Nabi bersabda dalam lanjutan hadits ini:
“Apabila kalian melihat perbedaan, maka ikutilah al-sawad al-a’zham.” Siapa
yang dimaksud al-sawad al-a’zham?
Ustadz Abdul Somad | Asy'ariyah Adalah Kelompok
Mayoritas Umat Muslim Terbesar Di Seluruh Dunia
#TANGGAPAN "DARI
MULAI MAROKO SAMPAI MARAUKE (Mayoritas ?) -Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi (553
Comments)
Menjawab Syubhat Tentang Pengaruh Banyaknya
Penganut Asy'ariyyah
●Makna Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham
●Perbedaan Antara Ahlussunnah Dan Ahlul Bathil
●Hanya Satu Jalan Menuju Allah Azza Wa Jalla
●Mana Jalan Yang Harus Ditempuh ? Antara Jalan
Allah Atau Jalan Iblis Dan Pengikutnya.
●Firqah Sesat, Al-Firqatun An-Najiyyah
(Golongan Yang Selamat) Dan Kapan Keluar Dari Ahlus-Sunnah ?
●Kebenaran Tidak Diukur Dengan Banyaknya Orang
Yang Mengikutinya. Berpegang Pada Suara Mayoritas Adalah Kaidah Kaum Jahiliyah
http://lamurkha.blogspot.co.id/2016/07/kebenaran-tidak-diukur-dengan-banyaknya.html
●Jika Beragama Mengikuti Kebanyakan Orang
http://lamurkha.blogspot.com/2017/03/jika-beragama-mengikuti-kebanyakan-orang.html
●Jangan Terkesima Dengan Banyaknya Pengikut (Bukan Barometer Kebenaran). Nabi Saja Ada Yang Tidak Punya Follower
http://lamurkha.blogspot.co.id/2016/07/kebenaran-tidak-diukur-dengan-banyaknya.html
●Jika Beragama Mengikuti Kebanyakan Orang
http://lamurkha.blogspot.com/2017/03/jika-beragama-mengikuti-kebanyakan-orang.html
●Jangan Terkesima Dengan Banyaknya Pengikut (Bukan Barometer Kebenaran). Nabi Saja Ada Yang Tidak Punya Follower
●Tolok Ukur Kebenaran Adalah Secara Syar'i
http://lamurkha.blogspot.co.id/2016/09/tolok-ukur-kebenaran-adalah-secara-syari.html
●Standar Kebenaran Bukan Pada Amalan Semata
http://lamurkha.blogspot.com/2015/12/standar-kebenaran-bukan-pada-amalan.html?m=0
●Standarisasi Kebenaran Dalam Islam
http://lamurkha.blogspot.com/2016/01/standarisasi-kebenaran-dalam-islam.html?m=0
http://lamurkha.blogspot.co.id/2016/09/tolok-ukur-kebenaran-adalah-secara-syari.html
●Standar Kebenaran Bukan Pada Amalan Semata
http://lamurkha.blogspot.com/2015/12/standar-kebenaran-bukan-pada-amalan.html?m=0
●Standarisasi Kebenaran Dalam Islam
http://lamurkha.blogspot.com/2016/01/standarisasi-kebenaran-dalam-islam.html?m=0
●Siapakah Golongan Yang Selamat (Al-Firqatun
An-Najiyyah) ? Simak Dan Bandingkan Penjelasan Dua Doktor “UI Madinah” Dan “UIN
Jakarta”
●Fenomena Ruwaibidhoh (Berbicara Agama Tampa
Ilmu)
●"Berbicara Tentang Allah Tanpa Ilmu"
Lebih Besar Dosanya Dari Dosa Syirik...
●Untuk Pendengki Salafi Dan MPU Aceh, Bisa
Jawab 5 (Lima) Pertanyaan Yang Paling Mendasar Dibawah Ini ?
●Pengikut Asy’ariyah ‘Meradang’ Hebat, Mereka
Mendatangkan Para Qadhi Dan Ulamanya Untuk Mendebat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rohimahullah Yang Menulis Aqidah Firqah Najiyah Dalam Kitab Al-Aqidah
Al-Wasithiyahnya.
Makna Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham
Tatkala bingung menghadapi perbedaan ideologi dan ajaran Islam yang berkembang
di masyarakat, sebagian kita berpegangan pada prinsip ‘ikut saja dengan
kebanyakan orang‘. Akibat fatalnya, ajaran agama yang sesuai dengan Qur’an dan
Sunnah serta pemahaman yang benar, dianggap salah semata-mata karena tidak
diamalkan oleh kebanyakan orang.
Diantara alasan mereka yang berpendapat
demikian adalah hadits-hadits tentang golongan yang selamat diistilahkan dengan
Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham. Dan memang sekilas nampak bahwa Al
Jama’ah dan As Sawadul A’zham berarti sekumpulan orang yang jumlahnya
sangat banyak. Namun benarkah demikian maksudnya? Apakah yang ada pada
kebanyakan orang itu pasti lebih benar?
Kebenaran Tidak Memandang Jumlah
Sebelum membahas makna Al Jama’ah dan As
Sawadul A’zham, perlu diketahui bahwa terlalu banyak dalil dari Qur’an dan
Sunnah yang memberikan faedah kepada kita bahwa kebenaran tidak memandang
jumlah. Kebenaran adalah kebenaran walaupun bersendirian. Kesalahan adalah
kesalahan walaupun didukung banyak orang. Bahkan Allah menyatakan bahwa keadaan
umum manusia adalah berada dalam kesesatan, kejahilan dan jauh dari iman yang
benar:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ
يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari
jalan Allah” (QS. Al An’am: 116)
Allah Ta’ala berfirman:
مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً
سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ
الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Kamu tidak menyembah yang selain Allah
kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu
membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama
itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu
tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui” (QS. Yusuf: 40)
Allah Ta’ala berfirman:
المر تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ وَالَّذِي
أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا
يُؤْمِنُونَ
“ Alif laam miim raa. Ini adalah
ayat-ayat Al Kitab (Al Qur’an). Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada
Tuhanmu itu adalah benar; akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).”
(QS. Ar Ra’du: 1)
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ
بِمُؤْمِنِينَ
“Dan kebanyakan manusia tidak akan
beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya” (QS. Yusuf: 103)
Bahkan ada Nabi Allah yang tidak memiliki
pengikut, ada yang hanya satu orang, ada pula yang hanya sekelompok orang.
Andai yang sedikit itu pasti sesat, apakah mereka tidak memiliki pengikut atau
menjadi minoritas karena mengajarkan kesesatan? Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
حدثنا ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه
قال: “عرضت عليّ الأمم، فرأيت النبي ومعه الرهط، والنبي ومعه الرجل والرجلان،
والنبي وليس معه أحد
“Diperlihatkan kepadaku umat manusia
seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok
kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang
tidak memiliki pengikut” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga
bersabda bahwa Islam itu awalnya asing, dan akan kembali menjadi asing kelak.
Dan beliau memuji orang-orang yang masih mengamalkan ajaran Islam ketika itu.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
بدأ الإسلام غريبا وسيعود كما بدأ غريبا. فطوبى
للغرباء
“Islam pada awalnya asing dan akan
kembali asing kelak sebagaimana awalnya. Maka pohon tuba di surga bagi
orang-orang yang asing” (HR. Muslim no.145)
Nah, apakah Islam itu asing ketika
mayoritas manusia mengamalkan ajaran Islam? Bahkan yang minoritas ketika itu
adalah yang dipuji oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Al Fudhail bin Iyadh rahimahullah (wafat
187 H) berkata:
لا تستوحِشْ طُرُقَ الهدى لقلة أهلها، ولا تغترَّ
بكثرةِ الهالكين
“Janganlah engkau mengangap buruk jalan-jalan
kebenaran karena sedikit orang yang menjalaninya. Dan jangan pula terpedaya
oleh banyaknya orang-orang yang binasa” (Dinukil dari Al Adabusy
Syar’iyyah 1/163)
Imam An Nawawi rahimahullah (wafat
676 H) berkata:
ولا يغتر الإنسانُ بكثرةِ الفاعلين لهذا الذي
نُهينا عنه ممَّن لا يراعي هذه الآدابَ
“Seorang manusia hendaknya tidak
terpedaya dengan banyaknya orang yang melakukan hal-hal terlarang, yaitu
orang-orang yang tidak menjaga adab-adab ini” (Dinukil dari Al Adabusy
Syar’iyyah 1/163)
Hadits-Hadits Tentang Al Jama’ah
Untuk memahami makna Al Jama’ah, mari
kita simak beberapa hadits yang memuatnya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ
الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي
النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah sesungguhnya umat
sebelum kalian dari Ahli Kitab berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku
ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan. 72 golongan di neraka, dan 1
golongan di surga. Merekalah Al Jama’ah” (HR. Abu Daud 4597, dihasankan Al
Albani dalam Shahih Abi Daud)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
عليكم بالجماعة ، وإياكم والفرقة ، فإن
الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد .من أراد بحبوحة الجنة فليلزم
الجماعة .ن سرته
حسنته وساءته سيئته فذلكم المؤمن
“Berpeganglah pada Al Jama’ah dan
tinggalkan kekelompokan. Karena setan itu bersama orang yang bersendirian dan
setan akan berada lebih jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang
menginginkan bagian tengah surga, maka berpeganglah pada Al Jama’ah.
Barangsiapa merasa senang bisa melakukan amal kebajikan dan bersusah hati
manakala berbuat maksiat maka itulah seorang mu’min” (HR. Tirmidzi no.2165, ia
berkata: “Hasan shahih gharib dengan sanad ini”)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
ستكون بعدي هنات وهنات، فمن رأيتموه فارق الجماعة،
أو يريد أن يفرق أمر أمة محمد كائنا من كان فاقتلوه ؛ فإن يد الله مع الجماعة، و
إن الشيطان مع من فارق الجماعة يركض
“Sepeninggalku akan ada huru-hara yang
terjadi terus-menerus. Jika diantara kalian melihat orang yang memecah
belah Al Jama’ah atau menginginkan perpecahan dalam urusan umatku
bagaimana pun bentuknya, maka perangilah ia. Karena tangan Allah itu berada
pada Al Jama’ah. Karena setan itu berlari bersama orang yang hendak memecah
belah Al Jama’ah” (HR. As Suyuthi dalam Al Jami’ Ash Shaghir 4672,
dishahihkan Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shahih 3621)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
من رأى من أميره شيئا يكرهه فليصبر عليه فإنه من
فارق الجماعة شبرا
فمات ، إلا مات ميتة جاهلية
“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang
tidak ia sukai dari pemimpinnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang
keluar dari Al Jama’ah sejengkal saja lalu mati, ia mati sebagai
bangkai Jahiliah” (HR. Bukhari no.7054,7143, Muslim no.1848, 1849)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
والذي لا إله غيره ! لا يحل دم رجل مسلم يشهد أن
لا إله إلا الله ، وأني رسول الله ، إلا ثلاثة نفر : التارك الإسلام ، المفارق
للجماعة أو الجماعة ( شك فيه
أحمد ) . والثيب الزاني.والنفس بالنفس
“Demi Allah, darah seorang yang
bersyahadat tidak lah halal kecuali karena tiga sebab: keluar dari Islam atau
keluar dari Al Jama’ah, orang tua yang berzina dan membunuh” (HR. Muslim
no.1676)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
من مات مفارقا للجماعة فقد خلع ربقة الإسلام من
عنقه
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan
memisahkan diri dari Al Jama’ah, maka ia telah melepaskan tali Islam dari
lehernya” (HR Bukhari dalam Tarikh Al Kabir 1/325. Dishahihkan Al
Albani dalam Shahih Al Jami’ 6410)
Makna Al Jama’ah
Secara bahasa, makna Al Jama’ah adalah:
الجماعة هي الاجتماع ، وضدها الفرقة ، وإن كان
لفظ الجماعة قد صار اسما لنفس القوم المجتمعين
“Al Jama’ah artinya perkumpulan, lawan
dari kekelompokan. Walau terkadang Al Jama’ah juga artinya sebuah kaum dimana
orang-orang berkumpul” (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah, 3/157)
Namun dalam terminologi syar’i, para
ulama menjabarkan banyak definisi sesuai dengan banyaknya hadits yang memuat
istilah tersebut.
Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu’anhu, menafsirkan
istilah Al Jama’ah:
الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك
“Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai
dengan kebenaran walaupun engkau sendiri”
Dalam riwayat lain:
وَيحك أَن جُمْهُور النَّاس فارقوا الْجَمَاعَة
وَأَن الْجَمَاعَة مَا وَافق طَاعَة الله تَعَالَى
“Ketahuilah, sesungguhnya kebanyakan
manusia telah keluar dari Al Jama’ah. Dan Al Jama’ah itu adalah yang sesuai
dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala” (Dinukil dari Ighatsatul Lahfan Min
Mashayid Asy Syaithan, 1/70)
Ibnu Hajar Al Asqalani (wafat 852H)
menukil penjelasan Imam Ath Thabari (wafat 310H) menjabarkan makna-makna dari
Al Jama’ah:
قَالَ الطَّبَرِيُّ اخْتُلِفَ فِي هَذَا
الْأَمْرِ وَفِي الْجَمَاعَةِ فَقَالَ قَوْمٌ هُوَ لِلْوُجُوبِ وَالْجَمَاعَةُ
السَّوَادُ الْأَعْظَمُ ثُمَّ سَاقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي
مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَصَّى مَنْ سَأَلَهُ لَمَّا قُتِلَ عُثْمَانُ عَلَيْكَ
بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُنْ لِيَجْمَعَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ عَلَى
ضَلَالَةٍ وَقَالَ قَوْمٌ الْمُرَادُ بِالْجَمَاعَةِ الصَّحَابَةُ دُونَ مَنْ
بَعْدَهُمْ وَقَالَ قَوْمٌ الْمُرَادُ بِهِمْ أَهْلُ الْعِلْمِ لِأَنَّ اللَّهَ
جَعَلَهُمْ حُجَّةً عَلَى الْخَلْقِ وَالنَّاسُ تَبَعٌ لَهُمْ فِي أَمْرِ الدِّينِ
قَالَ الطَّبَرِيُّ وَالصَّوَابُ أَنَّ الْمُرَادَ مِنَ الْخَبَرِ لُزُومُ
الْجَمَاعَةِ الَّذِينَ فِي طَاعَةِ مَنِ اجْتَمَعُوا عَلَى تَأْمِيرِهِ فَمَنْ
نَكَثَ بَيْعَتَهُ خَرَجَ عَنِ الْجَمَاعَةِ
“Ath Thabari berkata, permasalahan ini
(wajibnya berpegang pada Al Jama’ah) dan makna Al Jama’ah, diperselisihkan oleh
para ulama. Sebagian ulama berpendapat hukumnya wajib. Dan makna Al Jama’ah
adalah:
1.as sawadul a’zham. Kemudian Ath Thabari
berdalil dengan riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat
kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu
Mas’ud menjawab: “hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak
akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan“.
2.sebagian ulama berpendapat maknanya adalah
para sahabat, tidak termasuk orang setelah mereka.
3.sebagian ulama berpendapat maknanya
adalah para ulama. Karena Allah telah menjadikan mereka hujjah bagi
para hamba. Para hamba meneladani mereka dalam perkara agama.
Ath Thabari lalu berkata, yang benar,
makna Al Jama’ah dalam hadits-hadits perintah berpegang pada Al Jama’ah
adalah orang-orang yang berada dalam ketaatan, mereka berkumpul dalam
kepemimpinan. Barangsiapa yang mengingkari baiat terhadap pemimpinnya (baca:
merasa tidak berkewajiban untuk mentaati pemimpin sah kaum muslimin, ed), maka
ia telah keluar dari Al Jama’ah” (Fathul Baari, 13/37)
Imam Asy Syathibi (wafat 790H) juga
merinci makna-makna dari Al Jama’ah:
اختلف الناس في معنى الجماعة المرادة في هذه
الأحاديث على خمسة أقوال :
أحدها : أنها السواد الأعظم من أهل الإسلام …
فعلى هذا القول يدخل في الجماعة مجتهدو الأمة وعلماؤها ، وأهل الشريعة العاملون
بها ، ومن سواهم داخل في حكمهم ؛ لأنهم تابعون لهم مقتدون بهم .
الثاني : أنها جماعة أئمة العلماء المجتهدين ،
فعلى هذا القول لا مدخل لمن ليس بعالم مجتهد ؛ لأنه داخل في أهل التقليد فمن عمل
منهم بما يخالفهم فهو صاحب الميتة الجاهلية ، ولا يدخل أيضا أحد من المبتدعين .
الثالث : أن الجماعة هي الصحابة على الخصوص .
فعلى هذا القول فلفظ (الجماعة) مطابق للرواية الأخرى في قوله صلى الله عليه وسلم :
“ما أنا عليه وأصحابي” .
الرابع : أن الجماعة هي أهل الإسلام إذا أجمعوا
على أمر ، فواجب على غيرهم من أهل الملل اتباعهم ثم تعقب الشاطبي هذا القول بقوله
: ” وهذا القول يرجع إلى الثاني ، وهو يقتضي أيضا ما يقتضيه ، أو يرجع إلى القول
الأول ، وهو الأظهر ، وفيه من المعنى ما في الأول من أنه لا بد من كون المجتهدين
منهم ، وعند ذلك لا يكون مع اجتماعهم بدعة أصلا فهم إذن الفرقة الناجية ” .
الخامس : ما اختاره الطبري الإمام من أن الجماعة
جماعة المسلمين إذا اجتمعوا على أمير ، فأمر عليه الصلاة والسلام بلزومه ونهى عن
فراق الأمة فيما اجتمعوا عليه من تقديمه عليهم .
“Para ulama berbeda pendapat mengenai
makna Al Jama’ah yang ada dalam hadits-hadits dalam lima pendapat:
1.As sawadul a’zham dari umat Islam.
Termasuk dalam makna ini para imam mujtahid, para ulama, serta ahli syariah
yang mengamalkan ilmunya. Adapun selain mereka juga dimasukkan dalam makna ini
karena diasumsikan hanya mengikuti orang-orang tadi”
2.Para imam mujtahid. Dalam makna ini,
tidak termasuk orang-orang yang bukan imam mujtahid karena mereka hakikatnya
adalah ahli taqlid. Maka barangsiapa yang beramal dengan keluar dari pendapat
para imam mujtahid, lalu mati, maka matinya sebagai bangkai jahiliyah. Dalam
makna ini tidak termasuk juga seorang pun dari ahlul bid’ah (artinya, adanya
pendapat yang beda dari ahli bidah tidaklah mempengaruhi keabsahan ijma, ed).
3.Para sahabat nabi saja. Makna ini
sesuai dengan riwayat dari Nabi yang menafsirkan makna Al Jama’ah, yaitu:
ما أنا عليه وأصحابي
“Siapa saja yang berpegang padaku dan
para sahabatku”
4.Umat Islam jika bersepakat dalam sebuah
perkara (baca: ijma’). Maka wajib bagi orang-orang yang menyimpang untuk
mengikuti mereka. Asy Syathibi lalu memberi catatan: “Makna ini sebenarnya
kembali pada makna kedua (para imam mujtahid), dan berkonsekuensi sama seperti
konsekuensi dari makna kedua. Atau kembali pada makna pertama, dan inilah yang
lebih nampak. Dan secara makna pun, sama seperti makna pertama. Karena sudah
pasti butuh peran para imam mujtahid di antara mereka barulah bisa terwujud
umat tidak akan bersatu dalam kesesatan, bahkan merekalah golongan yang
selamat”
5.Pendapat yang dipilih Imam Ath Thabari,
yaitu bahwa Al Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin yang berkumpul di bawah
pemerintahan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan ummat
untuk berpegang pada pemerintahnya dan melarang memecah belah apa yang telah
dipersatukan oleh umat sebelumnya.
Imam Asy Syathibi kemudian menyimpulkan:
قال الشاطبي : ” وحاصله أن الجماعة راجعة إلى
الاجتماع على الإمام الموافق لكتاب الله والسنة ، وذلك ظاهر في أن الاجتماع على غير
سنة خارج عن الجماعة المذكورة في الأحاديث المذكورة ؛
“Kesimpulannya, Al Jama’ah adalah
bersatunya umat pada imam yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah. Dan jelas
bahwa persatuan yang tidak sesuai sunnah tidak disebut Al Jama’ah yang disebut
dalam hadits-hadits” (Al I’tisham 2/260-265, dinukil dari Fatwa
Lajnah Ad Daimah 76/276)
Al Munawi (wafat 1031H) menukil perkataan
Syihabuddin Abu Syaamah (wafat 665H) dan Al Baihaqi (wafat 458H) mengenai makna
Al Jama’ah:
قال أبو شامة: حيث جاء الأمر بلزوم الجماعة فالمراد
به لزوم الحق وإتباعه وإن كان المتمسك به قليلا والمخالف كثيرا أي الحق هو ما كان
عليه الصحابة الأول من الصحب ولا نظر لكثرة أهل الباطل بعدهم قال البيهقي: إذا
فسدت الجماعة فعليك بما كانوا عليه من قبل وإن كنت وحدك فإنك أنت الجماعة حينئذ
“Abu Syamah berkata, ketika dalam hadits
terdapat perintah berpegang pada Al Jama’ah, yang dimaksud dengan berpegang
pada Al Jama’ah adalah berpegang pada kebenaran dan menjadi pengikut kebenaran
walaupun ketika itu hanya sedikit jumlahnya dan orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran banyak jumlahnya. Maksud Abu Syaamah adalah bahwa kebenaran itu
adalah mengikuti pemahaman para sahabat Nabi, bukan melihat banyak jumlah, ini
pada orang-orang yang datang setelah mereka. Al Baihaqi berkata, ketika Al
Jama’ah (baca: kaum muslimin saat ini) telah bobrok maka hendaknya engkau
berpegang pada pemahaman orang terdahulu (para Salaf) walaupun engkau
sendirian, maka ketika itu engkaulah Al Jama’ah” (Faidul Qadhir, 4/99)
Jika kita telah memahami penjelasan para
ulama mengenai makna Al Jama’ah, walaupun definisi mereka berbeda, namun pokok
maknanya sama. Bahwa yang dimaksud dengan Al Jama’ah adalah umat Islam yang
berkumpul bersama imam mujtahid dan para ulama mereka yang senantiasa
meneladani ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman
para sahabat Nabi dan mereka berbaiat pada penguasa muslim yang sah serta tidak
memberontak kepadanya.
Hadits-Hadits Tentang As Sawadul
A’zham
Untuk memahami makna as sawaadul
a’zham, mari kita simak beberapa hadits yang memuatnya:
إن أمتي لن تجتمع على ضلالة، فإذا رأيتم اختلافا
فعليكم بالسواد الأعظم فإنه
من شذ شذ إلى النار
“Sesungguhnya ummatku tidak akan bersatu
dalam kesesatan. Maka jika kalian melihat perselisihan, berpeganglah pada
as sawaadul a’zham. Barangsiapa yang menyelisihinya akan terasing di
neraka”
Dalam riwayat lain:
إن أمتي لا تجتمع على ضلالة فإذا رأيتم الاختلاف
فعليكم بالسواد الأعظم يعني
الحق وأهله
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu
dalam kesesatan. Maka jika kalian melihat perselisihan, berpeganglah
pada as sawaadul a’zham yaitu al haq dan ahlul haq” (HR. Ibnu
Majah 3950, hadits hasan dengan banyaknya jalan kecuali tambahan من شذ
شذ إلى النار sebagaimana dikatakan
oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1331)
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ، وَالنَّبِيَّ
وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ، وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ، إِذْ
رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي، فَقِيلَ لِي: هَذَا
مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ، وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى
الْأُفُقِ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: انْظُرْ إِلَى
الْأُفُقِ الْآخَرِ، فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: هَذِهِ أُمَّتُكَ
وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا
عَذَابٍ
“Diperlihatkan kepadaku umat manusia
seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok
kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang
tidak memiliki pengikut. Lalu diperlihatkan kepadaku sekelompok hitam yang
sangat besar, aku mengira itu adalah umatku. Lalu dikatakan kepadaku, ‘itulah
Nabi Musa Shallallhu’alaihi Wasallam dan kaumnya’. Dikatakan kepadaku,
‘Lihatlah ke arah ufuk’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar.
Dikatakan lagi, ‘Lihat juga ke arah ufuk yang lain’. Aku melihat sekelompok
hitam yang sangat besar. Dikatakan kepadaku, ‘Inilah umatmu dan diantara mereka
ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab’.” (HR. Bukhari
5705, 5752, Muslim, 220)
Makna As Sawadul A’zham
As sawad artinya sesuatu yang
berwarna hitam, dalam bentuk plural. Al A’zham artinya besar, agung,
banyak. Sehingga as sawaadul a’zham secara bahasa artinya sesuatu
yang berwarna hitam dalam jumlah yang sangat banyak. Menggambarkan orang-orang
yang sangat banyak karena rambut mereka umumnya hitam.
Dalam terminologi syar’i, kita telah
dapati bahwa as sawaadul a’zham itu semakna dengan Al Jama’ah.
Sebagaimana penjelasan Ath Thabari di atas: “…Dan makna Al Jama’ah adalah as
sawadul a’zham. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan riwayat Muhammad bin Sirin
dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya
ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab: hendaknya engkau
berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad
bersatu dalam kesesatan.. ” (Fathul Baari, 13/37)
Maka makna as sawaadul a’zham mencakup
seluruh makna dari Al Jama’ah. Dipertegas lagi dengan beberapa penjelasan lain
dari para sahabat dan para ulama mengenai makna as sawaadul a’zham berikut
ini.
Sahabat Nabi, Abu Umamah Al Bahili Radhiallahu’anhu,
berkata
عليكم بالسواد الأعظم قال فقال رجل ما السواد
الأعظم فنادى أبو أمامة هذه الآية التي في سورة النور فإن تولوا فإنما عليه ما حمل
وعليكم ما حملتم
“Berpeganglah kepada as sawadul a’zham.
Lalu ada yang bertanya, siapa as sawadul a’zham itu? Lalu Abu Umamah membaca
ayat dalam surat An Nur:
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ
وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
(HR. Ahmad no.19351. Sanadnya shahih
sebagaimana dikatakan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 5/220)
Ayat tersebut berbunyi:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ
الْمُبِينُ
“Katakanlah (wahai Muhammad): “Taatlah
kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka
sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan
kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan
jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain
kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS.
An Nuur: 54)
Abu Umamah mengisyaratkan bahwa
makna as sawadul a’zham adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, atau dengan kata lain, pengikut kebenaran.
Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy (wafat
242H) berkata:
عليكم باتباع السواد الأعظم قالوا له من السواد
الأعظم، قال: هو الرجل العالم أو الرجلان المتمسكان بسنة رسول الله صلى الله عليه
وسلم وطريقته، وليس المراد به مطلق المسلمين، فمن كان مع هذين الرجلين أو الرجل
وتبعه فهو الجماعة، ومن خالفه فقد خالف أهل الجماعة
“Berpeganglah pada as sawaadul
a’zham. Orang-orang bertanya, siapa as sawaadul a’zham itu? Beliau
(Muhammad bin Aslam) menjawab, ia adalah seorang atau dua orang yang berilmu,
yang berpegang teguh pada sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan
mengikuti jalannya. Bukanlah as sawaadul a’zham itu mayoritas kaum muslimin
secara mutlak. Barangsiapa berpegang pada seorang atau dua orang tadi dan
mengikutinya, maka ia adalah Al Jama’ah. Dan barangsiapa yang menyelisihi
mereka, ia telah menyelisihi ahlul jama’ah” (Thabaqat Al Kubra Lisy Sya’rani,
1/54)
Muhammad bin Aslam sendiri oleh ulama
sezamannya, Ishaq bin Rahawaih (wafat 238H), dikatakan sebagai as sawaadul
a’zham:
قَالَ رَجُلٌ: يَا أَبَا يَعْقُوْبَ مَنِ
السَّوَادُ الأَعْظَمُ? قَالَ: مُحَمَّدُ بنُ أَسْلَمَ، وَأَصْحَابُهُ، وَمَنْ
تَبِعَهُ. ثُمَّ قَالَ إِسْحَاقُ: لَمْ أَسْمَعْ عَالِماً مُنْذُ خَمْسِيْنَ سنَةً
كَانَ أَشَدَّ تَمَسُّكاً بِأَثَرِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ- مِنْ مُحَمَّدِ بنِ أَسْلَمَ
“Ada seorang yang bertanya, wahai Abu
Ya’qub (Ishaq bin Rahawaih), siapa as sawadul a’zham itu? Beliau
menjawab: Muhammad bin Aslam, murid-muridnya dan para pengikutinya. Kemudian
beliau berkata: Aku tidak pernah mendengar orang yang alim sejak 500 tahun yang
lebih berpegang teguh pada sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selain
Muhammad bin Aslam” (Siyar A’lamin Nubala, 9/540)
Abdullah Bin Mubarak (wafat 181H)
ditanya as sawaadul a’zham:
سَأَلَ رَجُلٌ ابْنَ الْمُبَارَكِ فَقَالَ: يَا
أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَنِ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ؟ قَالَ: أَبُو حَمْزَةَ
السَّكُونِيُّ
“Seorang lelaki bertanya kepada Ibnul
Mubarak, wahai Abu Abdirrahman siapa as sawadul a’zham itu? Beliau
menjawab, Abu Hamzah As Sakuni” (Hilyatul Aulia, 9/238)
Dari sini kita tahu bahwa as
sawaadul a’zham dalam istilah syar’i itu tidak harus berjumlah banyak. Dan
jelaslah juga bagi kita ternyata as sawaadul a’zham adalah Al Jama’ah
dan bukanlah ‘kebanyakan orang’ secara mutlak. As sawaadul a’zham adalah
orang-orang yang taat kepada Allah, mengikuti sunnah Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam dengan pemahaman yang benar yaitu pemahaman para sahabat Nabi,
baik jumlah mereka banyak maupun sedikit. Bahkan Ishaq bin Rahawaih, guru dari
Imam Al Bukhari ini, mengatakan bahwa hanya orang bodoh yang mengira
bahwa as sawaadul a’zham adalah mayoritas orang secara mutlak:
لَوْ سَأَلْتَ الْجُهَّالَ مَنِ السَّوَادُ
الْأَعْظَمُ؟ قَالُوا: جَمَاعَةُ النَّاسِ وَلَا يَعْلَمُونَ أَنَّ الْجَمَاعَةَ
عَالِمٌ مُتَمَسِّكٌ بِأَثَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَطَرِيقِهِ، فَمَنْ كَانَ مَعَهُ وَتَبِعَهُ فَهُوَ الْجَمَاعَةُ، وَمَنْ
خَالَفَهُ فِيهِ تَرَكَ الْجَمَاعَةُ
“Jika engkau tanyakan kepada orang-orang
bodoh siapa itu as sawadul a’zham, niscaya mereka akan menjawab: mayoritas
manusia. Mereka tidak tahu bahwa Al Jama’ah itu adalah orang alim yang
berpegang teguh pada sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan jalannya.
Barangsiapa yang bersama orang alim tersebut dan mengikutinya, ialah Al
Jama’ah, Dan yang menyelisihinya, ia meninggalkan Al Jama’ah” (Hilyatul Aulia,
9/238)
Kesimpulan
Al Jama’ah semakna dengan as
sawaadul a’zham, yaitu orang-orang yang berkumpul bersama imam mujtahid
dan para ulama mereka yang berpegang teguh pada ajaran Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi, mereka berbaiat pada penguasa
muslim yang sah serta tidak memberontak kepadanya, baik jumlah mereka banyak
maupun sedikit.
Oleh karena itu ‘kebanyakan orang’ secara
mutlak bukanlah as sawaadul a’zham, sehingga tidak benarlah orang-orang
yang hanya ikut ‘kebanyakan orang’ dalam beragama. Bagaimana halnya jika
prinsip demikian diterapkan di masyarakat yang bobrok, mayoritasnya
meninggalkan shalat misalnya. Apakah meninggalkan shalat menjadi hal yang biasa
dan dibenarkan? Jika masyarakatnya gemar berzina, bagaimana mungkin ahluz
zina itu disebut as sawadul a’zham yang merupakan ahlul haq?
Jika masyarakatnya mayoritas gemar berbuat bid’ah, maka bagaimana mungkin as
sawaadul a’zham adalah ahlul bid’ah?
Dengan penjelasan para ulama di atas,
maka mayoritas penduduk sebuah negeri secara mutlak pun bukan as sawadul
‘azham. Apalagi sekedar organisasi massa, partai,
jama’ah dakwah, thariqah, mengklaim diri mereka sebagai as sawadul
a’zham atau Al Jama’ah. Demi Allah, bukan demikian.
Hendaknya setiap muslim bersatu dalam
kebenaran, berkumpul dalam petunjuk para ulama yang berpegang teguh pada Qur’an
dan Sunnah sesuai dengan pemahaman sahabat Nabi Radhiallahu’anhum tanpa
dibatasi oleh sikap fanatik golongan, tidak terbatas oleh keanggotaan ormas,
partai atau jama’ah dakwah. Allah Ta’ala berfirman:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ
تَفَرَّقُواْ
“Bersatulah dengan tali Allah dan
janganlah berpecah-belah” (QS. Al Imran: 103)
Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan as
sawadul a’zham atau menjadikan kita orang-orang yang berpegang teguh
kepadanya.
Penulis: Yulian Purnama
Editor: Ust. Aris Munandar, SS.,MA.
Banyak Belum Tentu di Atas Kebenaran
Khutbah Pertama:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ؛ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ
شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا
مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ؛ صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
أَجْمَعِيْنَ.
أَمَّا بَعْدُ مَعَاشِرَ المُؤْمِنِيْنَ عِبَادَ
اللهِ:
اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى وَرَاقِبُوْهُ فِي
السِرِّ وَالعَلَانِيَةِ وَالغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ مُرَاقَبَةً مَنْ يَعْلَمُ
أَنَّ رَبَّهُ يَسْمَعُهُ وَيَرَاهُ .
Ibadallah,
Jika ada seseorang menyaksikan banyak manusia
mengucapkan satu pendapat yang sama atau meyakini sesuatu yang serupa, kondisi
demikian akan mudah mendorongnya untuk mengikuti ucapan dan keyakinan mereka. Sebab, seperti diungkapkan pepatah Arab, manusia itu bak
gerombolan burung, sebagian akan mengikuti lainnya. Dan pada gilirannya,
akan menanamkan kesan pada benak orang tersebut bahwa pendapat yang menyalahi
mereka merupakan pendapat yang keliru dan salah, dan otomatis orang-orang yang
tidak sejalan dengan mereka pun ia anggap kumpulan orang yang salah jalan
(baca: sesat). Ya, apapun pendapat, keyakinan dan kebiasaan mayoritas manusia,
kendatipun salah, keliru dan menyimpang.
Dengan melihat fakta di atas, maka tidaklah
adil dan ilmiah bila kuantitas dijadikan sebagai barometer al-haq (kebenaran).
Bila mayoritas manusia memang berada di atas al-haq, dengan mengagungkan
nash-nash Alquran dan Sunnah shahihah serta berkomitmen tinggi untuk
mengamalkannya secara keseluruhan dan mendakwahkannya, maka itulah kondisi yang
ideal bagi manusia untuk mengenal kebenaran. Komunitas sosial yang lurus
tersebut akan menjadi media yang kondusif bagi perkembangan anak-anak dan
generasi selanjutnya. Mereka akan memiliki teladan baik dan contoh luhur dalam
aqidah, akhlak, ibadah dan muamalah serta aspek-aspek keagamaan lainnya.
Namun, persoalan akan muncul bila mayoritas
berada dalam kondisi sebaliknya; ideologi yang berkembang tidak pernah dikenal
di masa Salafush-Shalih, taklid buta menjadi dasar agama, tradisi lokal sangat
diagungkan, hadits-hadits palsu diamalkan, kaifiyah ibadah baru lagi tak
berdasar menjadi ‘sunnah’ yang mesti dipertahankan. Pengaruh mayoritas ini
dalam masyarakat tersebut akan menyeret anak-anak, generasi muda Islam dan
orang-orang jahil serta orang muallaf memahami Islam tidak sebagaimana
mestinya. Mungkin saja, mereka menjadi pihak yang superior, tapi yang pasti,
standar al-haq (kebenaran) bukanlah berdasarkan besarnya jumlah massa suatu
kelompok dan kekuatan otot mereka.
Ibadallah,
Melalui beberapa ayat, justru Alquran
yang merupakan pedoman hidayah umat Islam mencela jumlah manusia yang mayoritas
dan memberitahukan bahwa kebanyakan manusia berada dalam kesesatan dan kebatilan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ
يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ
إِلَّا يَخْرُصُونَ ﴿١١٦﴾ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ
سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Dan jika
kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).
Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat
petunjuk. (al-An’am/6:116-117).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
“(Dalam ayat ini) AllahTa’ala mengabarkan kondisi kebanyakan penduduk muka
bumi dari anak keturunan Adam, sesungguhnya (mereka berada) dalam kesesatan”.
Dan Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي
بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَقَلِيلٌ مَا هُمْ
Dan
sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka
berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikit lah mereka ini. (Shad/38:24).
Bukankah
jumlah kaum Muslimin lebih sedikit dibandingkan bilangan orang-orang yang
kafir? Dan umat Islam yang taat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya lebih
sedikit ketimbang orang-orang yang mengabaikannya?
Imam
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata, “Kaum Mukminin berjumlah sedikit
di tengah manusia. Dan ulama berjumlah sedikit di tengah kaum Mukminin”.
Maka, untuk mengelabui orang, klaim jumlah yang
banyak dijadikan oleh ahli batil untuk menegaskan kebenaran jalan dan keyakinan
mereka. Karenanya, para pengusung kebatilan, penyeru kepada bid’ah, penjaja
liberalisme dan orang-orang yang memusuhi kebenaran Alquran dan Sunnah shahihah
berusaha melariskan ‘dagangan’ mereka dengan menyebarluaskan klaim banyaknya
para pengikut dan pendukung mereka. Misi-misi dan doktrin mereka suarakan
melalui berbagai media massa agar terbentuk opini. Betapa banyak orang yang
mengikuti mereka, kemauan merekalah yang diinginkan oleh publik dan selanjutnya
klaim bahwa mereka berada di atas jalur yang benar dan lurus. Bukankah bila
satu golongan menyimpang yang memiliki cabang di mana-mana, sedikit banyak akan
mempengaruhi pandangan miring orang terhadap golongan itu?
Salah satu ciri jahiliyah,
“Berhujjah dengan apa yang dipegangi kebanyakan orang tanpa menengok dasarnya”.
Ibadallah,
Dengan
demikian, parameter kebenaran bukanlah berdasarkan kuantitas, banyak atau
sedikit. Akan tetapi, “kebenaran itu (disebut kebenaran) tatkala sesuai dengan
dalil tanpa perlu menengok banyaknya orang yang menerima atau minimnya
penolakan orang. Antipati manusia atau respon positif mereka tidak otomatis
menunjukkan kebenaran atau penyimpangan satu pendapat. Tiap pendapat dan
perbuatan haruslah berdasarkan dalil (yang shahih) kecuali pendapat (ucapan)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena ucapan beliau sudah menjadi
hujjah (dasar, dalil)”.
Allah Azza wa Jalla telah mengabarkan
tentang umat terdahulu bahwa kaum minoritas bisa saja berada di atas al-haq.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا
آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu
kecuali sedikit. (Hud/11:40).
Maka, siapa saja berada di atas al-haq
yang berlandaskan dalil yang shahih dan lurus, berkomitmen kuat dengannya dalam
ucapan, perbuatan, keyakinan, meskipun ia sendirian, dialah orang yang benar
dan lurus, dan selanjutnya pantas diikuti oleh orang lain.
Bahkan, seandainya pun
tidak ada seorang pun yang berpegang teguh dengan al-haq, selama itu merupakan
kebenaran, tetaplah merupakan kebenaran dan menjadi sumber keselamatan.
Apabila kebanyakan orang hanyut dalam
kebatilan dengan melanggar syariat, tidak konsisten dengan ajaran Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus untuk menyampaikan
ilmu dan hidayah kepada semua manusia, mengadakan hal-hal baru dalam agama
Islam yang tidak ada dasarnya yang jelas dan tidak pernah dikenal oleh generasi
terbaik umat Islam; dalam kondisi demikian, pendapat mereka harus ditolak dan
tidak boleh terpedaya dengan jumlah mereka yang ada di mana-mana.
Sahabat
Abdullah bin Masud radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:
لاَ يَكُنْ أَحُدُكُمْ إِمَّعَةً يَقُوْلُ:
“أَنَا مَعَ النَّاسِ”. لِيُوَطِّنَ أَحَدُكُمْ عَلَى أَنْ يُؤْمِنَ وَلَوْ كَفَرَ
النَّاسُ
Janganlah
seseorang dari kalian menjadi latah (dengan) mengatakan, ‘Aku bergabung dengan
(arus) manusia (saja)’. Hendaknya ia melatih diri untuk beriman walaupun
orang-orang telah kafir).
Atas
dasar nasihat berharga di atas, mari kita tanamkan pada diri kita, “Hendaklah
kita melatih diri (dan berusaha keras) untuk berkomitmen dengan petunjuk Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun banyak orang telah
mengabaikan petunjuk beliau dan mengadakan hal-hal baru dalam Islam”. Semoga
Allah Azza wa Jalla memberikan hidayah, rasyad dan taufik-Nya kepada
kita semua.
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah juga
telah menggariskan pesan pentingnya, “Janganlah
engkau (mudah) tertipu dengan apa yang mengelabui orang-orang jahil. Mereka itu
mengatakan, ‘Jika orang-orang itu (yang berada di atas al-haq) betul-betul di
atas kebenaran, mestinya jumlah mereka tidak akan sedikit. Sementara manusia
lebih banyak yang tidak sejalan dengan mereka’. Ingatlah bahwa sesungguhnya
orang-orang (yang berada di atas al-haq) itulah manusia (sebenarnya). Sedangkan
orang-orang yang bertentangan dengan mereka hanyalah serupa dengan manusia,
bukan manusia. Manusia (sebenarnya) hanyalah orang-orang yang mengikuti al-haq
meskipun mereka berjumlah paling sedikit”.
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan,
“Memang
betul, bila mayoritas (manusia) di atas kebenaran dan al-haq, maka itu bagus
sekali. Akan tetapi, sunnatullah (ketetapan Allah Azza wa Jalla )
yang berjalan bahwa kuantitas yang besar berada di atas kebatilan.
(Ketetapan Ilahi ini berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla.
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ
بِمُؤْمِنِينَ
Dan sebagian besar manusia tidak akan
beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya (Yusuf/12 : 103)
Dan firman-Nya:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ
عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا
يَخْرُصُونَ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang
yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain
hanyalah berdusta (terhadap Allah). (al-An’am/6 ayat 116).
Saudarku kaum muslimin,
Kaum Asya’irah (yang beraqidah Asy’ariyah)
adalah orang-orang yang berintisab (menisbatkan diri) kepada Abul-Hasan
al-Asy’ari, yaitu ‘Ali bin Isma’il yang wafat pada tahun 330H. Sebenarnya,
melalui aspek historis, dapat diketahui bahwa sosok yang terkenal ini
mengarungi tiga fase dalam aqidahnya: bermadzhab Mu’tazilah, kemudian berada
dalam fase antara pengaruh aqidah Mu’tazilah dan mengikuti Sunnah dengan
menetapkan sebagian sifat Allah, namun masih menakwilkan sebagian besarnya.
Fase ini yang kemudian dikenal dengan aqidah Asy’ariyah. Lalu keyakinannya yang
terakhir, meyakini aqidah yang dipegangi dan diyakini oleh generasi Salaf umat
Islam. Sebab, ia telah menegaskan dan memaparkannya dalam kitabnya al-Ibanah
yang termasuk karya terakhir beliau. Di dalamnya, beliau menjelaskan bahwa
dirinya mengikuti aqidah yang dipegangi oleh Imam Ahli Sunnah, Imam Ahmad bin
Hanbal rahimahullah dan Ulama Ahli Sunnah lainnya. Yaitu, menetapkan
semua nama dan sifat yang ditetapkan Allah Azza wa Jalla bagi
Dzat-Nya dan ditetapkan oleh Rasulullah bagi-Nya, sesuai dengan keagungan dan
kemuliaan Allah Azza wa Jalla , tanpa takyif, tamtsil, tahrif dan
takwil. Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla.
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. (asy-Syura/42:11).
Dikala panutan dan tokoh utama Asy’ariyah, Abul-Hasan
al-Asy’ari rahimahullah telah meninggalkan aqidah 20 sifatnya, para
penganut aqidah Asy’ariyah masih bertahan dengan pemikiran Abul-Hasan
al-Asy’ari rahimahullah sebelum meninggalkan aqidah yang digagasnya
menuju aqidah Ahli Sunnah wal-Jama’ah. Belakangan, ada ungkapan populer di
tengah sebagian masyarakat bahwa golongan Asy’ariyah di masa ini
merepresentasikan 95% dari jumlah kaum muslimin. Artinya, yang memegangi aqidah
Asy’ariyah di dunia Islam merupakan kaum mayoritas.
Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad
menyanggah pendapat tersebut, melalui, dengan beberapa tinjauan, sebagai
berikut:
Pertama:
Bahwa penetapan prosentase di atas haruslah berdasarkan penghitungan detail
yang menghasilkan data empiris yang valid. Dan ternyata tidak ada sensus untuk
menghitung jumlah penganutnya, hanya sekedar klaim kosong belaka.
Kedua:
Anggap saja prosentasi itu benar, namun tidak otomatis jumlah yang banyak
mengindikasikan lurus dan benarnya aqidah tersebut. Sebab, aqidah yang benar
dan lurus hanya dapat digapai dengan mengikuti aqidah yang diyakini oleh
generasi Salaf dari kalangan Sahabat Nabi dan insan-insan yang berjalan di atas
manhaj mereka dengan baik. Bukan dengan mengikuti aqidah yang penggagasnya baru
wafat pada abad empat hijriyah, apalagi yang bersangkutan telah meninggalkan
aqidah (yang salah) itu. Selain itu, secara logika, tidak mungkin ada kebenaran
yang tertutup dan tersembunyi bagi para Sahabat Nabi, generasi Tabi’in dan para
pengikut mereka dengan baik, dan kemudian kebenaran itu baru diketahui oleh orang
yang kelahirannya setelah masa generasi terbaik umat Islam.
Ketiga:
Selain itu, aqidah Asy’ariyah hanyalah diyakini oleh orang-orang yang
mendalaminya di lembaga pendidikan Asy’ariyah atau mereka mempelajarinya dari
tangan guru-guru berkeyakinan Asy’ariyah. Sedangkan orang-orang awam yang
jumlahnya sangat banyak itu tidaklah mengenal Asy’ariyah. Aqidah mereka masih
di atas fitrah.
Keempat:
Syaikh Bakr Abu Zaid dalam at-Ta’alum menambahkan bahwa aqidah orang-orang dari
tiga generasi terbaik; dari generasi Sahabat dan dua generasi selanjutnya
sejalan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang dalam perjalanan sejarah dikenal dengan Aqidah Salaf.
Ibadallah,
Dengan melihat fakta lapangan, orang yang
tidak dan belum komitmen dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam jumlahnya lebih banyak bahkan dominan di tengah masyarakat, maka
seorang Muslim yang taat kepada Allah Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu merasa cemas,
resah dan terasing lantaran tidak “memiliki” teman banyak atau bahkan tidak
punya teman sama sekali. Sebab, hatinya ingin bersama dengan “orang-orang
orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para
shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka
itulah teman yang sebaik-baiknya”.
Apabila kesabaran dan keyakinannya
menipis, maka ia akan meninggalkan kebenaran itu, tidak sanggup menanggung
beban (untuk menjalankan)nya, apalagi bila ia tidak memiliki teman dan merasa
resah dengan kesendiriannya. Akhirnya, ia akan berkata, “Kemana manusia pergi,
maka aku mengikuti mereka”.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ
الكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِي اللهُ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ
وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ، وَأَقُوْلُ هَذَا القَوْلَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ
وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ
يَغْفِرْ لَكُمْ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ.
Khutbah Kedua:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَظِيْمِ الإِحْسَانِ وَاسِعِ
الفَضْلِ وَالْجُوْدِ وَالْاِمْتِنَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ؛
صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.
أَمَّا بَعْدُ عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ
تَعَالَى .
Ibadallah,
Tersebarnya ajaran dan petunjuk yang
bersumber dari Alquran dan Sunnah yang shahihah di tengah satu masyarakat, dari
masyarakat terkecil seperti keluarga, hingga masyarakat berskala besar seperti
negara, akan mendatangkan kebaikan demi kebaikan bagi mereka semua. Oleh karena
itu, sepatutnya penyeru kepada perbaikan berusaha keras untuk memperbanyak
jumlah ahlul-haq. Sebab, para nabi pun memperoleh kedudukan yang berbeda-beda
juga berdasarkan sedikit banyaknya pengikut mereka. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي لَأَرْجُوْ أَنْ تَكُونُوْا أَكْثَرَ
أَهْلَ الْجَنَّةِ
Sesungguhnya aku benar-benar berharap
kalian menjadi penghuni terbanyak di dalam surga. (HR al-Bukhari dan Muslim
dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu).
وَصَلُّوْا وَسَلِّمُوْا رَعَاكُمُ اللهُ عَلَى
مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ بِذَلِكَ فِي كِتَابِهِ
فَقَالَ: ﴿ إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴾
[الأحزاب:٥٦] ، وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( مَنْ صَلَّى عَلَيَّ
صَلاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا)) .
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ
مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ
حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا
بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ
مَجِيْدٌ. وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْأَئِمَّةَ
المَهْدِيِيْنَ؛ أَبِيْ بَكْرِ الصِّدِّيْقِ، وَعُمَرَ الفَارُوْقِ، وَعُثْمَانَ
ذِيْ النُوْرَيْنِ، وَأَبِيْ الحَسَنَيْنِ عَلِيٍّ, وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ
الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ وَعَنِ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ
إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ، وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَإِحْسَانِكَ
يَا أَكْرَمَ الأَكْرَمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ
وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ
أَعِزَّ الإِسْلَامَ وَالمُسْلِمِيْنَ، اَللَّهُمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ دِيْنَكَ
وَكِتَابَكَ وَسُنَّةَ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
اَللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا المُسْلِمِيْنَ المُسْتَضْعَفِيْنَ فِي كُلِّ
مَكَانٍ، اَللَّهُمَّ انْصُرْهُمْ فِي أَرْضِ الشَامِ وَفِي كُلِّ مَكَانٍ،
اَللَّهُمَّ كُنْ لَنَا وَلَهُمْ حَافِظاً وَمُعِيْنًا وَمُسَدِّداً وَمُؤَيِّدًا،
اَللَّهُمَّ كُنْ لَنَا وَلَهُمْ وَلَا تَكُنْ عَلَيْنَا، وَانْصُرْنَا وَلَا
تَنْصُرْ عَلَيْنَا، وَامْكُرْ لَنَا وَلَا تُمْكِرْ عَلَيْنَا، وَاهْدِنَا
وَيَسِّرْ الهُدَى لَنَا، وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ بَغَى عَلَيْنَا، اَللَّهُمَّ
انْصُرْنَا عَلَى مَنْ بَغَى عَلَيْنَا، اَللَّهُمَّ انْصُرْنَا عَلَى مَنْ بَغَى
عَلَيْنَا. اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا لَكَ ذَاكِرِيْنَ، لَكَ شَاكِرِيْنَ، إِلَيْكَ
أَوَّاهِيْنَ، لَكَ مُخْبِتِيْنَ، لَكَ مُطِيْعِيْنَ. اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ
تَوْبَتَنَا، وَاغْسِلْ حَوْبَتَنَا، وَثَبِّتْ حُجَّتَنَا، وَاهْدِ قُلُوْبَنَا،
وَسَدِّدْ أَلْسِنَتَنَا، وَاسْلُلْ سَخِيْمَةَ صُدُوْرِنَا.
اَللَّهُمَّ وَاغْفِرْ لَنَا ذُنُبَنَا كُلَّهُ؛
دِقَّهُ وَجِلَّهُ، أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، سِرَّهُ وَعَلَّنَهُ، اَللَّهُمَّ
اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ
وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ.
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَحُبَّ العَمَلَ
الَّذِيْ يُقَرِّبُنَا إِلَى حُبِّكَ. اَللَّهُمَّ زَيِّنَّا بِزِيْنَةِ
الإِيْمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةَ مُهْتَدِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ ذَاتَ
بَيْنِنَا وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ،
وَأَخْرِجْنَا مِنَ الظُلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ. اَللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا
تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرَ مَنْ زَكَّاهَا، أَنْتَ وَلِيُّهَا
وَمَوْلَاهَا. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً
وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ: أُذْكُرُوْا اللهَ يَذْكُرْكُمْ،
وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، { وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ } .
(Diadaptasi dari tulisan Ustadz Abu
Minhal di majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVII/1434H/2013).