Tentang hari Akhir,
Syiah—seperti pada rukun Iman yang lain—juga punya pandangan yang jauh berbeda dengan
umat Islam. Sudah menjadi suatu kelaziman, bahwa Syiah mesti menghubungkan
segala urusan agama dengan doktrin sentral mereka, yakni imamah. Percaya
pada keberadaan hari akhir tidak sah jika tidak percaya pada imamah.
Menurut Syiah, bagaimana beriman kepada hari akhir dapat diterima tanpa
keimanan kepada para Imam Ahlul Bait, padahal urusan akhirat sepenuhnya
berada di genggaman mereka. Merekalah yang berhak memasukan seseorang ke dalam
surga atau neraka. Hal ini telah dinyatakan oleh al-Kulaini dalam al-Kafi sebagai
berikut:
الآخِرَةِ لِلْإِمَامِ يَضَعُهَا حَيْثُ يَشَاءُ وَ يَدْفَعُهَا اِلَى مَنْ يَشَاءُ جَائِزٌ لَهُ ذَلِكَ مِنَ اللهِ.
“Akhirat adalah milik Imam,
dia boleh meletakannya di manapun dia suka, dan memberikan kepada siapa saja
yang dia kehendaki. Hal itu sudah direstui oleh Allah.”[1]
Syiah mengigau sedemikan
karena dalam keyakinan mereka, Allah SWT. Menciptakan surga dan neraka hanya
untuk menghormati a’immat Ahl al-Bait(para Imam Ahlul Bait). Dalam
hal ini, salah satu pemuka ulama Syiah, Ibnu Babawaih, menyatakan sebagai
berikut:
وَ يَجِبُ أَنْ يُعْتَقَدَ أَنَّهُ لَوْ لَا هُمْ لَمَا خَلَقَ اللهُ سُبْحَانَهُ السَّمَاءَ وَ الأَرْضَ وَ لَا اْلجَنَّةَ وَ لَا النَّارَ, وَ لَا آدَمَ وَ لَا حَوَّاءَ, وَ لَا الْمَلاَ ئِكَةَ, وَ لَا شِيْئاً مِمَّا خُلِقَ.
“Wajib diyakini bahwa andai
bukan karena para Imam, Allah tidak akan menciptakan langit, bumi, surga,
neraka, Adam, Hawa, malaikat dan segala apa yang Dia ciptakan.”[2]
Bagi Syiah, para Imam
memegang peran yang demikian sentral, baik mengenai urusan dunia maupun urusan
akhirat seseorang, juga mengenai kehidupan dan kematiannya. Syiah percaya,
bahwa sesaat sebelum orang mukmin meninggal dunia, para Imam ikut andil dalam
proses keluarnya ruh. Mereka meyakini bahwa para Imam hadir saat seseorang
menghadapi ajal. Para Imam itulah yang dapat memberi syafa’at (pertolongan)
kepada orang-orang yang mempercayai wilayah (kepemimpinan Ali dan
keturunannya), sehingga keluarnya ruh tidak terlalu menyiksa. Syiah juga
percaya bahwa para Imam bisa membuat orang yang akan meninggal semakin
menderita disebabkan keengganannya mengakui wilayah.[3]
Kepercayaan semacam itu
demikian menjiwai penganut Syiah, hingga tradisi danamaliyah keseharian
mereka sesak dengan khurafat, takhayyul dan mitos. Hal itu dapat kita
lihat, semisal setelah orang Syiah meninggal, biasanya kerabatnya memasukkan
debu kuburan Sayyidina Husain Radhiyallahu ‘anhu ke dalam kafannya.
Mereka percaya bahwa abu tersebut akan menjadi perisai dari api neraka.
Lebih dari semua itu, Syiah
juga percaya bahwa saat seseorang masuk ke liang lahad, pertanyaan pertama yang
diajukan malaikat adalah berkenaan denganAhlul Bait. Al-Majlisi memberikan
ilustrasi yang amat lugas tentang hali itu:
أَوَّلُ مَا يُسْأَلُ عَنْهُ العَبْدُ حُبُّنَا أَهْلَ البَيْتِ.
“Pertanyaan pertama yang
diajukan pada seorang hamba adalah kecintaan kita kepada Ahlul Bait.”[4]
Lebih lanjut, al-Majlisi
dalam karyanya yang lain, al-I’tiqadat, juga mengatakan sebagai berikut:
فَيَسْأَلُهُ مَلَكَانِ عَنْ مَنْ يَعْتَقِدَهُ مِنْ الْأَئِمَّةِ وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ, فَإِنْ لَمْ يُجِبْ عَنْ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَضْرِبَانِهِ بِعَمُودٍ مِنْ نَارٍ يَمْتَلِئُ قَبْرَهُ نَارًا اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
“Maka dua malaikat itu
menanyainya tentang Imam yang dia (orang yang berada didalam kubur) percayai
satu persatu. Jika ia tidak bisa menjawab satu saja, dua malaikat itu akan
memukulnya dengan tongkat dari api yang akan membuat kuburannya terbakar hingga
hari kiamat.”[5]
Ulama Syiah yang lain,
Muhammad al-Husaini al-Jalali, juga mengatakan:
وَ أَمَّا إِذَا كَانَ فِي حَيَاتِهِ مُعْتَقِدًا بِهِمْ (يعني الإثني عشر) فَإِنَّهُ يَسْتَطِيْعُ الرَدَّ عَلَى أَسْئِلَتِهِمْ (أسئلة الملائكة) وَ يَكُوْنُ فِي رَغَدٍ إِلَى يَوْمِ الحَشْرِ.
“Jika sewaktu hidup ia
mempercayai para Imam (Dua Belas), maka ia akan dapat menjawab semua pertanyaan
malaikat, dan akan mendapatkan kenikmatan hingga hari pengumpulan.”[6]
Lebih jauh, mengenai hari
kebangkitan, Syiah juga mempunyai kepercayaan tersendiri. Mereka meyakini bahwa
tidak semua orang akan dikumpulkan di Padang Mahsyar, namun akan ada
sekelompok orang yang akan masuk surga tanpa dikumpulkan di Padang Mahsyar terlebih
dahulu. Mereka adalah penduduk Qum, kota suci Syiah di Iran. Dalam hal ini,
ulama Syiah rupanya cukup bersemangat membikin riwayat aspal (asli
tapi palsu) guna mengesankan keutamaan kota ini, antara lain apa yang
diungkapkan oleh Syekh Abbas al-Qummi, salah seorang ulama Syiah kontemporer
yang membidangi hadits dan sejarah. Ia mengatakan sebagai berikut:
أَنَّ أَهْلَ مَدِيْنَةِ قُمْ يُحَاسَبُوْنَ فِيْ حُفَرِهِمْ وَ يُحْشَرُوْنَ مِنْ حُفَرِهِمْ إِلَى الخَنَّةِ.
“Sesungguhnya penduduk kota
Qum akan dihisab di kuburnya, dan digiring ke surga dari kuburnya.”[7]
عَنْ أَبِي الحَسَنِ الرِّضَا قَالَ: إِنَّ لِلْجَنَّةِ ثَمَانِيَةَ أَبْوَابٍ, وَ لِأَهْلِ قُمْ وَاحِدٌ مِنْهَا فَطُوْبِى لَهُمْ ثُمَّ طُوْبَى.
“Dari Abu Hasan ar-Ridha, ia
berkata: “Sesungguhnya surga memiliki delapan pintu, satu pintu untuk penduduk
kota Qum. Alangkah bahagianya mereka, sungguh alangkah bahagianya mereka.”[8]
Masih berkenaan dengan kota
Qum, al-Majlisi menambahkan komentarnya sebagai berikut:
وَ هُمْ خِيَارٌ شِيْعَاتِنَا مِنْ بَيْنِ سَائِرِ البِلَادِ خَمَّرَ اللهُ تَعَالَى وِلاَيَتَنَا فِي طِيْنَتِهِمْ.
“Dari sekian negara,
penduduk Qum-lah pengikut kita yang paling baik. Allah SWT. Selalu menutupi
wilayah kita dengan tanah air Qum.”[9]
Tegasnya, segala urusan
akhirat, mulai dari hisab, timbangan amal, melewati jembatan, surga dan neraka,
semuanya ditangani oleh para Imam, sebagaimana perkataan yang mereka
afiliasikan kepada Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq) As, yang diklaim Syiah
sebagai imam ke-6, sebagai berikut:
إِلَيْنَا الصِّرَاطُ وَ إِلَيْنَا المِيْزَانُ وَ إِلَيْنَا حِسَابُ شِيْعَتِنَا.
“Kamilah yang akan mengurusi
shirath, timbangan amal dan perhitungan amal pendukung kita.”[10]
Senada dengan pernyataan di
atas, seorang ulama besar Syiah, al-Hur al-Amili, menetapkan bahwa di antara
pokok hukum Syiah Imamiyah adalah beriman bahwa perhitungan semua amal makhluk
akan ditangani oleh para Imam.[11]
Jadi, sebagaimana telah kami
nyatakan sebelumnya, bahwa yang diinginkan Syiah dengan mengusung doktrin imamah tidak
hanya hendak mendominasi kekuasaan duniawi secara politis, baik dengan
bertopeng dibalik doktrinmahdiyyah, Ghaibah, Wilayat al-Faqih dan
sebagainya. Dengan imamah, Syiah juga hendak mendominasi wilayah
kiamat dan akhirat, yang seharusnya merupakan hak prerogatif Allah SWT. Inilah
puncak ke-ekstrimitas sebuah ideologi. Padahal di dalam al-Qur’an telah
dijelaskan antara lain sebagai berikut:
فَلِلَّهِ ٱلأخِرَةُ وَٱلأُولَىٰ
“Maka hanya bagi Allah
kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS. An-Najm [53]: 25)
لَهُ ٱلحَمدُ فِي ٱلأُولَىٰ وَٱلأخِرَةِ وَلَهُ ٱلحُكمُ وَإِلَيهِ تُرجَعُونَ
“Bagi-Nya-lah segala puji di
dunia dan di akhirat, dan bagi-Nya-lah segala dan hanya kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.” (QS. Al-Qashash [28]: 70)
إِنَّ إِلَينَا إِيَابَهُم ثُمَّ إِنَّ عَلَينَا حِسَابَهُم
“Sesungguhnya kepada Kami-lah
kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab
mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah [88]: 25-26).
By Apad Ruslan, diadaptasi
dari buku Mungkinkah SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr.
Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1] al-Kulaini, al-Kafi,
juz 1 hlm. 409.
[2]Ibnu
Babawaih, al-I’tiqadat, hlm. 106-107.
[3]Ibid,
hlm. 93-94.
[4]Mulla
Muhammad Baqir Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 27 hlm. 79 dan Ibnu
Babawaih, Uyunu Akhbar ar-Ridha, hlm. 222.
[5]Mulla
Muhammad Baqir Al-Majlisi, al-I’tiqadat, hlm. 95.
[6]Muhammad
al-Husaini al-Jalali, al-Islam Aqidah wa Dustur, hlm. 77.
[7]Syekh
Abbas al-Qummi, al-Kuna wa al-Alqab, juz 3 hlm. 71. Bandingkan dengan
Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 60 hlm. 218.
[8]Al-Majlisi, Bihar
al-Anwar, juz 60 hlm. 215, dan Syekh Abbas al-Qummi, Safinat al-Bihar, juz
1 hlm. 446.
[9]Bihar
al-Anwar, juz 60 hlm. 216.
[10]Muhammad
bin Abdul Aziz al-Kasyi, Rijal al-Kasyi, hlm. 337.
[11]Dr.
Nashir bin Abdullah Ali al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm.
769.