Oleh:
Azeza Ibrahim Rizki
Pegiat Kajian Zionisme
Internasional
RAHBAR Iran, dikutip dalam web Islamic Republic of Iran
Broadcasting (IRIB) berbahasa
Indonesia menyatakan dengan gamblang bahwa negaranya tidak akan menjadi ancaman
bagi negara tetangganya, apalagi sampai harus ikut campur tangan urusan
internal sebuah wilayah.
Editorial berjudul “Perspektif Rahbar: Militer Iran Bukan
Ancaman bagi Tetangga dan Kawasan” yang dimuat pada Ahad (19/04/2015) ini tentu
membuat dahi pembaca yang kritis berkerut.
Pasalnya, kita selalu digiring dalam narasi AS-Israel sebagai
aktor tunggal kerusuhan Timur Tengah dengan mengabaikan fakta-fakta lapangan
adanya pemain lain yang ikut ambil bagian dalam setiap konflik di kawasan.
Tentunya, yang paling menarik untuk ditilik adalah peran Iran
sendiri, sebab kita tidak bisa menutup mata, bahwa Houtsi di Yaman dan Bashar Assad
di Suriah memiliki hubungan erat dengan negara pemilik reaktor nuklir ini.
Antara Kata “Rakyat” dan
“Teroris”
Kita patut bertanya, mengapa Iran yang mengaku sebagai negara
cinta damai ini menunjukkan wajah yang berbeda saat menyikapi konflik Suriah dan
Yaman.
Contoh paling sederhana dapat dilihat dari kata-kata yang
dipilih IRIB selaku media resmi Iran dalam menyebut “pemberontak” di dua daerah
tersebut.
Di Yaman, Syiah Houtsi yang memberontak pemerintahan resmi
Mansour Hadi dianggap sebagai gerakan rakyat, namun di Suriah, walau sama-sama
gerakan rakyat, pejuang yang melawan rezim Bashar Assad justru disebut teroris.
Pejuang An Nushra yang sangat jelas melawan kekejaman rezim
Bashar Assad di Suriah, justru disebut teroris oleh IRIB, namun Iran bahkan enggan
menyebut Syiah Houthi sebagai pemberontak atas pemerintahan sah Mansour Hadi,
alih-alih justru disebut sebagai “gerakan perlawanan rakyat Yaman”.
Lebih jauh, Iran bahkan memberikan dukungan militer yang tidak
sedikit baik pada rezim Assad dan Syiah Houthi. Kanal berita dunia seperti Reuters, Telegraph, dan Independent kerap merilis berita keterlibatan
militer Iran di dua daerah tersebut, baik dengan mengutus pelatih, amunisi,
hingga persenjataan.
Anehnya, baik pihak Iran, Houthi dan Assad justru kerap
menyangkal dukungan satu sama lain.
Dualisme sikap Iran ini memiliki efek kemanusiaan yang luar
biasa berbahaya. Bukti paling nyata adalah diamnya Iran ketika rezim Bashar
menolak masuk bantuan kemanusiaan dari PBB untuk para pengungsi yang
membutuhkan.
Menurut Valerie Amos, koordinator Bantuan Darurat dan
Kemanusiaan PBB menyatakan bahwa Assad hanya memberi akses ke 3 kota dari 33
kota yang siap dibantu. Akibatnya, ribuan orang terlantar dan kehidupan mereka
terancam.
Anehnya, ketika Yaman diserang, selama satu bulan terakhir,
lewat berbagai media, Iran memaparkan narasi krisis kemanusiaan yang tidak
pernah mereka lakukan sebelumnya atas 4 tahun lebih konflik Suriah.
Pernyataan netralitas Rahbar dengan dualisme sikap Iran antara
Suriah dan Yaman tentu bertolak belakang. Akibatnya, narasi AS-Israel yang
kerap mereka umbar lebih terdengar seperti retorika apologetik, apalagi setelah
dicabutnya sanksi ekonomi Iran oleh AS, dua seteru verbal ini tampak lebih
akrab.
Publik pun dibuat bertanya-tanya, tuluskah niat Iran membela
kepentingan Islam di kawasan Timur Tengah?
Dualisme Sikap, Pudarnya
sebuah Propaganda?
Retorika Iran yang anti AS-Israel tampak makin pudar seiring
waktu, terutama setelah konflik Suriah. Dimana rezim Bashar diketahui memiliki
hubungan dekat dengan Israel setelah para pejuang menemukan stok senjata made in Israel di pos militer Assad yang berhasil
mereka taklukkan.
Lucunya, para pembela Iran dan sekutunya di Indonesia justru
menyebut tentara pejuanglah yang mendapat dukungan persenjataan dari Israel
dengan mengajukan bukti senjata hasil rampasan tersebut.
Sementara di Yaman, Syiah Houthi masih berusaha memanfaatkan
sentiment anti AS-Israel dengan menyebar poster propaganda di berbagai sudut
kota Sanaa yang berbunyi, “Kematian bagi AS dan Israel”.
Poster ini menjadi jauh panggang dari api jika melihat aksi-aksi
Houthi yang justru melakukan pemberontakan atas pemerintahan yang sah Yaman.
Adakah satu peluru Houthi yang sudah bersarang ke tubuh tentara Israel?
Makin luasnya pengaruh Iran yang meliputi Yaman, Suriah,
Libanon, dan Irak disertai keakraban dengan AS sekali lagi harus kita sikapi
dengan kritis dan tidak serta merta percaya dengan jargon-jargon yang mereka
sampaikan.
Toh dualisme sikap Iran di Yaman dan Suriah sudah menjadi
indikasi kuat bahwa mereka tengah mempersiapkan sesuatu, dan jika kita dengan
mudah percaya retorika mereka, bukan tidak mungkin tanpa sadar kita sudah
menjadi pion yang membela kepentingan Iran.
Jenderal Syiah Iran Akhirnya Akui Keterlibatan Mereka
Di Yaman
Seorang
pejabat tinggi militer Iran mengakui bahwa negaranya ikut membantu pemberontak
Syiah Houthi dan sekutunya dalam menghadapi agresi militer Koalisi Negara Islam
yang dipimpin Saudi dan sekutunya di Yaman.
Dalam wawancaranya dengan kantor berita Farsi Iran pada hari
Minggu (26/04) kemarin, Jenderal Ali Hadmani mengakui bahwa negaranya ikut
mendukung pemberontakan Syiah Houthi dengan menjadi penasehat militer dan
memberikan sejumlah bantuan kepada meraka, tanpa mau menjelaskan apa bentuk
bantuan tersebut.
“Kami mengumumkan secara terbuka dukungan dan bantuan kami
kepada perlawanan Syiah Houthi di Yaman, sama seperti perlawanan Palestina,
Lebanon, Irak dan Afghanistan,” ujar Jenderal Ali Hadmani.
Ini adalah konfirmasi pertama pemerintah Teheran mengenai
keterlibatan mereka dalam konflik di Yaman, setelah sebelumnya Menlu Iran Javad
Zarif membantahnya.
Menurut keterangan Menteri Luar Negeri Yaman, Riad Yassin, pada
hari Minggu kemarin di ibukota London menyatakan bahwa sedikitnya Teheran telah
melatih sekitar 1600 pemberontak Syiah Houthi sebelum memanasnya konflik di
Aden pada bulan April lalu.
PBB Buktikan Iran Kirim Senjata ke Pemberontak Yaman
Kapal nelayan Iran diam-diam mengirimkan ratusan roket anti-tank
dan anti-helikopter ke pemberontak.
Iran telah melakukan pengiriman senjata ke pemberontak Huthi
Yaman setidaknya sejak 2009. Pernyataan ini disampaikan dalam sebuah laporan
rahasia PBB yang juga menunjukkan bahwa tanggal dukungan Teheran kembali ke
tahun-tahun awal pemberontakan milisi Syiah.
Laporan oleh panel ahli telah disampaikan kepada Komite Sanksi Dewan Keamanan
PBB pekan lalu karena PBB berupaya untuk menengahi diakhirinya serangan udara
yang dipimpin Saudi di Yaman dan kembali ke pembicaraan damai.
"Informasi yang dikumpulkan oleh para ahli menunjukkan bahwa kasus Jihan
mengikuti pola pengiriman senjata ke Yaman dengan laut sejak 2009," kata
laporan itu.
Dilansir dari AFP, kapal nelayan Iran diam-diam mengirimkan ratusan roket
anti-tank dan anti-helikopter ke pemberontak.
"Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa Republik Islam Iran adalah asal
pengiriman tersebut dan penerima yang dimaksudkan adalah Huthi di Yaman.
Namun sejauh ini Iran membantah tuduhan bahwa mereka ikut campur di Yaman dan
sebaliknya menuduh Arab Saudi melakukan agresi militer terhadap negara
bermasalah setelah meluncurkan kampanye udara pada 26 Maret.
Koalisi yang dipimpin Saudi berusaha untuk mengembalikan kewenangan Presiden
Abedrabbo Mansour Hadi yang terpaksa melarikan diri Yaman setelah Huthi
menyerbu ibukota Sanaa dan maju di kota selatan Aden yang menjadi kubu Hadi.