Trilogi Kisah Iran dan Daulah Shafawi:
Republik Syiah Iran, Daulah Shafawi Modern (3/3)
Telah kita simak di
tulisan-tulisan sebelumnya bagaimana Daulah Shafawiyah didirikan, ideologi yang
mereka sebarkan, dan kebijakan-kebijakan yang mereka terapkan terhadap umat
Islam di negaranya maupun di dunia secara umum. Di era modern ini, ada sebuah
negara yang mengusung ideologi sama dengan Daulah Shafawi yakni ideologi Syiah,
negara tersebut menamakan diri mereka dengan Republik Islam Iran.
Terletak di geografi
yang sama dengan pusat pemeritanhan Daulah Shafawi, Iran berusaha menggantikan
peranan kerajaan Syiah di abad pertengahan itu dengan mengaplikasikan kebijakan
keluarga Shafawi di era modern ini. Pada tulisan ketiga ini, topik utamanya
adalah tentang siapakah yang memerintah Iran. Dengan mengetahui siapakah yang
memerintah Iran, akhirnya penulis serahkan kepada para pembaca menggeliat dalam
daya kritisnya mendudukkan posisi Iran di dunia Islam atau bahkan politik internasional.
Khomeini Pemimpin
Revolusi
Pada tahun 1979,
Khomeini memimpin revolusi Syiah di Iran yang menggulingkan diktator Syah
Pahlevi. Dengan jatuhnya Syah Pahlevi, tokoh utama Syiah ini menduduki posisi
tertinggi di tanah Persia tersebut. Khomeini memiliki kekuasaan sebagai tokoh
politik dan juga memegang otoritas penuh dalam permasalahan agama, bisa Anda
bayangkan betapa besarnya kekuasaan yang dipegang Khomeini. Namun ternyata
kekuasaan yang dimilikinya tidak membuatnya lebih baik dari Syah Pahlevi,
bahkan Khomeini lebih diktator dibanding pendahulunya ini.
Pada masa
pemerintahannya, Khomeini memunculkan sebuah konsep baru dalam tatanan negara
Iran, ia menamakan konsep dengan wilayatul faqih. Wilayatul faqih adalah sebuah
otoritas yang semestinya disandang oleh imam ma’shum (yang terjaga dari dosa).
Orang-orang Syiah meyakini kema’shuman Ali bin Abi Thalib, kedua putranya Hasan
dan Husein, kemudian para imam dari keturunan Husein bin Ali radhiallahu
‘anhuma yang mereka sebut dengan imam yang dua belas. Namun, pada masa
imam ke-11, Imam Hasan al-Askari wafat pada tahun 260 H, ia wafat dalam keadaan
tidak ada seorang yang disebut imam ma’shum. Syiah pun berpecah menjadi banyak
kelompok karena permasalahan ini. Di antara kelompok tersebut adalah Syiah Itsna
Asyariyah (Syiah 12 imam).
Syiah Itsna Asyariyah
meyakini bahwa Imam al-Askari menunjuk anaknya yang masih kecil, yang usianya
belum genap 5 tahun, sebagai imam ma’shum penerusnya. Kemudian imam ke-12
memasuki sebuah ruangan bawah tanah dan menghilang. Orang-orang Syiah 12 imam
meyakini bahwa sang imam masih berada di tempatnya dan akan keluar di akhir
zaman kelak. Dialah yang disebut Mahdi al-Muntazhar (sang Mahdi yang ditunggu).
Menurut keyakinan Syiah tidak diperbolehkan mendirikan negara, menunjuk pemimpin,
menegakkan syiar-syiar agama, berjihad, dll. tanpa adanya komando dari Imam
Mahdi yang masih ditunggu kehadirannya. Nah di sinilah wilayatul faqih hasil
ijtihad dari Khomeini memainkan peranannya.
Wilayatul Faqih
Khomeini membuat
wilayatul faqih yang ia anggap memiliki fungsi yang sama dengan funsi imamah
(kepemimpinan para imam) di saat mereka ada –mendirikan negara, mengangkat
pemimpin, dll.-. Imamah juga memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh
kenabian. Kenabian terbatas oleh waktu-waktu tertentu sedangkan imamah terus
belangsung hingga sekarang. Dari sini, muncul klaim yang lancang dari Khomeini
dalam bukunya al-Hukumah al-Islamiyah, ia mengatakan, “Salah satu hal yang
penting dalam madzhab kami bahwa para imam memiliki kedudukan yang tidak
dicapai oleh seorang malaikat yang paling mulia dan nabi-nabi yang diutus.”.
Maksudnya imam kami lebih mulia dari malaikat yang paling mulia sekalipun
semisal Jibril dan lebih mulia dari para nabi-nabi termasuk Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu,
ketaatan kepada wilayatul faqih adalah ketaatan yang mutlak. Doktrin ini
benar-benar menjadikan kekuasaan Khomeini adalah kekuasaan yang absolut lebih
dari diktator Syah Pahlevi bahkan lebih diktator dari diktator-diktator Arab
semisal Husni Mubarak, Muamar Kadafi, Sadam Husein, dll. karena kebijakan
wilayatul faqih adalah kebijakan para imam ma’shum atau bahkan kebijakan Tuhan,
melanggarnya berarti melanggar perintah imam ma’shum atau perintah Tuhan. Tidak
ada seorang diktator pun semisal nama-nama di atas menyebutkan bahwa melanggar
perintah mereka berarti melanggar perintah Tuhan. Tidak heran, ulama-ulama
Syiah yang menjabat di wilayatul faqih termasuk Khomeini digelari “ayatollah”
sebagai legalisasi kebijakan-kebijakan dan image di mata
rakyat. Agar kediktatoran wilayatul faqih sedikit tertutupi, maka ditunjuklah
seorang presiden yang dikesankan sebagai pemimpin Negara Iran.
Sebagai contoh bahwa
presiden Iran tidak memiliki otoritas terhadap negaranya dan wilayahtul faqih
lah yang memiliki peranan. Pasca revolusi, Iran dipimpin oleh Presiden Bani
Sadr. Ia memenangkan pemilu dengan mendapatkan 78,9 %. Ia bukanlah seorang
mullah (pemuka agama), ia seoarang ekonom lulusan dari Universitas Sorbone,
Paris, Perancis. Dengan suara yang begitu besar Bani Sadr mengira ia akan
begitu leluasa menenutkan kabinetnya. Namun suara kemenangan yang begitu besar
itu tidak berarti apa-apa, Sadr tidak memiliki daya dan upaya sedikit pun
menentukan kebijakan pemerintahannya. Setiap permasalahan kecil maupun besar
haruslah sesuai dengan yang digariskan oleh Khomeini sang pemimpin revolusi.
Satu tahun menjabat sebagai presiden Iran, Bani Sadr pun dilengserkan oleh
parlemen. Ini nasib seorang presiden yang tidak sejalan dengan Khomeini dan
wialyatul faqihnya walaupun suaranya pendukungnya luar biasa besar, 78,9%.
Ahlussunnah di Masa
Republik Syiah Iran
Ahlussunnah di Iran
memiliki nasib yang tidak jauh berbeda dengan Ahlussunnah di masa Daulah
Shafawi. Mereka mengalami penyiksaan, dijebloskan ke penjara, dan dibunuh,
mereka yang bebas pun hidup layaknya di penjara tidak memiliki kebebasan. Semua
itu dengan sebab mereka seorang Ahlussunnah wal Jamaah atau Sunni.
Di Teheran, ibu kota
Iran, tidak ada satu pun masjid Ahlussunnah yang diperkenankan untuk didirikan,
padahal ada 7 juta orang Sunni yang berdomisili di kota ini. Sedangkan
orang-orang Nasrani saja memiliki 12 gereja dan Yahudi diizinkan membangun 4
tempat ibadah di ibu kota negeri para mullah ini (Ahwal Ahlussunnah fi Iran,
Hal. 45-73).
Demikianlah ketika ideologi
Daulah Shafawi dan Iran saat ini sama, maka kebijakan yang dilakukan pun akan
sama yang membedakan hanyalah cara penerapannya karena menyesuaikan
perkembangan zaman.
Sumber: islamstory.com
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com
Artikel www.KisahMuslim.com