Belakangan ini, militer Suriah
telah mengalami sederetan kekalahan dari kelompok oposisi yang kembali
memperoleh energi mereka. Pihak militer saat ini sedang berjuang untuk mengisi
kekosongan personil di barisan pasukannya. Pasalnya, keluarga-keluarga Suriah
yang pro-pemerintah sekalipun, ramai-ramai menolak pengiriman anak-anak mereka
ke unit-unit tempur di garis depan. Keluarga-keluarga itu beralasan karena
anak-anak mereka tidak dilengkapi dengan senjata yang memadai.
Perkembangan situasi ini menimbulkan
pertanyaan berapa lama lagi rezim Presiden Bashar Assad akan mampu bertahan?
“Grafik kemajuan rezim Assad
cenderung menurun dan akan menjadi lebih buruk,” kata seorang pejabat senior AS
di Washington yang berbicara dengan kondisi anonim saat mendiskusikan dokumen
rahasia penilaian intelijen. Namun demikian, ia memperingatkan bahwa banyak hal
belum mencapai fase “titik didih”.
Menurunnya kekuatan militer rezim Bashar
Assad memaksa pemerintah untuk lebih mengandalkan para milisi pendukung
mereka baik yang berasal dari Suriah maupun asing terutama Hizbullah, sebuah
kelompok Syiah Lebanon yang bersekutu dengan Iran.
Menurut informasi sejumlah tentara
Suriah, dan juga keterangan pejabat senior AS dan Suriah yang mempunyai
hubungan dekat dengan upaya stabilisasi dan keamanan, saat ini, Syiah Hizbullah
banyak memimpin dan bahkan mengendalikan langsung pertempuran di berbagai
tempat yang membuat marah sejumlah perwira Suriah. Kebanyakan orang-orang
Suriah yang diwawancarai meminta untuk dirahasiakan namanya karena khawatir
terhadap ancaman atas diri mereka.
Mujahidin Suriah tengah shalat di Jisr
Sughur pada Sabtu.
Pada bulan ini, pasukan pemerintah
mengalami kekalahan telak serta melarikan diri dari area-area pertempuran yang
selama ini dianggap oleh para pejabat pemerintah sebagai indikator kemampuan
negara (rezim) untuk melakukan pertahanan.
Pejuang oposisi telah mengambil
alih propinsi dan Kota Idlib, ibukota propinsi di wilayah utara, dan juga
menguasai sepanjang garis perbatasan dengan Yordania di wilayah selatan. Upaya
kontra-ofensif oleh rezim telah gagal, dan kemajuan oposisi yang terjadi pada
minggu ini mendorong koalisi antar mereka yang semakin kohesif menjadi lebih
dekat ke kantong-kantong pertahanan rezim di wilayah pesisir barat yang
menghadap laut Mediterania. Koalisi tersebut terutama terdiri dari
kelompok-kelompok Islamis termasuk JN (Jabhah Nusrah) yang merupakan afiliasi
al-Qaidah di Suriah.
Tekanan
untuk Assad
Di seluruh wilayah negeri ditemukan
banyak indikasi yang memberi tekanan terhadap pemerintah, namun kondisi itu
sangat kontras dengan kepercayaan diri Assad yang ditampilkan di depan publik.
Baru-baru ini, pemerintah memecat dua orang kepala badan intelijen dari empat
badan intelijen yang ada, setelah kedua kepala intelijen tersebut saling
berseteru, akhirnya salah satu kepala intelijen itu tewas oleh pengawal kepala
intelijen rivalnya.
Para pejabat di ibukota propinsi seperti
Aleppo dan Dara’a sebelumnya juga telah membuat rencana untuk mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan dengan cara menyimpan uang tunai dan barang-barang
antik serta mengevakuasi warga sipil. Cadangan devisa yang mencapai $30 milyar
di awal perang, kini telah menyusut hanya sekitar $1 milyar.
Kericuhan yang sudah terjadi saat ini di
propinsi wilayah pesisir adalah ketegangan antara penduduk setempat dan pejabat
lokal dengan para pendatang baru dari Idlib. Beberapa orang mengatakan para
pejabat telah mengusir mereka.
Di Damaskus tengah, pos-pos checkpoint
menjadi lebih sedikit dengan jumlah staf yang semakin berkurang. Sementara para
milisi pro-rezim banyak yang dikirim untuk berperang di daerah pinggiran karena
para pemuda banyak yang menghindar dari tugas militer.
Bahkan di beberapa area yang dihuni oleh
minoritas seperti sekte Druse di selatan, Kristen Assyria di utara, dan
Ismailiyah di Hama. Mereka khawatir terhadap kelompok Islamis seperti JN dan
ISIS, dan banyak dari mereka yang mengirim anak-anak laki-laki mereka ke luar
negeri untuk menghindari wajib militer, atau tetap membiarkan anak-anak itu
supaya bisa menjaga keamanan desa-desa mereka.
Hal itu mempercepat transformasi pada
pasukan rezim Suriah yang tadinya ter-sentralisasi berubah pola menjadi seperti
kelompok oposisi yang terdiri dari gabungan antara pejuang lokal dan asing
yang memiliki prioritas dan kepentingan yang tidak selalu sama.
Kehilangan
Kedaulatan
Menurut sumber pejabat senior AS di
Washington, empat tahun lalu tentara Suriah berjumlah sekira 250.000 orang. Dan
sekarang, karena berbagai sebab seperti telah menjadi korban perang ataupun
desersi, jumlah mereka menjadi sekitar 125.000 orang tentara reguler, ditambah
125.000 anggota milisi pro-pemerintah termasuk para milisi yang berasal dari
Iraq, Pakistan, dan Hazara Afghanistan yang dilatih oleh Iran. Namun,
militer Suriah tidak selalu memikul tanggung jawab pertempuran, terutama
saat Syiah Hizbullah sebagai kelompok milisi asing yang memiliki pelatihan dan persenjataan
terbaik ikut terlibat.
“Di setiap tempat yang ada Hizbullah,
komando berada di tangan mereka,” kata anggota keamanan Suriah. Ia melanjutkan,
“Jika anda mau melakukan sesuatu, anda harus meminta izin dulu kepada mereka”.
Hal itu, katanya, menimbulkan
rasa sakit hati di kalangan para pejabat senior bidang keamanan, mengingat
bahwa di era Hafiz Assad (ayah Bashar Assad) kelompok Hizbullah pendukung Iran
tersebut hanya sebagai sekutu junior bagi Suriah.
Militan Syiah Hizbullah
Menurut pejabat senior AS, para pejabat
Amerika kini sedang mencoba mengotak-atik segala kemungkinan bagaimana
memanfaatkan hasil akhir ketegangan antara para komandan militer Suriah dengan
kelompok Hizbullah.
Menanggapi hal itu, seorang pejabat
lokal simpatisan Hizbullah berkilah bahwa musuh-musuh mereka sedang
berusaha memanfaatkan ketegangan yang terjadi antar kelompok yang saling
bersekutu, dan juga antar saudara sendiri di rumah yang sama. Tapi, menurutnya hal
itu tidak akan berhasil. “Bahkan jika Hizbullah bertempur sendirian, warga
Suriah akan setuju”, kata pejabat tersebut dengan kondisi anonim saat
berdiskusi masalah internal mereka.
Ia mengumpamakan, ”Hizbullah adalah
satu-satunya batu yang akan menolong untuk membangun rumah”.
Tetapi beberapa pihak lainnya melihat
kedaulatan Suriah telah jatuh ke tangan Iran. Iran membutuhkan Suriah sebagai
saluran untuk mempersenjatai Hizbullah. Seorang ahli masalah Suriah, Charles
Lister di The Brookings Doha Center di Doha mengatakan bahwa Iran
yang dibantu oleh Hizbullah dan para milisi lainnya sedang mendirikan
negara di dalam negara (Suriah) sebagai kebijakan jaminan untuk melindungi
dirinya dalam menghadapi kemungkinan kejatuhan rezim Assad di masa datang.
Ali, seorang prajurit berusia 23 tahun
yang sedang cuti di Damaskus setelah bertempur di front selatan mengatakan
bahwa salah satu komandannya seorang perwira berpangkat mayor mengeluhkan
betapa setiap pejuang Hizbullah apapun posisinya dianggap lebih penting daripada
seorang jenderal Suriah.
Lalu, ada kecemburuan di antara mereka
ketika para pejuang Hizbullah dibayar dengan dolar sementara tentara Suriah
dibayar dengan uang Suriah yang nilainya sudah anjlok. Milisi Hizbullah
difasilitasi dengan mobil-mobil baru beserta daging dan beras, sementara
tentara Suriah cuma diberikan truk-truk buatan Rusia yang sudah penyok beserta
roti yang sudah basi.
Seorang mahasiswa yang baru-baru ini
meninggalkan Damaskus mengatakan bahwa Hizbullah saat ini menguasai daerah
sekitar di area Kota Tua. Ia bercerita, Syiah Hizbullah juga pernah membantu
masalah yang terjadi antara saudaranya dengan pasukan keamanan. Di sepanjang
perjalanan, mahasiswa itu selalu ditanya di setiap pos checkpoint untuk
membuktikan bahwa dirinya bukan seorang desertir. Polisi juga terlihat semakin
jarang sehingga banyak warga yang secara terbuka mengisap ganja.
Ia berkata, “Jika anda punya koneksi
dengan Hizbullah, masalah anda akan mudah diselesaikan”. Mahasiswa itu tak mau
menyebutkan identitas aslinya dan mengaku bernama Hamed al-Adem untuk
melindungi anggota keluarganya yang masih berada di Damaskus.
Meskipun demikian, Hizbullah juga bukan
dalam posisi untuk membantu Bashar Assad saat mereka mengirim ratusan
pejuangnya menyerang basis mujahidin di Qusayr pada tahun 2013.
Menurut para pejabat intelijen Amerika,
saat ini Hizbullah punya lebih banyak petempur dan penasehat di Suriah daripada
sebelumnya, yaitu sebanyak 5.000 orang. Tetapi, menurut keterangan anggota
keamanan Suriah itu bahwa Hizbullah hanya terlibat di beberapa area yang
terkait dengan kepentingan mereka saja.
Pejabat simpatisan Hizbullah itu
mengatakan mungkin Hizbullah memiliki ribuan pejuang di sepanjang perbatasan
dengan Lebanon, ratusan pejuang di selatan yang berbatasan dengan Israel, dan hanya
ada beberapa lusin yang tersebar di sekitar Aleppo. Di Kota Idlib mereka tidak
punya pejuang, dan diperkirakan kota itu akan jatuh karena para perwira militer
Suriah salah perhitungan.
Anggota keamanan Suriah itu menjelaskan
bahwa para pemimpin mereka tidak punya prioritas untuk mempertahankan Idlib.
Banyak tentara pemerintah yang melarikan diri setelah pejuang oposisi dan
mujahidin menghancurkan jaringan komunikasi mereka, lalu kemudian meneriakkan
“Allahu Akbar” di masjid-masjid.
“Damaskus dan wilayah pesisir Suriah,
dan wilayah-wilayah lainnya dianggap tidak ada yang penting,” ujarnya saat
menilai kepemimpinan Assad, “Ia tidak peduli meskipun seandainya Suriah ini
hancur.”
Wajib
Militer
Seorang tentara yang sudah lama berdinas
mengatakan bahwa saudara sepupunya menelpon ibunya dari dalam parit-parit
perlindungan untuk mengucapkan selamat tinggal. Tentara tersebut yang juga
kehilangan paman dan sepupunya dalam pertempuran sangat marah saat mendengar
ada 10 orang di sana yang ditembaki karena minimnya kendaraan untuk membawa
mereka.
“Jika saya punya anak, saya tidak akan
mengirimnya menjadi tentara”, katanya mengeluhkan gajinya yang hanya bisa untuk
menutupi kebutuhan sepuluh hari. Lanjutnya,”Kenapa harus terbunuh atau
disembelih?”
Di Suweida yang dihuni oleh sekte Druse
yang pro-pemerintah, Abu Tayem seorang aktifis Druse mengatakan,”Di setiap
rumah paling tidak ada satu orang laki-laki yang dicari untuk mengikuti wajib
militer”.
Pekan lalu, ia mengatakan, setelah
salah seorang temannya ditangkap karena menghindari wajib militer, para
penduduk lalu menyerang para perwira militer dan menangkap salah seorang dari
mereka untuk kemudian ditukar dengan tahanan temannya itu. Pada saat ini,
pemerintah berusaha merekrut pasukan Druse untuk dilatih Hizbullah, tetapi
sebagian mundur setelah mendengar kabar bahwa mereka akan diminta untuk
memerangi orang-orang Sunni di wilayah tetangga di Dara’a.
Fayez Korko, seorang pria berusia 48
tahun mengatakan ia membantu mengorganisir milisi Assyiria di wilayah timur
laut setelah para penduduk desa menyimpulkan bahwa janji pemerintah untuk
melindungi mereka hanyalah omong kosong. Ia menyebut pemerintah dengan sebutan
“yang terbaik di antara yang paling buruk”, namun ia mengatakan bahwa
orang-orang Assyiria memilih mati mempertahankan desa-desa mereka ketimbang
mati di front yang lebih jauh.
Peristiwa seperti jatuhnya Idlib, bagi
anggota keamanan Suriah tersebut merupakan sesuatu yang membuat frustrasi
bahkan bagi kalangan pendukung utama pemerintah, yaitu kelompok minoritas
Alawiyyin yang juga merupakan sekte Assad sendiri. Padahal, selama ini
mereka memiliki peran sangat tidak wajar dalam dinas kemiliteran pemerintah.
Kini, mereka mulai meragukan kemampuan
Assad untuk melindungi mereka, sementara selama ini mereka telah bertaruh
dengan mendekat ke rezim untuk mempertahankan eksistensi mereka. Demikian
menurut seorang anggota sekte Syiah Alawiyyin (Nushairiyyah). Lalu ia
melanjutkan pernyataannya tentang Bashar Assad,”Suriah itu bukan anda, dan anda
bukan Suriah.”
Alih bahasa: Yasin Muslim
Sumber: Newyork Times