Mujaddid adalah seorang yang menjadi sebab kembalinya kaum
muslimin kepada al-haq dan meninggikan bendera Islam. Seorang dianggap mujaddid
disyaratkan seorang Ahlus Sunnah yang shalih dan berilmu.
Rasulullah n
telah mengabarkan akan adanya para mujaddid dalam Islam. Beliau n bersabda:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ
لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
“Allah mengutus untuk umat ini di setiap
pengujung seratus tahun seorang yang memperbarui agamanya.” (HR. Abu Dawud no.
4291, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani)
Di antara
mujaddid dalam Islam adalah Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah. Al-Imam Ahmad
Rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wa Ta'ala menetapkan bagi manusia,setiap
seratus tahunnya ada seorang yang mengajari mereka As-Sunnah dan menafikan
kedustaan atas nama Rasul. Kami pun menelaah, ternyata di pengujung seratus
tahun adalah Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah, dan di pengujung tahun dua ratus
adalah Asy-Syafi’i.”
Al-Imam Ahmad
Rahimahullah juga berkata, “Sejak 30 tahun lalu, tidaklah aku tidur malam kecuali
aku mendoakan kebaikan bagi Asy-Syafi’i Rahimahullah dan memohonkan ampunan
untuknya.” (Lihat Mukhalafat Ash-Shufiyah hal. 10-11)
Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan berkata, “Seorang mujaddid yang hakiki adalah seorang yang
berilmu tentang syariat Allah Subhanahu wa Ta'ala, istiqamah di atas Sunnah
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan mengembalikan manusia kepada
petunjuk. Berita yang dikabarkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam
hadits ini telah terbukti. Terus-menerus –walhamdulillah– Allah Subhanahu wa
Ta'ala mengaruniakan kepada umat ini dengan kemunculan para mujaddid ketika
umat sangat membutuhkan keberadaan mereka. Di antara para mujaddid adalah
Al-Imam Ahmad bin Hanbal di abad ketiga, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di akhir
abad ketujuh dan awal abad kedelapan, serta Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahabdi abad kedua belas.” (Min
A’lamil Mujaddidin)
Aqidah dua imam
Dalam tulisan
ini, penulis ingin mengetengahkan kepada para pembaca beberapa perkara aqidah
dan dakwah dua orang mujaddid dalam Islam, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i Muhammad
bin Idris Rahimahullah serta Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah. Kita akan dapati ternyata
aqidah dan dakwah yang dibawa keduanya sama. Dakwah dan aqidah Ahlus Sunnah wal
Jamaah, yaitu dakwah kepada tauhid dan As-Sunnah berlandaskan Al-Qur’an dan
As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih.
Sebagai bukti
kesamaan aqidah dan dakwah kedua imam tersebut, penulis akan membawakan
beberapa masalah dan prinsip kedua imam dalam beberapa masalah. Perlu diketahui,
apa yang kami paparkan hanyalah sebagian kecil dari sekian persamaan prinsip
kedua imam ini. Di antara masalah tersebut:
Mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala
dalam ibadah
Allah Subhanahu
wa Ta'ala menciptakan kita hanyalah untuk kita beribadah kepadaNya. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ibnu Katsir
Rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan bahwa Dia
menciptakan jin dan manusia hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Dan itu adalah
tujuan diciptakannya jin dan manusia. Ibadah tidak akan diterima kecuali dengan
dua syarat: Ikhlas hanya mengharap wajah Allah l dan mutaba’ah (sesuai tuntunan
Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam).” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam tafsir
surat Al Kahfi: 110)
Oleh karena itu,
ulama Ahlus Sunnah di antaranya Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah sangat
mementingkan masalah ini. Ibnul Qayyim Rahimahullah meriwayatkan perkataan
Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah dengan sanadnya, kata beliau, “Ucapan tentang
sunnah yang aku di atasnya dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di
atasnya dan aku telah mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik
serta selain keduanya adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi
kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Muhammad Shallalahu alaihi wasallam
adalah utusan-Nya. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala ada di atas Arsy-Nya, dekat
dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya dan Allah Subhanahu wa Ta'ala
turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya. (Ijtima’ul Juyusy
Al-Islamiyah)
Masalah inilah
yang banyak dibahas oleh Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahulllah. Bukti akan hal ini adalah
buku-buku yang beliau tulis, sepertiKitabut
Tauhid, Kasyfu Asy-Syubuhat, Qawa’idul Arba’, dan lainnya.
Larangan
membangun kuburan
Membangun
kuburan adalah perkara yang diharamkan dalam Islam.
Dari Jabir bin
Abdillah Radhiyallahu anhu:
نَهَى رَسُولُ اللهِ
أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْه
“Rasulullah
Shalllahu alaihi wa sallam melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atas
kuburan, juga melarang membangun sesuatu di atas kuburan.” (HR. Muslim no. 970)
Membangun masjid
di atas kuburan adalah perbuatan ahlul kitab. Rasulullah n pernah berkata:
أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ
مِنْهُمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا
“Mereka itu,
jika ada seorang yang shalih di antara mereka mati, mereka bangun di atas
kuburannya sebuah masjid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam
Asy-Syaukani Rahimahullah berkata, “Ketahuilah, kaum muslimin yang terdahulu
dan akan datang, yang awal dan akhir mereka sejak zaman sahabat sampai waktu
kita ini, telah sepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya
adalah perkara bid’ah yang telah ada larangan dan ancaman keras dari Rasulullah
Shallalahu alaihi wasallam atas para pelakunya.”
Al-Imam
Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata: “Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun
dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau
kesombongan, padahal orang mati bukanlah tempat satu pun di antara dua hal
tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat.” Perawi
dari Thawus berkata: “Nabi Shallallahu alaihi wasallam melarang kuburan
dibangun atau dicat.”
Beliau
Rahimahullah juga berkata: “Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
Al-Imam
Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata pula: “Aku membenci ini karena Sunnah
Rasulullah dan atsar…” (Lihat Al-Umm)
Asy-Syaikh
Sulaiman Alu Asy-Syaikh menerangkan: “Al-Imam Nawawi Rahimahullah menegaskan
dalam Majmu’ Al-Muhadzdzab tentang haramnya membangun kuburan secara mutlak.
Beliau juga menyebutkan yang semisalnya dalam Syarah Shahih Muslim.” (Lihat
Taisir ‘Azizil Hamid)
Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab Rahimahullah
juga banyak membahas masalah ini di dalam karya-karya beliau. Di antaranya dalam Kitabut Tauhid beliau bawakan Bab Ghuluw terhadap kuburan orang shalih akan
menjadikannya berhala yang disembah selain Allah. Beliau bawakan
beberapa dalil, di antaranya hadits Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, Rasulullah
Shallallahu alahihi wasallam bersabda:
اللَّهُمَّ
لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ، اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا
قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَا جِدَ
”Ya Allah,
jangan kau jadikan kuburanku menjadi berhala yang disembah, sangat keras murka
Allah kepada orang-orang yang menjadikan kuburan nabi mereka sebagai masjid.”
Asy-Syaikh
Sulaiman berkata:
“Penulis (yakni Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab) ingin menerangkan dengan bab ini empat
perkara: Pertama: Peringatan agar tidak bersikap ghuluw (berlebih-lebihan)
terhadap kuburan orang shalih. Kedua: Ghuluw terhadap kuburan orang shalih akan
mengatarkan kepada menyembah kuburan tersebut. Ketiga: Kuburan yang disembah
akan menjadi berhala, walaupun itu kuburan orang shalih. Keempat: Mengingatkan
sebab larangan membangun kuburan dan menjadikannya sebagai masjid. (Lihat
Taisir ‘Azizil Hamid)
Dalam
nama dan sifat Allah
Al-Imam
Asy-Syafi’i Rahimahullah seperti para imam Ahlus Sunnah yang lainnya, sangatlah
jelas prinsip mereka dalam menetapkan sifat-sifat Allah l yang ada dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau Rahimahullah berkata, “Allah memiliki nama-nama
dan sifat-sifat sebagaimana datang dalam kitab-Nya dan telah dikabarkan oleh
Nabi-Nya Shallalahu alaihi wasallam kepada umatnya. Dia Maha mendengar dan Maha
melihat, dan memiliki dua tangan seperti dalam firman-Nya: “Bahkan kedua tangan
Allah terbuka.” (Al-Maidah: 64)
Allah Subhanahu
wa Ta'ala memiliki tangan kanan sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan mereka tidak
mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya
dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya. Maha Suci Rabb dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan.” (Az-Zumar: 67)
Allah Subhanahu
wa Ta'ala juga memiliki wajah sebagaimana firman-Nya: “Segala sesuatu pasti
binasa, kecuali Wajah Allah.” (Al-Qashash: 88)
“Dan tetap kekal
Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27)
Dia tidak buta
sebelah (picak) sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wasallam ketika berbicara
tentang Dajjal: “Sesungguhnya Dajjal itu picak dan Rabb kalian tidaklah
picak.”
Dia tertawa
terhadap hamba-Nya yang beriman. Nabi n berkata tentang seorang yang terbunuh
di medan perang dia berjumpa dengan Allah l dalam keadaan Allah l tertawa
kepadanya…”
Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab t berkata:
“Termasuk dalam permasalahan iman kepada Allah: Mengimani apa yang Allah sifati
diri-Nya dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya. Tidak mentahrif ataupun
menta’thilnya. Bahkan aku meyakini tidak ada satu pun yang serupa dengan Allah
l dan Dia Maha mendengar dan Maha melihat…” (Dinukil dari A’lamul Mujaddidin
hal. 95)
Masalah
al-‘uluw (ketinggian Allah l di atas)
Di antara
keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah meyakini Allah l ada di atas
Arsy-Nya. Allah l berfirman: “Sesungguhnya Rabbmu ialah Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia beristiwa di atas ‘Arsy.”
(Al-A’raf: 54)
Dalam hadits
Mu’awiyah bin Hakam As-Sulami z, ketika beliau hendak membebaskan budaknya,
Rasulullah n menguji hamba sahaya tersebut dengan menanyakan, “Di mana Allah
l?” Hamba sahaya tadi menjawab, “Allah l di atas.” Beliau berkata, “Siapa aku?”
Budak tadi berkata, “Engkau utusan Allah.” Rasulullah n berkata, “Bebaskanlah
dia, karena dia adalah seorang wanita mukminah.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim t
meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i t dengan sanadnya, Al-Imam
Asy-Syafi’i berkata: “Ucapan tentang sunnah yang aku di atasnya dan aku lihat
para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya, dan aku telah mengambil ilmu dari
mereka seperti Sufyan dan Malik serta keduanya adalah: Berikrar bahwa tidak ada
yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah utusanNya. Bahwasanya
Allah ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana
dikehendaki-Nya dan Allah turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.”
(Ijtima’ul Juyus Islamiyah)
Yang lebih jelas
dari itu adalah ketika beliau meriwayatkan dalam bab membebaskan budak mukminah
dalam bab zhihar. Beliau berkata: “Yang lebih aku senangi, tidaklah dibebaskan
kecuali yang telah baligh dan beriman, jika dia wanita ‘ajam yang telah
disifati dengan keislaman maka cukup. Malik telah mengabarkan kepadaku, dari
Hilal bin Usamah, dari ‘Atha bin Yasar, dari Umar bin Al-Hakam, beliau berkata:
‘Aku pernah datang kepada Rasulullah. Aku katakan: ‘Wahai Rasulullah, aku punya
seorang jariyah (hamba sahaya wanita) yang menggembala kambing. Ketika aku
mendatanginya, ternyata telah hilang seekor kambing. Ketika aku bertanya
kepadanya, dia jawab bahwa kambingnya telah dimakan serigala. Akupun marah
kepadanya. Aku adalah seorang bani Adam, hingga menempeleng wajahnya. Sekarang
aku punya kewajiban membebaskan budak. Apakah aku boleh bebaskan dia?’
Rasulullah berkata kepada hamba sahaya tersebut: ‘Di mana Allah?’ Dia menjawab:
‘Di atas.’ Rasulullah berkata: ‘Siapa aku?’ Budak tadi menjawab: ‘Engkau
Rasulullah.’ Maka Rasulullah berkata: ‘Bebaskanlah dia.’
Al-Imam
Asy-Syafi’i t berkata: “Nama orang tersebut Mu’awiyah bin Al-Hakam. Demikianlah
diriwayatkan oleh Az-Zuhri dan Yahya bin Abi Katsir.” (Lihat Al-Umm)
Lihatlah!
Al-Imam Asy-Syafi’i t mensyaratkan dalam membebaskan budak harus yang mukmin,
dan beliau menganggap pengakuan hamba sahaya tadi bahwa Allah l ada di atas
sebagai tanda keimanan.
Sikap
terhadap Sufi (Shufiyah)
Telah kami
sampaikan di edisi sebelumnya[1] tentang siapa Sufi (shufiyah) serta pemikiran
dan aqidah mereka. Telah kami paparkan juga ucapan-ucapan keras Al-Imam
Asy-Syafi’i tentang shufiyah. Di antara ucapan beliau tentang shufiyah
diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Baihaqi t dengan sanadnya: “Jika seorang belajar
tasawuf di pagi hari, niscaya akan engkau akan dapati dia menjadi orang dungu
sebelum datang waktu dhuhur.”
Al-Imam
Asy-Syafi’i t juga berkata: “Aku tidak pernah melihat seorang Sufi yang
berakal. Seorang yang telah bersama kaum Sufiyah selama empat puluh hari, tidak
mungkin kembali akalnya.”
Al-Imam
Asy-Syafi’i berkata: “Asas (dasar) Sufiyah adalah malas.”
Demikian pula Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t
sangatlah keras pengingkaran beliau terhadap shufiyah, dan ini merupakan
perkara yang masyhur. Di antara buktinya adalah berbagai fitnah dan tuduhan
zalim Sufiyah terhadap beliau t.
Sihir
Al-Imam
Asy-Syafi’i berkata: “Jika ada seseorang belajar sihir, kami katakan padanya:
‘Terangkan bagaimana cara sihirmu.’ Jika dia menceritakan cara yang menyebabkan
kekufuran seperti yang diyakini penduduk Babil yang mendekatkan diri mereka
kepada bintang-bintang yang tujuh, meyakini bahwa bintang-bintang itu bisa
melakukan apa yang diminta, maka ini menyebabkan dia kafir. Jika dia meyakini
bolehnya hal tersebut maka dia kafir juga.” (dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir)
Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab t banyak
membahas permasalahan sihir dalam kitab-kitabnya. Beliau bawakan dalam Kitabut
Tauhid beberapa bab berkaitan dengan sihir. Beliau bahkan memasukkannya dalam
kitab Nawaqidhul Islam (Pembatal-pembatal keislaman). Beliau berkata:“Pembatal
keislaman yang ketujuh adalah sihir. Termasuk sihir adalah ‘athaf dan sharaf
(sihir untuk membuat orang cinta atau benci). Barangsiapa melakukan sihir atau
ridha kepadanya maka telah kafir. Dalilnya adalah firman Allah l: Keduanya
tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya
kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” (Al Baqarah: 102)
Taklid
Taklid adalah
perbuatan tercela, perbuatan kaum musyrikin. Al-Qur’an dan As-Sunnah serta
ijma’ menunjukkan rusaknya taklid. Allah l berfirman: Dan apabila dikatakan
kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab:
“(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)
Ibnu Abdil Bar t
berkata: “Tidak ada perselisihan di antara para imam di seluruh negeri tentang
rusaknya taklid.”
Al-Imam
Asy-Syafi’i t sangat mencerca taklid. Beliau t berkata: “Kaum muslimin telah
ijma’ bahwa barangsiapa yang jelas baginya Sunnah Rasulullah maka tidak halal
baginya meninggalkannya karena ucapan seseorang.”
Al-Imam
Asy-Syafi’i berkata juga: “Semua yang aku ucapkan dan menyelisihi ucapan Nabi n
maka Nabi n lebih utama. Janganlah kalian taklid kepadaku.”
Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan
bahwa taklid termasuk perbuatan jahiliyah. Beliau t berkata: “Sesungguhnya
keyakinan agama orang-orang jahiliyah dibangun di atas beberapa landasan. Dan
landasan utama mereka adalah taklid …” (Masa’il Jahiliyah)
Menggagungkan
Sunnah Rasulullah
Mengagungkan
Sunnah Rasulullah adalah kewajiban setiap mukmin. Allah berfirman: “Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya.” (Al-Hasyr: 7)
Allah l juga
berfirman: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat
dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Al-Imam
Asy-Syafi’i adalah seorang berpegang teguh dengan As-Sunnah. Beliau pernah
berkata: “Semua hadits Rasulullah yang shahih maka aku berpendapat dengannya,
walaupun hadits tersebut belum sampai kepadaku.”
Al-Imam
Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i pernah
ditanya tentang satu masalah. Kemudian beliau berkata: “Diriwayatkan dari Nabi
n bahwa beliau berkata begini dan begini.” Penanya berkata: “Apakah engkau
berpendapat dengannya?” Al-Imam Asy-Syafi’i gemetar dan memerah wajahnya, lalu
berkata: “Celaka engkau. Bumi mana yang akan menampungku, dan langit mana yang
akan menaungiku, jika aku riwayatkan dari Nabi n kemudian aku malah tidak
berpendapat dengannya?!”
Asy-Syaikh
Muhamad bin Abdul Wahab t
menyebutkan dalam Nawaqidhul Islam termasuk pembatal keislaman adalah
mengolok-olok apa yang dibawa oleh Rasulullah n. Beliau n berkata: “Keenam:
Barangsiapa memperolok-olok sesuatu dari perkara agama yang dibawa oleh
Rasulullah n atau memperolok pahala dan siksa (yang diberitakan Rasulullah n)
maka dia telah kafir. Dalilnya adalah firman Allah l: Dan jika kamu tanyakan
kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan
manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.”
Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu
berolok-olok? Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir sesudah
beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya
Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang
yang selalu berbuat dosa.” (At-Taubah: 65-66)
Dalam Kitabut
Tauhid, beliau membawakan ucapan Al-Imam Ahmad t: “Aku heran dengan suatu kaum
yang telah mengetahui sanad hadits dan keshahihannya tapi malah mengambil
pendapat Sufyan. Padahal Allah l berfirman: “Maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”
(An-Nur: 63)
Bid’ah
Di antara
perkara yang harus dijauhi seorang muslim adalah perkara-perkara bid’ah, karena
bid’ah banyak mudharatnya bagi seseorang. Di antara kerusakan bid’ah:
Bid’ah
semuanya sesat
Bid’ah
menjadi sebab tertolaknya amal
Bid’ah
merupakan pintu kesyirikan
Bid’ah
sebab terjadinya perpecahan
Oleh karena
besarnya bahaya bid’ah, para ulama memperingatkan umat dari bahayanya, di
antara mereka adalah Al-Imam Asy-Syafi’i t. Beliau t berkata: “Barangsiapa
menganggap baik (satu perkara baru yang tidak disyariatkan) maka dia telah
membuat syariat, sebagaimana Allah l berfirman mengingkari orang yang melakukan
kebid’ahan dalam agama Allah l: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan
selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”
(Asy-Syura: 21)
Makna membuat
syariat yakni membuat kebidahan.
Demikian juga Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t,
beliau banyak menerangkan prinsip ini dalam kitab-kitab beliau. Di akhir kitab
Fadhlul Islam, beliau membuat bab: Tahdzir minal bida’ (peringatan agar
menjauhi bid’ah-bid’ah). Dalam risalahnya yang lain beliau berkata: “Aku
meyakini bahwa semua perkara baru yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah.”
(Lihat A’lamul Mujaddidin hal. 101)
Kesimpulan
Dari pembahasan
ini kita dapat simpulkan bahwa dakwah yang dibawa oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t
adalah dakwah para ulama Ahlus Sunnah yang mendahului beliau. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t
tidaklah membawa sesuatu yang baru. Perkara yang beliau dakwahkan sama dengan
dakwah Al-Imam Asy-Syafi’i dan ulama Ahlus Sunnah lainnya. Sehingga orang yang
melecehkan dakwah dan aqidah Asy-Syaikh
Muhamad bin Abdul Wahab pada hakikatnya menghina dan melecehkan
imam Ahlus Sunnah, Al-Imam Asy-Syafi’i t. Mudah-mudahan Allah l merahmati kedua
imam tersebut karena jasa-jasa mereka bagi kaum muslimin. Amin.
[1] Lihat
Majalah Asy-Syariah edisi 56.
Sumber:
http://asysyariah.com/aqidah-dua-mujaddid-dalam-islam/