Ditulis pada 25 Januari 2015 oleh Abu Zahra Hanifa
TAKFIR
(MENGKAFIRKAN)
Diantara
tuduhan idahram yang sangat keji terhadap kaum salafy wahabi bahwasanya mereka
suka mengkafirkan kaum muslimin. Dan ini salah satu argumen Idahram untuk
mengkafirkan kaum salafy wahabi.
Padahal,
perkaranya adalah sebaliknya, justru kaum wahabi yang sangat berhati-hati dalam
mengkafirkan, mereka tidaklah mengkafirkan kecuali setelah terpenuhi syarat
pengkafiran. Tidak seperti idahram yang membabi buta mengkafirkan kaum salafy
wahabi.
Aqidah “Hobi mengkafirkan”
adalah ciri kaum khawarij yang suka mengkafirkan kaum muslimin hanya karena
mereka terjerumus dalam dosa besar yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya
dari Islam. Aqidah khawarij ini telah diperangi dengan keras oleh kaum Salafy
Wahabi. Silahkan para pembaca sekalian membaca sebuah disertasi Dr. Muhammad
Hisyaam Thoohir yang berjudul :
تَقْرِيْرَاتُ أَئِمَّةِ الدَّعْوَةِ فِي مُخَالَفَةِ مَذْهَبِ الْخَوَارِجِ وَإِبْطَالِهِ
(Penjelasan dan penetapan para imam
dakwah dalam menyelisihi dan membatilkan madzhab khawarij).
Sebagai bukti
akan kehati-hatian dan jauhnya kaum salafy wahabi dari sikap suka mengkafirkan
kaum muslimin, maka berikut ini saya nukilkan perkataan dua ulama yang
merupakan gembong kaum wahabi, Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdil Wahhab
rahimahumallahu ta’aalaa.
Sikap Ibnu Taimiyyah
terhadap Takfiir
Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata :
فلهذا كان أهل العلم والسنة لا يكفرون من خالفهم وإن كان ذلك المخالف يكفرهم لأن الكفر حكم شرعي فليس للإنسان أن يعاقب بمثله كمن كذب عليك وزنى بأهلك ليس لك أن تكذب عليه وتزني بأهله لأن الكذب والزنا حرام لحق الله تعالى وكذلك التكفير حق لله فلا يكفر إلا من كفره الله ورسوله وأيضا فإن تكفير الشخص المعين وجواز قتله موقوف على أن تبلغه الحجة النبوية التي يكفر من خالفها وإلا فليس كل من جهل شيئا من الدين يكفر
“Karenanya para
ahlu al-ilmi dan as-sunnah tidaklah mengkafirkan orang yang menyelisihi mereka,
meskipun penyelisih tersebut mengkafirkan mereka, karena kekufuran adalah hukum
syar’i. Maka tidak boleh seseorag menghukum dengan balasan yang semisalnya,
sebagaimana jika seseorang berdusta kepadamu dan berzina dengan istrimu maka
tidak boleh engkau berdusta kepadanya dan menzinahi istrinya, karena dusta dan
zina diharamkan karena hak Allah. Demikian pula halnya dengan takfir
(mengkafirkan) merupakan hak Allah, maka tidaklah dikafirkan kecuali orang yang
telah dikafirkan Allah dan RasulNya. Selain itu mengkafirkan seseorang tertentu
dan bolehnya membunuhnya tergantung kepada sampainya hujjah nabawiyah kepadanya
yang mana orang yang menyelisihinya dikafirkan, jika tidak maka tidak boleh
dikafirkan seseorang yang jahil (tidak tahu) tentang sesuatu permasalahan
agama” (Al-Istighootsah fi
ar-Rod ‘ala al-Bakry 256-257).
Ibnu Taimiyyah
juga berkata ;
“Padalah –orang yang bermajelis denganku mengetahui hal
ini dariku- bahwa aku selalu termasuk orang yang paling melarang untuk memvonis
kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan kepada orang tertentu, kecuali jika
diketahui bahwasanya telah tegak kepadanya hujjah risalah yang barang siapa
menyelisihinya maka bisa jadi kafir atau fasiq atau ‘aashi (pelaku maksiat).
Dan sungguh aku menetapkan bahwasanya Allah telah mengampuni kesalahan umat ini.
Dan kesalahan ini mencakup kesalahan dalam permasalahan-permasalahan khobariah
berupa perkataan dan juga permasalahan-permasalahan ‘ilmiyah (*seperti
permasalahan aqidah). Dan para salaf berselisih dalam banyak permasalahan akan
tetapi tidak seorangpun dari mereka yang mempersaksikan akan kekafiran
seseorang atau kefasikan atau kemaksiatan” (Majmuu’
Al-Fatawaa 3/229).
Beliau juga
berkata :
“Dan
yang benar dalam permasalahan ini bahwasanya sebuah perkataan/pendapat bisa
jadi merupakan kekufuran sebagaimana perkataan-perkataan Jahmiyah yang berkata
: “Sesungguhnya Allah tidak berbicara, tidak dilihat di akhirat”, akan tetapi
terkadang sebagian orang tidak mengetahui bahwasanya perkataan ini adalah
kekafiran, maka diitlaq-kan pendapat dengan kafirnya pengucapnya, sebagaimana
perkataan salaf : “Barangsiapa yang mengatakan al-Qur’an makhluk maka ia telah
kafir, barang siapa yang mengatakan bahwasanya Allah tidak dilihat di akhirat
maka ia telah kafir”, dan tidaklah dikafirkan seseorang tertentu hingga
ditegakkan hujjah –sebagaimana telah lalu-. Sebagaimana dengan seseorang yang
menentang kewajiban sholat dan zakat, menghalalkan khomr dan zina dan
mentakwil, sesungguhnya kejelasan perkara-perkara ini (wajibnya sholat dan zakat, serta
haramnya khomr dan zina) di kalangan kaum muslimin lebih jelas daripada
perkara-perkara tadi (kufurnya
perkataan al-quran adalah makhluk, dan kufurnya pengingkaran Allah dilihat di
akhirat). Jika pentakwil yang salah dalam perkara-perakara ini (wajibnya sholat, dll) tidak dihukumi
kafir hingga diberikan penjelasan baginya dan dimintai taubat, sebagaimana yang
dilakukan oleh para sahabat terhadap sebagian orang yang menghalalkan khomr,
maka pada perkara-perkara yang lain lebih utama (untuk tidak dikafirkan kecuali setelah ditegakkan hujjah).
Dan pada pemahaman inilah dibawakan makna sebuah hadits yang shahih tentang
lelaki yang berkata, “Jika aku mati maka bakarlah jasadku lalu tebarkanlah
debuku di lautan, sungguh kalau Allah mampu untuk menghidupkan aku kembali maka
Allah akan mengadzabku dengan ‘adzab yang pedih yang tidak pernah mengadzabnya
kepada seorangpun di alam ini”. Dan Allah telah mengampuni lelaki ini padahal
ia ragu akan qudroh Allah dan ragu akan penghidupannya kembali”(Majmuu’ Al-Fataawaa 7/619).
Sikap Muhammad bin
Abdil Wahhab terhadap takfir
Sebagaimana
Ibnu Taimiyyah yang sangat berhati-hati dalam masalah pengkafiran maka demikian
pula dengan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab.
Asy-Syaikh
Abdul Lathiif bin Abdirrohman Aalu Syaikh berkata :
والشيخ محمد رحمه الله من أعظم الناس توقفاً وإحجاماً عن إطلاق الكفر، حتى أنه لم يجزم بتكفير الجاهل الذي يدعو غير الله من أهل القبور أو غيرها إذا لم يتيسر له من ينبهه
“Dan Syaikh
Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah termasuk orang yang paling berhenti dan
menahan diri dari menyatakan kekafiran, bahkan sampai-sampai beliau tidak
memastikan kafirnya seorang yang jahil yang berdoa kepada selain Allah dari
kalangan penghuni kuburan atau yang lainnya, jika tidak dimudahkan baginya
adanya orang yang mengingatkannya” (Minhaaj
At-Ta’siis hal 98).
Syaikh Muhammad
bin Abdil Wahhaab berkata :
ومسألة تكفير المعين مسألة معروفة، إذا قال قولا يكون القول به كفرا، فيقال: من قال بهذا القول فهو كافر، لكن الشخص المعين، إذا قال ذلك لا يحكم بكفره، حتى تقوم عليه الحجة التي يكفر تاركها
“Dan
permasalahan memvonis kafir orang tertentu adalah permasalahan yang ma’ruf
(dikenal), jika seseorang mengucapkan suatu perkataan yang menimbulkan
kekafiran, maka dikatakan : “Barang siapa yang mengatakan perkataan ini maka ia
kafir”, akan tetapi orang tertentu jika mengucapkan perkataan tersebut maka
tidak dihukumi menjadi kafir hingga ditegakkan hujjah kepadanya yang seseorang
menjadi kafir karena meniggalkan hujjah tersebut” (Ad-Duror As-Saniyyah 10/432-433).
Beliau juga
berkata:
“Adapun kedustaan maka seperti perkataan mereka bahwasanya
kami mengkafirkan secara umum, kami mewajibkan orang yang mampu untuk
menampakkan agamanya untuk berhijroh kepada kami, kami mengkafirkan orang yang
tidak mengkafirkan, juga mengkafirkan orang yang tidak berperang, dan kedustaan
seperti ini banyak dan berlipat-lipat ganda. Semua ini adalah kedustaan yang
menghalangi manusia dari agama Allah dan RasulNya.
Jika kami tidak
mengkafirkan orang-orang yang menyembah berhala yang ada pada Abdul Qodir, dan
berhala yang ada di kuburan Ahmad Al-Baidawai dan yang semisal mereka berdua
dikarenakan kejahilan mereka dan tidak adanya orang yang mengingatkan mereka,
maka bagaimana kami lantas mengkafirkan orang yang tidak berbuat kesyirikan
kepada Allah??, jika ia tidak berhijrah kepada kami?? Atau tidak mengkafirkan
dan tidak berperang??, Maha suci Allah, ini merupakan kedustaan besar” (Ad-Duror As-Saniyyah 1/104).
Beliau juga
berkata:
“Adapun takfir (pengkafiran) maka aku mengkafirkan orang
yang mengetahui agama Rasulullah kemudian setelah ia mengetahui agama Rasul
lalu ia mencelanya dan melarang manusia dari agama tersebut serta memusuhi
orang yang menjalankan agama Rasul, maka orang inilah yang aku kafirkan. Dan
mayoritas umat –alhamdulillah- tidak seperti ini” (Ad-Duror As-Saniyyah1/73).
Dari
pernyataan-pernyataan dua ulama kaum salafy wahabi diatas dapat kita simpulkan
beberapa perkara berikut ini :
Pertama : Kaum salafy Wahabi memandang bahwa takfir
(pengkafiran) adalah hak Allah, karenanya tidak boleh mengkafirkan kecuali
orang yang telah dikafirkan oleh Allah dan RasulNya. Yaitu pengkafiran harus dibangun di atas dalil syar’i.
Kedua : Kaum Salafy Wahabi hanya mengkafirkan dengan
perkara-perkara yang merupakan ijmak ulama.
As-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab berkata :
Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhaab rahimahullah ditanya, “Atas apa ia berperang?, apa yang menyebabkan
seseorang dikafirkan?“, maka beliau
menjawab:
“Rukun-rukun
Islam yang lima, yang pertama adalah dua syahadat, kemudian empat rukun. Adapun
keempat rukun jika dia mengakuinya namun meninggalkan melaksanakannya karena
lalai maka kami –meskipun kami memeranginya agar ia mengerjakan keempat rukun-
akan tetapi kami tidak mengkafirkannya karena ia meninggalkannya, sementara
para ulama berselisih tentang kafirnya orang yang meninggalkan keempat rukun
karena malas tanpa menentang wajibnya empat rukun tersebut. Dan kami tidak mengkafirkan kecuali perkara yang disepakati
oleh seluruh ulama, yaitu dua
syahadat. Selain itu kami juga mengkafirkannya setelah memberi penjelasannya
kepadanya, jika ia telah tahu dan tetap mengingkari” (Ad-Duror As-Saniyyah 1/102,
lihat juga 11/317).
Ketiga : Kaum
salafy memandang perbedaan antara takfir mutlaq dan takfir mu’ayyan. Takfir mutlaq seperti perkataan para ulama “Barang siapa yang mengatakan al-Qur’an
makhluk maka dia kafir“, akan tetapi
tidak serta merta setiap orang yang mengatakan al-Quran makhluq lantas kita
kafirkan.
Tidak diragukan
bahwa perkataan al-Qur’an makhluq merupakan kekufuran. Imam Malik bin Anas
ketika ditanya tentang orang yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mahluk,
beliau menjawab: “Orang itu
adalah zindiq (*), maka
bunuhlah dia”. (Dinukil
dari Siyar A’alam An Nubala’ 8/99). Imam As Syafi’i ketika mendengar Hafes Al
Fared berkata: “Al-Qur’an
adalah mahluk” beliau
langsung berkata kepadanya: “Engkau telah
kufur kepada Allah”. (Dinukil Dari Siyar A’alam An Nubala’ 10/30,
& Mujmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 23/349).
Abu Bakr bin
‘Ayyasy berkata: “Barang siapa yang beranggapan bahwa Al-Qur’an adalah mahluk,
maka menurut kami, dia itu adalah kafir dan zindiq.” Abu Nu’aim berkata: Aku
pernah berjumpa dengan delapan ratus tujuh puluh sekian orang syeikh,
diantaranya Al A’amasy dan orang yang setelahnya. Dan aku tidaklah menjumpai
orang yang berkeyakinan dengan ucapan ini yaitu “Al-Qur’an adalah Mahluk” atau
berbicara dengannya, melainkan ia dituduh sebagai orang zindiq“.
Kemudian Imam
Hibatullah Al lalaka’i menyebutkan lebih dari seratus nama ulama’ dan kemudian
beliau berkata: “Mereka semua
berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, maka barang siapa yang
berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahluk, maka ia telah kafir”. (Syarah
Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah 2/277 dst).
Al Imam Abul
Hasan Al ‘Asy’ari berkata: “Dan
saya berpendapat: sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah dan bukan mahluk,
dan barang siapa yang mengatakan “Al-Qur’an adalah mahluk” maka ia adalah orang
kafir”. (Al Ibanah
oleh Abul Hasan Al ‘Asy’ary hal 20 & Tabyiin Kazibul Muftary oleh Ibnu
‘Asakir hal 159). Dan masih banyak lagi deretan ulama’ yang menyatakan dengan
tegas bahwa perkataan “Al-Qur’an
adalah mahluk” sebagai
kekufuran.
Akan tetapi
pada kenyataannya Imam Ahmad tidak mengkafirkan setiap orang yang menyatakan
bahwa al-Qur’an makhluq. Oleh karena itu Imam Ahmad tidak mengkafirkan para
khalifah (Al-Makmun, Al-Mu’tasihm, dan Al-Waatsiq) yang telah beraqidah
bahwasanya Al-Qur’an adalah mahluk serta telah menyiksa beliau dan juga para
ulama yang lain semasa beliau karena para khalifah tersebut masih terbelenggu
oleh syubhat atau takwil.
Ibnu Taimiyah
berkata, “Sesungguhnya orang yang menyeru kepada perkataan (Al-Qur’an adalah
mahluk -pen) lebih parah dibandingkan dengan orang yang (hanya sekedar) berpendapat
demikian. Dan orang yang menghukumi orang yang menyelisihinya lebih parah lagi
dibandingkan orang yang hanya sekedar menyeru kepada pendapatnya. Dan yang
mengkafirkan orang yang menyelisihinya lebih parah lagi dari yang (hanya
sekedar) menghukumi (orang yang menyelisihinya yang tidak mengatakan Al-Qur’an
mahluk-pen). Meskipun demikian mereka yang merupakan para penguasa berpendapat
dengan perkataan Jahmiyah bahwasanya Al-Qur’an adalah mahluk dan bahwasanya
Allah tidak dapat dilihat di akhirat serta yang lainnya, mereka menyeru rakyat
untuk berpendapat demikian. Mereka menguji rakyat dan menghukum mereka jika
mereka tidak setuju dengannya.
Mereka
mengkafirkan orang yang tidak memenuhi (seruan mereka/mengkafirkan orang yang
tidak mengatakan Al-Qur’an adalah mahluk -pen). Sampai-sampai jika mereka
menangkap seseorang tawanan, maka tidak akan mereka lepaskan hingga ia mengakui
pendapat Jahmiyah bahwa Al-Qur’an adalah mahluk dan yang lainnya.
Mereka tidak
akan mengangkat seorang pejabat, serta tidak akan memberi pembagian dari baitul
mal kecuali kepada orang yang berpendapat demikian.
Meskipun
demikian Imam Ahmad –rahimahullah- tetap mendoakan kerahmatan bagi mereka dan
memohon ampun bagi mereka, karena beliau beranggapan bahwa mereka belum sampai
pada tingkatan mendustakan Rasulullah dan menentang syari’at yang beliau emban.
Akan tetapi mereka bertakwil dan mereka keliru, serta mereka hanya sekedar
taqlid/ikut-ikutan dengan orang lain yang mengajarkan hal itu (aqidah Jahmiyah)
kepada mereka”. (Majmuu’
al-Fataawaa 23/348-349).
Ibnu Taimiyyah
juga berkata, “Padahal Imam Ahmad tidaklah mengkafirkan setiap orang Jahmiyah,
tidak juga mengkafirkan setiap orang yang beliau vonis sebagai anggota sekte
Jahmiyah, tidak juga setiap orang yang setuju dengan sebagian bid’ah-bid’ah
Jahmiyah.
Bahkan beliau
tetap menjalankan sholat di belakang orang-orang Jahmiyah yang menyeru kepada
perkataan mereka dan menguji masyarakat dan menghukum orang yang tidak setuju
dengan mereka dengan hukuman yang berat, akan tetapi Imam Ahmad dan yang
lainnya belum mengkafirkan mereka. Bahkan Imam Ahmad meyakini bahwa mereka
masih sebagai orang-orang yang beriman dan beliau tetap meyakini kepemimpinan
mereka. Beliau mendoakan kebaikan bagi mereka, dan memandang (bolehnya)
bermakmum di belakang mereka ketika sholat, berhaji dan berperang bersama
mereka. Beliau melarang pemberontakan terhadap mereka sebagaimana inilah
pandangan orang-orang yang semisal beliau (para imam salaf yang lain). Beliau
mengingkari bid’ah yang mereka munculkan yaitu perkataan batil yang merupakan
kekafiran yang besar meskipun para pelakunya tidak menyadari bahwa perbuatannya
itu (perkataan Al-Qur’an adalah mahluk) merupakan kekafiran.
Beliau
mengingkari hal ini dan bersungguh-sungguh dalam membantah mereka semampu
beliau. Dengan demikian beliau telah menyatukan antara ketaatan kepada Allah
dan Rasul-Nya yaitu dengan menampakkan sunnah dan agama serta mengingkari
bid’ah Jahmiyah Mulhidin dengan sikap memperhatikan hak-hak orang-orang beriman
dari kalangan para penguasa dan umat meskipun mereka adalah orang-orang jahil,
para mubtadi’, dzolim dan fasik”. (Majmuu’
al-Fataawaa 7/507-508).
Keempat : Kaum
Salafy Wahabi meyakini bahwa seseorang yang melakukan kekafiran atau
mengucapkan kekafiran tidaklah langsung divonis kafir kecuali setelah memenuhi
persyaratan (seperti
ditegakkannya hujjah dan berusaha menghilangkan syubhat yang bercokol di
kepalanya) serta tidak adanya perkara-perkara yang menghalangi pengkafiran
(seperti kebodohan, baru masuk islam, tinggal di daerah pedalaman sehingga
tidak mengerti, atau karena dipaksa mengucapkan/melakukan kekafiran, dll).
Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata :
وليس لأحد أن يكفر أحدا من المسلمين وإن أخطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة وتبين له المحجة ومن ثبت إسلامه بيقين لم يَزُلْ ذلك عنه بالشك ؛ بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة وإزالة الشبهة
“Dan tidak
seorangpun boleh mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin meskipun ia keliru
atau bersalah hingga ditegakkah hujjah kepadanya dan jelas baginya hujjah.
Barang siapa yang secara yakin islamnya tegak maka tidaklah islam tersebut
hilang darinya hanya dengan keraguan, akan tetapi bisa hilang jika setelah
menegakkan hujjah dan menghilangkan syubhat’ (Majmuu
Al-Fataawaa 12/466).
Ibnu Taimiyyah
juga berkata :
وأما الحكم على المعين بأنه كافر أو مشهود له بالنار : فهذا يقف على الدليل المعين فإن الحكم يقف على ثبوت شروطه وانتفاء موانعه
“Adapun
memvonis orang tertentu dengan hukum kafir atau disaksikan masuk neraka maka
hal ini berhenti/tergantung kepada dalil yang tertentu (khusus), karena
pemvonisan tersebut tergantung pada adanya persyaratan dan hilangnya
halangan-halangan” (Majmuu
al-Fataawaa 12/498).
Dengan ini, sangatlah jelas bahwa kaum salafy wahabi adalah
kaum yang sangat berhati-hati dalam mengkafirkan.
(Silahkan para
pembaca membaca sebuah desertasi karya Dr. Abdul Majiid al-Masy’abi yang
berjudul Manhaj
Ibni Taimiyyah fi mas’alah at-Takfiir bisa
di download di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=1492,
dan juga sebuah tesis karya Ahmad bin Jazzaa’ Ar-Rudhoimaan yang berjudul Manhaj Al-Imam Muhammad bin Abdil Wahhaab fi
mas’alah at-Takfiir, bisa di
download di http://www.alkutob.net/aqeedah/manhag-emam-mohammad/manhag-emam-mohammad.pdf).
Karenanya,
tuduhan Idahram bahwasanya kaum salafi wahaby suka mengkafirkan kaum muslimin
maka ini merupakan tuduhan dusta, justru idahram termakan dengan tuduhannya
sendiri, jadilah ia hobi mengkafirkan kaum salafy wahabi tanpa dalil dan hanya
mengikuti hawa nafsunya, Allahu al-Musta’aan.
Bersambung..
Abu Abdilmuhsin
Firanda Andirja
Selengkapnya
dalam sumber http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/319-membongkar-koleksi-dusta-syaikh-idahram-9-takfir-mengkafirkan/