Prof Ali Mustafa Yaqub menuturkan bahwa Syiah Iran dan Sunni
Indonesia bisa bersatu asalkan Syiah tidak mengkafirkan para Sahabat.
“Kalau mau bersatu sih, oke saja. Tapi mereka (Syiah.red) jangan
mengafirkan para Sahabat, jangan mencaci para Sahabat, dan jangan menuhankan
siapapun kecuali Allah. Nah, kalau seperti itu, bisa bersatu,” tegas Imam Besar
Masjid Istiqlal ini kepada Islampos, Senin (25/5/2015).
Menurutnya, jika Syiah masih mengafirkan para Sahabat bahkan
mengkultuskan Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai Tuhan itu tidak mungkin bisa
bersatu.
“Jangan anggap antara Syiah dan Sunni ini seperti Muhammadiyah
dan NU. Itu sangat jauh,” terangnya..
Saat dikatakan bahwa
Djalil menyebut Rasul dan Al-Qur’an Sunni-Syiah adalah sama,
Yaqub mengatakan bahwa Sofyan Djalil sudah terjebak.
“Dia sudah terjebak. Kemungkinan yang menyebabkan Djalil
bersikap seperti itu adalah karena Iran adalah negara pemasok minyak terbesar
untuk Indonesia,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Menko Perekonomian Sofyan Djalil bertemu
dengan tokoh Syiah Ayatullah Shafi Ghulpagani di Qom dalam lawatannya ke Iran.
Dalam pertemuan itu, seperti diberitakan situs ABNA, Menteri Sofyan menyerukan persatuan
Sunni Indonesia dengan Syiah Iran.
“Al-Qur’an dan Rasul yang kita yakini sama dan satu. Karena itu
sudah kemestian antara Iran yang mayoritas Syiah dan Indonesia yang mayoritas
Sunni menjalin hubungan erat dan menjadi yang terdepan untuk mewujudkan
persatuan umat Islam,” ungkapnya.
Ghulpagani juga memberikan wejangan pada menteri tersebut untuk
mewujudkan persatuan Sunni dan Syiah. Ia juga memberikan kenang-kenangan kepada
Sofyan.
“Syiah Siap Rebut Negeri
Ahlussunnah dengan Senjata”
KETUA Majelis Fatwa
dan Kajian DDII, Dr. Ahmad Zein An-Najah,M.A membeberkan lima tahapan
politik Syiah untuk menguasai negeri ahlussunnah dalam buku yang berjudul“Muharikat
as-Siyasah al-Farisi fi Al Khalij al-Arabi” sebagai berikut:
Pertama, Syiah membangun pondasi. Mereka pergi ke negeri
ahlussunnah untuk kemudian membeli tanah, mendirikan sekolah, dan memperbanyak
keturunan.
Kedua, mereka bekerja dan beraktivitas di bawah hukum negara
yang resmi. Mereka bekerjasama dengan pemerintah yang bertujuan untuk
membenturkan ahlussunnah dengan pemerintah.
Ketiga, setelah
hubungan mereka dan pemerintah erat, mereka akan menguasai di segala
bidang seperti pendidikan, ekonomi, agama, militer, dan lain sebagainya.
Keempat, mereka membangun koalisi dengan pemerintah serta
membuat pemerintah benci kepada ahlussunnah.
Kelima, mereka mengambil alih kekuasaan tanpa pertumpahan darah
dan kekerasan.
“Tiap tahapan ini akan diterapkan oleh mereka selama 10 tahun,
apabila selama 50 tahun mereka tidak berhasil menguasai negeri ahlussunnah,
maka mereka akan tetap merebut kekuasaan dengan senjata,”jelasnyadalam seminar
sehari yang diadakan oleh Komite Pembela Ahlul Bait&Sahabat (Koepas) dengan
judul “Gerakan Syiah dan Stabilitas Nasional”, Ahad, (27/4), di Aula Masjid
Al-Furqon Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Tanyakan pada Orang Syiah soal
“Syiah dan Sunni”
TANYAKAN pada orang
Syiah: “Mengapa kaum Syiah sangat memusuhi kaum Sunni? Mengapa kebencian kaum
Syiah kepada Sunni, melebihi kebencian mereka kepada orang kafir (non Muslim)?”
Dia tentu akan menjawab: “Tidak, tidak. Kami bersaudara dengan orang Sunni.
Kami mencintai mereka dalam rangka Ukhuwwah Islamiyyah. Kita semua bersaudara,
karena kita sama-sama mengerjakan Shalat menghadap Kiblat di Makkah. Kita ini
sama-sama Ahlul Qiblat.”
Kemudian katakan ke dia: “Kalau Syiah benar-benar mau ukhuwwah,
mau bersaudara, mau bersatu dengan Sunni; mengapa mereka menyerang tokoh-tokoh
panutan Ahlus Sunnah, seperti Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, Khalifah
Utsman, isteri-isteri Nabi (khususnya Aisyah dan Hafshah), Abu Hurairah,
Zubair, Thalhah, dan lain-lain? Mencela, memaki, menghina, atau mengutuk
tokoh-tokoh itu sama saja dengan memusuhi kaum Sunni. Tidak pernah ada ukhuwwah
atau perdamaian antara Sunni dan Syiah, sebelum Syiah berhenti menista para
Shahabat Nabi, selaku panutan kaum Sunni.”
Fakta yang perlu
disebut, banyak terjadi pembunuhan, pengusiran, dan kezhaliman terhadap kaum
Sunni di Iran, Irak, Suriah, Yaman, Libanon, Pakistan, Afghanistan, dll. Hal
itu menjadi bukti besar bahwa Syiah sangat memusuhi kaum Sunni. Hingga
anak-anak Muslim asal Palestina yang mengungsi di Irak, mereka pun tidak luput
dibunuhi kaum Syiah.
Hal ini pula yang membuat Syaikh Qaradhawi berubah pikiran
tentang Syiah. Jika semula beliau bersikap lunak, akhirnya mengakui bahwa
perbedaan antara Sunni dan Syiah sangat sulit disatukan. Dalam lintasan sejarah
kita mendapati bukti lain, bahwa kaum Syiah tidak pernah terlibat perang
melawan negara-negara kufar. Justru mereka sering bekerjasama dengan negara
kufar dalam rangka menghadapi kaum Muslimin.
Hancurnya Kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad, sikap permusuhan
Dinasti Shafawid di Mesir, era Perang Salib di masa Shalahuddin Al Ayyubi,
serta Khilafah Turki Utsmani, di atas semua itu terekam fakta-fakta
pengkhianatan Syiah terhadap kaum Muslimin. Begitu juga, jatuhnya Afghanistan
dan Iraq ke tangan tentara Sekutu di era modern, tidak lepas dari jasa-jasa
para anasir Syiah dari Iran. [AM Waskito/penulis buku “Bersikap Adil pada
Wahabi”]