Monday, May 25, 2015

Imam Masjid Istiqlal: Sofyan Djalil Terjebak Iran dalam Memahami Syiah

sofyan djalil iran
MENTERI Ekonomi Sofyan Djalil dikabarkan menemui Tokoh Syiah Ayatullah Shafi Ghulpagani di Qom usai bertemu dengan Hasan Rouhani pada Sabtu (23/5/2015). Dalam pertemuan dengan Ghulpagani, ia menyerukan Sunni Indonesia dan Syiah Iran bersatu.
Prof Ali Mustafa Yaqub menuturkan bahwa Syiah Iran dan Sunni Indonesia bisa bersatu asalkan Syiah tidak mengkafirkan para Sahabat.
“Kalau mau bersatu sih, oke saja. Tapi mereka (Syiah.red) jangan mengafirkan para Sahabat, jangan mencaci para Sahabat, dan jangan menuhankan siapapun kecuali Allah. Nah, kalau seperti itu, bisa bersatu,” tegas Imam Besar Masjid Istiqlal ini kepada Islampos, Senin (25/5/2015).
Menurutnya, jika Syiah masih mengafirkan para Sahabat bahkan mengkultuskan Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai Tuhan itu tidak mungkin bisa bersatu.
“Jangan anggap antara Syiah dan Sunni ini seperti Muhammadiyah dan NU. Itu sangat jauh,” terangnya..
Saat dikatakan bahwa Djalil menyebut Rasul dan Al-Qur’an Sunni-Syiah adalah sama, Yaqub mengatakan bahwa Sofyan Djalil sudah terjebak.
“Dia sudah terjebak. Kemungkinan yang menyebabkan Djalil bersikap seperti itu adalah karena Iran adalah negara pemasok minyak terbesar untuk Indonesia,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Menko Perekonomian Sofyan Djalil bertemu dengan tokoh Syiah Ayatullah Shafi Ghulpagani di Qom dalam lawatannya ke Iran.
Dalam pertemuan itu, seperti diberitakan situs ABNA, Menteri Sofyan menyerukan persatuan Sunni Indonesia dengan Syiah Iran.
“Al-Qur’an dan Rasul yang kita yakini sama dan satu. Karena itu sudah kemestian antara Iran yang mayoritas Syiah dan Indonesia yang mayoritas Sunni menjalin hubungan erat dan menjadi yang terdepan untuk mewujudkan persatuan umat Islam,” ungkapnya.
Ghulpagani juga memberikan wejangan pada menteri tersebut untuk mewujudkan persatuan Sunni dan Syiah. Ia juga memberikan kenang-kenangan kepada Sofyan.

“Syiah Siap Rebut Negeri Ahlussunnah dengan Senjata”

KETUA Majelis Fatwa dan Kajian DDII, Dr. Ahmad Zein An-Najah,M.A  membeberkan lima tahapan politik Syiah untuk menguasai negeri ahlussunnah dalam buku yang berjudul“Muharikat as-Siyasah al-Farisi fi Al Khalij al-Arabi” sebagai berikut:
Pertama, Syiah membangun pondasi. Mereka pergi ke negeri ahlussunnah untuk kemudian membeli tanah, mendirikan sekolah, dan memperbanyak keturunan.
Kedua, mereka bekerja dan beraktivitas di bawah hukum negara yang resmi. Mereka bekerjasama dengan pemerintah yang bertujuan untuk membenturkan ahlussunnah dengan pemerintah.
Ketiga, setelah hubungan mereka dan pemerintah erat, mereka akan menguasai di segala bidang  seperti pendidikan, ekonomi, agama, militer, dan lain sebagainya.
Keempat, mereka membangun koalisi dengan pemerintah serta membuat pemerintah benci kepada ahlussunnah.
Kelima, mereka mengambil alih kekuasaan tanpa pertumpahan darah dan kekerasan.
“Tiap tahapan ini akan diterapkan oleh mereka selama 10 tahun, apabila selama 50 tahun mereka tidak berhasil menguasai negeri ahlussunnah, maka mereka akan tetap merebut kekuasaan dengan senjata,”jelasnyadalam seminar sehari yang diadakan oleh Komite Pembela Ahlul Bait&Sahabat (Koepas) dengan judul “Gerakan Syiah dan Stabilitas Nasional”, Ahad, (27/4), di Aula Masjid Al-Furqon Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). 

Tanyakan pada Orang Syiah soal “Syiah dan Sunni”

TANYAKAN pada orang Syiah: “Mengapa kaum Syiah sangat memusuhi kaum Sunni? Mengapa kebencian kaum Syiah kepada Sunni, melebihi kebencian mereka kepada orang kafir (non Muslim)?” Dia tentu akan menjawab: “Tidak, tidak. Kami bersaudara dengan orang Sunni. Kami mencintai mereka dalam rangka Ukhuwwah Islamiyyah. Kita semua bersaudara, karena kita sama-sama mengerjakan Shalat menghadap Kiblat di Makkah. Kita ini sama-sama Ahlul Qiblat.”
Kemudian katakan ke dia: “Kalau Syiah benar-benar mau ukhuwwah, mau bersaudara, mau bersatu dengan Sunni; mengapa mereka menyerang tokoh-tokoh panutan Ahlus Sunnah, seperti Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, Khalifah Utsman, isteri-isteri Nabi (khususnya Aisyah dan Hafshah), Abu Hurairah, Zubair, Thalhah, dan lain-lain? Mencela, memaki, menghina, atau mengutuk tokoh-tokoh itu sama saja dengan memusuhi kaum Sunni. Tidak pernah ada ukhuwwah atau perdamaian antara Sunni dan Syiah, sebelum Syiah berhenti menista para Shahabat Nabi, selaku panutan kaum Sunni.”
Fakta yang perlu disebut, banyak terjadi pembunuhan, pengusiran, dan kezhaliman terhadap kaum Sunni di Iran, Irak, Suriah, Yaman, Libanon, Pakistan, Afghanistan, dll. Hal itu menjadi bukti besar bahwa Syiah sangat memusuhi kaum Sunni. Hingga anak-anak Muslim asal Palestina yang mengungsi di Irak, mereka pun tidak luput dibunuhi kaum Syiah.
Hal ini pula yang membuat Syaikh Qaradhawi berubah pikiran tentang Syiah. Jika semula beliau bersikap lunak, akhirnya mengakui bahwa perbedaan antara Sunni dan Syiah sangat sulit disatukan. Dalam lintasan sejarah kita mendapati bukti lain, bahwa kaum Syiah tidak pernah terlibat perang melawan negara-negara kufar. Justru mereka sering bekerjasama dengan negara kufar dalam rangka menghadapi kaum Muslimin.
Hancurnya Kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad, sikap permusuhan Dinasti Shafawid di Mesir, era Perang Salib di masa Shalahuddin Al Ayyubi, serta Khilafah Turki Utsmani, di atas semua itu terekam fakta-fakta pengkhianatan Syiah terhadap kaum Muslimin. Begitu juga, jatuhnya Afghanistan dan Iraq ke tangan tentara Sekutu di era modern, tidak lepas dari jasa-jasa para anasir Syiah dari Iran. [AM Waskito/penulis buku “Bersikap Adil pada Wahabi”]