalam kitab Asy-Syadzaraat (II/303), “Di antara perkara yang membuat Ahli Sunnah semakin kuat dan membuat hina panji-panji kaum Mu’tazilah dan Jahmiyah serta menjelaskan kebenaran yang sudah nyata dan membuat dada ahli iman dan ahli ma’rifah sejuk adalah perdebatan Abul Hasan Al-Asy’ary dengan gurunya, Al-Jubbaa’i, yang hasilnya mematahkan kekuatan semua pelaku bid’ah dan tukang debat. Perdebatan ini sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Khalkan, “Abul Hasan Al-Asy’ary mengajukan tiga pertanyaan kepada ustadznya, Abu Ali Al-Jubbaa’i tentang tiga orang bersaudara. Yang pertama seorang mukmin, baik dan bertaqwa, yang kedua kafir, fasiq dan jahat dan yang ketiga masih kecil. Kemudian ketiga-tiganya mati, bagaimana keadaan mereka nanti?” Al-Jubba’i menjawab, “Adapun yang mukmin maka ia berada di tempat yang tinggi (surga), sedang yang kedua berada di tempat yang paling rendah (neraka) dan yang masih kecil termasuk orang-orang yang selamat (dari neraka).”

Abul Hasan Al-Asy’ary bertanya lagi, ‘Jika si kecil ingin ke tempat saudara yang mukmin tadi, apakah ia akan diberi izin?” Al-Jubba’i menjawab, “Tidak boleh! Karena akan dikatakan kepadanya bahwa saudaramu dapat mencapai derajat ini karena ia banyak beramal, sementara kamu tidak mempunyai amal ketaatan.” Abul Hasan Al-Asy’ary berkata, “Jika si kecil menjawab, “Kesalahan ini tidak terletak padaku, karena Allah tidak membiarkan usiaku panjang dan tidak mentakdirkan kepadaku untuk melaksanakan ketaatan.” Al-Jubba’i berkata, “Alloh Subhanahu Wa Ta’ala akan berkata, “Aku mengetahui, jika Aku biarkan usiamu panjang, kamu akan menjadi orang yang durhaka dan berarti kamu berhak mendapat azab yang pedih. Maka hal itu Aku lakukan demi kemaslahatanmu.”

Abul Hasan Al-Asy’ary berkata, “Jika saudaranya yang kedua berkata, “Wahai Ilaah semesta alam, sebagaimana Engkau mengetahui keadaannya tentunya Engkau juga sudah mengetahui keadaanku, lantas mengapa Engkau tidak memperhatikan kemaslahatanku?” Mendengar hal itu Al-Jubbaa’i pun terdiam.”

Ibnul Imaad berkata, “Perdebatan ini menunjukkan bahwa Alloh Subhanahu Wa Ta’ala memberikan rahmat-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan menimpakan azab atas siapa saja yang Dia kehendaki.”
Taajuddin As-Subki dalam Thabaqaat Asy-Syaafi’iyah, ia berkata, “Abul Hasan Al-Asy’ary seorang ulama besar Ahli Sunnah setelah Imam Ahmad bin Hanbal dan tidak diragukan lagi bahwa aqidah beliau sama dengan aqidah Ahmad bin Hanbal. Hal ini dengan jelas beliau sebutkan berkali-kali dalam buku-buku beliau, “Aqidahku seperti aqidah Al-Imam Ahmad bin Hanbal.” Demikianlah ucapan Syaikh Abul Hasan Al-Asy’ary di berbagai tempat dalam bukunya.

Ulama-ulama hadits sepakat bahwa Abul Hasan Al-Asy’ary adalah salah seorang imam ahli hadits dan madzhab beliau juga madzhab ahli hadits. Beliau berbicara tentang ushuluddin menurut metode ahlu sunnah, membantah kelompok sesat dan bid’ah. Beliau menghunuskan pedangnya terhadap kaum Mu’tazilah, Rafidhah dan para mubtadi’ dari kalangan kaum muslimin dan juga terhadap orang-orang kafir. Barangsiapa mencela atau mencerca beliau berarti ia telah mencela seluruh ahli sunnah. Karena Abul Hasan Al-Asy’ary bukanlah orang pertama yang berbicara atas nama ahli sunnah tetapi sebelum beliau banyak para pembela madzhab yang haq ini. Beliau memperkuat hujjah dan penjelasan. Beliau bukan orang yang telah membuat metode baru atau madzhab khusus dan tidak berada di luar madzhab yang telah dipaparkan dan dijelaskan oleh para imam selain beliau.

Abu Bakar Ibnu Faurak berkata, “Abul Hasan Al-Asy’ary meninggalkan madzhab Mu’tazilah dan berpegang pada madzhab ahlu sunnah pada tahun 300 H.

Di antara ulama-ulama yang mengatakan bahwa Abul Hasan Al-Asy’ary bertaubat dari madzhab Mu’tazilah adalah Abul Abbas
Syamsuddin Ahmad bin Muhammad bin Abi bakar bin Khalkan Asy-Syaafi’i [wafat pada tahun 681 H]. Beliau berkata dalam bukunya berjudul Wafayaaatul A’yaan (11/446), “Abul Hasan Al-Asy’ary dahulu adalah seorang penganut paham Mu’tazilah kcmudian bertaubat dari madzhab tersebut.”

‘Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasqy Asy-Syaafi’i [wafat pada tahun 774 H] mengatakan dalam kitabnya berjudul Al-Bidaayah wan Nihaayah (Xl/187), “Abul Hasan Al-Asy’ary dahulu adalah pengikut paham Mu’tazilah kemudian beliau bertaubat dari madzhab tersebut di kota Bashrah di atas mimbar lalu beliau membeberkan kekeliruan dan borok-borok Mu’tazilah.”
Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Ad-Dimasyqy Asy-Syaafi’i yang dikenal dengan sebutan Adz-Dzahaby [wafat pada tahun 748 H] berkata dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Uluw Lil ‘Aliyil Ghaffaar, “Dahulu Abul Hasan Al-Asy’ary adalah seorang penganut madzhab Mu’tazilah yang beliau ambil dari Abu Ali Al-Jubba’i   kemudian  beliau  membuang madzhab tersebut dan memberikan bantahannya, maka beliau pun menjadi seorang yang mendakwahkan As-Sunnah sesuai dengan imam-imam ahli hadits. Jika shahabat-shahabat kita yang mendalami ilmu kalam membaca buku Abul Hasan Al-Asy’ary tentunya mereka akan menjadikan buku tersebut sebagai pegangan dan tentunya mereka akan menjadi baik, namun mereka lebih suka menyelami ilmu tersebut sebagaimana para hukama’ terdahulu dalam menyelami sesuatu dan berjalan di belakang ilmu manthiq. Lahaula wala quwwata illa billah”

Taajuddin Abu Nashr Abdul Wahhab bin Taqiyyuddin As-Subky Asy-Syaafi’i [wafat taun 771 H] berkata dalam kitabnya Thabaqaat Asy-Syaafi’iyah AI-Kubra (11/246), “Abul Hasan Al-Asy’ary memegang madzhab Mu’tazilah selama 40 tahun hingga beliau menjadi seorang tokoh Mu’tazilah. Tatkala Allah ingin menolong agama-Nya, Dia mernbuka hati beliau untuk menerima kebenaran dan berdiam di rumahnya, menghilang dari keramaian masyarakat.” Kemudian ia menyebutkan perkataan Ibnu Asaakir yang lalu.

Burhanuddin Ibrahim bin Ali bin Muhammad bin Farhun Al-Ya’mari Al-Madany AI-Makky [wafat tahun 799 H] berkata dalam kitabnya yang berjudul Dibaajul Madzhab fi Ma’rifat A’yaani Ulama Madzhab hal. 193, “Pada awalnya Abul Hasan Al-Asy’ary adalah seorang penganut paham Mu’tazilah kemudian rujuk kepada madzhab yang benar yaitu madzhab Ah!u Sunnah. Banyak orang yang merasa heran hingga beliau ditanya tentang perkara tersebut, beliau menjawab bahwa beliau pernah melihat Nabi $g pada bulan Ramadhan yang memerintahkannya agar kembali kepada kebenaran dan membelanya. Demikianlah kenyataannya.

Sayyid Muhammad bin Muhammad Al-Husainy Az-Zubaidy yang dikenal dengan Murtadha Hanif [wafat pada tahun 1145 H] mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Ittihqfus Saadah Al-Muttaqiin Blsyarh Asraar Ihya’ ‘Ulumuddin (II/3), “Abul Hasan Al-Asy’ary mengambil ilmu kalam dari gurunya, Abu Ali Al-Jubbaa’i, salah seorang pembesar dan tokoh Mu’tazilah. Kemudian beliau meninggalkan gurunya tersebut disebabkan mimpi yang beliau lihat lalu beliau bertaubat dari paham Mu’tazilah dan mengumumkannya, beliau naik ke atas mimbar di kota Bashrah pada hari Jum’at dan berkata dengan lantang, “Bagi yang sudah mengenalku berarti ia telah mengetahui tentang diriku dan bagi yang belum kenal maka aku adalah fulan bin fulan, aku dahulu berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan di akhirat kelak makhluk tidak dapat melihat Allah serta para hamba menciptakan perbuatannya sendiri. Sekarang aku bertaubat dari keyakinan Mu’tazilah dan aku akan membantah keyakinan Mu’tazilah.”

Kemudian beliau memulai membantah keyakinan mereka dan menulis buku-buku bantahan terhadap mereka.
Kemudian   Sayyid   Muhammad   bin   Muhammad  Al-Husainy berkata lagi bahwa Ibnu Katsir berkata, “Disebutkan bahwa Abul Hasan AI-Asy’ary telah melalui tiga tahapan:

Tahapan pertama: Madzhab Mu’tazilah yang telah beliau tinggalkan secara total.

Tahapan kedua: Penetapan sifat aqliyah yang tujuh: Hayaat, Ilmu, Qudrah, Iradah, Mendengar, Melihat, Berkata-kata dan mentakwil khabar tentang wajah, dua tangan, kaki, betis dan yang semisalnya.

Tahapan ketiga: Menetapkan semua sifat-sifat Allah dengan tidak menanyakan tentang kaifiyah-Nya, tidak menyerupakan dengan makhluk dan membiarkannya menuait kaidah-kaidah manhaj salaf. Demikianlah metode beliau dalam kitab Al-Ibaanah yang merupakan tulisan beliau yang terakhir.

Dengan demikian jelaslah bahwasanya apa yang dinukil dari para ulama tersebut adalah suatu hal tidak diragukan lagi dan tidak ada keraguan lagi bahwa Abul Hasan Al-Asy’ary setelah meninggalkan paham Mu’tazilah beliau berpegang dengan aqidah salaf yang datang dari Al-Qur’anul Karim dan sunnah Nabi -Sholallahu Alaihi Wassalam-

Kitab Al Ibanaah

Al-Hafizh Asaakir dalam kitabnya Tcrbyiinu Kidzbil Muftari berkata, “Ibnu Hazm Azh-Zhahiry menyebutkan bahwa Abul Hasan Al-Asy’ary mempunyai 55 tulisan. Kemudian ia berkata, “Ibnu Hazm meninggalkan setengah dari jumlah tulisan beliau lantas tnenyebutkannya secara mendetail diantaranya kitab Al-Luma’ dan kitab yang menjelaskan tentang kekeliruan paham Mu’tazilah yang beliau beri judul Kasyful Asrar wa Hatkul Asrar.

Tafsir Al-Mukhtazin, menurut anggapannya sebanyak 500 jilid. Tidak satupun ayat yang berkaitan dengan kebid’ahan kecuali membatalkan kaitan tersebut dan menjadikannya sebagai hujjah bagi penganut kebenaran, menjelaskan yang masih global dan memberi penjelasan ayat yang rumit serta membatalkan apa yang telah diselewengkan oleh Al-Jubaa’i dan Al-Balkhi dalam tafsir mereka.

Kitab al-Fushul fi Raddi ‘Ala Mulhidiin wa Khaarijin ‘ala Mittah ka al-Falaasifah wa Thabaai’in wad Dahriyin wa Ahli Tasybih.

Maqalaat al-Muslimin yang mencakup semua perselisihan dan makalah-makalah kaum muslimin. Al-Hafizh Ibnu Asaakir menyebutkan dengan nama-nama serta tema kitab tersebut dalam kitabnya At-Tabyiin hal. 128 -136..

Ibnu Asaakir dalam buku At-Tabyiin hal. 128 berkata, “Tulisan-tulisan Abul Hasan Al-Asy’ary sudah masyhur dan populer di kalangan alim ulama. Upaya dan keakuratan beliau dalam meneliti mendapat pujian dari kalangan para peneliti. Barangsiapa yang membaca kitab Al-lbaanah pasti akan mengetahui kedudukan beliau dalam bidang ilmu dan agama.

Kemudian pada hal. 152, ia berkata, “Abul Hasan Al-Asy’ary mempunyai aqidah yang lurus sebagaimana yang telah disebutkan. Menurut pandangan ahli ilmu dan para kritisi, beliau mempunyai madzhab yang benar dan sesuai dengan apa yang dipegang oleh kebanyakan ulama yang senior (dalam bidang ilmu). Tidak ada yang mencela aqidah beliau melainkan orang-orang jahil dan keras kepala. Untuk menunaikan amanah, kita harus menceritakan aqidah beliau yang sebenarnya. Untuk menghindari sifat khianat maka kita berupaya tidak menambah-nambahi atau menguranginya agar pembaca mengetahui bagaimana sebenarnya keadaan beliau yang mempunyai keyakinan landasan agama yang benar.

Di antara para ulama yang menisbatkan buku Al-Ibaanah ini kepada Abul Hasan Al-Asy’ary adalah Al-Hafizh Al-Kabir Abu Bakar Ahmad bin Al-Husain bin Ali Al-Baihaqy, [wafat pada tahun 458 H] dalam kitabnya Al-I’tiqad wal Hidayah Ilaa Sabili Ar-Rasyaad pada bab Al-Qaulu bil Al-Qur’an hal. 31, “Asy-Syaafi’i menyebutkan bahwa bukti yang menunjukkan Al-Qur’an yang kita baca dengan lisan, yang kita dengar dengan telinga dan yang kita tulis dalam mushaf disebut Kalaamullah adalah bahwasanya Allah berbicara dengan Al-Qur’an kepada hamba-Nya dan mengutus Rasul-Nya dengan membawa Al-Qur’an dan maknanya. Hal ini juga disebutkan oleh Ali bin Ismail dalam kitabnya Al-lbaanah. Pada halaman 22 dalam buku yang sama ia berkata, “Abul Hasan Ali bin Ismail dalam kitabnya Al-Ibaanah berkata, “Jika seseorang berkata, “Kalian katakan bahwa Kalamullah ada di lauhul mahfuzh.” Maka dikatakan kepadanya, “Kami berkata seperti itu karena Allah fli berfirman:

Yang tersimpan dalam Lauhul Mahfuzh. ” (QS. AI-Buruuj: 21-22)
Jadi AI-Qur’an yang berada di Lauhul Mahfuhz itulah yang berada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu dan yang dibaca dengan lisan sebagaimana firman Alloh Subhanahu Wa Ta’ala 

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) AI-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. ” (QS. Al-Qiyaamah: 16)

Dan AI-Qur’an itulah yang tertulis dalam mushhaf, terpelihara dalam dada, terucap oleh lisan dan juga terdengar oleh kita. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan jika seseorang dari orang-orang musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya la sempat mendengar firman Allah. ” (QS. At-Taubah: 6)

Kemudian pada halaman 36, setelah menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa AI-Qur’an adalah Kalamullah bukan makhluk, beliau berkata, “Ali bin Ismail Abul Hasan AI-Asy’ary  berhujjah dcngan pasal-pasal ini.” Dari naskah manuskrip yang ditulis pada tahun 1086 H

Al-Hafizh Adz-Dzahaby juga menisbatkan kitab Al-Ibaanah kepada Abul Hasan Al-Asy’ary. la berkata dalam kitabnya Al-‘Uluw AI ‘Aliyil Ghaffaar hal. 278, ‘Abul Hasan Al-Asy’ary berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah ft ushulud Dlyaanah dalam bab istiwa’ (bersemayamnya Allah di atas arsy), “Jika seseorang berkata, “Apa pendapatmu tentang istiwa’?” Maka jawabnya, “Kami berpendapat bahwa Allah beristiwa’ di atas Arsy sebagaimana firman Allah

“(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thaahaa: 5) ‘  Demikianlah hingga akhir kitab Al-Ibaanah.
Lantas ia berkata, “Kitab Al-Ibaanah adalah kitab Abul Hasan Al-Asy’ary yang paling populer. Kitab ini diperkenalkan oleh Al-Hafizh Ibnu Asaakir. Kitab ini disalin dan dipegang oleh Al-Imam Muhyiddin An-Nawawy.

Adz-Dzahaby meriwayatkan dari Al-Hafizh Abul Abbas Ahmad bin Tsabit Ath-Thuraqy, bahwa ia berkata, “Aku membaca kitab Abul Hasan Al-Asy’ary yang berjudul Al-Ibaanah tentang dalil yang menetapkan bahwa Allah bersemayam di atas Arsy. la juga menukil dari Abu Ali Ad-Daqqaaq bahwa ia mendengar Zahir bin Ahmad Al-Faqih berkata, “Imam Abul Hasan Al-Asy’ary wafat di rumahku. Ketika sedang sekarat beliau mengucapkan, “Semoga Allah melaknat Mu’tazilah yang keliru dan bodoh.” sampai di sini selesai ucapan Adz-Dzahabi.
Di antara yang menisbatkan buku ini kepada Imam Abul Hasan Al-Asy’ary adalah Ibnu Farhuun Al-Maaliky. la berkata dalam kitabnya Ad-Dibaaj hal. 193-194, “Di antara kitab yang ditulis Abul Hasan Al-Asy’ary adalah Al-Luma’ Al-Kabir, Al-Luma’ Ash-Shaghir dan kitab Al-Ibaanah fl Ushulid Diyaanah.”

Di antara yang menisbatkan buku ini kepada Imam Abul Hasan Al-Asy’ary adalah Abu Fallah Abdul Hayyi bin ‘Imaad Al-Hanbaly [wafat pada tahun 1098 H]. la berkata dalam kitabnya Syadzaraat Adz-Dzahab fi  A’yaanil Madzhab (11/303), “Abul Hasan Al-Asy’ary telah berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah ft Ushulid Diyaanah dan ini adalah kitab beliau yang terakhir. Dan kitab ini menjpakan pegangan bagi para pembela beliau terhadap orang-orang yang mencela beliau. Kemudian Abu Fallah menyebutkan satu pasal lengkap dari buku Al-lbaanah tersebut.

Di antara yang menisbatkan buku ini kepada Imam Abul Hasan Al-Asy’ary adalah Sayyid Murtadha Az-Zubaidy. la berkata dalam kitab Ithaafus Saadah AI-Muttaqiin bi Syarhi Asraari Ihya’ Ulumuddin (II/2), “Setelah Abul Hasan Al-Asy’ary meninggalkan madzhab Mu’tazilah beliau menulis kitab At-Mujiz sebanyak 3 jilid, kitab Mufiid fi Radd ala Jahmiyah wal Mu’tazilah, Maqalaatul Islamiyin dan kitab Al-Ibaanah.

Telah kita singgung perkataan Ibnu Katsir bahwa Al-Ibaanah adalah kitab terakhir yang ditulis oleh Abul Hasan Al-Asy’ary.

Di antara yang meyebutkan bahwa Al-Ibaanah adalah tulisan Abul Hasan AJ-Asy’ary adalah Abul Qaasim Abdul Malik bin Isa bin Darbas Asy-Syaafi’I [w 605H]  ia berkata dalam kitab Adz-Dzabb ‘An Abil Hasan Al-Asy’ary, “Wahai saudara-saudara sekalian! Ketahuilah bahwa Al-Ibaanah ‘An Ushulud Diyaanah adalah kitab yang ditulis oleh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Isma’il Al-Asy’ary yang merupakan keyakinan beliau yang terakhir berkat kanunia dan rahmat Allah, buku ini berisikan kepercayaan beliau dalam agama Allah  setelah beliau bertaubat dari keyakinan Mu’tazilah. Semua buku yang dinisbatkan kepada beliau yang bertentangan dengan yang beliau rulis setelah beliau bertaubat maka beliau tidak bertanggung jawab di depan Allah. Sebab dengan tegas beliau menyatakan bahwa (buku) ini mengungkapkan kepercayaan beliau dalam agama Allah. Beliau meriwayatkan dan menetapkan bahwa buku tersebut berisi keyakinan para shahabat, tabi’in, imam-imam hadits yang terdahulu dan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal -rahimahulloh-  Isi buku tersebut dapat dibuktikan kebenarannya dari kitabullah dan sunnah Rasulullah Lantas apakah boleh dikatakan bahwa beliau telah bertaubat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah? Lalu dari madzhab manakah beliau bertaubat? Bukankah meninggalkan madzhab Al-Qur’an dan Sunnah Nabi bertentangan dengan ajaran yang dipegang oleh para shahabat, tabi’in dan para imam ahli hadits yang diridhai? Berarti jelaslah bahwa beliau berada di atas madzhab mereka dan meriwayatkan dari mereka. Sungguh hal ini tidak pantas dilakukan oleh orang awam muslimin apalagi para imam kaum muslimin! Atau apakah dikatakan bahwa beliau jahil terhadap apa yang beliau nukil dari para salaf terdahulu padahal 13 Wafat tahun 605 H.

Beliau telah menghabiskan usia untuk meneliti berbagai madzab  dan rnengetahui berbagai jenis agama. Bagi orang yang insyaf akan mengakui hal ini dan tidaklah berprasangka seperti itu kecuali seorang yang takabbur dan congkak.”

la (Abul Qasim ibnu darbas) ada menyinggung tentang kitab al ibaanah  serta menjadikannya sebagai pegangan dan me nyimpulkan  kitab itu adalah tulisan Abul Hasan Al-Asy’ary. Ia juga memuji isi kitab tersebut dan membersihkan segala kebid’ahan yang dituduhkan  kepada beliau. Banyak para imam terkenal dari kalangan pakar ahu fiqih Islam, qurra’, para penghafal hadits dan lain-lain menukil dari kitab Al-Ibaanah ini.

Ibnu Darbas menyebutkan kelompok yang telah kita singgung tadi dan ditambahkan oleh Al-Hafizh Abul Abbas Ahmad bin Tsabit Al-‘Iraqy dan disebutkan bahwa beliau menjelaskan dalam bukunya tentang masalah istiwa’, “Aku melihat orang-orang Jahmiyah berorientasi pada keyakinan yang menafikan ketinggian Allah di atas arsy-Nya dan menakwil kata istiwa’ lantas menisbatkan hal itu kepada Abul Hasan Al-Asy’ary. Ini bukanlah awal kebatilan yang mereka ucapkan dan bukan pula awal kedustaan yang mereka lontarkan. Aku telah rnelihat berbagai dalil penetapan sifat istiwa’ yang tercantum dalam kitab beliau yang bernama Al-Ibaanah ‘An Ushulul Diyaanah, seperti yang telah aku sebutkan. Al-Imam Al-Ustadz Al-Haafizh Abu Utsman Isma’il bin Abdirrahman bin Ahmad Ash-Shaabuni tidak keluar dari majelis ta’limnya kecuali kitab Al-Ibaanah tulisan Abul Hasan Al-Asy’ary dalam pegangannya dan menampakkan kekaguman beliau terhadap kitab tersebut dan berkata, “Tiada alasan untuk mengingkari kitab ini yang berisi penjelasan madzhabnya.”

Di antara yang menisbatkan buku ini kepada Imam Abul Hasan AI-Asy’ary  adalah AJ-Faqih Abul-Ma’aly Mujla pemilik kitab Fiqih Adz-Dzakhaair. Ibnu Darbas berkata, “Beberapa orang telah menceritakan kepadaku dari Abi Muhammad AI-Mubaarak bin Ali Al-Baghdaadi dan aku nukil dari tulisan Abul Hasan Al-Asy’ary sendiri pada akhir kitab Al-Ibaanah, ia berkata, “Aku menukil semuanya dari naskah yang disimpan oleh Syaikh AI-Faqih Al-Mujalla Asy-Syaafi’i yang beliau keluarkan dari sebuah jilid. Kemudian aku menyalinnya dan memperlihatkan kepada beliau. Beliau (AI-Faqih AI-Mujalla Asy-Syaafi’i) menjadikan keterangan yang terdapat dalam  kitab itu   (Al-lbaanah) sebagai pegangan  beliau seraya berkata, “Sungguh hebat penulisnya, ia mematahkan hujjah siapa saja yang mengingkarinya.” Hal ini ia katakan langsung kepadaku dan berkata, “Inilah madzhab yang aku pegang. Aku menukilnya pada tahun 540 H di kota Makkah dan inilah akhir dari apa yang aku nukil dari tulisan Ibnu Baththah dan menyebutkan di antara orang-orang yang menisbatkan Al-Ibaanah kepada Abul Hasan AI-Asy’ary ialah Abu Muhammad bin Ali AI-Baghdady yang tinggal di Makkah. Ibnu Darbas berkata, ‘Aku menyaksikan naskah kitab Al-Ibaanah yang beliau (Abul Hasan Al-Asy’ary) tulis dari awal hingga akhir milik guru kami, pimpinan ulama AI-Faqih Al-Haafizh Ai-‘Allamah Abul Hasan bin Mufadhdhal Al-Maqdisy lalu aku menyalinnya. Kemudian aku bandingkan dengan naskah lain yang telah kutulis dari kitab Al-Imam Nashr Al-Maqdisy di Baitul Maqdis. Beberapa shahabat kami memperlihatkannya kepada salah seorang tokoh Jahmiyah di Baitul Maqdis yang menisbatkan diri secara dusta kepada Abul Hasan AI-Asy’ary, namun ia mengingkari dan menyangkalnya seraya berkata, “Kami belum pernah rnendengar tentang buku itu! Buku itu bukan tulisan Abul Hasan AI-Asy’ary!”

Pada akhirnya ia berusaha mengingkarinya dengan akal piciknya untuk menepis syubhat dalam otaknya, sambil menggaruk-garuk janggutnya ia berkata, “Mungkin buku ini ditulis saat beliau masih sebagai seorang hasyawi (kacau pikirannya}.”

Ibnu Darbaas berkata, “Aku tidak tahu perkara mana yang lebih aneh, apakah tentang kejahilannya terhadap kitab yang terkenal itu dan banyak disebutkan oleh para ulama dalam buku-buku mereka, atau kejahilannya terhadap kondisi gurunya dengan menisbatkan kedustaan kepada beliau dan ketenaran beliau di kalangan umat Islam baik di kalangan terpelajar maupun awam. Terhadap guru mereka yang mereka jadikan pegangan mereka berani berbuat seperti ini, apalagi terhadap para salaf dan imam terdahulu dari kalangan shahabat, tabi’in, pakar fiqih dan hadits, tentunya mereka tidak pernah mengindahkan kitab-kitab mereka dan tidak pernah memperhatikan hadits- hadits. Demi Allah mereka sangat jahil dalam perkara ini. Bagaimana tidak, sebagian dari mereka menyatakan dengan suka rela menisbatkan diri kepada Abul Hasan Al-Asy’ary, namun realitanya mereka menyelisihi kitab Abul Hasan Al-Asy’ary yang di dalamnya disebutkan tentang taubat beliau dan prinsip agama yang beliau pegang. Penulis mengambil prinsip yang tercantum dalam kitab yang pertama. Padahal yang bertentangan dengan hal itu justru lebih tepat dan lebih benar, agar sesuai dengan kaidah dan agar tercapai kata sepakat dalam masalah ini.”

Selesailah penukilan ucapan Ibnu Darbas -rahimahulloh-
Artikel: http://al-aisar.com/

Perbedaan Pokok Antara Aqidah Asy'ariah Dengan Aqidah Ahlusunnah Wal Jama'ah

Disebut aqidah Asy'ariah karena pencetus awalnya adalah Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari. Pada awalnya beliau adalah tokoh firqah Mu'tazilah (paham rasionalisme) sebelum beliau bertaubat kembali kepada pemahaman Manhaj Salaf, karena sejak kecil beliau diasuh oleh Bapak angkatnya yang juga sebagai tokoh Mu'tazilah pada masa itu yakni Abu Ali al-Jubba'i. Maka tidak heran jika beliau juga menjadi tokoh Mu'tazilah pada waktu itu disebabkan kecerdasan yang beliau miliki atas karunia Allah Ta'ala. Kemudian atas taufiq dari Allah Ta'ala, beliau menyadari atas kekeliruannya selama ini dan dengan ijin Allah jua beliau mengoreksi kembali dan memberikan bantahan atas penyimpangan-penyimpangan pemahaman Mu'tazilah yang beliau kagumi selama 40 tahun. Walau, tatkala itu beliau pun masih menonjolkan akal dalam menyergah faham-faham Mu'tazilah. Dan itu merupakan proses perjalanan panjang pemikiran dan keyakinan Abu Al-Hasan Al-Asy'ari yang akhirnya berujung pada sikapnya untuk kembali kepada ajaran yang haq, yakni berpegang kepada pemahaman salaf.
Dalam mengomentari perkembangan pemikiran Al-Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari, Al-Imam Ibnu Katsir berkata, "Mereka menyebut bahwa Abu Al-Hasan Al-Asy'ari memiliki tiga tahapan :
Pertama :

Memegangi paham Mu'tazilah dimana kemudian beliau taubat tak diragukan lagi.

Kedua :

Menetapkan tujuh sifat bagi Allah berdasarkan akal yakni: Al-Hayat, Al-Ilmu, Al-Qudrah, Al-Iradah, As-Sam'u, Al-Bashar, Al-Kalam dan menta'wil sifat-sifat khabariyah seperti, wajah Allah, tangan Allah, kursi Allah dan lain-lain.

Ketiga :

Menetapkan semua sifat Allah tanpa takyif dan tasybih sesuai dengan pemahaman as-Salaf sebagaimana dalam kitab Al-Ibanah 'An Ushul Ad-Dieniiyah yang merupakan tulisan terakhirnya. (Dan kitab ini merupakan taubat dan kembalinya beliau kepada Manhaj Salaf-pen) Pengaruh Mu'tazilah yang sangat kuat membawanya melalui tahapan kedua sebelum akhirnya kembali pada madzhab salaf yang murni.

Meski demikian, pemahaman yang telah dikembangkan oleh beliau dikala belum kembali kepada manhaj yang haq, hingga kini masih bergulir dan digeluti oleh banyak kaum muslimin. Dan yang paling menonjol diantara faham yang pernah diajarkannya adalah berkenaan dengan penetapan 7 sifat wajib bagi Allah dan 7 sifat mustahil bagi Allah. Dan yang kemudian dikembangkan oleh Syaikh Maturidiyah menjadi 13 sampai 20 sifat. Dan bila ditelusuri lebih lanjut, nyatalah bahwa penetapan sifat wajib dan mustahil bagi Allah sebanyak tujuh sifat merupakan penetapan beliau berdasarkan akal. Padahal, untuk masalah-masalah yang menyangkut eksistensi Allah, segala penetapannya harus bersandar kepada apa yang telah dikhabarkan oleh Allah Ta'ala melalui firmanNya dan RasulNya shallallahu 'alaihi wa salam melalui hadits-haditsnya yang shahih dengan tanpa ta'thil, takyif, tahrif, tasybih atau tamsil. Oleh karena itu, ada kesalahpahaman yang sempat melanda kaum muslimin, baik dulu maupun sekarang. Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa aqidah Asy'ariyah tidak berbeda dengan aqidah Ahlussunnah, atau mereka itulah Ahlusunnah yang sesungguhnya.
Perlu diketahui bahwa Asy'ariyah dalam masalah aqidah, telah melewati masa-masa yang kian menambah jarak antara mereka dengan Ahlussunnah. Terutama setelah para tokohnya yang datang terakhir memasukkan prinsip-prinsip keyakinan yang diambil dari filsafat, tasawuf, mantiq dan ilmu kalam. Pada gilirannya Asy'ariyah tercemari oleh pemikiran-pemikiran bathil. Mereka (Asy'ariyah) sejalan dengan Ahlusunnah dalam beberapa masalah aqidah dan berbeda dalam beberapa perkara lainnya. Beberapa masalah penting yang menjadi perbedaan antara Asy'ariyah dengan Ahlussunnah adalah :
Pertama :

Penafsiran makna "Tauhid" yang dibatasi pada "Tauhid Rububiyah" dan kelalaian mereka dari Tauhid Uluhiyah dan Ibadah.

Kita telah memahami bahwa para rasul datang mendakwahkan Tauhid Uluhiyah. Sebagaimana dalam Al-Qur'an surah Al-Anbiya' : 25, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada yang diibadahi (dengan haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu akan Aku."
Inilah tauhid yang menjadi tujuan diciptakannya jin dan manusia, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an surah Adz-Dzariyat ayat 56 : "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku."
Manhaj Asy'ari dalam Tauhid Uluhiyah tidaklah jelas. Hal ini karena beberapa sebab diantaranya adalah :
1. Definisi Al-Ilah yang mereka artikan sebagai "Yang Maha Kuasa untuk mencipta" seperti disebutkan oleh Al-Baghdadi yang dia nisbatkan kepada Abu Al-Hasan Al-Asy'ari.
2. Kitab-kitab karangan mereka dalam hal aqidah tidak membahas Tauhid Uluhiyah secara khusus. Bahkan para tokoh Asy'ariyah dalam tulisan-tulisan mereka menggunakan cara-cara ahli filsafat atau ahlu kalam. Mereka memulai tulisan-tulisannya dengan pengertian-pengertian logika, teori-teori, bukti kebenaran nyata berdasarkan akal, tashawwur dan berbagai istilah ahlu kalam dan filsafat. Kemudian penyebutan dalil-dalil naqliyah (tekstual) tidak memberikan faedah berupa keyakinan sedang dalil-dalil akal adalah qath'I (pasti) dan yakin. Setelah itu pembicaraan berpusat sekitar kejadian alam, penetapan pencipta dan hal-hal lain yang berasal dari filsafat dan ilmu kalam, kemudian alur pembicaraan akhirnya tertumpu pada penetapan Tauhid Rububiyah.
3. Asy'ariyah menetapkan bahwa kewajiban pertama bagi mukallaf (orang yang sudah mencapai masa baligh) adalah an-Nazhar (melihat) untuk menetapkan wujud Allah dan akhirnya keesaan Allah dalam dzat dan perbuatan. Bukan berarti Ahlusunnah mengenyampingkan Tauhid Rububiyah, tetapi orang-orang Asy'ariyah telah memulai dengan suatu hal yang tidak dicontohkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa salam. Sebab Tauhid Rububiyah adalah fitrah, hampir-hampir tidak ada yang mengingkari secara keseluruhan melainkan sedikit. Tidak pernah kita mengenal suatu umat yang sepakat untuk mengingkari Tauhid Rububiyah, kalaulah ada kita akan dapatkan dalam kisah-kisah para nabi. Sebaliknya kesesatan berbagai umat, firqah atau kelompok terdapat pada penentangan terhadap Tauhid Uluhiyah.
4. Sebagai akibat dari penafsiran tauhid yang dibatasi pada Tauhid Rububiyah oleh Asy'ariyah secara umum, kita jumpai bermacam bid'ah dalam ibadah bahkan perbuatan syirik atau membela perbuatan syirik pada orang-orang yang menisbatkan diri mereka kepada Asy'ariyah. Ini karena sikap remeh dan menganggap enteng Tauhid Uluhiyah. Disamping itu Asy'ariyah memang memiliki hubungan lama dengan Sufiyah. Al-Hafizh Ibnu Asakir menyebut lima tabaqat (generasi) orang-orang yang menisbatkan diri mengambil dari Abu Al-Hasan Asy'ari. Dari setiap tabaqat (generasi) terdapat orang yang ber-intisab kepada sufi.
Kedua :

Mendahulukan akal yang mereka istilahkan dengan kepastian-kepastian akal dari pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam perkara-perkara ghaib, I'tiqad dan sifat-sifat Allah.

Beberapa permasalahan penting yang menjadi kesepakatan Asy'ariyah, Maturidiyah, Mu'tazilah dan Jahmiyah adalah mendahulukan akal daripada wahyu. Kaidah mereka dalam hal ini diungkap oleh Al-Juwaini dan Ar-Razi dan juga yang lainnya, yaitu dalil naqli tidak memberikan faedah berupa keyakinan, karena dalil naqli sifatnya zhanni sedang dalil aqli sifatnya qath'I (pasti), perkara yang bersifat zhanni (dugaan) tidak bisa menentang yang qath'i.
Oleh karena itu, lihatlah di dalam majlis-majlis mereka dalam membahas perkara-perkara agama sedikit sekali mereka menggunakan cara-cara Ahlusunnah dalam menyampaikan ilmu dien yakni cara ahlu hadits/ ahlu atsar. Kebanyakan mereka berbicara tentang agama dengan kepastian kebenaran akal. Bisa jadi pembahasan satu ayat Al-Qur'an atau hadits Nabi, ditakwilkan dengan berbagai macam-macam bentuk penakwilan agar dapat diterima oleh akal-akal mereka dan memuaskan hawa nafsunya. Mereka memulai penyampaian ilmu dengan pengertian-pengertian logika, teori-teori, bukti kebenaran nyata berdasarkan akal, tashawwur dan berbagai istilah ahlu kalam dan filsafat. Kemudian penyebutan dalil-dalil naqliyah (tekstual) tidak memberikan faedah berupa keyakinan sedang dalil-dalil akal adalah qath'I (pasti) dan yakin. Setelah itu pembicaraan berpusat sekitar kejadian alam, penetapan pencipta dan hal-hal lain yang berasal dari filsafat dan ilmu kalam, kemudian alur pembicaraan akhirnya tertumpu pada penetapan Tauhid Rububiyah
Ketiga :

Asy'ariyah tenggelam dalam ta'wil sifat-sifat Allah yang telah dilarang oleh para salaf as-Shalih

Asy'ariyah dan para pengikutnya seperti Maturidiyah dan lain-lainnya. Mereka, dalam mengimani masalah Asma' dan Sifat Allah adalah dengan menetapkan nama-nama Allah dan sebagian sifat-Nya serta menolak sebagian besarnya. Mereka menetapkan nama-nama dan menolak sebagian besar sifat-sifat Allah berdasarkan kesesuaian akal manusia. Mereka menetapkan sifat tujuh bagi Allah yakni Al-Iradah, Al-Qudrah, Al-'Ilmu, Al-Hayah, Al-Bashar, As-Sama', dan Al-Kalam. Mereka meyakini sifat-sifat yang mereka tolak itu bila ditetapkan (menurut mereka) akan terjadi tasybih (penyerupaan dengan makhluk). Mereka katakan, "Kami menetapkan sifat tujuh bagi Allah ini lantaran secara akal memang demikian."
Cobalah lihat cara mereka menetapkan sifat-sifat Allah itu dengan logika: "Dengan adanya makhluk, berarti menunjukkan bahwa Allah itu Al-Qudrah (memiliki sifat kuasa). Kemudian, dengan adanya makhluk yang mempunyai kekhususan masing-masing menunjukkan Allah itu mempunyai sifat Al-Iradah (berkehendak). Selanjutnya, dengan ihkam (keserasian penciptaan) makhluk menunjukkan Allah itu mempunyai sifat Al-Ilmu (berilmu). Dan semua sifat-sifat Al-Ilmu, Al-Qudrah, Al-Iradah menunjukkan Allah itu hidup (Al-Hayyu) dan hidup tentunya mempunyai sifat Al-Bashar (melihat), As-Sam'u (mendengar), Al-Kalam (berbicara). Inilah sifat yang sempurna, kemudian meletakkan sifat-sifat yang berlawanan dengan hal-hal di atas, seperti bisu, buta, dan tuli sebagai sifat terlarang bagi Allah."
Adapun sifat-sifat Allah yang lain yang mereka tolak karena tidak cocok dengan akal mereka. Mereka menolak sifat-sifat itu dengan cara menakwil dengan merubah makna asli kepada makna yang lain. Ta'wil yang mereka lakukan khususnya pada sifat-sifat khabariyah seperti tangan, mata, wajah, istiwa', nuzul (turunnya Allah ke langit dunia), benci, ridha dan lain-lain. Asy'ariyah tidak mengimaninya seperti kedatangan kabar-kabar tentang itu sebagaimana yang dilakukan oleh Salaf as-Shalih. Tetapi mereka mena'wil dan memalingkan lafazh-lafazhnya dari bentuk zhahirnya. Hal ini menurut mereka karena adanya tajsim (menjasmanikan) dan tamsil (menyerupakan). Mereka lalai bahwa akibat dari perbuatan ini berarti mereka telah berbuat tahrif (penyimpangan) pada kalam Allah dan mena'wil maknanya. Mereka juga berkata tentang Allah tanpa dilandasi ilmu dan keharusan-keharusan lainnya (perangkat dalam memahami ilmu agama) akibat dari perbuatan ta'wil serta menafikan (menolak) sikap penyerahan terhadap Allah. Bagaimana mungkin Allah memberitakan tentang diri-Nya atau Rasulullah shallallahu 'alahi wa salam dengan sesuatu yang tidak layak atau mengharuskan tasybih dan tajsim, kemudian baru dapat disingkap kebenarannya oleh ahlu kalam setelah abad III hijriyah. Tidak mungkin pemahaman yang benar tentang sifat-sifat Allah itu terlepas dari para shahabat, tabi'in dan salaf al-Ummah yang lainnya. Padahal Allah telah menutup pintu tasybih dan tamsil dengan firmanNya yang artinya :
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (As-Syura: 11)
Kaidah Ahlussunnah wal Jama'ah dalam menyikapi tentang khabar-khabar yang datang dari Allah dalam kitab-Nya dan apa yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu 'alahi wa salam yang tertera dalam kitab-kitab hadits yang shahih adalah wajib untuk diimani, baik dipahami maknanya atau tidak, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa':136 yang artinya :
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." ( An-Nisa' : 136 )
Atau surat An-Nisa' : 170 yang artinya :

"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad shallallahu 'alaihi wa salam) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Rabbmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalh kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (An-Nisa' : 170 )

Dalam hal ini, apa yang sudah disepakati oleh Salaf al-Ummah dan imam-imam Ahlussunnah yang menerima nash-nash yang berhubungan dengan asma' dan sifat, seperti bersemayam (istiwa'), tangan (al-yad) dengan tanpa tahrif, ta'thil, takyif, tasybih atau tamsil.
Mentauhidkan Allah dalam asma dan sifat-sifat-Nya termasuk perkara yang amat besar dalam pembahasan ilmu ushuluddin. Pendapat-pendapat para ahli filsafat dan ahli Ilmu Kalam telah rancu dan simpang siur dalam masalah ini. Ada yang menafikan sama sekali, ada yang mengakui asma Allah secara mujmal tapi menafikan sifat-sifat-Nya dan ada pula yang mengakui kedua-duanya (asma dan sifat) tetapi menolak sebagiannya dan mentakwilnya dengan mengubah makna dan lafazhnya. Dalam masalah ini, Salafush Shalihin mengimani seluruh apa yang ada pada Kitabullah dan yang disebutkan dengan Sunnah yang shahih tanpa tahrif (menyimpangkan lafazh kepada lafazh yang lain), ta'thil (mengurangi/menolak), takyif (menanyakan bagaimana hakikatnya), tasybih (penyerupaan dengan makhluk) atau tamsil. Mereka meyakini bahwa asma Allah Ta'ala dan sifat-sifat-Nya bersifat tauqifiyah (apa adanya dari Allah dan Rasul-Nya) tak boleh ditetapkan (itsbat) atau ditolak (dinafikan) kecuali dengan izin syara'. Yakni mereka tidak mengitsbat asma dan sifat untuk Allah kecuali asma dan sifat yang Allah itsbatkan sendiri dan yang diitsbatkan Rasul untuk diri-Nya dengan izin Allah. Dan bahwa asma dan sifat yang telah tetap bagi Allah ialah bahwa Dia tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, bahkan seluruh sifat-sifat kesempurnaan yang tetap bagi Allah yang disebutkan oleh nash-nash yang jelas adalah khusus buat-Nya saja. Jika ada asma yang ditetapkan bagi Allah tetapi juga dimiliki makhluk-Nya, maka persamaan tersebut hanya dalam lafazh, tidak dalam hakikat. Karena dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak sama dengan dzat-dzat selain Allah, maka sifatnya pun demikian, karena Allah itu tidak dapat disamakan dengan makhluk-Nya baik pada dzat maupun sifat-Nya. Seperti contoh di dalam firman-Nya bahwa Allah mempunyai tangan (yaddullah), ini berarti bahwa tangan Allah berbeda dengan tangan makhluk-Nya. Hanya sama dalam lafazh tetapi berbeda dalam hakikat. Sebagaimana kata Ibnu Abbas yang artinya :
"Tidaklah sama apa-apa yang di surga dengan apa yang ada di dunia kecuali hanya sama dalam masalah nama." (Sanadnya shahih. Lihat dalam Taqrib at_tadmuriyah, hal. 42)
Dan dalam hadits Qudsi dengan sanad yang shahih yang artinya : "Telah Kami siapkan untuk hamba-Ku yang shalih apa-apa (nikmat surga) yang tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak juga didengar oleh telinga dan tidak pernah terdetak di hati manusia." Padahal Allah telah mengkhabarkan di dalam Al-Qur'an tentang kenikmatan di surga, seperti Allah memberitakan, dalam surga itu ada makanan, minuman, pakaian, istri-istri, rumah, kurma, anggur, buah-buahan, daging, arak, susu, madu, air, emas, perka, dan lain-lain. Berita-berita tersebut benar dan benar-benar ada. Walau nama-nama tersebut sama dengan apa yang ada di dunia tetapi hakikatnya berbeda, kita tidak mengetahuinya. Apalagi tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah Yang Maha Suci, tentu Allah Yang Maha Tahu tentang hakikat diri-Nya.
Mengenai pembatasan sifat-sifat Allah menjadi beberapa bahagian, misal sifat wajib dan mustahil bagi Allah atau sifat wajib bagi Allah ada 13 atau 20, hal ini sangat bertentangan dengan hukum syara' dan kaidah salafush-shalih. Karena Allah lah yang mengetahui tentang diri-Nya sendiri bukan makhluk-Nya. Karena jika sifat Allah dibatasi berarti hilang lah kesempurnaan bagi Allah, karena dengan pembatasan tersebut berarti mengurangi kesempurnaan bagi Allah Yang Maha Sempurna. Sekiranya Allah menyebutkan tentang diri-Nya dalam Asma-ul Husna, maka kita wajib mengimani apa adanya dengan tanpa pembatasan, mengurangi atau menambah, takwil, penyimpangan makna dll. Maka kita wajib mengimani apa-apa yang diterangkan Allah di dalam kitab-Nya yang mulia (Al-Qur'an) dan petunjuk Rasul-Nya. Sedangkan makhluk-Nya mengetahui asma dan sifat Allah hanya sebatas asma-asma dan sifat-sifat Allah yang Allah terangkan di dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. Selain itu Allah lah Yang Maha Tahu.
Dalam menyikapi akal sebagai karunia yang diberikan oleh Allah kepada manusia, maka manhaj Ahlussunnah memberikan penjelasan yang gamblang dan terang. Kita mengetahui bahwa akal adalah media pengetahuan yang terbatas yang tak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib kecuali dengan gambaran semata, tidak sampai yakin. Para salafush shalihin mengimani apa yang diberitakan oleh nash Al-Qur'an dan sunnah Nabi-Nya yang mulia dalam perkara-perkara ghaib dengan tidak mencoba-coba memikirkan hakikat sebenarnya, karena hal itu di luar jangkauan akal. Membatasi akal dari memikirkan perkara-perkara seperti itu bukan berarti membelenggunya secara keseluruhan, karena kaum muslimin telah sepakat bahwa seorang anak kecil dan orang gila tidak terkena taklif (beban syari'at) lantaran akalnya kurang. Allah juga menyuruh kita untuk mentadaburi kitab-Nya, dan tadabur ini tidak mungkin kecuali dengan akal. Akal hanya dilarang digunakan untuk masalah yang bukan bidangnya atau digunakan untuk menarik kesimpulan bagi manhaj (metodologi) yang bertentangan dengan manhaj Al-Qur'an dan Sunnah. Sikap salafush-shalihin dalam mensyukuri nikmat akal sebagai karunia dari Allah adalah bahwa mereka tidak mengunggulkan akal, tidak menuhankannya dan tidak menganggapnya cukup dan berdiri sendiri, tetapi mereka menempatkan fungsi akal sesuai dengan kedudukannya. Mereka menggunakan akal dalam batas-batas wilayahnya, seperti dalam mentafakuri alam, dalam masalah-masalah fikih (amaliah) dan dalam menemukan ilmu-ilmu yang bersifat kebendaan yang bertujuan meningkatkan dan mengembangkan masyarakat. Inilah kesempurnaan ilmu dan jangkauan pandangan serta selamatnya pemikiran mereka. Seandainya akal dijadikan penafsir seluruh masalah, maka tak perlu Rasul-Rasul diutus dan tak perlu kitab-kitab suci (kitab-kitab samawi) diturunkan. Wallahu a'lam
Sumber : Majalah Assunah edisi 19/II/1417-1996
Penerbit : Lajnah Istiqamah - Surakarta

Aqidah Imam Abul Hasan Al-Asyari Tentang Dimana Allah

Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (meninggal tahun 324 H) rahimahullahu 
berkata di dalam kitab beliau yang berjudul Risalah Ila Ahli Tsaghar 
hal.231-234 dengan tahqiq Abdullah Syakir Muhammad Junaidi: Ijma’ kesembilan…para ulama sepakat bahwa Allah ta’ala di atas langit-Nya, di atas ‘arsy-Nya bukan di bumi. Dan dalil tentang hal ini adalah firman Allah:
ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ أَن يَخۡسِفَ بِكُمُ ٱلۡأَرۡضَ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang berada di atas langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu. (QS. Al-Mulk : 16)
إِلَيۡهِ يَصۡعَدُ ٱلۡكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلۡعَمَلُ ٱلصَّـٰلِحُ يَرۡفَعُهُۚ
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya.(QS. Fathir : 10)
ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
 (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang tinggi di atas ‘Arsy (QS. Thaha : 5)
Dan bukanlah makna istawa itu istaula (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok Qadariyah. Hal ini dikarenakan Allah senantiasa menguasai segala sesuatu (bukan hanya ‘arsy).
– Beliau juga berkata di dalam kitab beliau yang berjudul Maqoolaat Al-Islaamiyyin 1/345 dengan tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid: Inilah ucapan ahli hadits dan sunnah … bahwasanya Allah subhanahu di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana Allah berfirman:
ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
 (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang tinggi di atas ‘Arsy (QS. Thaha : 5)
Dan beliau berkata: Inilah yang diseru oleh ahli hadits dan sunnah, yang mereka berpegang teguh serta berpendapat dengannya. Dan kami mengatakan seperti apa yang telah kami nukilkan dari mereka dan kami pun berpendapat seperti yang mereka ucapkan. (Maqoolaat Al-Islamiyyin hal.350)
– Beliau juga berkata di dalam kitab beliau yang berjudul Al-Ibanah ‘an ushul ad-diyanahhal.46-50 dengan ta’liq Abdullah Mahmud Muhammad Umar: Jika ada orang yang bertanya kepadamu: Apa pendapat anda tentang istiwa’? Maka kami katakan kepadanya bahwa Allah tinggi di atas ‘arsy-Nya. Sebagaimana Allah berfirman:
ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
 (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang tinggi di atas ‘Arsy (QS. Thaha : 5)
Dan Allah menceritakan tentang ucapan Fir’aun:
وَقَالَ فِرۡعَوۡنُ يَـٰهَـٰمَـٰنُ ٱبۡنِ لِى صَرۡحً۬ا لَّعَلِّىٓ أَبۡلُغُ ٱلۡأَسۡبَـٰبَ (٣٦) أَسۡبَـٰبَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ فَأَطَّلِعَ إِلَىٰٓ إِلَـٰهِ مُوسَىٰ وَإِنِّى لَأَظُنُّهُ ۥ ڪَـٰذِبً۬اۚ
Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu. (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan Sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta. (QS. Ghafir : 36-37)
Fir’aun mendustakan Nabi Musa yang mengatakan bahwa Allah ada di atas langit.
Kelompok Mu’tazilah, Jahmiyah dan Haruriyah (Khawarij) mengatakan bahwa makna:
ٱلرَّحۡمَـٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
(istawa adalah istaula/ menguasai dan bahwsanya Allah ada dimana-mana. Mereka mengingkari bahwa Allah ada di atas asry-Nya sebagaimana yang dikatakan oleh ahlul haq (kelompok yang benar).

Asy’ariyah, bukan Pengikut abul Hasan Al-Asy’ari

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak)
Telah kita ketahui bahwa Asy’ariyah adalah kelompok ahlul kalam yang muncul setelah berakhirnya masa generasi utama. Kelompok ini menisbahkan diri mereka kepada Abul Hasan al-Asy’ari t.

Dalam pembahasan sebelumnya, kita mengetahui bahwa Asy’ariyah bukanlah Ahlus Sunnah dan telah kita ketahui beberapa penyimpangan mereka dari as-Sunnah, maka dalam tulisan ini kami ingin menunjukkan bahwa paham mereka pun berbeda dengan akidah Abul Hasan al-Asy’ari.

Jika kita bandingkan akidah mereka dengan akidah al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari, akan kita dapatkan bahwa nisbah (penyandaran) mereka kepada Abul Hasan al-Asy’ari hanyalah pengakuan semata. Nyatanya, mereka banyak menyelisihi akidah al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t.

Sebelum kita membuktikan penyimpangan Asy’ariyah dari Ahlus Sunnah wal Jamaah, kami akan menyebutkan beberapa ucapan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari yang menjelaskan prinsip akidah beliau.

Dalam Kitab al-Ibanah

Beliau t berkata, “Pendapat yang kami yakini dan agama yang kami beragama dengannya, ‘Berpegang teguh dengan kitab Rabb kita dan sunnah nabi kita Muhammad n dan yang diriwayatkan dari para sahabat, tabiin, dan aimatul (para imam) hadits. Kami berpegang teguh dengannya dan dengan pendapat yang diucapkan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal—mudah-mudahan Allah l menyinari wajahnya dan mengangkat derajatnya serta memberinya pahala yang banyak—, dan kami menjauhkan diri dari pendapat-pendapat yang menyelisihi prinsip al-Imam Ahmad bin Hanbal, karena beliau adalah imam yang memiliki keutamaan, seorang tokoh yang dengannya Allah l menjelaskan al-haq, menolak kebatilan, menjelaskan manhaj serta menghancurkan kebid’ahan ahlul bid’ah, penyimpangan orang-orang yang menyimpang dan menghilangkan keraguan orang-orang yang ragu….”

Kemudian beliau t berkata:

• Allah l memiliki wajah, namun tidak boleh menanyakan bagaimananya, sebagaimana dalam firman-Nya:

‘Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.’ (ar-Rahman: 27)

• Allah l memiliki dua tangan, namun tidak boleh ditanyakan bagaimananya, sebagaimana dalam firman-Nya:
Allah berfirman, ‘Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku….’ (Shad: 75)
‘(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka.’ (al-Maidah: 64)
• Allah memiliki dua mata, namun tidak boleh ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman Allah l:
‘Yang berlayar dengan penglihatan dua mata kami.’ (al-Qamar: 14).”

Dalam Kitab Maqalat al-Islamiyin

Beliau menjelaskan secara global akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah Ahlul Hadits, dan beliau menegaskan bahwa beliau meyakininya dan beragama dengannya, “Inilah nukilan pendapat Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah, sejumlah (prinsip) yang diyakini oleh Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah secara global:

• Beriman kepada Allah l, malaikat-Nya, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya, serta mengimani semua yang datang dari Allah l dan Rasul-Nya melalui jalan orang-orang tepercaya, tidak menolaknya sedikit pun.

• Allah l adalah satu, tempat bergantung makhluk-Nya, tidak ada sesembahan yang benar selain Dia, tidak memiliki istri atau anak, Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya;

• Beriman bahwa surga dan neraka adalah haq, kiamat pasti akan datang.

• Beriman bahwa Allah l akan membangkitkan penghuni kubur.
• Mengimani bahwa Allah l di atas Arsy-nya, sebagaimana firman-Nya:
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pengasih, Yang breistiwa di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
• Mengimani bahwa Allah l memiliki dua tangan, namun jangan ditanya bagaimananya, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (Shad: 75)
• Allah l memiliki dua mata, namun jangan ditanya bagaimananya, sebagaimana dalam firman-Nya:
‘Yang berlayar dengan penglihatan dua mata kami.’
• Allah l memiliki wajah, namun jangan ditanya bagaimananya, sebagaimana dalam firman-Nya:
‘(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka.’ (al-Maidah: 64)
Beliau t juga mengatakan bahwa:
• Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.
• Membenarkan hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Allah l turun ke langit dunia lalu berfirman, ‘Apakah ada yang meminta ampun sehingga Aku memberinya ampunan?’ sebagaimana dalam hadits yang sahih.
• Berpegang dengan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana dalam firman-Nya:
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).” (an-Nisa: 59)
• Berpendapat untuk mengikuti salaf umat ini dan tidak berbuat bid’ah dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah l.”
Kemudian beliau t berkata, “Kami berpendapat dan bermazhab dengan semua pendapat mereka yang telah kami sebutkan di atas, tidaklah datang taufik kepada kita melainkan dari Allah l. Dialah pencukup kami dan Dia adalah sebaik-baik tempat bertawakal. Kepada-Nya kita meminta tolong dan bertawakal, serta kepada-Nya kita kembali.” (Maqalat al-Islamiyin)

Dalam Suratnya kepada Penduduk Perbatasan

Beliau t berkata, “Mereka telah ijma’ menetapkan sifat hidup bagi Allah l, terus-menerus hidup, Allah l memiliki sifat ilmu dan terus-menerus berilmu, memiliki sifat kuasa dan terus-menerus berkuasa, memiliki sifat kalam, dan tetap memilikinya, memiliki kehendak dan terus-menerus berkehendak, memiliki sifat mendengar dan melihat, serta Dia terus-menerus Maha Mendengar dan Melihat.”

Beliau t berkata, “Mereka ijma’ bahwasanya Allah l mendengar dan melihat, memiliki dua tangan yang terbentang, bumi digenggam-Nya pada hari kiamat dan matahari terlipat di tangan kanan-Nya, namun tidak seperti anggota tubuh manusia dan dua tangan-Nya bukanlah nikmat, dan ini menunjukkan kemuliaan yang Dia berikan kepada Adam yang diciptakan dengan tangan-Nya, dan cercaan-Nya kepada Iblis karena sombong tidak mau sujud kepada Adam, yang telah diberi kemuliaan oleh Allah l dengan firman-Nya:

Allah berfirman, ‘Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku….’ (Shad: 75)

Mereka ijma’ bahwa Allah l datang di hari kiamat dalam keadaan malaikat bershaf-shaf, ketika ditampakkan umat-umat untuk dihisab…. Allah l mengampuni orang yang berdosa bagi yang dikehendaki-Nya dan menyiksa orang yang dikehendaki-Nya.”

Beliau t berkata, “Allah l ada di atas Arsy-nya, tidak di bumi. Ini telah ditunjukkan oleh firman Allah l:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang berada di atas langit bahwa dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (al-Mulk: 16)
Firman Allah l:
“Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya, kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya, dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” (Fathir: 10)
Firman Allah l:
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5) [Dinukil dari Ta’kidat Musalamat Salafiyat]
Sekarang kita buktikan bahwa akidah Asy’ariyah berbeda dengan akidah Abul Hasan al-Asy’ari.
1. Abul Hasan menyatakan Allah l memiliki wajah, tangan, dan dua mata yang sesuai dengan kemuliaan-Nya.
Adapun Asy’ariyah menafikannya, mereka melakukan takwil dalam memaknakan nash-nash yang ada tentang masalah tersebut.
2. Abul Hasan mengimani semua yang datang dari Allah l dan Rasul-Nya melalui jalan orang-orang tepercaya, tidak menolaknya sedikit pun.
Adapun Asy’ariyah, mereka menolak nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang menurut mereka bertentangan dengan akal.
Ibnu Taimiyah t berkata, “Ucapan ini—yaitu mendahulukan akal dari nash al-Qur’an dan as-Sunnah—asalnya adalah ucapan Jahmiyah, Mu’tazilah, dan semisal mereka, bukanlah ucapan Abul Hasan al-Asy’ari dan sahabatnya….” (Darut Ta’arudh, 7/97) (Lihat Ta’kidat Musalamat hlm. 21)
3. Abul Hasan mengimani bahwa Allah l di atas Arsy-Nya.
Adapun Asy’ariyah, kebanyakan mereka menyatakan Allah l ada di mana-mana.
4. Abul Hasan berkata, “Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.”
Adapun Asy’ariyah menyatakan bahwa iman hanya pembenaran dengan hati.
5. Abul Hasan berkata membenarkan hadits-hadits yang menyebutkan Allah l turun ke langit dunia.”
Adapun Asy’ariyah, mereka tidak menetapkan sifat-sifat fi’liyah (perbuatan).
6. Abul Hasan menetapkan sifat istiwa’ bagi Allah.
Adapun Asy’ariyah tidak menetapkan sifat istiwa’. Mereka menakwilnya menjadi kekuasaan, sebagaimana dilakukan ar-Razi dan al-Amidi.
7. Abul Hasan berkata, “Mereka (Ahlus Sunnah) ijma’ bahwa Allah l datang di hari kiamat dalam keadaan malaikat bershaf-shaf.”
Asy’ariyah tidak menetapkannya, mereka menakwilnya dengan takwilan batil.
Inilah sebagian penyelisihan Asy’ariyah terhadap al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Mudah-mudahan apa yang kami sampaikan cukup sebagai bukti bahwa Asy’ariyah bukanlah pengikut Abu Hasan al-Asy’ari t.
Mengapa Asy’ariyah Terjatuh ke dalam Takwil?
Ibnu Taimiyah t berkata, “Barang siapa yang menyatakan Abul Hasan al-Asy’ari menafikan sifat dan beliau memiliki dua pendapat dalam menakwilkan sifat Allah l, maka orang tersebut telah berdusta atas nama Abul Hasan t.
Yang melakukan takwil seperti ini adalah pengikutnya yang belakangan seperti Abul Ma’ali dan lainnya. Mereka memasukkan ushul (akidah/prinsip pokok) Mu’tazilah ke dalam mazhabnya.” (Majmu Fatawa, 12/203)