Friday, March 13, 2015

Membongkar Koleksi Dusta Idahram (9) : Wahhabi Suka Mengkafirkan Kaum Muslimin ???!!!

Ditulis pada 25 Januari 2015 oleh Abu Zahra Hanifa

TAKFIR (MENGKAFIRKAN)
Diantara tuduhan idahram yang sangat keji terhadap kaum salafy wahabi bahwasanya mereka suka mengkafirkan kaum muslimin. Dan ini salah satu argumen Idahram untuk mengkafirkan kaum salafy wahabi.
Padahal, perkaranya adalah sebaliknya, justru kaum wahabi yang sangat berhati-hati dalam mengkafirkan, mereka tidaklah mengkafirkan kecuali setelah terpenuhi syarat pengkafiran. Tidak seperti idahram yang membabi buta mengkafirkan kaum salafy wahabi.
Aqidah “Hobi mengkafirkan” adalah ciri kaum khawarij yang suka mengkafirkan kaum muslimin hanya karena mereka terjerumus dalam dosa besar yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam. Aqidah khawarij ini telah diperangi dengan keras oleh kaum Salafy Wahabi. Silahkan para pembaca sekalian membaca sebuah disertasi Dr. Muhammad Hisyaam Thoohir yang berjudul :
تَقْرِيْرَاتُ أَئِمَّةِ الدَّعْوَةِ فِي مُخَالَفَةِ مَذْهَبِ الْخَوَارِجِ وَإِبْطَالِهِ
(Penjelasan dan penetapan para imam dakwah dalam menyelisihi dan membatilkan madzhab khawarij).
Sebagai bukti akan kehati-hatian dan jauhnya kaum salafy wahabi dari sikap suka mengkafirkan kaum muslimin, maka berikut ini saya nukilkan perkataan dua ulama yang merupakan gembong kaum wahabi, Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahumallahu ta’aalaa.
Sikap Ibnu Taimiyyah terhadap Takfiir
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فلهذا كان أهل العلم والسنة لا يكفرون من خالفهم وإن كان ذلك المخالف يكفرهم لأن الكفر حكم شرعي فليس للإنسان أن يعاقب بمثله كمن كذب عليك وزنى بأهلك ليس لك أن تكذب عليه وتزني بأهله لأن الكذب والزنا حرام لحق الله تعالى وكذلك التكفير حق لله فلا يكفر إلا من كفره الله ورسوله وأيضا فإن تكفير الشخص المعين وجواز قتله موقوف على أن تبلغه الحجة النبوية التي يكفر من خالفها وإلا فليس كل من جهل شيئا من الدين يكفر
“Karenanya para ahlu al-ilmi dan as-sunnah tidaklah mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka, meskipun penyelisih tersebut mengkafirkan mereka, karena kekufuran adalah hukum syar’i. Maka tidak boleh seseorag menghukum dengan balasan yang semisalnya, sebagaimana jika seseorang berdusta kepadamu dan berzina dengan istrimu maka tidak boleh engkau berdusta kepadanya dan menzinahi istrinya, karena dusta dan zina diharamkan karena hak Allah. Demikian pula halnya dengan takfir (mengkafirkan) merupakan hak Allah, maka tidaklah dikafirkan kecuali orang yang telah dikafirkan Allah dan RasulNya. Selain itu mengkafirkan seseorang tertentu dan bolehnya membunuhnya tergantung kepada sampainya hujjah nabawiyah kepadanya yang mana orang yang menyelisihinya dikafirkan, jika tidak maka tidak boleh dikafirkan seseorang yang jahil (tidak tahu) tentang sesuatu permasalahan agama” (Al-Istighootsah fi ar-Rod ‘ala al-Bakry 256-257).
Ibnu Taimiyyah juga berkata ;
“Padalah –orang yang bermajelis denganku mengetahui hal ini dariku- bahwa aku selalu termasuk orang yang paling melarang untuk memvonis kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan kepada orang tertentu, kecuali jika diketahui bahwasanya telah tegak kepadanya hujjah risalah yang barang siapa menyelisihinya maka bisa jadi kafir atau fasiq atau ‘aashi (pelaku maksiat). Dan sungguh aku menetapkan bahwasanya Allah telah mengampuni kesalahan umat ini. Dan kesalahan ini mencakup kesalahan dalam permasalahan-permasalahan khobariah berupa perkataan dan juga permasalahan-permasalahan ‘ilmiyah (*seperti permasalahan aqidah). Dan para salaf berselisih dalam banyak permasalahan akan tetapi tidak seorangpun dari mereka yang mempersaksikan akan kekafiran seseorang atau kefasikan atau kemaksiatan” (Majmuu’ Al-Fatawaa 3/229).
Beliau juga berkata :

“Dan yang benar dalam permasalahan ini bahwasanya sebuah perkataan/pendapat bisa jadi merupakan kekufuran sebagaimana perkataan-perkataan Jahmiyah yang berkata : “Sesungguhnya Allah tidak berbicara, tidak dilihat di akhirat”, akan tetapi terkadang sebagian orang tidak mengetahui bahwasanya perkataan ini adalah kekafiran, maka diitlaq-kan pendapat dengan kafirnya pengucapnya, sebagaimana perkataan salaf : “Barangsiapa yang mengatakan al-Qur’an makhluk maka ia telah kafir, barang siapa yang mengatakan bahwasanya Allah tidak dilihat di akhirat maka ia telah kafir”, dan tidaklah dikafirkan seseorang tertentu hingga ditegakkan hujjah –sebagaimana telah lalu-. Sebagaimana dengan seseorang yang menentang kewajiban sholat dan zakat, menghalalkan khomr dan zina dan mentakwil, sesungguhnya kejelasan perkara-perkara ini (wajibnya sholat dan zakat, serta haramnya khomr dan zina) di kalangan kaum muslimin lebih jelas daripada perkara-perkara tadi (kufurnya perkataan al-quran adalah makhluk, dan kufurnya pengingkaran Allah dilihat di akhirat). Jika pentakwil yang salah dalam perkara-perakara ini (wajibnya sholat, dll) tidak dihukumi kafir hingga diberikan penjelasan baginya dan dimintai taubat, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat terhadap sebagian orang yang menghalalkan khomr, maka pada perkara-perkara yang lain lebih utama (untuk tidak dikafirkan kecuali setelah ditegakkan hujjah). Dan pada pemahaman inilah dibawakan makna sebuah hadits yang shahih tentang lelaki yang berkata, “Jika aku mati maka bakarlah jasadku lalu tebarkanlah debuku di lautan, sungguh kalau Allah mampu untuk menghidupkan aku kembali maka Allah akan mengadzabku dengan ‘adzab yang pedih yang tidak pernah mengadzabnya kepada seorangpun di alam ini”. Dan Allah telah mengampuni lelaki ini padahal ia ragu akan qudroh Allah dan ragu akan penghidupannya kembali”(Majmuu’ Al-Fataawaa 7/619).

Sikap Muhammad bin Abdil Wahhab terhadap takfir
Sebagaimana Ibnu Taimiyyah yang sangat berhati-hati dalam masalah pengkafiran maka demikian pula dengan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab.
Asy-Syaikh Abdul Lathiif bin Abdirrohman Aalu Syaikh berkata :
والشيخ محمد رحمه الله من أعظم الناس توقفاً وإحجاماً عن إطلاق الكفر، حتى أنه لم يجزم بتكفير الجاهل الذي يدعو غير الله من أهل القبور أو غيرها إذا لم يتيسر له من ينبهه
“Dan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah termasuk orang yang paling berhenti dan menahan diri dari menyatakan kekafiran, bahkan sampai-sampai beliau tidak memastikan kafirnya seorang yang jahil yang berdoa kepada selain Allah dari kalangan penghuni kuburan atau yang lainnya, jika tidak dimudahkan baginya adanya orang yang mengingatkannya” (Minhaaj At-Ta’siis hal 98).
Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhaab berkata :
ومسألة تكفير المعين مسألة معروفة، إذا قال قولا يكون القول به كفرا، فيقال: من قال بهذا القول فهو كافر، لكن الشخص المعين، إذا قال ذلك لا يحكم بكفره، حتى تقوم عليه الحجة التي يكفر تاركها
“Dan permasalahan memvonis kafir orang tertentu adalah permasalahan yang ma’ruf (dikenal), jika seseorang mengucapkan suatu perkataan yang menimbulkan kekafiran, maka dikatakan : “Barang siapa yang mengatakan perkataan ini maka ia kafir”, akan tetapi orang tertentu jika mengucapkan perkataan tersebut maka tidak dihukumi menjadi kafir hingga ditegakkan hujjah kepadanya yang seseorang menjadi kafir karena meniggalkan hujjah tersebut” (Ad-Duror As-Saniyyah 10/432-433).
Beliau juga berkata:
“Adapun kedustaan maka seperti perkataan mereka bahwasanya kami mengkafirkan secara umum, kami mewajibkan orang yang mampu untuk menampakkan agamanya untuk berhijroh kepada kami, kami mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan, juga mengkafirkan orang yang tidak berperang, dan kedustaan seperti ini banyak dan berlipat-lipat ganda. Semua ini adalah kedustaan yang menghalangi manusia dari agama Allah dan RasulNya.
Jika kami tidak mengkafirkan orang-orang yang menyembah berhala yang ada pada Abdul Qodir, dan berhala yang ada di kuburan Ahmad Al-Baidawai dan yang semisal mereka berdua dikarenakan kejahilan mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkan mereka, maka bagaimana kami lantas mengkafirkan orang yang tidak berbuat kesyirikan kepada Allah??, jika ia tidak berhijrah kepada kami?? Atau tidak mengkafirkan dan tidak berperang??, Maha suci Allah, ini merupakan kedustaan besar” (Ad-Duror As-Saniyyah 1/104).
Beliau juga berkata:
“Adapun takfir (pengkafiran) maka aku mengkafirkan orang yang mengetahui agama Rasulullah kemudian setelah ia mengetahui agama Rasul lalu ia mencelanya dan melarang manusia dari agama tersebut serta memusuhi orang yang menjalankan agama Rasul, maka orang inilah yang aku kafirkan. Dan mayoritas umat –alhamdulillah- tidak seperti ini” (Ad-Duror As-Saniyyah1/73).
Dari pernyataan-pernyataan dua ulama kaum salafy wahabi diatas dapat kita simpulkan beberapa perkara berikut ini :
Pertama : Kaum salafy Wahabi memandang bahwa takfir (pengkafiran) adalah hak Allah, karenanya tidak boleh mengkafirkan kecuali orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya. Yaitu pengkafiran harus dibangun di atas dalil syar’i.
Kedua : Kaum Salafy Wahabi hanya mengkafirkan dengan perkara-perkara yang merupakan ijmak ulama. As-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata :
Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhaab rahimahullah ditanya, “Atas apa ia berperang?, apa yang menyebabkan seseorang dikafirkan?“, maka beliau menjawab:
“Rukun-rukun Islam yang lima, yang pertama adalah dua syahadat, kemudian empat rukun. Adapun keempat rukun jika dia mengakuinya namun meninggalkan melaksanakannya karena lalai maka kami –meskipun kami memeranginya agar ia mengerjakan keempat rukun- akan tetapi kami tidak mengkafirkannya karena ia meninggalkannya, sementara para ulama berselisih tentang kafirnya orang yang meninggalkan keempat rukun karena malas tanpa menentang wajibnya empat rukun tersebut. Dan kami tidak mengkafirkan kecuali perkara yang disepakati oleh seluruh ulama, yaitu dua syahadat. Selain itu kami juga mengkafirkannya setelah memberi penjelasannya kepadanya, jika ia telah tahu dan tetap mengingkari” (Ad-Duror As-Saniyyah 1/102, lihat juga 11/317).
Ketiga : Kaum salafy memandang perbedaan antara takfir mutlaq dan takfir mu’ayyan. Takfir mutlaq seperti perkataan para ulama “Barang siapa yang mengatakan al-Qur’an makhluk maka dia kafir“, akan tetapi tidak serta merta setiap orang yang mengatakan al-Quran makhluq lantas kita kafirkan.
Tidak diragukan bahwa perkataan al-Qur’an makhluq merupakan kekufuran. Imam Malik bin Anas ketika ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mahluk, beliau menjawab: “Orang itu adalah zindiq (*), maka bunuhlah dia”. (Dinukil dari Siyar A’alam An Nubala’ 8/99). Imam As Syafi’i ketika mendengar Hafes Al Fared berkata: “Al-Qur’an adalah mahluk” beliau langsung berkata kepadanya: “Engkau telah kufur kepada Allah”. (Dinukil Dari Siyar A’alam An Nubala’ 10/30, & Mujmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 23/349).
Abu Bakr bin ‘Ayyasy berkata: “Barang siapa yang beranggapan bahwa Al-Qur’an adalah mahluk, maka menurut kami, dia itu adalah kafir dan zindiq.” Abu Nu’aim berkata: Aku pernah berjumpa dengan delapan ratus tujuh puluh sekian orang syeikh, diantaranya Al A’amasy dan orang yang setelahnya. Dan aku tidaklah menjumpai orang yang berkeyakinan dengan ucapan ini yaitu “Al-Qur’an adalah Mahluk” atau berbicara dengannya, melainkan ia dituduh sebagai orang zindiq“.
Kemudian Imam Hibatullah Al lalaka’i menyebutkan lebih dari seratus nama ulama’ dan kemudian beliau berkata: “Mereka semua berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, maka barang siapa yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahluk, maka ia telah kafir”. (Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah 2/277 dst).
Al Imam Abul Hasan Al ‘Asy’ari berkata: “Dan saya berpendapat: sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan mahluk, dan barang siapa yang mengatakan “Al-Qur’an adalah mahluk” maka ia adalah orang kafir”. (Al Ibanah oleh Abul Hasan Al ‘Asy’ary hal 20 & Tabyiin Kazibul Muftary oleh Ibnu ‘Asakir hal 159). Dan masih banyak lagi deretan ulama’ yang menyatakan dengan tegas bahwa perkataan “Al-Qur’an adalah mahluk” sebagai kekufuran.
Akan tetapi pada kenyataannya Imam Ahmad tidak mengkafirkan setiap orang yang menyatakan bahwa al-Qur’an makhluq. Oleh karena itu Imam Ahmad tidak mengkafirkan para khalifah (Al-Makmun, Al-Mu’tasihm, dan Al-Waatsiq) yang telah beraqidah bahwasanya Al-Qur’an adalah mahluk serta telah menyiksa beliau dan juga para ulama yang lain semasa beliau karena para khalifah tersebut masih terbelenggu oleh syubhat atau takwil.
Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya orang yang menyeru kepada perkataan (Al-Qur’an adalah mahluk -pen) lebih parah dibandingkan dengan orang yang (hanya sekedar) berpendapat demikian. Dan orang yang menghukumi orang yang menyelisihinya lebih parah lagi dibandingkan orang yang hanya sekedar menyeru kepada pendapatnya. Dan yang mengkafirkan orang yang menyelisihinya lebih parah lagi dari yang (hanya sekedar) menghukumi (orang yang menyelisihinya yang tidak mengatakan Al-Qur’an mahluk-pen). Meskipun demikian mereka yang merupakan para penguasa berpendapat dengan perkataan Jahmiyah bahwasanya Al-Qur’an adalah mahluk dan bahwasanya Allah tidak dapat dilihat di akhirat serta yang lainnya, mereka menyeru rakyat untuk berpendapat demikian. Mereka menguji rakyat dan menghukum mereka jika mereka tidak setuju dengannya.
Mereka mengkafirkan orang yang tidak memenuhi (seruan mereka/mengkafirkan orang yang tidak mengatakan Al-Qur’an adalah mahluk -pen). Sampai-sampai jika mereka menangkap seseorang tawanan, maka tidak akan mereka lepaskan hingga ia mengakui pendapat Jahmiyah bahwa Al-Qur’an adalah mahluk dan yang lainnya.
Mereka tidak akan mengangkat seorang pejabat, serta tidak akan memberi pembagian dari baitul mal kecuali kepada orang yang berpendapat demikian.
Meskipun demikian Imam Ahmad –rahimahullah- tetap mendoakan kerahmatan bagi mereka dan memohon ampun bagi mereka, karena beliau beranggapan bahwa mereka belum sampai pada tingkatan mendustakan Rasulullah dan menentang syari’at yang beliau emban. Akan tetapi mereka bertakwil dan mereka keliru, serta mereka hanya sekedar taqlid/ikut-ikutan dengan orang lain yang mengajarkan hal itu (aqidah Jahmiyah) kepada mereka”. (Majmuu’ al-Fataawaa 23/348-349).
Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Padahal Imam Ahmad tidaklah mengkafirkan setiap orang Jahmiyah, tidak juga mengkafirkan setiap orang yang beliau vonis sebagai anggota sekte Jahmiyah, tidak juga setiap orang yang setuju dengan sebagian bid’ah-bid’ah Jahmiyah.
Bahkan beliau tetap menjalankan sholat di belakang orang-orang Jahmiyah yang menyeru kepada perkataan mereka dan menguji masyarakat dan menghukum orang yang tidak setuju dengan mereka dengan hukuman yang berat, akan tetapi Imam Ahmad dan yang lainnya belum mengkafirkan mereka. Bahkan Imam Ahmad meyakini bahwa mereka masih sebagai orang-orang yang beriman dan beliau tetap meyakini kepemimpinan mereka. Beliau mendoakan kebaikan bagi mereka, dan memandang (bolehnya) bermakmum di belakang mereka ketika sholat, berhaji dan berperang bersama mereka. Beliau melarang pemberontakan terhadap mereka sebagaimana inilah pandangan orang-orang yang semisal beliau (para imam salaf yang lain). Beliau mengingkari bid’ah yang mereka munculkan yaitu perkataan batil yang merupakan kekafiran yang besar meskipun para pelakunya tidak menyadari bahwa perbuatannya itu (perkataan Al-Qur’an adalah mahluk) merupakan kekafiran.
Beliau mengingkari hal ini dan bersungguh-sungguh dalam membantah mereka semampu beliau. Dengan demikian beliau telah menyatukan antara ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yaitu dengan menampakkan sunnah dan agama serta mengingkari bid’ah Jahmiyah Mulhidin dengan sikap memperhatikan hak-hak orang-orang beriman dari kalangan para penguasa dan umat meskipun mereka adalah orang-orang jahil, para mubtadi’, dzolim dan fasik”. (Majmuu’ al-Fataawaa 7/507-508).
Keempat : Kaum Salafy Wahabi meyakini bahwa seseorang yang melakukan kekafiran atau mengucapkan kekafiran tidaklah langsung divonis kafir kecuali setelah memenuhi persyaratan (seperti ditegakkannya hujjah dan berusaha menghilangkan syubhat yang bercokol di kepalanya) serta tidak adanya perkara-perkara yang menghalangi pengkafiran (seperti kebodohan, baru masuk islam, tinggal di daerah pedalaman sehingga tidak mengerti, atau karena dipaksa mengucapkan/melakukan kekafiran, dll).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وليس لأحد أن يكفر أحدا من المسلمين وإن أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين لم يَزُلْ ذلك عنه بالشك ؛ بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة وإزالة الشبهة
“Dan tidak seorangpun boleh mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin meskipun ia keliru atau bersalah hingga ditegakkah hujjah kepadanya dan jelas baginya hujjah. Barang siapa yang secara yakin islamnya tegak maka tidaklah islam tersebut hilang darinya hanya dengan keraguan, akan tetapi bisa hilang jika setelah menegakkan hujjah dan menghilangkan syubhat’ (Majmuu Al-Fataawaa 12/466).
Ibnu Taimiyyah juga berkata :
وأما الحكم على المعين بأنه كافر أو مشهود له بالنار : فهذا يقف على الدليل المعين فإن الحكم يقف على ثبوت شروطه وانتفاء موانعه
“Adapun memvonis orang tertentu dengan hukum kafir atau disaksikan masuk neraka maka hal ini berhenti/tergantung kepada dalil yang tertentu (khusus), karena pemvonisan tersebut tergantung pada adanya persyaratan dan hilangnya halangan-halangan” (Majmuu al-Fataawaa 12/498).
Dengan ini, sangatlah jelas bahwa kaum salafy wahabi adalah kaum yang sangat berhati-hati dalam mengkafirkan.
(Silahkan para pembaca membaca sebuah desertasi karya Dr. Abdul Majiid al-Masy’abi yang berjudul Manhaj Ibni Taimiyyah fi mas’alah at-Takfiir bisa di download di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=1492, dan juga sebuah tesis karya Ahmad bin Jazzaa’ Ar-Rudhoimaan yang berjudul Manhaj Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhaab fi mas’alah at-Takfiir, bisa di download di http://www.alkutob.net/aqeedah/manhag-emam-mohammad/manhag-emam-mohammad.pdf).
Karenanya, tuduhan Idahram bahwasanya kaum salafi wahaby suka mengkafirkan kaum muslimin maka ini merupakan tuduhan dusta, justru idahram termakan dengan tuduhannya sendiri, jadilah ia hobi mengkafirkan kaum salafy wahabi tanpa dalil dan hanya mengikuti hawa nafsunya, Allahu al-Musta’aan.
Bersambung..


Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja