Anggapan yang telah menyebar di
kaum muslimin pada umumnya, terutama yang ada di Indonesia bahwasanya yang
disebut wali Allah adalah orang-orang yang memiliki kekhususan-kekhususan yang
tidak dimiliki oleh orang-orang biasa. Yaitu mampu melakukan hal-hal yang ajaib
yang disebut dengan karomah para wali. Sehingga jika ada seseorang yang
memiliki ilmu yang tinggi tentang syari’at Islam namun tidak memiliki
kekhususan ini maka kewaliannya diragukan. Sebaliknya jika ada seseorang yang
sama sekali tidak berilmu bahkan melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah dan
meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah ta'ala, namun
dia mampu menunjukan keajaiban-keajaiban (yang dianggap karomah) maka orang
tersebut bisa dianggap sebagai wali Allah.
Hal ini disebabkan karena kaum muslimin (terutama yang di Indonesia) sejak
kecil telah ditanamkan pemahaman yang rusak ini. Apalagi ditunjang dengan
sarana-sarana elektronik seperti adanya film-film para sunan yang menggambarkan
kesaktian para wali[1]. Tentunya hal ini adalah sangat berbahaya yang bisa
menimbulkan rusaknya aqidah kaum muslimin.
Ketahuilah Allah ta'ala telah
menjelaskan dalam kitab-Nya dan sunnah Rosul-Nya bahwasanya Allah ta'ala
memiliki wali-wali dari golongan manusia dan demikian pula syaithon juga
memiliki wali-wali dari golongan manusia. Maka Allah membedakan antara
para wali Allah dan para wali syaithon.[2] Sebagaimana firman Allah ta'ala :
}اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا
يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى
النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى
الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ{
(البقرة:257)
Allah adalah wali (penolong) bagi orang-orang yang beriman. Allah mengeluarkan
mereka dari kegelapan-kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir
penolong-penolong mereka adalah thogut yang mengeluarkan mereka dari cahaya
kepada kegelapan-kegelapan. (Al-Baqoroh : 256)
}فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ
عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ
وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ{
(النحل:100-98)
Jika engkau membaca Al-Qur’an maka berlidunglah kepada Allah
dari (godaan) syaithon yang terkutuk. Sesungguhnya tidak ada kekuatan baginya terhadap
orang-orang yang beriman dan mereka bertawakal kepada Robb mereka. Hanyalah
kekuatannya terhadap orang-orang yang berwala’ kepadanya dan mereka yang
dengannya berbuat syirik. (An-Nahl :98-100)
}وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيّاً مِنْ دُونِ اللَّهِ
فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَاناً مُبِيناً{
(النساء:119)
Dan barangsiapa yang menjadikan syaithon sebagai wali selain
Allah maka dia telah merugi dengan kerugian yang nyata (An-Nisa’ : 119)
}الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ
فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ
كَانَ ضَعِيفاً{ (النساء:76)
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah dan
orang-orang kafir berperang di jalan thogut. Maka perangilah para wali-wali
syaithon sesungguhnya tipuan syaithon itu lemah. (An-Nisa’ : 76)[3]
Maka wajib bagi kita untuk membedakan manakah yang merupakan wali-wali Allah
dan manakah yang merupakan wali-wali syaithon, sebagaimana Allah dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakannya.[4]
Definisi wali
Wali diambil dari lafal al-walayah yang merupakan lawan kata dari al-‘adawah.
Adapun arti dari al-walayah adalah al-mahabbah (kecintaan) dan al-qorbu
(kedekatan). Sedangkan arti al-‘adawah adalah al-bugdlu (kebencian) dan
al-bu’du (kejauhan). Sedangkan wali artinya yang dekat.[5]
Siapakah yang disebut wali Allah ?
Yang disebut wali Allah adalah orang yang dia mencintai Allah ta’ala dan dekat
dengan Allah ta’ala. Dan orang seperti ini harus memiliki sifat-sifat berikut :
1. Dia harus ittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menjauhi larangan-larangan beliau. Berdasarkan firman Allah ta’ala:
}قُلْ إِنْ
كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ{ (آل عمران:31)
Katakanlah :”Jika kalian mencintai Allah maka ikutlah aku maka
Allah akan mencintai kalian dan memaafkan kalian dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” (Ali Imron :31)
Ayat ini merupakan ayat ujian
yang turun untuk menguji orang-orang yang mengaku mencintai Allah ta’ala
(termasuk di dalamnya orang yang mengaku dia adalah wali Allah). Jika dia benar
mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kecintaannya kepada Allah
ta’ala adalah benar, dan jika tidak maka cintanya adalah dusta.
2. Dia harus bersifat lembut kepada kaum muslimin
dan keras kepada kaum kafir, dan berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan
celaan orang-orang yang mencela, sesuai dengan firman Allah ta’ala:
}يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ
مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ
يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ
وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ
عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ
اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ
وَاسِعٌ عَلِيمٌ{ (المائدة:54)
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang
mutad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut
terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya,
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 5:54)
Hal ini sangatlah bertentangan
dengan sifat sebagian orang yang mengaku dirinya wali, atau dianggap wali oleh
masyarakat yang sifatnya sangat dekat dengan orang-orang kafir, bahkan
mengagumi orang-orang kafir.
3. Dia harus bertaqwa dan beriman, yaitu beriman
dengan hatinya dan bertaqwa dengan anggota tubuhnya, sesuai dengan firman Allah
ta’ala:
}أَلا إِنَّ
أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ{
(يونس:-6263)
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih (hati). (Yaitu)
orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (Yunus : 62,63)
Maka barangsiapa yang mengaku
sebagai wali Allah namun tidak memiliki sifat-sifat ini maka dia adalah
pendusta.[6]
Orang Gila Wali???
Oleh karena itu sungguh keliru persangkaan sebagian orang yang mengangkat orang
gila sebagai wali. Bahkan sebagian orang meyakini bahwa orang gila tersebut
hanyalah telah sampai kepada derajat kewalian jika telah gila dan tatkala ia
belum gila ia belum menjadi wali sejati.
Berkata Ibnu Taimiyah dalam Al-Furqon ((Jika seorang hamba tidak bisa menjadi
seorang wali hingga menjadi seorang yang beriman dan bertakwa…maka tentu telah
diketahui bahwa tidak seorangpun dari orang-orang kafir dan orang-orang munafik
yang merupakan wali Allah maka demikan pula orang-orang yang tidak sah imannya
dan ibadahnya –meskipun mereka tidak berdosa misalnya- …sebagaimana orang gila
dan anak-anak karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ
الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى
يُفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى
يَحْتَلِمَ
"Diangkat pena dari tiga (golongan), orang gila yang hilang
akalnya hingga sadar, dari orang yang tidur hingga terjaga dan dari anak kecil
hingga bermimpi (dewasa)"[7]
…Namun anak-anak yang mumayyiz (telah bisa membedakan/ sudah ngerti jika diberi
tahu-pen) maka sah ibadah mereka dan diberi pahala menurut pendapat mayoritas
ulama. Adapun orang gila yang diangkat pena darinya maka ibadahnya sama sekali
tidak sah berdasarkan kesepakatan para ulama, tidak sah keimanan yang
dilakukannya (sebagaimana juga jika ia melakukan kekufuran), sholat, dan
ibadah-ibadah yang lainnya.
Bahkan menurut seluruh orang yang berakal bahwasanya orang gila tidak layak
untuk mengerjakan urusan-urusan duniawi seperti berdagang dan industri. Maka
tidak layak untuk menjadi penjual kain, atau penjual minyak wangi, tukang besi,
tukang kayu. Dan tidak sah transaksi-transaksi yang dilakukannya, tidak sah
penjualannya, pembeliannya, nikahnya, cerainya, pembenarannya, persaksiannya,
dan perkataan-perkataannya yang lainnya, bahkan seluruh perkataannya semuanya
tidak ada artinya, tidak berkaitan dengan hukum syar’i, tidak ada pahalanya,
dan tidak ada hukuman.
Maka jika orang gila tidak sah keimanannya, ketakwaannya, demikian juga
taqorrubnya kepada Allah dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban dan
perkara-perakara yang sunnah, maka tidak boleh seorangpun yang meyakini bahwa
ia adalah wali Allah, apalagi dalihnya adalah karena mukasyafat yang ia dengar
dari orang gila tersebut atau karena perbuatan orang gila itu seperti ia telah
melihat orang gila itu menunjuk kepada seseorang lalu orang tersebut meninggal
atau terkapar. Karena sesungguhnya telah diketahui bahwasanya orang-orang kafir
dan orang-orang munafik dari kalangan kaum musyrikin dan ahlul kitab mereka
juga memiliki mukasyafaat (mengungkap tabir rahasia)[8] dan perbuatan-perbuatan
yang dibantu syaitan seperti para dukun dan tukang sihir…maka tidak boleh bagi
seorangpun hanya sekedar berdalih dengan hal-hal tersebut untuk menunjukan
bahwa seseorang adalah wali Allah -meskipun ia tidak mengetahui apakah orang
itu melakukan perkara-perkara yang membatalkan kewaliannya kepada Allah-)).
Ibnu Abil ‘Izz berkata, “Adapun yang terjadi pada sebagian mereka -tatkala
mendengar lagu-lagu yang indah- berupa igauan dan berbicara dengan
bahasa-bahasa yang lain dengan bahasa yang biasa digunakannya, maka itu adalah
syaitan yang berbicara melalui lisannya sebagaiman syaitan yang berbicara
melalui lisan orang yang kemasukan syaitan. Ini semua merupakan
perbuatan-perabuatan syaitan.
Bagaimanakah mungkin hilangnya akal merupakan sebab atau ibadah atau syarat
untuk menjadi wali Allah??, sebagaimana yang disangka oleh banyak orang-orang
sesat. Bahkan seorang dari mereka berkata,
هُمْ مَعْشَرٌ حَلُّو النِّظَامَ وَخَرَّقُوا
ال
سيَاجَ فَلاَ
فَرْضَ لَدَيْهِمْ وَلاَ نَفْلَ
مَجَانِيْنُ إِلاَّ أَنَّ سِرَّ
جُنُوْنِهِمْ
عَزِيْزٌ عَلَى أَبْوَابِهِ يَسْجُدُ
الْعَقْلُ
Mereka (orang-orang gila yang dianggap wali) telah membuka (ikatan) aturan
(syari’at) dan mereka memporak-porandakan pagar-pagar (aturan).
Maka tidak ada lagi (yang namanya) kewajiban bagi mereka dan tidak juga (yang
namanya) sunnah (mustahab).
Orang-orang gila, hanya saja rahasia kegilaan mereka adalah besar dimana akal
sujud pada pintu-pintu rahasia tersebut
Dan ini adalah perkataan orang yang sesat bahkan kafir, yang menyangka bahwa
pada kegilaaan ada sebuah rahasia yang akal sujud pada pintu rahasia tersebut
karena ia melihat dari sebagian orang-orang gila tersebut suatu mukaasyafah
(penglihatan di masa datang) atau tindakan yang ajaib yang luar biasa yang hal
itu disebabkan bantuan syaitan sebagaimana yang terjadi pada para tukang sihir
dan para dukun. Maka orang sesat ini menyangka bahwa setiap orang yang bisa
mukasyafah atau melakukan hal yang luar biasa adalah seorang wali Allah.
Barangsiapa yang berkeyakinan seperti ini maka ia adalah kafir. Allah telah
berfirman
}هَلْ أُنَبِّئُكُمْ
عَلَى مَن تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ,
َنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ
أَثِيمٍ { (الشعراء : 221 -222 )
Apakah akan aku beritahukan kepadamu, kepada siapkah
syaithon-syaithon itu turun ?, mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi
banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithon) itu, dan
kebanyakan mereka adalah pendusta. (As-Syu’aro’ : 221-222)
Dan setiap orang yang syaitan
turun kepadanya maka pasti ia melakukan kedustaan dan kefajiran”[9]
Ibnu Abil ‘Izz berkata, “Barangsiapa yang meyakini bahwa sebagian orang-orang
dungu (agak gila) –yang meninggalkan ittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam baik dalam pembicaraannya, amalan-malannya, maupun
keadaan-keadaannya- bahwsanya mereka termasuk wali-wali Allah, dan lebih utama
daripada para pengikut jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia
adalah orang yang sesat, mubtadi’, dan salah dalam beraqidah. Karena orang
dungu tersebut kalau bukan ia adalah syaitan yang zindiiq…, atau seorang gila
yang mendapat udzur. Maka bagaimana ia bisa lebih mulia daripada orang yang
termasuk wali-wali Allah yang mengikuti sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam??? Atau menyamainya???. Dan tidaklah dikatakan bahwa mungkin saja orang
dungu ini mengikuti sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di batin
meskipun ia meninggalkan ittiba’ di dzohir??. Ini sesungguhnya juga merupakan
kesalahan, dan yang wajib adalah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam baik secara batin maupun secara zhohir”[10]
Diantara mereka ada yang berdalil dengan hadits yang lemah bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
اطَّلَعْتُ على الجنَّةِ فَرَأَيْتُ
أَكْثَرَ أَهْلِهاَ البُلْهَ
“Aku melihat surga ternyata aku lihat mayoritas penghuninya
adalah orang-orang dungu”[11]
Ibnu Abil ‘Izz berkata[12], “Hadits ini tidak sah dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena surga hanyalah diciptakan bagi ulil Albab yang akal
mereka mengantarkan mereka kepada beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya,
kitab-kitabNya, para rasulNya, dan hari ahkir. Allah telah menyebutkan para
penghuni surga beserta ciri-ciri dan sifat-sifat mereka dalam Al-Qur’an dan
Allah (sama sekali) tidak menyebutkan bahwa diantara sifat penduduk surga
adalah kedunguan. (Yang benar) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah
bersabda
اطَّلَعْتُ على الجنَّةِ فَرَأَيْتُ
أَكْثَرَ أَهْلِهاَ الفُقَرَاءَ
“Aku melihat surga ternyata aku lihat mayoritas penghuninya
adalah orang-orang faqir”[13]
Islam adalah agama yang menyeru manusia untuk menggunakan akalnya memikirkan
ayat-ayat Allah, dan bukanlah agama yang menyeru kepada kedunguan apalagi
kegilaan, karena hal ini tidakalah bisa diterima fitroh manusia, tidak diterima
oleh akal sehat, bahkan orang gilapun mungkin tidak menerimanya.
Akal adalah anggota tubuh yang membedakan antara hewan dan manusia, akal merupakan
tempat memahami, dengan akal seseorang bisa membedakan antara kebaikan dan
keburukan, antara hak dan batil. Oleh karena itu agama Islam sangat
memperhatikan penjagaan akal dan menjadikan sebagai tempat digantungkannya
"taklif" (beban untuk menjalankan hukum-hukum syari'at) dan Islam
menjatuhkan taklif bagi orang yang kehilangan akal sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
رفع القلم عن ثلاثة
عن المجنون المغلوب على
عقله حتى يفيق وعن
النائم حتى يستيقظ وعن
الصبي حتى يحتلم
"Diangkat pena dari tiga (golongan), orang gila yang hilang
akalnya hingga sadar, dari orang yang tidur hingga terjaga dan dari anak kecil
hingga bermimpi (dewasa)"[14]
Oleh karena itu merupakan perbuatan kriminal seseorang terhadap akalnya sendiri
dengan meniadakan fugsi akal dan menghentikan aktifitas akal. Orang tersebut
pantas untuk dihukum akibat perbuatan kriminalnya tersebut walaupun pada
hakikatnya orang tersebut telah berbuat kriminal terhadap dirinya sendiri
dimana ia telah menutup akalnya sehingga jadilah ia seperti hewan atau lebih
parah yang tidak bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan karena alat yang
digunakannya untuk membedakan telah ia rusakan fungsinya.
Apakah merupakan tindakan seorang yang memiliki akal untuk berusaha untuk
menghilangkan fungsi akalnya?? yang akal merupakan alat yang sangat teliti yang
mampu mencatat masa lalunya dengan baik serta membuatnya berjalan dalam jalan
yang teratur, serta memberikan gambaran yang baik di masa depan, apakah
ada orang yang berakal yang ingin menghilangkan fungsi akalnya??. Sesungguhnya
orang yang menghilangkan fungsi akalnya dengan sengaja, perbuatannya itu
menunjukan bahwa ia bisa tanpa akalnya, ia tidak butuh dengan akalnya, ia ingin
berjalan di atas muka bumi dengan keadaannya yang tanpa akal, dia ingin seperti
hewan-hewan yang tidak bisa membedakan, atau seperti benda-benda mati yang
tidak bisa merasakan apa yang terjadi di daerah sekitarnya[15]
Oleh karena itu orang-orang yang mendengarkan lagu-lagu hingga pingsan (hilang
akal mereka) adalah para mubtadi’ yang sesat, tidak diperbolehkan bagi
seseorang untuk berusaha melakukan perkara-perkara yang menyebabkan hilangnya
akalnya, tidak ada seorang sahabat maupun seorang tabi’in pun yang melakukan
demikian, bahkan tatkala mereka mendengarkan Al-Qur’an. Akan tetapi mereka
sebagaimana yang disifatkan oleh Allah
إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ
قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ
آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَاناً وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
(الأنفال : 2 )
Apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya)
dan kepada Rabblah mereka bertawakkal (QS. 8:2)
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ
كِتَاباً مُّتَشَابِهاً مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ
يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ
وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي
بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَن
يُضْلِلْ اللَّهُ فَمَا لَهُ
مِنْ هَادٍ (الزمر : 23 )
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu)
al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar
karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang
kulit dan hati mereka diwaktu mengingat Allah.Itulah petunjuk Allah, dengan
kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.Dan barangsiapa yang
disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi petunjuk baginya. (QS.
39:23)[16]
Yang lebih parah dari orang gila yaitu yang diketahui melakukan
perkara-perkara yang membatalkan tauhid, apakah seorang wali??
Ibnu Taimiyah berkata, ((Bagaimana lagi jika diketahui bahwasanya ia telah
melakukan hal-hal yang membatalkan kewalian kepada Allah??, misalnya diketahui
bahwasanya (1) ia tidak meyakini wajibnya mengikuti Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam secara dzohir dan batin namun ia hanya meyakini wajibnya
mengikuti Rasulullah pada syari’at-syari’at yang dzhahir dan bukan yang batin,
atau (2) meyakini bahwa para wali memiliki jalan menuju Allah yang berbeda
dengan jalan para nabi. Atau (3) ia berkata bahwa para nabi hanyalah
mempersulit jalan atau (4) para nabi hanyalah teladan bagi orang-orang umum dan
bukan teladan bagi orang-orang khusus dan yang semisalnya yang telah keluar
dari mulut-mulut orang-orang yang mengaku-ngaku mereka adalah wali-wali Allah.
Mereka ini terdapat pada mereka perkara-perkara kekufuran yang membatalkan
keimanan apalagi kewalian??. Barangsiapa yang berdalil dengan hal-hal aneh yang
dilakukan oleh mereka untuk menunjukan kewalian mereka maka ia lebih sesat dari
orang-orang Yahudi dan Nasrani))
Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, ((Inilah yang menyebabkan bid’ah-bid’ah dan
kesyirikan tersebar merajalela di negeri-negeri dikarenakan kesalahan keyakinan
tentang wali (yaitu meyakini bahwa wali adalah orang yang bisa melakukan hal
yang luar biasa meskipun ia adalah ahli maksiat –pen). Karena jika wali (palsu
yang pada hakekatnya bukan wali) hidup dan fasik maka ia menjadikan masyarakat
suka terhadap sebagian kemungkaran atau sebagian bid’ah agar ia bisa memperoleh
uang atau kedudukan atau yang lainnya dari mereka. Masyarakatpun meyakini bahwa
ia adalah seorang wali lalu merekapun mengikuti kemungkaran dan kebid’ahan yang
dilakukannya itu. Mereka berkata “Ini adalah wali fulan”. Untuk bisa
menghancurkan kondisi yang seperti ini adalah dengan menegakkan dalil
(menanamkan keyakinan kepada masyarakat) bahwa kewalian tidaklah diperoleh
kecuali bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa… (namun) para wali pendusta
mereka menyebarkan kepada masyarakat bahwa amalan dzohir para wali tidak sama
dengan amalan batin mereka sehingga mereka ingin menepis penjelasan
(ahlussunnah) yang benar ini. Mereka berkata, “Wali ini dzohirnya mengamalkan
perkara-perkara (maksiat) namun di batinnya hatinya dan amalannya adalah untuk
Allah. Diantara mereka ada suatu kelompok yang namanya “Al-Malamiyah” yang
mereka adalah orang-orang yang karena ingin ikhlas maka mereka menampakkan
perkara-perkara yang menyelisihi tauhid atau menyelisishi keistiqomahan, atau
menyelisihi keikhlasan agar mereka dituduh dengan riya’[17]. Mereka berkata,
“Kami menampakkan seperti ini demi keikhlasan” agar tidak dikatakan bahwasanya
mereka adalah orang-orang yang riya’. Maka merekapun menyembunyikan ketaatan
mereka dan mereka menampakkan kefasikan agar mereka tidak berbuat riya’ di
hadapan manusia. Al-Fudhail bin ‘Iyadh telah berkata tentang orang-orang
semodel mereka ini, العمل
لغير الله رياء وترك
العمل لغير الله شرك
“Beramal karena selain Allah adalah riya’ dan meninggalkan amal karena selain
Allah adalah kesyirikan”. Mereka menyangka mereka telah terlepas dari riya’
namun mereka terjatuh dalam kesyirikan karena mereka telah meninggalkan amal
karena manusia…yaitu meninggalkan amalan-amalan yang wajib.))[18]
Seorang wali tidaklah maksum sebagaimana seorang nabi
Namun perlu diperhatikan bukanlah syarat seorang wali dia harus ma’sum (tidak
pernah berbuat salah), dan tidak pula dia harus menguasai seluruh ilmu
syari’at. Bahkan boleh baginya tidak mengetahui sebagian syari’at atau masih
samar baginya sebagian perkara agama. Oleh karena itu tidak wajib bagi manusia
untuk mengimani seluruh apa yang dikatakan oleh seorang wali Allah karena dia
bukanlah seorang nabi, tetapi seluruh yang dikatakannya dikembalikan kepada
ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika sesuai, maka perkataannya
diterima dan jika tidak, maka ditolak. Jika tidak diketahui apakah sesuai atau
tidak dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tawaquf.[19] Dan
inilah sikap yang benar kepada wali Allah. Adapun sikap yang salah kepada wali
Allah yaitu membenarkan semua apa yang diucapkan dan yang dilakukannya, atau
sebaliknya jika melihat dia mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyelisihi
syari’at maka langsung mengeluarkan dia dari kewaliannya.[20]
Umar bin Al-Khotthob merupakan contoh wali Allah namun ia
tidaklah maksum
Umar bin Al-Khottob radhiyallahu ‘anhu adalah contoh seorang wali Allah,
yang Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya
قَدْ كَانَ فِيْمَا قَبْلَكُمْ
مِنَ الأُمَمِ نَاسٌ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ
يَكُنْ مِنْ أُمَّتِيْ أَحَدٌ
فَإِنَّهُ عُمَرُ
Pada umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang muhaddatsun
(yang mendapatkan sejenis ilham dari Allah)[21]. Kalaupun ada di kalangan
umatku satu orang, maka dia adalah Umar.[22]
إِنَّ اللهَ وَضَعَ الْحَقَّ
عَلَى لِسَانِ عُمَرَ يَقُوْلُ
بِهِ
Sesungguhnya Allah meletakkan kebenaran pada lisan Umar yang ia
mengucapkan kebenaran tersebut.[23]
لَوْ كَانَ نَبِيٌّ بَعْدِي
لَكَانَ عُمَرَ
Kalaulah ada nabi setelahku maka dia adalah Umar.[24]
Hadits-hadits ini jelas
menunjukan bahwasanya Umar radhiyallahu ‘anhu adalah seorang wali Allah, bahkan
beliau mendapatkan ilham dari Allah. Selain itu beliau pernah melakukan hal-hal
yang ajaib sebagaimana beliau pernah mengutus sebuah pasukan dan beliau
mengangkat seorang pemuda yang bernama Sariyah untuk memimpin pasukan tersebut.
Tatkala Umar sedang berkhutbah di atas mimbar, beliau berteriak :”Wahai
Sariyah, gunung !, wahai Sariyah, gunung !”. Lalu utusan pasukan tersebut
menemui Umar dan berkata : “Wahai Amirul Mu’minin, kami bertemu musuh,
tiba-tiba ada suara teriakan :”Wahai Sariyah, gunung!”, lalu kami menyandarkan
punggung-punggung kami ke gunung kemudian Allah memenaggkan kami”.[25]
Beliau juga sangat ditakuti oleh Syaitan sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Umar,
يَا بْنَ الْخَطَّاب وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ
قَطْ سَالِكًا فَجًّا إِلاَّ سَلَكَ
فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ
“Wahai Ibnul Khotthob, -demi Yang jiwaku berada di tanganNya-
tidaklah syaitan bertemu dengan engkau di jalan manapun kecuali ia mencari jalan
yang lain”[26]
Namun hal ini tidak menunjukan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu harus ma’sum
(terjaga dari kesalahan). Kesalahan yang pernah beliau lakukan diantaranya
[27]:
1. Yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berumroh pada tahun ke enam Hijroh
bersama sekitar 1400 kaum muslimin –mereka itu adalah yang berbai’at di bawah
pohon- dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengadakan perjanjian damai
(perjanjian Hudaibiyah) dengan kaum musyrikin setelah melalui perundingan
dengan kaum musrikin. Keputusan perundingan tersebut adalah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan kaum mukminin kembali ke Madinah pada tahun ini dan akan
berumroh pada tahun yang akan datang. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberi beberapa syarat terhadap mereka yang dalam syarat-syarat tersebut ada
tekanan kepada kaum muslimin secara dzohir, sehingga hal itu memberatkan
kebanyakan kaum muslimin, sedangkan Allah dan Rosul-Nya lebih mengetahui dengan
maslahat yang ada di balik itu. Umar radhiyallahu ‘anhu termasuk orang yang
tidak setuju dengan hal itu, lalu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam :”Wahai Rosulullah, bukankah kita di atas kebenaran dan musuh kita di
atas kebatilan ?”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Benar”,
lalu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata lagi :”Bukankah orang-orang yang terbunuh
diantara kita masuk ke dalam surga dan orang-orang yang terbunuh di antara
mereka masuk ke dalam neraka?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab
:”Benar”. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Kenapa kita bersikap merendah pada
agama kita?”, Nabi berkata :”Aku adalah Rosulullah dan Allah adalah penolongku
dan aku bukanlah orang yang bermaksiat kepadanya.”, Umar radhiyallahu ‘anhu
berkata :”Bukankah engkau berkata kepada kami bahwa kita akan mendatangi
baitulloh dan berthowaf ?”, Nabi berkata :”Benar”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata lagi:”Apakah aku mengatakan kepadamu sesungguhnya engkau akan
mendatanginya pada tahun ini?”, Umar radhiyallahu ‘anhu berkata :”Tidak”, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Sesungguhnya engkau akan mendatanginya
dan berthowaf.”
Umar pun mendatangi Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan berkata kepadanya
sebagaimana perkataannya kepada Rosulullah. Dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
pun menjawab sebagaimana jawaban Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
padahal dia tidak mendengar jawaban Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
(kepada Umar). Dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang lebih sering
sesuai dengan Allah dan Rosul-Nya dari pada Umar radhiyallahu ‘anhu, dan Umar
radhiyallahu ‘anhu mengakui kesalahannya dan berkata :”Aku benar-benar akan
mengamalkannya”[28]
2. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Umar mengingkari kematian
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tatkala Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu
berkata :”Sesungguhnya dia telah wafat”, maka Umar radhiyallahu ‘anhu pun
menerimanya.[29]
3. Ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu memerangi orang-orang yang enggan
membayar zakat, maka Umar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu :”Bagaimana bisa kita memerangi manusia, sedangkan Rosulullah bersabda
:”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwasanya
tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah Rosulullah.
Apabila mereka mengakui hal ini maka terjagalah darah-darah dan harta-harta
mereka, kecuali dengan haknya””, maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata
:”Bukanlah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “kecuali dengan
haknya”?, sesungguhnya zakat termasuk haknya. Demi Allah kalau mereka itu
menolak untuk membayar zakat kepadaku yang mereka membayarnya kepada Rosulullah
maka aku akan memerangi mereka karena ketidakmauan mereka”. Berkata Umar
radhiyallahu ‘anhu :”Demi Allah tidaklah ada, kecuali aku melihat Allah telah
melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi (orang-orang yang enggan membayar
zakat), maka aku mengetahui bahwasanya dia adalah benar”[30]
Faidah yang bisa diambil dari pemaparan ini adalah [31]:
a. Seorang wali tidak ma’sum, bisa berbuat salah, bahkan berkali-kali
sebagaimana Umar yang salah berkali-kali.
b. Seorang wali bisa memiliki karomah sebagaimana Umar yang mendapat ilham dari
Allah ta’ala.
c. Tidak berarti seseorang yang mendapat karomah berarti lebih mulia daripada
wali Allah yang tidak ada karomahnya[32]. Sebagaimana Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu jelas lebih mulia daripada Umar radhiyallahu ‘anhu, namun dia tidak
mendapatkan ilham dari Allah ta’ala dan tidak memiliki karomah-karomah
sebagaimana yang dimiliki oleh Umar.
Berkata Ibnu Taimyah, ((Dan termasuk perkara yang perlu untuk diketahui
bahwasanya karomah terkadang sesuai dengan kebutuhan seseorang. Jika seorang
yang lemah imannya membutuhkan karomah atau orang yang butuh maka Allah
memberikannya karomah untuk manguatkan imannya dan memenuhi kebutuhannya.
Sehingga orang yang kewaliannya lebih sempurna tidak butuh kepada karomah
tersebut, maka tidaklah datang kepadanya seperti karomah tersebut karena
derajatnya yang tinggi. Dan tidak butuhnya ia kepada karomah tersebut bukan
karena derajat kewaliannya yang kurang. Oleh karena itu munculnya karomah lebih
banyak terjadi di generasi tabiin dari pada para sahabat. Berbeda dengan
kejadian luar biasa yang terjadi melalui tangan-tangan para nabi untuk memberi
petunjuk kepada manusia dan kebutuhan manusia…))
d. Seorang wali tetap harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah
ditetapkan oleh Allah ta’ala dan Rosul-Nya dan menjauhi larangan-larangan Allah
ta’ala dan Rosul-Nya. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu yang tetap
melaksanakan perintah Allah ta’ala dan RasulNya
e. Walaupun seorang wali, tapi perkataan dan perbuatannya harus ditimbang
dengan Al-Kitab dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ma’sum.
Sebagaimana ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu dikembalikan (ditimbang) oleh Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan Sunnah Nabi. Berkata Yunus bin Abdil A’la
As-Shodafi : Saya berkata kepada Imam Syafi’i : “Sesungguhnya sahabat kami
–yaitu Al-Laits- mengatakan :”Apabila engkau melihat sesorang bisa berjalan di
atas (Permukaan) air, maka janganlah engkau anggap dia sebelum engkau teliti
keadaan (amalan-amalan) orang tersebut, apakah sesuai dengan Al-Kitab dan
As-Sunnah.”, lalu Imam Syafi’i berkata :”Al-Laits masih kurang, bahkan kalau
engkau melihat seseorang bisa berjalan di atas air atau bisa terbang di udara,
maka janganlah engkau anggap ia sebelum engkau memeriksa keadaan
(amalan-amalan) orang tersebut apakah sesuai dengan Al-Kitab dan
As-Sunnah”.[33]
Sehingga tidaklah benar anggapan bahwa Aresto adalah wali Allah karena Aresto
adalah mentrinya Iskandar yang kafir (karena tidak ada wali Allah dari orang
kafir), yang sebagian orang (diantaranya Ibnu Sina) menyangka bahwa Iskandar
adalah Dzulqornain.[34]
f. Seorang wali yang telah jelas bahwasanya perkataan atau perbuatannya
menyelisihi Sunnah Nabi, maka dia harus kembali kepada kebenaran. Dan dia tidak
menentangnya. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau tidak membantah Abu
Bakar radhiyallahu ‘anhu dengan berkata :”Tapi saya kan wali, saya kan mendapat
ilham dari Allah, saya kan dijamin masuk surga, dan kalian harus menerima
perkataan saya”
g. Seorang wali harus mematuhi syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Para Nabi saja kalau hidup sekarang harus mengikuti syari’at Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam apalagi para wali. Karena jelas para Nabi lebih
bertaqwa daripada para wali dari selain Nabi. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
berkata :”Tidaklah Allah mengutus seorang nabipun kecuali Allah mengambil
perjanjiannya, jika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus dan
nabi tersebut masih hidup maka nabi tersebut harus benar-benar beriman
kepadanya dan menolongnya. Dan Allah memerintah Nabi tersebut untuk mengambil
perjanjian kepada umatnya kalau Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
diutus dan mereka (umat nabi tersebut masih) hidup maka mereka akan benar-benar
beriman kepadanya dan menolongnya.”[35]
h. Seorang wali tidak boleh menyombongkan dirinya dengan mengaku-ngaku
bahwa dia adalah wali sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul kitab yang
mereka mengaku bahwa mereka adalah wali-wali Allah. Allah berfirman :
فَلاَ تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ
اتَّقَى
Dan janganlah kalian menyatakan diri-diri kalian suci. Dia
(Allah) yang lebih mengetahui tentang orang yang bertaqwa. (An-Najm : 32 )
Orang mengaku dirinya adalah wali maka dia telah berbuat maksiat kepada Allah
ta’ala karena telah melanggar larangan Allah ta’ala ini. Dan orang yang
bermaksiat tidak pantas disebut wali Allah.[36]
i. Dan juga bukan termasuk syarat sebagai wali Allah yaitu dia harus
memiliki karomah. Namun karomah merupakan tambahan kenikmatan yang Allah
berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dari kalangan para wali-Nya.[37]
j. Dan wali-wali Allah tidak memiliki ciri-ciri yang khusus pada
perkara-perkara mubah yang bisa membedakannya dengan manusia yang lain.[38]
Pakainnya sama, rambutnya sama, dan yang lainnya juga sama. Ciri-ciri wali
tidaklah kembali pada perkara-perkara dunia, namun ciri-ciri wali kembali pada
perkara-perkara akhirat. Oleh karena itu jelas kesalahan sebagian orang
menyangka bahwa ahlu suffah telah mencapai derajat kewalian karena sekedar
sifat mereka yang miskin dan kumuh[39], demikian juga sebagian orang yang
menyangka bahwa ciri-ciri wali adalah orang yang memakai sorban, atau memakai
tongkat, atau membawa selendang hijau, atau ciri-ciri yang lainnya.
Contoh-contoh karomah para wali Allah [40]:
1. Amir bin Fahiroh mati syahid, maka mereka
mencari jasadnya namun tidak bisa menemukannya. Ternyata ketika dia terbunuh
dia diangkat dan hal ini dilihat oleh Amir bin Thufail. Berkata Urwah:”Mereka
melihat malaikat mengangkatnya”[41]
2. Kholid bin Walid ketika mengepung musuh di
dalam benteng yang kokoh, maka para musuhpun berkata :”Kami tidak akan menyerah
sampai engkau meminum racun”, lalu diapun meminum racun namun tidak
mengapa.[42]
3. Sa’ad bin Abi Waqqos adalah orang yang selalu
dikabulkan do’anya. Dan dengan do’anya itulah dia berhasil mengalahkan pasukan
Kisro dan menguasai Iroq.[43]
4. Abu Muslim Al-Khoulani, dia pernah dicari oleh
Al-Aswad Al-‘Anasi yang mengaku sebagai nabi. Lalu Al-Aswad bertanya kepada
beliau :”Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rosul Allah?”, lalu dia
berkata :”Saya tidak dengar”, lalu dia bertanya lagi :”Apakah engkau bersaksi
bahwa Muhammad adalah Rosul Allah?”, beliau menjawab :”Ya”. Lalu disiapkan api
dan beliau dilemparkan ke api. Namun mereka mendapatinya sedang sholat di dalam
kobaran api itu, api itu menjadi dingin dan keselamatan untuknya.[44]
5. Sa’id Ibnul Musayyib, di waktu hari-hari yang
panas, beliau mendengar adzan dari kuburan Nabi ketika tiba waktu-waktu sholat,
dan mesjid dalam keadaan kosong (karena panasnya hari –pent), tidak ada
seorangpun kecuali dia.[45]
6. Uwais Al-Qoroni ketika wafat mereka menemukan
di bajunya ada beberapa kain kafan yang sebelumnya tidak ada, dan mereka juga
menemukan lubang yang digali di padang pasir yang sudah ada lahadnya. Lalu
mereka mengafaninya dengan kefan-kafan teresbut dan menguburkannya di lubang
tersebut.[46]
7. Asid Bin Hudlair membaca surat Al-Kahfi lalu
turunlah bayangan dari langit yang ada semacam lentera dan itu adalah para
malaikat yang turun karena bacaannya.[47] Dan malaikat pernah menyalami Imron
bin Husain radhiyallahu ‘anhu [48]. Salman radhiyallahu ‘anhu dan Abu Darda’
radhiyallahu ‘anhu makan di piring lalu piring mereka bertasbih atau makanan
yang ada pada piring tersebut bertasbih.[49] Abbad bin Bisyr radhiyallahu ‘anhu
dan Asid bin Hudlair radhiyallahu ‘anhu kembali dari Rosulullah pada malam yang
gelap gulita. Maka Allah menjadikan cahaya bagi mereka berdua, dan tatkala
mereka berpisah maka terpisah juga cahaya tersebut.[50]
8. Muthorrif bin Abdillah jika memasuki rumahnya
maka tempayan-tempayannya bertasbih bersamanya.[51] Dia bersama seorang
sahabatnya berjalan di malam hari, lalu Allah menjadikan cayaha untuk mereka
berdua.[52]
9. Ahnaf bin Qois. Ketika dia wafat, tutup kepala
milik seseorang terjatuh di kuburannya. Lalu orang tersebut mengambil topinya,
dan dia melihat kuburan Ahnaf bin Qois telah menjadi seluas mata memandang.[53]
10. Utbah Al-gulam, dia meminta kepada Allah tiga perkara, yaitu suara
yang indah, air mata yang banyak, dan makanan yang diperoleh tanpa usaha. Dan
jika dia membaca Al-Qur’an maka dia menangis dengan air mata yang banyak. Dan
jika dia bernaung di rumahnya dia mendapatkan makanan dan dia tidak tahu dari
manakah makanan tersebut.[54]
Siapakah wali-wali syaithon ?
Allah ta’ala berfirman :
}وَمَن يَعْشُ عَن ذِكْرِ
الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَاناً فَهُوَ
لَهُ قَرِينٌ{ الزخرف : 36
Dan barang siapa yang berpaling dari pengajaran Ar-Rohman, kami
adakan baginya syaithon yang menyesatkan, maka syaithon itulah yang menjadi
teman yang selalu menyertainya. (Az-Zukhruf : 36)
}هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَن تَنَزَّلُ
الشَّيَاطِينُ, َنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ
أَثِيمٍ, يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ{ (الشعراء : 221 -223 )
Apakah akan aku beritahukan kepadamu, kepada siapkah
syaithon-syaithon itu turun ?, mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi
banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithon) itu, dan
kebanyakan mereka adalah pendusta. (As-Syu’aro’ : 221-223)
Contoh-contoh tipuan syaithon
1. Abdullah bin Soyyad. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menguji Ibnu
Soyyad (seorang dukun yang hidup di zaman Nabi yang dia adalah seorang Yahudi).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya :”(Cobalah tebak) aku
menyembunyikan sesuatu (di hatiku)”. Ibnu Soyyad berkata
:”Ad-Dukh…Ad-Dukh..”. Padahal sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sedang menyembunyikan surat Ad-Dukhon. Lalu Nabi berkata kepadanya
:”Cih, engkau tidak mampu melampaui kemampuanmu”[55]. Ibnu Soyyad hampir betul
menebak apa yang ada di hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini adalah
suatu keajaiban, namun dengan bantuan syaithon. Karena seorang yang normal maka
dia tidak akan bisa mengetahui isi hati manusia, bahkan Nabi pun tidak
mengetahui isi hati manusia kecuali yang diberitahu oleh Allah ta’ala. Para
sahabat pun (kecuali Hudzifah, karena dia telah diberitahu oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak mengetahui siapa-siapa saja orang munafik
yang ada bersama mereka. [56]
2. Al-Aswad Al-‘Anasi yang mengaku sebagai nabi. Dia dibantu para syaithon yang
memberitahukan kepadanya tentang perkara-perkara ghoib. Dan tatkala kaum
muslimin memeranginya mereka khawatir para syaithonnya akan mengabarkan kepadanya
apa yang mereka bicarakan tentang dirinya (yaitu bahwasanya dia akan dibunuh
–pent). Namun istrinya sadar akan kekafiran suaminya maka diapun menolong kaum
muslimin.[57]
3. Musailamah Al-Kadzdzab yang juga mengaku sebagai nabi, memiliki
syaithon-syaithon yang memberitahukan perkara-perkara gho’ib kepadanya dan
membantunya melakukan hal-hal yang ajaib[58]. Diantaranya dia pernah meludah di
sumur sehingga air sumur tersebut menjadi melimpah.[59]
4. Al-Harits Ad-Dimasyqi, seorang pembohong besar yang muncul dan mengaku
sebagi nabi di Syam pada zaman khalifah Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 86
H). Al-Harits memiliki kemampuan ajaib. Para syaithonnya melepaskan kedua
kakinya dari belenggu, dan membuatnya kebal senjata, dan batu pualam bisa
bertasbih jika dia sentuh dengan tangannya. Dan dia telah memperlihatkan kepada
manusia sekelompok orang-orang sedang berjalan di udara dan naik kuda terbang
di udara, dia berkata : “Mereka adalah malaikat”, padahal mereka adalah jin.
Dan tatkala kaum muslimin menangkapnya untuk dibunuh, maka ada orang yang
menombaknya di tubuhnya, namun tidak mempan. Maka Abdul Malik berkata kepadanya
:”Engkau tidak menyebut nama Allah”. Lalu orang itu menyebut nama Allah dan
berhasil membunuh Al-harits.[60]
5. Lia ‘Aminuddin, yang mengaku sebagai Imam Mahdi dan mengaku telah didatangi
oleh Jibril. Keajaiban yang ada padanya yaitu dia mampu untuk menyembuhkan
berbagai penyakit. Bahkan dia mengaku adalah seseorang yang memberantas bid’ah
dan kesyririkan[61].
Syubhat-syubhat
Syubhat pertama
Sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada manusia
pada umumnya namun tidak pada manusia-manusia yang khusus yaitu para wali, dan
para wali tersebut tidak butuh kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
mereka memiliki cara tersendiri untuk mencapai Allah ta’ala. Sebagaimana Nabi
Musa tidaklah diutus kepada Nabi Khidir sehingga Nabi Khidir tidak wajib
mengikuti syari’at Musa.[62]
Jawab [63]:
Perkataan ini sebagaimana perkataan kebanyakan para ahlul kitab (Yahudi dan
Nasrani) bahwasanya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada
orang-orang yang tuna aksara bukan kepada mereka. Dan pendalilan dengan kisah
antara Khidir dan Musa adalah tidak tepat, sebab :
a. Kisah yang terjadi antara nabi Musa dan Khidir
hanyalah bisa dijadikan dalil kalau ternyata Khidir adalah seorang wali dan
bukan seorang nabi. Ulama berselisih pendapat tentang status Khidir, ada yang
berpendapat bahwa ia adalah seorang hamba yang sholeh, namun pendapat yang
benar bahwasanya khidr adalah seorang nabi dan bukan seorang wali.
Yang menunjukan bahwa Khidr adalah seorang nabi adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah
فَوَجَدَا عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا
آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ
مِن لَّدُنَّا عِلْماً {65}
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba
Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah
Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (QS. 18:65)
Hal ini menunjukan bahwa Allah telah memberi wahyu kepada Khidir
2. Firman Allah
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ
أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ
مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْداً {66} قَالَ إِنَّكَ لَن
تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً {67} وَكَيْفَ
تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ
تُحِطْ بِهِ خُبْراً {68} قَالَ
سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ
صَابِراً وَلَا أَعْصِي لَكَ
أَمْراً {69} قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي
فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّى
أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْراً
Musa berkata kepada Khidhr:"Bolehkah aku mengikutimu supaya
kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah
diajarkan kepadamu" (QS. 18:66) Dia menjawab:"Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. (QS. 18:67) Dan bagaimana kamu
dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang hal itu" (QS. 18:68) Musa berkata:"Insya Allah kamu akan
mendapatkanku sebagai seorang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam
sesuatu urusanpun". (QS. 18:69) Dia berkata:"Jika kamu mengikutiku,
maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tetang sesuatu apapun, sampai aku
sendiri menerangkannya kepadamu". (QS. 18:70)
Berkata Ibnu Katsir, ((Jika seandainya Khidr adalah seorang wali dan bukan
seorang nabi maka Musa tidak akan berbicara dengan dia seperti ini, dan
tidaklah Khidir menjawab Musa dengan seperti ini. Bahkan Musa hanyalah meminta
kepada Khidr agar menemaninya untuk memperoleh ilmu yang dimilikinya yang Allah
khususkan baginya dan bukan untuk selainnya. Kalau Khidir bukanlah nabi maka ia
tidaklah ma’sum (terjaga dari kesalahan) dan tidaklah Musa -yang ia seorang
nabi yang agung dan seorang rasul yang mulia, yang ma’sum- memiliki keinginan
yang sangat besar dan permintaan yang besar untuk mencari ilmu seorang wali
yang tidak ma’sum. Dan tidaklah ia akan bersungguh-sungguh untuk pergi mencari
Khidir dan menelusurinya meskipun memakan waktu yang lama. Dikatakan bahwa masa
ia mencari Khidr adalah 80 tahun. Kemudian tatkala ia bertemu dengan Khidir
maka Musapun bersikap tunduk kepadanya dan mengagungkannya serta mengikutinya
sebagaimana orang yang ingin mencari faedah dari Khidir. Hal ini (semua)
menunjukan bahwa Khidir adalah seorang nabi seperti Musa yang diberi wahyu
kepadanya sebagaimana diberi wahyu kepada Musa. Dan iapaun telah dikhususkan
dengan ilmu laduuni dan rahasaia-rahasia kenabian yang tidak Allah beritahukan
kepada Musa Al-Kaliim yang merupakan nabi bani Israil yang mulia. ))[64]
3. Ibnu Katsir berkata, ((Khidir memberanikan
diri untuk membunuh anak tersebut, dan tidaklah hal itu dilakukannya kecuali
karena wahyu yang disampaikan kepadanya oleh malaikat pemberi kabar. Dan ini
merupakan dalil tersendiri akan kenabian Khidir dan petunjuk yang jelas akan
kema’sumannya, karena seorang wali tidak boleh baginya untuk membunuh jiwa
manusia hanya dengan sekedar apa yang diilhamkan ke dadanya. Karena perasaan
(yang diilhamkan) kepadanya tidaklah ma’sum, mungkin saja perasaannya itu.
salah Dan ini merupakan hal yang disepakati. Maka tatkala Khidir maju membunuh
anak tersebut yang belum dewasa dengan ilmunya bahwa anak itu jika mencapai
usia dewasa akan membawa kedua orangtuanya kepada kekufuran karena besarnya
kecintaan kedua orangtuanya kepadanya sehingga menyebabkan keduanya
mengikutinya, maka membunuh anak tersebut ada kemaslahatan yang besar yang
lebih daripada dibiarkan hidup demi menjaga kedua orangtuanya dari kekufuran
dan akibat kekufuran. Hal ini menunjukan akan kenabian Khidir dan ia dibantu
oleh Allah dengan kema’sumannya))[65]
4. Berkata Ibnu Katsir, ((Tatkala Khidir
menjelaskan kepada Musa sebab-sebab perbuatannya, dan ia menerangkan hakikat
perkaranya maka ia berkata setelah itu,
رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ وَمَا
فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي {82}
“Sebagai rahmat dari Rabbmu; dan bukanlah aku melakukannya itu
menurut kemauanku sendiri". (QS. 18:82)
Yaitu, “Apa yang telah aku perbuat bukanlah dari perasaanku akan tetapi aku
diperintahkan untuk melakukannya dan diwahyukan kepadaku”
Maka keempat sisi di atas ini menunjukan akan kenabian Khidir, dan hal ini
tidaklah menafikan kewaliannya bahkan tidak menafikan kerasulannya sebagaimana
pendapat yang lain…
Dan jika telah tetap apa yang kami sebutkan maka tidak tersisa dalil dan
sandaran yang bisa dipegang oleh orang yang mengatakan kewalian Khidir
bahwasanya seorang wali terkadang bisa mengetahui hakikat perkara-perkara tanpa
diketahui oleh para pemimpin syari’at yang zhohir (para rasul)…))[66]
b. Kalaulah
memang Khidir adalah seorang wali bukan seorang nabi maka nabi Musa tidaklah
diutus kepada Khidir (tetapi hanya diutus untuk bani Isroil), sehingga Khidir
tidaklah wajib mengikuti nabi Musa ‘alaihissalam.
Oleh karena itu Khidir berkata kepada Musa : “Aku diatas ilmu yang diajarkan
Allah kepadaku yang tidak kau ketahui dan engkau di atas ilmu yang Allah
mengajari engkau yang aku tidak mengetahuinya”[67]. Dan tidak boleh bagi
seorangpun yang sampai kepadanya risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk berkata sebagaimana perkataan Khidir ini.
Adapun Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam risalahnya umum untuk seluruh jin
dan manusia. Bahkan jika ada orang yang lebih mulia dari Khidir (seperti Ibrohim,
Musa, dan Isa) bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia
wajib mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apalagi Khidir jika ia
hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [68] tentu lebih wajib lagi
baginya untuk mengikuti syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ta'ala berfirman dalam surat Ali Imron : 81 :
}وَإِذْ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ
النَّبِيِّيْنَ لَمَا آتَيْتُكُم مِّن
كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءكُمْ رَسُولٌ
مُّصَدِّقٌ لِّمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ
بِهِ وَلَتَنصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ
عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُواْ أَقْرَرْنَا
قَالَ فَاشْهَدُواْ وَأَنَاْ مَعَكُم مِّنَ الشَّاهِدِينَ{
”Dan (ingatlah) tatkala Allah mengambil perjanjian dari
para nabi:”Sungguh apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan
hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang Rosul yang membenarkan apa yang
ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepada Rosul
tersebut dan sungguh-sungguh akan menolongnya”. Allah berfirman :”Apakah kalian
mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu ?”, mereka
menjawab :”Kami mengakui”. Allah berfirman :”Kalau begitu saksikanlah (hai para
nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
فإنه لو كان موسى
حيا بين أظهركم ما
حل له إلا أن
يتبعني
“Sesungguhnya kalau Musa hidup di tengah-tengah kalian maka
tidaklah boleh baginya kecuali mengikuti aku”[69]
Berkata Ibnu Katsir, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup
para nabi selamanya hingga hari kiamat, dan dia adalah Imam yang teragung yang
seandainya jika ia hidup di zaman kapan saja maka yang wajib adalah
mendahulukan ketaatan kepadanya di atas ketaatan kepada seluruh nabi-nabi yang
lain. Oleh karena itu Nabilah yang mengimami mereka tatkala malam isro’ mi’roj
tatkala para nabi berkumpul di baitul maqdis. Dan ia juga (satu-satunya)
pemberi syafa’at di padang mahsyar agar Allah datang untuk memutuskan perkara
diantara hamba-hambaNya, dan ia adalah Al-Maqoom Al-Mahmuud yang tidak pantas
kecuali untuk beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam”[70]
c. Apa yang telah dilakukan oleh Khidir[71] tidaklah menyelisihi syari’at Musa.
Musa tidaklah mengetahui sebab yang membolehkan hal-hal itu. Dan ketika Khidir
menjelaskan sebab-sebab tersebut Musa menyetujuinya. Sehingga berkata Ibnu
Abbas kepada Najdah Al-Harwari ketika dia bertanya kepada Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu tentang membunuh anak-anak kecil: إن كنت
علمت منهم ما علمه
الخضر من ذلك الغلام
فاقتلهم، وإلا فلا تقتلهم
“Jika kamu mengetahui anak-anak tersebut sebagaimana yang diketahui oleh Khidir
tentang anak kecil (yang dibunuhnya) maka bunuhlah mereka, dan jika tidak maka
jangan.”[72]
Berkata Ibnu Taimiyah dalam Al-Furqon, ((Sebagaimana dintara orang-orang kafir
ada yang mengaku-ngaku bahwasanya ia adalah wali Allah padahal ia bukan wali
Allah namun sebaliknya ia adalah musuh Allah maka demikian juga hal
ini terdapat diantara orang-orang munafik yang menampakan Islam dan
menampakkan pembenaran syahadatain dan menampakan bahwa mereka mengakui bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk seluruh manusia bahkan untuk
seluruh jin dan manusia padahal di dalam batin mereka berkeyakinan yang
sebaliknya (maksud beliau adalah orang-orang yang mengaku wali namun tidak mau
mengamalkan syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -pen), contohnya
- Mereka meyakini bahwa
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah seorang utusan Allah, ia
hanyalah seorang raja yang ditaati yang mengatur manusia dengan
kepandaiannya sebagaiamana raja-raja yang lain.
- Atau mereka berkata
bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah diutus kepada
ummiyin (orang-orang yang tuna aksara) dan tidak diutus kepada ahli kitab
sebagaimana yang didengungkan oleh kebanyakan orang-orang Yahudi dan Nasrani,
- Atau ia diutus untuk
seluruh manusia namun Allah memiliki wali-wali khusus yang Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah diutus kepada mereka, dan para wali itu tidak butuh
kepadanya bahkan mereka memiliki jalan untuk menuju kepada Allah tanpa melalui
jalannya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mereka (para wali)
mengambil langsung dari Allah apa saja yang mereka butuhkan untuk dimanfaatkan
tanpa melalui perantara
- Atau Muhammad itu diutus
dengan syari’at yang dzhohir dan mereka (para wali) menyetujuinya dalam hal
ini, adapun hakikat yang batin maka ia tidak diutus dengan hakikat batin, atau
mereka mengatakan bahwa mereka lebih paham tentang hakekat batin, atau mereka
mengatakan bahwa mereka mengerti hakekat batin sebagaimana Muhammad
mengetahuinya hanya saja mereka mengetahuinya tanpa melalui jalannya, atau ia
tidak mengetahui hakekat batin.
Sebagian mereka berkata bahwasanya ahlus suffah[73] (penghuni suffah) mereka
tidak butuh kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah diutus kepada mereka, dan diantara mereka ada yang
berkata bahwasanya Allah memberi wahyu kepada ahlus suffah di batin mereka
berupa apa yang diwahyukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu
malam mi’roj (dinaikkan ke sidratul muntaha) maka jadilah ahlus suffah
kedudukannya seperti kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka yang
mengatakan demikian sungguh terlalu bodoh karena tidak mengetahui bahwasanya
isro’ mi’roj terjadi tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekah
sebagaimana firman:
}سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ
لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ
هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ{ (الاسراء:1)
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran
Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. 17:1)
Mereka juga tidak tahu bahwasanya suffah itu adanya di Madinah yaitu di utara
masjid Nabawi yang ditempati oleh orang-orang yang asing yang tidak memiliki
keluarga atau sahabat yang bisa ditinggali oleh mereka. Kaum mukminin mereka
berhijroh ke Madinah maka barangsiapa yang memungkinkan bagi mereka untuk
tinggal di suatu tempat maka di situlah ia tinggal dan barangsiapa yang tidak
bisa maka ia tinggal di masjid Nabawi hingga mendapatkan tempat tinggal. Dan
bukanlah ahlus suffah adalah orang-orang tertentu yang selalu tinggal di suffah
namun jumlah mereka terkadang sedikit dan terkadang banyak, seseorang tinggal
di situ pada waktu tertentu kemudian meninggalkan tempat tersebut.
Para penghuni suffah mereka sama juga seperti kaum mukminin yang lainnya,
mereka tidak memiliki keutamaan (kelebihan) khusus dalam bidang ilmu atau agama
bahkan diantara mereka ada yang murtad (keluar) dari agama Islam dan dibunuh
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaiamana “Uroniyyiin” yang tidak
betah tinggal di Madinah maka Nabi memerintah mereka untuk mencari onta yang
ada susunya dan memerintah mereka untuk meminum susunya dan air kencingnya.
Tatkala mereka sehat mereka membunuh penggembala onta tersebut dan membawa lari
beberapa onta maka Nabipun mengutus pelacak untuk melacak jejak mereka lalu
merekapun tertangkap dan dibawa di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah untuk memotong tangan-tangan
dan kaki-kaki mereka dan mata-mata mereka di biarkan terbuka lalu mereka dijemur
di bawah terik matahari dan mereka meminta minum namun tidak diberi minum.
Hadits tentang kisah mereka terdapat di shahihain (Bukhari dan Muslim) dari
hadits Anas dan dalam hadits tersebut disebutkan bahwasanya mereka menghuni
suffah[74], maka mereka juga menetap di suffah sebagaimana para penghuni yang
lainnya. Dan suffah juga pernah ditinggali oleh seorang diantara kaum muslimin
yang terbaik yaitu Sa’ad bin Abi Waqqosh dan ia adalah orang terbaik yang
pernah tinggal di suffah kemudian ia berpindah dari suffah tersebut. Demikian
juga pernah ditinggali Abu Huroiroh dan yang lainnya….
Adapun kaum Anshor mereka tidak termasuk penghuni suffah, dan demikian juga
para sahabat senior seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Tolhah, Az-Zubair,
Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu dan para sahabat yang
lain, mereka bukanlah termasuk penghuni suffah. Dan diriwayatkan bahwa Budak
milik Al-Mugiroh bin Syu’bah (yaitu yang telah membunuh Umar bin
Al-Khothtob-pen) juga pernah tinggal di suffah. Dan diriwayatkan juga bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentangnya, “Ini (Budak Mugiroh)
adalah termasuk dari yang tujuh”, dan ini adalah hadits palsu berdasarkan
kesepakatan para ulama meskipun diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitabnya
Al-Hilyah, dan demikian juga semua hadits yang berkaitan dengan jumlah para
wali, atau abdal, atau nuqoba’, atau autaad, aqtoob.....
Maksud dari pembicaraan ini ada di antara orang-orang yang pada dzhohirnya
(tampak luarnya) mengakui risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
seluruh umat manusia namun di dalam batin mereka meyakini perkara-perkara yang
membatalkan pengakuan dzohir mereka, dan mereka mengaku-ngaku bahwa mereka
adalah para wali Allah padahal mereka menyimpan kekufuran di dalam batin
mereka…sebagaimana banyak dari orang-orang Yahudi dan Nashrani yang
mengaku-ngaku bahwa mereka adalah wali-wali Allah dan mereka meyakini bahwa
Muhammad adalah utusan Allah namun mereka berkata, “Muhammad hanyalah diutus
untuk selain ahlul kitab dan tidak wajib bagi kami untuk mengikutinya karena
telah diutus kepada kami rosul sebelum dia”…))
Beliau juga berkata, ((Harus terdapat dalam keimananmu bahwasanya engkau
beriman bahwa Muhammad adalah penutup para nabi dan Allah telah mengutusnya
untuk seluruh manusia dan jin, maka siapa saja yang tidak beriman dengan apa
yang dibawa oleh Muhammad maka ia bukanlah seorang mukmin, apalagi termasuk
wali-wali Allah yang bertakwa. Barangsiapa yang beriman dengan sebagian yang
dibawanya dan kafir kepada sebagian yang lain maka ia adalah orang kafir dan
bukan odrang mukmin sebagaimana firman Allah
}إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ
اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ
ذَلِكَ سَبِيلاً أُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُونَ حَقًّا
وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ
وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ
أُوْلَئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا{
(النساء : 152-150)
Sesungguhnya orang-orang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya,
dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya,
dengan mengatakan:"Kami beriman kepada yang sebahagian dan kafir terhadap
sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil
jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang
yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan
para Rasul-Nya dan tidak membedakan seorangpun di antara mereka, kelak Allah
akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (QS. 4:150-152)
Dan termasuk iman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu
mengimani bahwa ia adalah perantara antara Allah dan makhluk-makhlukNya dalam
menyempaikan perintahNya dan laranganNya, janji dan ancamanNya, perkara-perkara
yang dihalalkan dan diharamkanNya. Maka perkara yang halal adalah apa yang
dihalalkan oleh Allah dan RasulNya dan yang haram adalah apa yang diharamkan
oleh Allah dan RasulNya, dan agama adalah apa yang disyari’atkan oleh Allah dan
RasulNya, maka barangsiapa yang meyakini bahwa seorang wali memiliki jalan
menuju Allah selain jalan yang ditempuh oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam maka ia adalah orang kafir dan termasuk wali-wali syaitan…))
Beliau juga berkata, ((Kalau seseorang telah mencapai tingkatan dalam zuhud,
ibadah, dan ilmu dalam tingkatan yang tinggi namun ia tidak beriman dengan
seluruh apa yang dibawa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia bukanlah
orang yang beriman, dan bukan wali Allah sebagaimana kondisi para rahib dan
pendeta yaitu ulama dan para ahli ibadah dari kalangan Yahudi dan Nashrani…dan
ia adalah orang kafir dan musuh Allah meskipun sekelompok orang menyangka bahwa
ia adalah wali Allah))
Syubhat kedua
Mereka (para wali syaithon) menganggap bahwa mereka mendapat wahyu langsung
dari Allah -sebagaimana yang diserukan oleh Ibnu Arobi-, dan
bahwasanya mereka lebih baik dari para nabi yang mengambil ilmu dari Allah
melalui perantara. Mereka berkata :”Kenabian telah berakhir dengan wafatnya
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan kewalian belum berakhir[75].
Dan yang paling terakhir adalah yang lebih baik dari yang sebelumnya”.
Jawab :
Ini adalah pemikiran sesat Ibnu Arobi yang sama sekali tidak bersandar kepada
dalil. Ketika dia mengetahui bahwa syari’at ini sudah tidak bisa dirubah lagi
hingga hari kiamat, (dan dia ingin keluar dari syari’at) maka dia berkata
:”Kenabian telah tertutup, tetapi kewalian belum”, dan dia menganggap bahwa
kewalian lebih tinggi derajatnya dari pada kerosulan dan kenabian, sebagaimana
dia berkata :
مَقَامُ النبوة في برزخٍ
فويق الرسول و دون
الولي
Kedudukan kenabian berada di barzakh (pemisah antara dua dzat)[76], sedikit di
atas (kedudukan) Rosul dan dibawah (kedudukan) Wali
Hal ini tentunya pemutarbalikan syari’at. Seharusnya kenabian lebih khusus dari
kewalian dan kerosulan lebih khusus daripada kenabian. Sehingga kedudukannya
adalah kerosulan lebih tingi daripada kenabian dan kenabian lebih tinggi
daripada kewalian.[77] Berkata Imam Abul ‘Izz Al-Hanafi :”Maka siapakah yang
lebih kafir dari memisalkan dirinya dengan sebuah bata emas dan memisalkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bata perak, lalu dia menjadikan dirinya
lebih tinggi daripada Nabi,…….bagaimana bisa samar kekufuran dari perkataannya
(Ibnu Arobi) ini ?…..dan kekufuran Ibnu “Arobi lebih parah dari kekufuran
orang-orang yang berkata : “Tidaklah kami beriman hingga kami diberikan apa
yang diberikan kepada Rosulullah” (Al-An’am : 124)”[78]
Syubhat ketiga
Kami tidak usah menjalankan syari’at karena Allah ta’ala telah bersatu dengan
kami para hambanya yang sholih. Bukankah Allah ta’ala berkata dalam hadits
qudsi :
وَ مَا يَزَالُ عَبْدِي
يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ, فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ
سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ
وَ بَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ يِهِ
وَيَدَهُ الَّتِي يَبْشِطُ بِهَا
وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا,
وَلَئِنْ سَأَلَنِي لأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيْذَنَّهُ
Dan hamba-Ku senantiasa bertaqorrub (mendekatkan dirinya)
kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya.
Apabila Aku mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengar
dengannya, dan penglihatannya yang dia melihat dengannya, dan tangannya yang
dia memukul dengannya, dan kakinya yang dia berjalan dengannya, dan jika dia
meminta kepada-Ku maka akan aku berikan, dan jika dia meminta perlindungan
kepada-Ku maka aku akan melindunginya.[79]
Jawab : Dzohir hadits ini adalah bukanlah Allah
ta’ala menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangannya, dan kakinya,
tetapi dzohirnya adalah Allah ta’ala meluruskan (memberi petunjuk) kepada
penglihatan, pendengaran, tangan dan kakinya, sehingga apa yang dilakukan oleh
hamba tersebut selalu dibimbing oleh Allah ta’ala. Adapun makna yang batil di
atas adalah tidaklah mungkin, sebab :
a. Ini merupakan aqidah wihdatul wujud
(manunggaling kawulo gusti) yang sesat[80] karena bertentangan dengan ayat-ayat
Al-Qur’an yang muhkam (jelas) yang tidak bisa lagi dipalingkan lagi maknanya.
b. Hadits ini menunjukan bahwa syarat seseorang
menjadi wali Allah yang sejati adalah ia harus melaksanakan perkara-perkara
syair’at yang merupakan kewajibannya, bahkan tidak cukup hanya sampai di situ
bahkan ia harus melaksanakan perkara-perkara sunnah (mustahab) sehingga
Allahpun mencintainya. Dan demikianlah keadaan wali Allah yang sejati sepanjang
hidupnya sehingga Allah senantiasa mencintainya Hadits ini sama sekali tidaklah
menunjukan bahwa jika seseorang telah mencapai derajat kewalian (dicintai oleh
Allah) maka ia boleh meninggalkan syari’at bahkan hadits ini menunjukan yang
sebaliknya, yaitu seorang wali senantiasa banyak beribadah dengan
perkara-perkara yang wajib dan yang sunnah. Dan praktek penghulu para wali
(yaitu Rasulullah r) senantiasa beribadah hingga akhir hayatnya. Bahkan beliau
meskipun sakit-sakitan hingga pingsan berulang-ulang beliau tetap berusaha
untuk melaksanakan sholat secara berjama’ah[81].
c. Barang siapa yang memperhatikan hadits
ini dengan baik maka dia akan faham tentang batilnya aqidah wihdatul wujud ini.
Dalam hadits ini Allah ta’ala menetapkan adanya hamba (yang beribadah)[82] dan
ma’bud (yang diibadahi), yang mendekat (bertaqorrub) dan yang didekati
(ditaqorrubi), yang dicintai dan yang mencintai, yang meminta dan yang memberi,
yang meminta perlindungan dan yang memberi perlindungan. Maka hadits ini
menunjukan adanya dua dzat yang berbeda, yang satu bukan yang lainnya. Dan
bukan pula yang satu merupakan sifat atau bagian dari yang lainnya.
d. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, tangan,
dan kaki si wali semuanya adalah sifat-sifat atau bagian-bagian pada makhluk
yang baru tercipta yang sebelumnya belum ada (belum tercipta). Maka tidak
mungkin bagi siapa saja yang berakal untuk memahami bahwa pencipta yang awal
(yaitu Allah) yang tidak ada sebelum Dia sesuatupun, akan menjadi pendengaran,
penglihatan, tangan, dan kaki makhluk. Bahkan hal seperti inipun sulit untuk
dibayangkan kalaupun kita anggap benar.[83]
Perbedaan antara karomah wali Allah dan tipuan wali syaithon
1. Bahwa
karomah para wali tersebut disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan. Sedangkan
keajaiban dan keluarbiasaan lain yang merupakan bantuan syaithon disebabkan
oleh hal-hal yang merupakan larangan Allah ta’ala dan Rosulullah[84]. Jadi
apabila di dalamnya mengandung unsur-unsur yang disenangi oleh syaithon, baik
itu kemusyrikan, kedzoliman, atau kebid’ahan, maka jelas yang terjadi pasti
bukan karomah.
2. Karomah
tidak bisa dibatalkan dengan bacaan-bacaan apa saja dan tidak bisa dilawan.
Sedangkan kejadian-kejadian luar biasa lain yang merupakan bantuan syaithon
bisa dibatalkan dengan bacaan-bacaan ayat-ayat Allah seperti ayat kursi dan
lain-lain
3. Karomah
tidak bisa dipelajari sehingga menjadi suatu ilmu kedigdayaan yang baku.
Sedangkan kejadian-kejadian luar bisa yang berasal dari syaithon bisa dipelajari.[85]
Sebagaimana karomah-karomah yang telah dimiliki oleh para salaf, tidak ada satu
atsarpun yang menunjukan bahwa mereka pernah mengajarkan karomah mereka kepada
orang lain. Sebagaimana Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau tidak pernah
mengajarkan karomahnya kepada orang lain, kerena memang tidak bisa diajarkan.
4. Karomah
pada umumnya tidak bisa dilakukan terus menerus, tetapi terjadi sesuai kehendak
Allah bukan berdasarkan kehendak Wali yang mendapatkan karomah tersebut.
Pengetahuan tambahan :
1. Seluruh orang yang beriman adalah wali-wali Allah. Dan wali-wali yang paling
mulia adalah para Nabi. Dan para Nabi yang paling mulia adalah para Rosul. Dan
para Rosul yang paling mulia adalah para Rosul yang lima (Ulul ‘Azmi), dan
diantara Ulul ‘Azmi yang paling mulia adalah Nabi Muhammad.[86]
2. Persamaan dan perbedaan
antara Mu’jizat dan karomah.
a. Persamaannya : Mu’jizat dan karomah
sama-sama merupakan hal yang ajaib yang luar biasa (yang tidak bisa dilkukan
olah orang biasa) yang Allah berikan kepada para hambanya.
b. Perbedaannya [87]:
e. Mu’jizat hanya berlaku pada para nabi
dan rosul, adapun karomah pada para wali.
f. Mu’jizat diperoleh dengan
kenabian, adapun karomah diperoleh dengan ketaqwaan.
g. Karomah kedudukannya lebih rendah
daripada mu’jizat.
h. Akibat dari mu’jizat adalah baik, adapun efek
samping dari karomah belum tentu.[88]
i. Pemilik mu’jizat (yaitu para Nabi
dan Rosul) menantang orang-orang yang menyelisihinya, adapun pemilik karomah
tidak demikian.
3. Kita harus mengakui adanya karomah, tidak sebagaimana mu’tazilah yang
mengingkari karomah dan berkata :”Kalau kita mengakui karomah, maka akan sama
wali dengan Nabi”, oleh karena itu kami mengingkari karomah dan juga
mengingkari hakikat sihir. Namun ini tidaklah benar sebab orang yang memiliki
karomah tidaklah mengaku bahwa dia adalah seorang Nabi.[89]
4. Hukum tenaga dalam, jika diatasnamakan Islam (biasanya dicampur dengan
dzikir-dzikir asma Allah) maka harom. Kalau mereka menyatakan bahwa apa yang
mereka lakukan adalah untuk beribadah kepada Allah, maka kita katakan bahwa ini
adalah bid’ah sebab kenapa harus menggunakan tata cara dan gerakan-gerakan
khusus yang tidak pernah diajarkan oleh Allah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan tidak ada dalil sama sekali bahwa dengan bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan
khusus yang mereka lakukan bisa mengahasilkan tenaga dalam. Kalau mereka
mengatakan tujuan mereka untuk beribadah dan untuk mempeoleh kekuatan, maka
kita katakan bahwa mereka telah melakukan kesyirikan sebab niat ibadah mereka
selain untuk Allah juga untuk hal yang lain.[90]
Selain itu perkatek-praktek tenaga dalam yang ada menyelisihi syari’at
diantaranya :
a. Latihannya harus menggunakan emosi,
padahal Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang seseorang untuk
emosi, beliau bersabda :
لا تغضب فردد مرارا
لا تغضب
“Janganlah engkau marah”, Rosulullah mengulanginya beberapa kali
“Janganlah engkau marah”
Rahasia mereka (yang latihan tenaga dalam) harus marah sebab dengan marah
tersebut syaithon bisa masuk dalam tubuh mereka sehingga bisa memberi kekuatan
untuk tenaga dalam mereka. Sebagaimana sabda Rosulullah :
إن الشيطان يجري من
بني آدم مجرى الدم
Sesungguhnya syaithon mengalir dalam tubuh manusia sebagaimana
aliran darah. (Riwayat Bukhori)
b. Ketika latihan, mereka sering tidak sadar,
terutama ketika sedang memprkatekkan jurus mereka. Hal ini sama saja dengan
sengaja membuat diri menjadi tidak sadar (alias mabuk), dan hal ini tidak boleh
dalam Islam, sebab Islam menganjurkan kita untuk senantiasa menjaga akal kita
sehingga bisa senantiasa berdzikir kepada Allah.
c. Kadang disertai dengan puasa mutih
(tidak boleh makan kecuali yang putih-putih), yang ini tidak ada syari’atnya
dalam Islam. Atau untuk menjaga ilmunya dia harus menghindari
pantangan-pantangan tertentu yang sebenarnya hal itu dihalalkan baginya sebelum
dia memiliki ilmu tenaga dalam tersebut. Dan ini berarti mengharamkan sesuatu
yang dihalalkan oleh Allah.
Mencari karomah (kesaktian) tidaklah disyari’atkan
Dalam beribadah hendaknya kita berniat karena Allah bukan karena untuk mencari
karomah (karena sama sekali tidak ada dalil yang menunjukan bahwa seorang
mukmin harus mencari karomah/kesaktian dan keajaiban). Bahkan beribadah dalam
rangka untuk memperoleh kesaktian merupakan bentuk beribadah karena ingin
memperoleh dunia yang diharamkan oleh Allah[91].
Allah berfirman:
}مَّن كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ
عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا
نَشَاء لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ
جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا
مَذْمُوماً مَّدْحُوراً{ (الإسراء : 18 )
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami
segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami
kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam
keadaan tercela dan terusir. (QS. 17:18)
}مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ
فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ
يُبْخَسُونَ، أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي
الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ
مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا
كَانُواْ يَعْمَلُونَ{ (هود : 15-16 )
Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya,
niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan
sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang
tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa
yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka
kerjakan. (QS. 11: 15-16)
Namun yang Allah perintahkan
hendaknya seorang mukmin berusaha untuk beristiqomah. Bahkan Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan penghulu dan pemimpin para wali
bahkan pemimpin para nabi dan rasul telah diperintahkan oleh Allah untuk
beristiqomah. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam
}فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن
تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ
إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ{
(هود : 112 )
Maka istiqomahlah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan. (QS. 11:112)
Berkata Ibnu Abil ‘Izz, “Mereka tidak mengetahui bahwasanya pada hakekatnya
yang namanya karomah itu adalah melazimi keitiqomahan, dan bahwasanya Allah
tidaklah memuliakan seorang hamba dengan memberikannya sebuah karomah yang
lebih mulia daripada menjadikannya sesuai dengan apa yang dicintaiNya dan
diridhoiNya yaitu taat kepadaNya dan taat kepada rasulNya, loyal kepada para
walinya dan memusuhi musuh-musuhNya”[92]
Berkata Abu Ali Al-Jaurjani : “Jadilah engkau orang yang mencari keistiqomahan,
jangan menjadi pencari karomah. Sesungguhnya jiwamu bergerak (berusaha) dalam
mencari karomah padahal Rob engkau mencari keistiqomahanmu”.[93]
Berkata Syaikh As-Sahrowardi :”Ucapan ini adalah prinsip yang agung dalam
perkara ini, karena sesungguhnya banyak mujtahid dan ahli ibadah mendengar
salaf as-sholih, telah diberi karomat-karomat dan hal-hal yang luar biasa
sehingga jiwa-jiwa mereka (para ahli ibadah itu) senantiasa mencari sesuatu
dari hal itu (karomah tersebut), dan mereka ingin diberikan sedikit dari hal
itu, dan mungkin diantara mereka ada yang hatinya prustasi dalam keadaan
menuduh dirinya bahwa amal ibadahnya tidak sah karena tidak mendapatkan
karomah. Kalau mereka mengetahui rahasia hal itu (yaitu Allah tidak menuntut
para hambanya untuk memperoleh karomah, tetapi yang Allah inginkan para
hambanya beristiqomah –pent) tentu perkara ini (mencari karomah) adalah perkara
yang rendah bagi mereka”[94].
Keadaan orang-orang yang memiliki karomah :
- Bertambah derajatnya
karena apa yang dilakukannya merupakan ketaatan dan yukur kepada Allah
- Semakin rendah
derjatnya karena dia menggunakan karomahnya untuk bermaksiat kepada Allah.
(Misalnya dia sombong dengan karomah yang pernah dia alami, atau dia merasa
telah bertaqwa dan yakin masuk surga dengan karomahnya itu).
Contohnya yang terjadi pada Bal’aam bin Ba’uuroo. Beliau termasuk ahli ibadah
di zaman bani Israil. Ia memiliki karomat, tidaklah ia meminta sesuatu kepada
Allah kecuali Allah mengabulkannya. Maka kaumnyapun mendatanginya dan
memintanya agar berdoa keburukan atas nabi Musa dan kaumnya. Maka setelah
kaumnya merayu-rayunya dan memaksanya akhirnya iapun memenuhi permintaan
kaumnya maka Allahpun mencabut karomahnya tersebut[95].
Contoh yang lain adalah Lia Aminudiin yang konon kabarnya ia dahulu bisa
menyembuhkan penyakit dengan membaca surat Al-Fatehah, akhirnya lama kelamaan
iapun di datangi jin yang mengaku Jibril, akhirnya sekarang ia sesat dan
menyesatkan.
- Tidak bertambah dan
tidak pula berkurang kebaikan-kebaikannya. Jadilah karomahnya seperti perkara
yang mubah.[96]
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 6 Syawwal 1426 H ( 10
November 2005 M)
Disusun oleh Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja As-Soronji
Daftar Pustaka :
1. Shahih Al-Bukhori, tahqiq DR Mushthofa Dib
Al-Bagho, terbitan Dar Ibni Katsir
2. Shahih Muslim, tahqiq Muhammad Fu’ad Abdil
Baqi, terbitan Dar Ihya At-Turots Al-‘Arobi
3. Sunan Abu Dawud, tahqiq Muhammad Muhyiddin
Abdilhamid, terbitan Darul Fikr
4. Sunan At-Thirmidzi, tahqiq Ahmad Muhammad
Syakir dan yang lainnya, Dar Ihya’ At-Turots, Beiruut
5. Sunan Ibnu Majah, tahqiq Muhammad Fu’ad Abdul
Baaqi, Darul Fikr Beiruut
6. Al-Ihsan fi taqriib Shahih Ibn Hibban, karya
al-Amin ‘Ala-uddin al-Farisi, tahqiq Syu’aib al-Arna-uth, cetakan kedua,
Mu-assasah ar-Risalah
7. Shahih Ibni Khuzaimah, tahqiq DR Muhammad
Musthofa Al-A’dzomi, Al-Maktab Al-Islami
8. Musnad Imam Ahmad, terbitan Maimaniah
9. Mushonnaf Ibni Abi Syaibah, tahqiq Kamal
Yuusuf Al-Huut, Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh
10. Fathul Baari, Ibnu Hajar Al-‘Asqolaani, tahqiq Muhibbuddin
Al-Khoyhiib, Darul Ma’rifah (Beiruut)
11. Al-Furqon baina auliyaurrohman wa auliyaussyaithon, karya Ibnu taimiyah,
tahqiq Fawwaz Ahmad Zamarli, terbitan Darul Kutub Al-‘Arobi
12. At-Ta’liqoot Al-Hisaan ‘alal Furqon, dari ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh.
13. Syarah Al-Ushul As-Sittah, karya Syaikh Utsaimin
14. Al-Qowa’id Al-Mutsla, karya Syaikh Utsaimin, tahqiq Abu Muhammad Asyrof bin
Abdil Maqsud, terbitan Adlwa’ As-Salaf.
15. Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah, karya Abul ‘Izz Al-Hanafi, tahqiq DR Abdul
Muhsin At-Turki dan Syu’aib Al-Arnauth, cetakan pertama Muassasah Ar-Risaalah
16. Ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh Sayrah Matan Al-Aqiidah At-Thohawiyah,
17. Taqdiis Al-Asykhoosh fil fikri As-Suufii, Muhammad Ahmad Luuh, cetakan
pertama, Dar Ibnul Qoyyim
18. Majalah As-Sunnah 03/III/1418
19. Al-Jadawil Al-Jami’ah
20. Adhwa’ul bayan karya Syaikh Asy-Syingqithi, Darul Fikr
21. Tafsir Ibnu Katsir, terbitan Darul Fikr
22. Al-Bidaayah wan Nihaayah, Ibnu Katsiir, Maktabatul Ma’aariif Beiruut
23. Tafsir At-Thobari, terbitan Darul Fikr
24. Ad-Dur Al-Manstuur, As-Suyuthi, Darul Fikr Beiruut
25. Abjadul ‘Ulum, Siddiiq bin Hasan Al-Qonuuji, tahqiq Abduljabbar
Zakkar, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah
26. At-Ta’aariif, Al-Munaawii, tahqiq DR Muhammad Ridwan Ad-Dayah,
cetakan pertama, Darul Fikr Al-Mu’aashir
27. Al-‘Ilal Al-Mutanaahiyah, Ibul Jauzi, tahqiq Kholil Al-Miis, cetakan
pertama Darul Kutub Al’Ilmiyah
28. An-Nihaayah fi ghoriibil hadits wal Atsar, Ibnul Atsiir, tahqiq Tohir Ahmad
Az-Zaawi dan Mahmuud Muhammad At-Thonaahi, Daru Kutub Al-‘Ilmiyah
29. Ghoriibul Hadits, Ibnul Jauzi, tahqiq DR Abdul Mu’thi Amiin Al-Qol’aji,
cetakan pertama, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah
30. Lisaanul ‘Arob, Ibnu Manzhur, Dar Shodir
31. Majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyah no 54
[1] Seperti film sunan Kalijaga, yang digambarkan bahwa beliau memperoleh
derajat sunan setelah bertapa di pinggir sungai selama waktu yang lama,
sehingga tubuh beliau tertimbun dengan tanah karena saking lamanya. Jelas ini
merupakan kekufuran!!!, Apakah derajat kewalian bahkan derajat sunan bisa
diperoleh dengan meninggalkan kewajiban yang paling asasi yaitu sholat selama
waktu yang lama karena bertapa di pinggir kali???,. Apakah para sahabat Nabi r
yang dipuji oleh Allah, yang sebagian mereka telah dijamin masuk surga demikian
cara ibadah mereka??. Seandainya kaum muslimin di Indonesia mengikuti cara
sunan Kalijaga sebagaimana di film yaitu bertapa dipinggir kali hingga waktu
yang lama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, dalam rangka memperoleh
derajat kewalian maka saya rasa mereka semua akan mati bunuh diri karena tidak
makan dan minum selama berminggu minggu. Kemudian film-film seperti inilah yang
semakin menjauhkan orang-orang kafir yang dari agama Islam, karena mereka
menyangka iniliah ajaran Islam yang penuh dengan keanehan dan kedunguan serta
kemunduran.
[2] Al-Furqon hal 25
[3] Lihat pula surat-surat Al-Maidah :51-56, Al-Kahfi : 44, Al-Kahfi : 50, Ali
Imron : 173-175
[4] Al-Ushul As-sittah hal 173
[5] Al-Furqon hal 31
[6] Al-Ushul As-Sittah hal 171,172
[7] HR Abu Dawud 4/140 (dan ini adalah lafal dari Abu Dawud), Ibnu Majah
1/658, Ibnu Hibban 1/356, Ibnu Khuzaimah 4/348
[8] Al-Mukaasyafah adalah kemampuan untuk menjelaskan hakikat sesuatu tanpa
membutuhkan kepada pengamatan terhadap dalil-dalil (At-Ta’aariif I/672)
Ilmu Al-Mukaasyafah dinamakan juga dengan ilmu batin yaitu suatu ibarat tentang
cahaya yang nampak di hati tatkala hati disucikan dan dibersihkan dari
sifat-sifat yang tercela. Yang dengan cahaya tersebut terungkaplah banyak
perkara…(Abjadul ‘Ulum II/517)
Dan yang dimaksud dengan mukaasyafah menurut orang-orang sufi yaitu dibukanya
tabir hal-hal yang ghoib.
[9] Syarah Al-Aqiidah At-Thohaawiyah II/776
[10] Syarah Al-Aqiidah At-Thohaawiyah II/773
[11] HR Ibnu ‘Asakir dalam Tarikhnya 43/533, lihat takhrijnya dalam syarah
al-aqiidah at-Thohawiyah II/773 dan Al-‘ilal Al-Mutanaahiyah II/934-935. Lihat
Dho’iiful Jami’ no 2959
Peringatan, kalaupun hadits ini benar maka makna balh dalam hadits ini bukanlah
maknanya adalah orang-orang dungu, namun maknanya adalah orang-orang yang lalai
dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah (An-Nihayah fi ghoriibil Hadits IV/283,
Lisaanul ‘Arob XIII/477). Berkata Al-Azhari, “Mereka adalah orang-orang yang
tabi’atnya diciptakan di atas kebaikan dan tidak mengenal keburukan” (Goriibul
Hadits Ibnul Jauzi I/87)
[12] Syarah Al-Aqiidah At-Thohaawiyah II/774
[13] HR Al-Bukhari no 3069, 4902, 6083, 6180 Muslim no 2737 dan At-Thirmidzi no
2602, 2603
[14] HR Abu Dawud 4/140 (dan ini adalah lafal dari Abu Dawud), Ibnu Majah
1/658, Ibnu Hibban 1/356, Ibnu Khuzaimah 4/348
[15] Lihat pembahasan Syaikh Sa'd Nida dalam majalah Jami'ah Islamiyah no 54,
hal 123-131
[16] Syarh Al-Aqiidah At-Thohawiyah II/774
[17] Dan praktek seperti ini ada di Indonesia sebagaimana penulis pernah
berdialog dengan sebagian orang yang pernah mengikuti sebagian
thoriqon-thoriqot sufiyah
[18] Dari At-Ta’liqoot Al-Hisaan ‘alal Furqon
[19] Al-Furqon hal 71, Al-Ushul As-Sittah hal 175
[20] Al-Furqon hal 82
[21] Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, ((مُحَدَّث
yaitu مُلهَم (diberi
ilham) maka dilemparkan kebenaran dalam hatinya maka iapun menangkapnya.
Diungkapkan dengan lafal مُحَدَّث
(yang diajak bicara) karena pelakunya merasa ia telah diajak bicara dengan
kebenaran tersebut, maka yang terjadi seakan-akan ada seseorang yang berbicara
dengannya dalam batinya dan berkata ini dan itu.))
[22] Riwayat Bukhori no 3469 dan Muslim no 2398
[23] Riwayat Abu Dawud no 2962 dishahihkan oleh syaikh Al-Albani
[24] Riwayat At-Thirmidzi no 3686, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani
[25] Riwayat Bukhori no 3198, dan Muslim no 1610
[26] HR Al-Bukhari III/1199 no 3120, III/1347 no 3480, V/2259 no 5735, Muslim
IV/1863 no 2396
[27] Al-Furqon hal 86,87
[28] Riwayat Bukhori no 2732, 2732,
Lihat kisah jalannya perundingan Hudaibiyah secara lengkap pada HR Al-Bukhari
no 2731,2732, Kitab As-Syurut. Secara ringkas kejadiannya sebagai berikut:
Nabi r bersama para sahabatnya (diantaranya adalah Abu Bakar dan Umar) pergi
dari Madinah pada hari senin bulan Dzul Qo’dah tahun ke enam Hijriah (Umdatul
Qori 14/6), menuju Mekah untuk melaksanakan Umroh. Tatkala Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sampai dan singgah di Hudaibiyah
datanglah Budail bin Warqo’ mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa orang-orang musyrik di Mekah telah siap siaga untuk memerangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dan akan
mengahalangi mereka mengerjakan umroh. Nabi ÷pun berkata,
“Sesungguhnya kami datang bukan untuk memerang seorangpun, namun kami datang
untuk mengerjakan umroh. Sesungguhnya peperangan (yang telah terjadi antara
kaum muslimin dan kafir Quraisy secara berulang-ulang-pen) telah melemahkan
kaum Quraisy dan telah memberi kemudhorotan kepada mereka. Jika mereka ingin
maka aku akan memberikan waktu perdamaian (gencat senjata) antara aku dan
orang-orang (yaitu orang-orang kafir Arab). Jika (di masa perdamaian tersebut)
kaum selain mereka (yaitu orang-orang kafir dari selain kafir Quraisy kota
Mekah) mengalahkan aku maka mereka tidak perlu memerangiku lagi (karena aku
telah dikalahkan oleh selain mereka-pen). Dan jika aku mengalahkan kaum selain
mereka, maka jika mereka ingin mentaatiku sehingga masuk dalam Islam
sebagaimana orang-orang masuk dalam Islam maka silahkan. Dan jika mereka enggan
masuk dalam Islam maka selepas masa gencatan senjata kekuatan mereka telah
kembali. Namun jika mereka (sekarang) enggan untuk gencatan senjata maka demi
Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, aku sungguh-sungguh akan memerangi mereka
di atas agamaku hingga aku mati (dan aku bersendirian dalam kuburanku). Dan
sesungguhnya Allah akan menolong agamaNya”.
Akhir cerita akhirnya orang-orang Quraisy setuju dengan gencatan senjata lalu
mereka mengutus Suhail bin ‘Amr untuk menulis perjanjian damai dengan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu datanglah Suhail bin ‘Amr, lalu iapun berkata kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam “Tulislah suatu pernyataan antara kami dan kalian!”, maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil penulis (yaitu Ali bin Abi Tholib)
dan menyuruhnya untuk menulis Bismillahirrohmanirrohim. Suhail berkata, “Adapun
Ar-Rohim maka demi Allah, aku tidak tahu apa itu?, tapi tulislah saja
bismikallahumma sebagaimana engkau pernah menulis demikian” (karena kebiasaan
orang jahilah dahulu mereka menulis “bimikallahumma” dan mereka tidak mengenal
bismillahirromanirrohim, lihat Umdatul Qori 14/13). Kaum muslimin (yaitu para
sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata, “Demi Allah kami tidak
akan menulis kecuali bimillahhirrohmanirrohim”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepada si penulis, “Tulilah bismikallahumma”, kemudian beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menulis “Ini adalah keputusan
Muhammad utusan Allah”. Suhail berkata, “Demi Allah kalau kami mengetahui
bahwasanya engkau adalah utusan Allah maka kami tidak akan menghalangimu untuk
umroh dan kami tidak akan memerangimu, tapi tulislah “Muhammad bin Abdillah”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Demi Allah aku adalah utusan Allah
meskipun kalian mendustakan aku, tulislah “Muhammad bin Abdillah”. ((Dalam
riwayat yang lain dari hadits Al-Baro’ –HR Al-Bukhari no 3184- Dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak (pandai) menulis maka iapun berkata kepada
Ali, “Hapuslah tulisan “Utusan Allah!”. Ali berkata, “Demi Allah, aku tidak
akan menghapusnya selamanya”. Nabi r berkata, “Perlihatkanlah kepadaku tulisan
tersebut!”, maka Alipun memperlihatkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menghapusnya dengan
tangannya)). Lalu Nabi berkata kepada Suhail, “Dengan syarat kalian membiarkan
kami untuk ke baitullah melaksanakan towaf”. Suhail berkata, “Demi Allah tidak
(bisa demikan) –Bangsa Arab akan mengatakan bahwa kami telah terpaksa (mengalah
membiarkan kalian umroh-pen)-, tapi kalian bisa umroh tahun depan”, lalu hal
itupun di catat (dalam pernyataan perdamaian), lalu Suhai berkata (menambah
pernyataan), “Dengan syarat tidak ada seorangpun yang datang dari kami (dari
Mekah) meskipun ia berada di atas agamamu (Islam) kecuali engkau
mengembalikannya kepada kami”. Para sahabat berkata, “Subhanallah, bagaiamana
dikembalikan kepada orang-orang musyrik padahal ia telah datang (kepada kami)
dalam keadaan beragama Islam?”. Dan tatkala mereka masih berunding membuat
pernyataan perdamaian, tiba-tiba datang Abu Jandal anak Suhai bin ‘Amr dalam
keadaan berjalan tertatih-tatih karena ada belenggu yang membelenggunya, ia
telah lari dari bawah kota Mekah dan melemparkan dirinya di tengah-tengah para
sahabat. Berkata Suhai (ayah Abu Jandal), “Wahai Muhammad ini adalah orang
pertama yang aku menuntut engkau untuk mengembalikannya kepadaku!”. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kita sama sekali belum selesai membuat
pernyataan!”. Suhail berkata, “Kalau begitu, demi Allah, aku sama sekali tidak
mau mengadakan perundingan damai denganmu”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Biarkanlah ia (Abu Jandal) bersamaku!”, Suhail berkata, “Aku tidak
akan membiarkannya bersamamu!”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Tidak, tapi engakau akan membiarkannya bersamaku, lakukanlah!”. Suhail
berkata, “Aku tidak akan melakukannya”. Berkata Abu Jandal, “Wahai kaum
muslimin, apakah aku dikembalikan kepada orang-orang musyrik (Mekah) padahal
telah datang dalam keadaan beragama Islam?, tidakkah kalian melihat apa yang
telah menimpaku?”, dan ia telah disiksa oleh orang-orang musyrik dengan siksaan
yang keras karena bertahan di jalan Allah.
Umar berkata,”Akupun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu aku
berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah benar seorang Nabi (utusan) Allah?”,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tentu saja”, Aku berkata,
“Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas
kebatilan?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tentu saja”, Aku
berkata, “Lantas mengapa kita bersikap merendah pada agama kita?”. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Aku adalah Utusan Allah dan aku tidak bermaksiat
kepadaNya, dan Dia adalah penolongku”. Aku (Umar) berkata, “Bukankah engkau
perrnah mengatakan kepada kami bahwa kita akan mendatangi ka’bah dan bertowaf
di ka’bah?”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Iya, namun apakah aku
mengabarkan kepadamu bahwa kita akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Umar
bekata, “Tidak”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya
engkau akan mendatangi ka’bah dan akan thowaf di sana”. Umar berkata, “Akupun
mendatangi Abu Bakar, lalu aku katakana kepadanya, “Wahai Abu Bakar , bukankah
Nabi Muhammad adalah benar seorang Nabi (utusan) Allah?”, Abu Bakar berkata,
“Tentu saja”, Aku berkata, “Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh
kita berada di atas kebatilan?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja”, Aku berkata,
“Lantas mengapa kita bersikap merendah pada dalam agama kita?”, Abu Bakar
berkata, “Wahai Umar, sesungguhnya ia adalah utusan Allah, dan tidak akan
bermaksiat kepada Tuhannya, dan Tuhannya akan menolongnya, maka
berpegangteguhlah dengan perintahnya dan janganlah menyelisihinya!”. Aku
berkata, “Bukankah ia pernah mengabarkan kepada kita bahwa kita akan mendatangi
ka’bah dan berthowaf di ka’bah?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja, namun apakah
ia mengabarkan kepadamu bahwa engkau akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Aku
berkata, “Tidak”, Abu Bakar berkata, “Engkau akan mendatangi ka’bah dan akan
thowaf di sana!”. (HR Al-Bukhari no 2731, 2732, Fathul Bari 5/408-425, Umdatul
Qori 14/3-14)
Imam Nawawi berkata, “Para ulama berkata bahwa bukanlah pertanyaan-pertanyaan
Umar kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas karena keraguan, namun
karena karena beliau ingin mengungkap apa yang ia tidak pahami (kenapa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa memutuskan demikian –pen) dan untuk
memotivasi (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar) untuk merendahkan
orang-orang kafir dan memenangkan Islam sebagaimana hal ini merupakan akhlak
beliau dan semangat dan kekuatan beliau dalam menolong agama dan menghinakan
para pelaku kebatilan. Adapun jawaban Abu Bakar kepada Umar yang seperti
jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini merupakan tanda yang sangat
jelas akan tingginya kemuliaan Abu Bakar dan dalamnya ilmu beliau serta
menunjukan kelebihan beliau di atas para sahabat yang lain dalam pengetahuan
dan kemantapan ilmu pada seluruh perkara tersebut” (Al-Minhaj 12/141, atau
cetakan Al-Ma’arif 12/353)
[29] Riwayat Bukhori no 1241, 1242
[30] Riwayat Bukhori no 1399-1400
[31] Disimpulkan dari Al-Furqon hal 85-88
[32] Ini adalah perkara yang sangat penting sekali yang banyak dilalaikan oleh
kaum muslimin
[33] Syarah Aqidah At-Tohawiyah II/773
[34] Al-Furqon hal 42
[35] Lihat tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Al-Furqon hal 92
[36] Syarah Al-Ushul As-Sittah hal 170
[37] Majalah As-Sunnah 03/III/1418 hal 25
[38] Al-Furqon hal 69
[39] Lihat penjelasan Syaikh Sholeh Alu Syaikh dalam At-Ta’liqoot Al-Hisaan
[40] Diringkas dari Al-Furqon hal 154-157
[41] As-Siyar 2/224
[42] Al-Furqon hal 154
[43] Riwayat At-Thirmidzi no 3751 dan Ibnu Hibban no 2215
[44] As-Siyar 4/8,9
[45] Riwayat Al-Lalikai dalam Al-Karomat hal 165-166
[46] Al-Furqon hal 157
[47] Riwayat Bukhori no 5018
[48] Riwayat Muslim no 1226
[49] As-Siyar 2/348
[50] Riwayat Bukhori no 3805
[51] As-Siyar 4/195
[52] As-Siyar 4/86
[53] As-Siyar 5/60
[54] As-Siyar 9/7
[55] Riwayat Bukhori no 1354, Al-Furqon hal 158
[56] Bahkan Rasulullah r sendiri tidak mengetahui seluruh orang munafik. Allah
berfirman
وَمِمَّنْ حَوْلَكُم مِّنَ الأَعْرَابِ مُنَافِقُونَ
وَمِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مَرَدُواْ
عَلَى النِّفَاقِ لاَ تَعْلَمُهُمْ نَحْنُ
نَعْلَمُهُمْ (التوبة : 101 )
Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang
munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam
kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang
mengetahui mereka. (QS. 9:101)
Hal ini juga sesuai dengan hadits tentang Usamah bin Zaid yang membunuh seorang
kafir yang ketika pedang Usamah telah di depan matanya tiba-tiba si kafir
tersebut mengucapkan la ilaha illallah, namun Usamah tetap membunuhnya. Dan hal
ini dilaporkan kepada Rasulullah. r, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepada Usamah :”Apakah dia (yang terbunuh itu) telah berkata la
ilaha illallah dan kau (tetap) membunuhnya ?”, Usamah menjawab :”Ya,
Rasulullah, dia mengatakan itu hanya karena takut akan senjataku”. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Apakah sudah kau belah dadanya sehingga
kau tahu ia berkata itu karena takut atau tidak ?”. Maka Rosulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam terus mengulang-ulang perkataannya hingga Usamah
berangan-angan seandainya dia baru masuk Islam pada hari itu. (HR Al-Bukhori no
4021, 6478, dan Muslim no 62 dan ini adalah lafal Muslim). Hadits ini
menunjukan bahwa Usamah yang telah berjihad tidak mengetahui isi hati manusia.
Dan ada isyarat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar para sahabat
menilai seseorang dengan amalan dzohirnya bukan amalan batin. Kalau para
sahabat mengetahui isi hati manusia tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak akan memerintahkan mereka untuk menilai secar dzohir saja.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إنكم تختصمون إلي ولعل
بعضكم ألحن بحجته من
بعض فمن قضيت له
بحق أخيه شيئا بقوله
فإنما أقطع له قطعة
من النار فلا يأخذها
“Sesungguhnya kalian berselilih dan berhukum kepadaku, dan bisa jadi sebagian
kalian lebih pandai berhujah (berargumen) daraipada yang lain. Maka barangsiapa
yang aku putuskan hukuman utuknya (memenangkannya) dengan (mengorbankan)
sesuatu hak saudaranya maka sesungguhnya akau telah memberikan kepadanya suatu
bongkahan dari api neraka maka janganlah ia mengambilnya” (HR Al-Bukhari II/952
no 253)
Kalau seandainya Rasulullah r tahu isi hati manusia tentunya beliau tidak akan
tertipu dengan pintarnya bersilat lidah dalam berargumen.
Demikian juga kisah Ma’iz bin Malik yang berzina kemudian datang kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakui perbuatannya. Rasulullah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui isi hatinya, oleh
karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya dan berpaling darinya
hingga Maiz datang kepadanya empat kali, bahkan setelah itu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepadanya أبك
جنون (Apakah engkau tidak
waras)? (HR Al-Bukhari no 6430). Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada Maiz, “Mungkin engkau hanya menciumnya atau
memegangnya atau hanya melihatnya? (HR Al-Bukhari no 6438). Kalau memang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui isi hati Maiz maka tidak perlu ia
bersusah payah bertanya kepada Maiz dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud berkata :”Saya telah mendengar Umar bin Khottob
berkata :”Dahulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang
diterima (dihukumi) menurut keterangan wahyu, dan kini wahyu telah terputus.
Maka kami akan bertindak (menghukumi) kalian dengan perbuatan-perbuatan kalian
yang dzohir (nampak) bagi kami. Maka barang siapa yang menampakkan kebaikan
kepada kami maka kami percaya dan kami hargai, dan sama sekali bukan urusan
kami mengenai batinnya . Allah yang akan menghisabnya . Dan barang siapa yang
menampakkan keburukan kepada kami, maka kami tidak akan mempercayainya dan
tidak kami benarkan, walaupun dia berkata sesungguhnya batinnya adalah baik.””
(HR Al-Bukhori)
[57] Al-Furqon hal 159
[58] Al-Furqon hal 159
[59] Majalah As-Sunnah 03/III/1418
[60] Al-Furqon hal 159
[61] Sebagaimana hal ini pernah dimuat dalam beberapa tabloid di Indonesia
[62] Al-Furqon hal 36
[63] lihat jawaban ini dalam Al-Furqon hal 141-142
[64] Al-Bidaayah wan Nihaayah I/328
[65] Al-Bidaayah wan Nihaayah I/328
[66] Al-Bidaayah wan Nihaayah I/328
[67] Riwayat Bukhori, no 74
[68] Pendapat yang benar bahwasanya Khidir telah meninggal dan tidak kekal
hingga hari kiamat. Setelah Ibnu Katsir menyebutkan dan menjelaskan lemahnya
dalil-dalil dan hikayat-hikayat yang dijadikan sandaran bahwa Khidir masih
hidup hingga hari ini beliau berkata, “Dan riwayat-riwayat ini serta
cerita-cerita (hikayat-hikayat) ini merupakan dasar pegangan orang yang
berpendapat bahwa Khidir masih hidup hingga hari ini, dan semua hadits yang
marfu’ lemah sekali (dho’iif jiddan), tidak bisa hujjah ditegakkan di atas
hadits-hadits seperti ini. Dan cerita-cerita mayoritasnya pada sanadnya ada
kelemahan dan paling banter hanyalah shahih kepada orang yang tidak ma’sum
seperti sahabat atau yang lainnya yang mungkin untuk salah” (Al-Bidaayah Wan
Nihaayah I/334)
Dalil-dalil yang menunjukan bahwa Khidir tidaklah kekal hingga hari kiamat
adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah
}وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِّن قَبْلِكَ الْخُلْدَ{
(الأنبياء : 34 )
Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu
(Muhammad) (QS. 21:34)
Dan Khidir adalah seorang manusia yang ada sebelum Nabi r, maka ia tidakalah
keluar dari keuumaman ayat ini (bahwasanya yang namanya manusia tidak ada yang
kekal) kecuali dengan dalil yang shahih, namun tidak ada dalil yang shahih yang
mengeluarkannya dari keumuman ayat ini.
2. Firman Allah
وَإِذْ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ
النَّبِيِّيْنَ لَمَا آتَيْتُكُم مِّن
كِتَابٍ وَحِكْمَةٍ ثُمَّ جَاءكُمْ رَسُولٌ
مُّصَدِّقٌ لِّمَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ
بِهِ وَلَتَنصُرُنَّهُ قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ
عَلَى ذَلِكُمْ إِصْرِي قَالُواْ أَقْرَرْنَا
قَالَ فَاشْهَدُواْ وَأَنَاْ مَعَكُم مِّنَ الشَّاهِدِينَ{
”Dan (ingatlah) tatkala Allah mengambil perjanjian dari para
nabi:”Sungguh apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah,
kemudian datang kepada kalian seorang Rosul yang membenarkan apa yang ada pada
kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepada Rosul tersebut dan
sungguh-sungguh akan menolongnya”. Allah berfirman :”Apakah kalian mengakui dan
menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu ?”, mereka menjawab :”Kami
mengakui”. Allah berfirman :”Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku
menjadi saksi (pula) bersama kalian.”
Dan Khidir jika ia seorang nabi (terlebih lagi seorang wali yang derajatnya
lebih rendah dari nabi) maka ia termasuk dalam perjanjian ini. Maka jika ia
hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka merupakan kemuliaan yang
sangat besar baginya jika ia menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman
dengan Apa yang diturunkan Allah kepada Nabi r dan berusaha menolong Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
jangan sampai seorang musuhpun menyentuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan jika ia seorang wali maka Ash-Shiddiiq (Abu Bakar) lebih mulia darinya. Dan
jika ia seorang nabi maka Musa lebih mulia darinya padahal Rasulullah r pernah
bersabda
فإنه لو كان موسى
حيا بين أظهركم ما
حل له إلا أن
يتبعني
“Sesungguhnya kalau Musa hidup di tengah-tengah kalian maka tidaklah boleh
baginya kecuali mengikuti aku”
Dan ayat yang mulia ini menunjukan bahwa seluruh nabi jika seandainya mereka
hidup di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mereka seluruhnya adalah
pengikut dan dibawah perintah dan syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala berkumpul dengan mereka
di malam isro’ maka beliau mengimami mereka sholat.
3. Dan tidak diketahui dengan sanad
yang shahih bahwasanya Khidir pernah ikut perang bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam -meskipun hanya sehari-. Dan tatkala perang Badar yang dimana
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah “Ya Allah jika binasa
umat ini maka engkau tidak akan disembah setelahnya di muka bumi”. Dan di hari
yang sangat berat itu semuanya berkumpul, baik pemuka-pemuka kaum muslimin
(dari para sahabat) maupun pemuka-pemuka para malaikat, bahkan Jibril berada di
bawah bendera kaum muslimin. Kalau seandainya Khidir hidup maka keberadaannya
di bawah bendera kaum muslimin tatkala itu merupakan kemuliaan yang agung
baginya (Lihat Al-Bidayah wan Nihaayah I/335)
4. Apakah faedah baginya –jika ia
masih hidup hingga saat ini- dengan sikapnya yang bersembunyi, padahal jika ia
menampakan dirinya maka pahalanya baginya lebih banyak dan derajatnya lebih
tinggi dan lebih nampak mu’jizatnya (Lihat Al-Bidayah wan Nihaayah I/336)
5. Kemudian jika ia masih hidup
setelah zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka perbuatan yang sangat
mulia yang bisa ia lakukan adalah dengan menyampaikan hadits-hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjelaskan hadits-hadits yang lemah dan
palsu, membantah amalan-amalan dan pemikiran-pemikiran bid’ah, berperang
bersama kaum muslimin, menghadiri sholat jum’at bersama kaum muslimin, memberi
manfaat kepada mereka (dengan mengajarkan ilmu kepada mereka), meluruskan para
ulama dan pemerintah, menjelaskan tentang dalil-dalil dan hukum-hukum, semua
ini lebih baik baginya daripada ia hanya sekedar berjalan memutari dunia, atau
berkumpul dengan sebagian orang-orang (sufi) tertentu (yang tidak dikenal) yang
kemudian menyampaikan perkataannya kepada manusia. (Lihat Al-Bidayah wan
Nihaayah I/336)
6. Ibnu Umar berkata, “Rasulullah r
mengimami kami sholat isya’ di akhir hayat beliau. Tatkala beliau salam beliau
berdiri dan berkata
أرأيتكم ليلتكم هذه فإن
رأس مائة سنة منها
لا يبقى ممن هو
على ظهر الأرض أحد
Tahukah kalian malam hari ini?, sesungguhnya setelah seratus tahun setelah
malam ini maka tidak akan tersisa seorangpun (yang sekarang masih hidup) di
atas muka bumi ini (HR Al-Bukhari I/55 no 116)
Berkata Ibnul Jauzi, “Hadits-hadits yang shahih ini (yang semakna dengan hadits
Ibnu Umar ini) memutuskan sampai ke akar-akarnya propaganda bahwa Khidir masih
hidup…jika Khidir mendapati masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hadits
ini menunjukan bahwa ia tidak akan hidup setelah seratus tahun, oleh karena itu
maka sekarang ia telah tidak ada karena ia masuk dalam keumuman hadits ini. Dan
hukum asal adalah ia masuk dalam hadits ini hingga ada dalil yang shahih yang
mengkhususkannya” (Lihat Al-Bidayah wan Nihaayah I/336-337)
[69] HR Ahmad III/338 no 14672, Ibnu Abi Syaibah V/312 no 26421 dan dihasankan
oleh Syaikh Al-Albani dalam irwaaul golil no 1589 dan Misykaatul Mashobiih no
177
[70] Tafsir Ibnu Katsir I/379
[71] Yaitu membocorkan kapal, membunuh seorang anak kecil dan memperbaiki
tembok yang akan runtuh, sebagaimana dikisahkan dalam surat Al-Kahfi : 70-82
[72] Riwayat Muslim no 1812
[73] Ash Shuffah adalah semacam pelataran yang bersambung dengan mesjid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, (masih satu atap dengan mesjid
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang dulu dijadikan tempat tinggal
sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin yang miskin, karena mereka
tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka tinggal sementara di pelataran
tersebut di bawah naungan mesjid sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap
dan penghidupan yang cukup. (lihat kitab "Taqdis Al Asykhash" tulisan
Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34)
[74] (HR Al-Bukhari 6/2495 no 6419 bab)
Dari Abi Qilabah dari Anas bin Malik ia berkata, “Datang beberapa orang dari
‘Ukl kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka dahulunya tinggal di
suffah namun mereka maka mereka berkata, “Wahai Rasulullah mintakanlah untuk
kami susu!”, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku tidak bisa
membantu untuk kalian kecuali kalian pergi mendatangi onta-onta Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam (onta-onta zakat)”. Maka merekapun mendatangi
onta-onta tersebut dan meminum susunya dan air kencingnya hingga merekapun
sembuh dan gemuk, lalu mereka membunuh penggembala onta-onta tersebut dan
membawa lari sekelompok onta, lalu terdengarlah teriakan (orang minta tolong)
maka Nabi rpun mengutus seorang pelacak untuk melacak jejak mereka. Dan tidak
sampai tengah hari merekapun telah tertangkap. Lalu Nabi rpun memerintahkan
untuk memanaskan paku-paku lalu ia menculek mata mereka dan memotong
tangan-tangan dan kaki-kaki mereka dan Rasulullah r tidak menghasm mereka (hasm
adalah memberhentikan aliran darah pada bagian tubuh yang terpotong, seperti
dengan menggunakan besi panas lalu ditempelkan ka bagian tubuh yang terpotong atau
dengan memanaskan minyak panas lalu diletakkan ke bagian tubuh yang terpotong
agar darah tidak mengalir Al-Fath 12/111 -pen) kemudian mereka dilemparkan di
bawah terik matahari, mereka minta minum namun tidak diberi minum hingga
akhirnya merekapun mati”. Abu Qilabah berkata, “Mereka mencuri dan membunuh dan
memerangi Allah dan RasulNya” (Lihat Al-Fath 6/153)
[75] Diantara yang mengaku bahwa mereka adalah penutup para wali adalah Ibnu
‘Arobi, Muhammad bin ‘Utsman As-Suudaani, dan At-Tijaani Al-Magribi, yang
masing-masing dari ketiga orang ini mengaku bahwa dialah penutup para wali. Ini
jelas menunjukan bahwa mereka bertiga adalah para pendusta dan para dajjal,
bagaimana masing-masing mengaku sebagai penutup dan wali yang terakhir
sementara masih ada wali yang lain yang juga mengaku demikian. (lihat syarh
Syaikh Sholeh Alu Syaikh terhadap matan Al-Aqidah At-Thohawiyah)
[76] Maksudnya yaitu pemisah antara kerasulan dan kewalian
[77] Ibnu Arobi juga berkata (dalam kitabnya “Fususul hukum”) :”Tatkala Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memisalkan kenabian dengan sebuah dinding (yang
tesusun) dari bata dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat bahwa dinding
tersebut telah sempurna kecuali tinggal tempat satu bata lagi, dan dialah
sebagai bata yang terakhir (yang menutupi bata-bata (nabi-nabi) sebelumnya
–pent). Adapun penutup para wali maka pasti ia melihat juga dinding ini, dia
melihat dinding yang dimisalkan oleh Nabi r dan dia melihat dirinya di dinding
yaitu di tempat dua bata, dirinya telah tercetak di tempat dua bata tersebut,
sehingga sempurnalah dinding itu. Yang menyebabkan dia melihat dinding itu
tinggal tempat dua bata (padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihatnya hanya ada satu tempat bata –pent) adalah karena dinding terdiri dari
bata perak dan bata emas. Bata perak adalah bagian luar dinding tersebut (yaitu
bagian luar syari’at-pen) dan hukum-hukum yang mengikutinya, sebagaimana Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil syari’at yang dzohir dari Allah yang
diikuti, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat perkaranya
sebagaimana adanya sehingga demikianlah pasti dia melihatnya. Padahal bagian
dalam tempat satu bata itu adalah tempat (yang lain bagi) bata emas, yang dia
(penutup para wali tersebut) mengambil dari sumber yang malaikat yang diutus
kepada Nabi mengambil dari sumber itu. Jika engkau memahami apa yang kami
isyaratkan maka engkau telah mendapatkan ilmu yang bermanfaat.” (Syarah
Al-Aqidah At-Thohawiyah hal 493)
Maksudnya yaitu penutup para wali tatkala mengambil wahyu tidak butuh kepada
perantara malaikat, ia bisa langsung mengambil dari Allah. Berbeda dengan
penutup para nabi, ia hanya bisa mengambil wahyu dengan perantara malaikat yang
mengambil dari Allah.
[78] Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah hal 493-494, Al-Furqon hal 110
[79] Riwayat Bukhori no 6502, dari hadits Abu Huroiroh.
[80] Yang aqidah ini merupakan aqidah Ibnu ‘Arobi, yang dimana ia berkata di
awal bukunya Al-Futuhaat,
الرَّبُّ حَقٌّ وَالْعَبْدُ حَقٌّ
يَا لَيْتَ شِعْرِي مَنٍ
الْمُكَلَّفُ؟
إِنْ قُلْتَ عَبْدٌ فَذَاكَ
نَفْيٌ
أَوْ قُلْتَ رَبٌّ أَنَّى
يُكَلَّفُ؟
Ar-Rob adalah Al-Haq (Allah) dan hamba juga Al-Haq (Allah), duhai kabarkanlah
kepadaku siapakah yang diberi tugas (ibadah)?
Jika engkau mengatakan bahwa yang diberi tugas (ibadah) adalah hamba maka itu
adalah penafian atau jika engkau mengatakan Rob maka bagaimana ia bisa disuruh
untuk beribadah
Ia juga berkata,
قلنا صدقت وهل عرفت
محققا
من موجد الكون الأعم
سوائي
فإذا مدحت فإنما أثني
على
نفسي فنفسي غير ذات
ثنائي
Kami katakan engkau benar, dan apakah engkau mengetahui dengan benar pencipta
alam semesta seluruhnya selain aku?
Jika aku memuji Allah maka sesungguhnya aku memuji diriku sendiri. Diriku
bukanlah pujianku
Ia juga berkata (pada bab yang ke sepuluh)
انظر الحق في الوجود
تراه
عينه فالبغيض فيه الحبيب
ليس عيني سواه إن
كنت تدري
فهو عين البعيد وهو
القريب
إن رآني به فمنه
أراه
أو دعاني إليه فهو
المجيب
Lihatlah Allah di alam nyata ini maka engkau akan melihatnya, semua alam nyata
ini adalah dzat Allah, maka orang yang dibenci dalam dzat Allah dia juga adalah
orang yang dicintai
Dan tidaklah dzatku ini selain Allah jika engkau mengetahuinya, maka sesuatu
yang jauh itulah sesuatu yang dekat.
Jika Dia melihatku melalui diriNya maka dari diriNya aku melihatNya, atau Dia
memanggilku kepadaNya maka Dialah yang memenuhi panggilan tersebut.
Jelas dalam bait yang terakhir ini bahwa Ibnu ‘Arobi tidak hanya menyatakan
bahwa Allah bersatu dengan dirinya, bahkan lebih parah dari itu ia berkeyakinan
bahwa alam semesta ini dialah dzat Allah. Semuanya yang nampak itulah dzat
Allah, oleh karena itu menurut Ibnu ‘Arobi bahwasanya orang yang dibenci pada
hakikatnya itulah orang yang dicintai juga, sesuatu yang jauh itulah juga
sesuatu yang dekat. Seseorang yang memanggil orang lain pada hakekatnya ia
sedang memanggil dirinya sendiri, maka ia adalah yang memanggil dan sekaligus
yang memenuhi panggilan.
Keyakinan seperti ini lebih parah dan lebih kafir daripada keyakinan
orang-orang Nashrani yang hanya membatasi bersatunya Allah pada Isa saja,
karena Ibnu ‘Arobi menyatkan bahwa Allah bersatu dengan seluruh makhluq. Dan
konsekuensi dari keyakinan ini bahwasanya Orang-Orang musyrik Arab dahulu
tidaklah bersalah tatkala mereka menyembah patung, karena pada hakekatnya
mereka sedang menyembah Allah juga. Bahkan Fir’aun dan para pengikutnya adalah
orang-orang yang sempurna imannya yang mengenal hakekat Allah, karena pada
hakekatnya Fir’aun itulah Allah. Selain itu juga menurut aqidah Ibnu ‘Arobi ini
bahwasanya pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara pengharaman dan
penghalalan, tidak ada perbedaan antara ibu, saudara kandung wanita, dan wanita
ajnabiah. Tidak ada perbedaan antara khomr dan air biasa, antara zina dan nikah,
semuanya dari dzat yang satu yaitu Allah. Konsekuensi dari aqidah ini
bahwasanya para nabi dan rosul hanyalah mempersulit manusia. (Lihat Syarh
Al-Aqidah At-Thohawiyah I/126)
[81] Sebagian orang yang tidak ingin dikekang dengan syari’at mereka berdalil
dengan firman Allah
}وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ
الْيَقِينُ{ (الحجر:99)
dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu keyakinan(QS. 15:99)
Mereka mengatakan, “Jika kami telah mencapai rasa yakin maka kami telah
terlepas dari kewajiban beribadah kepada Allah”
Ini adalah penafsiran yang salah karena yang dimaksud dengan Al-Yaqin dalam
ayat ini adalah kematian. Dengan dalil-dalil sebagai berikut:
a. Ini adalah penafsiran salaf. Imam
Al-Bukhari berkata, “Berkata Salim (bin Abdillah bin Umar) Al-Yaqin adalah
Al-Maut (kematian)” (Shahih Al-Bukhari 4/1739), dan atsar ini juga diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya (14/74). Ini juga adalah penasiran Mujahid,
Hasan Al-Bashri, Qotadah, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dan yang lainnya
(Tafsir Ibnu Katsir 2/561)
b. Ini juga sesuai dengan firman Allah
}مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا
لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ
وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ
وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ
وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ{
Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?. Mereka
menjawab:"Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,
dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan
yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami
mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami Al-Yaqin
(kematian)". (QS. 74:44-47)
c. Ini juga sesuai dengan hadits Nabi
r (HR Al-Bukhari 1/419 no 1186) dimana Nabi r berkata tentang Utsman bin
Madz’un yang telah wafat, أما
هو فقد جاءه اليقين
والله إني لأرجو له
الخير والله ما أدري
وأنا رسول الله ما
يفعل بي ((Adapun dia (Utsman bin
Madz’un) maka telah datang kepadanya Al-Yaqin (kematian), maka aku mengharapkan
kebaikan baginya, demi Allah aku tidak tahu apa yang Allah lakukan padaku
padahal aku adalah utusan Allah))
d. Ayat ini justru maknanya kebalikan dari
apa yang dipahami oleh orang-orang zindiq tersebut. Justru ayat ini menunjukan
bahwa seseorang harus terus beribadah hingga ia meninggal. Sebagaimana firman
Allah tentang perkataan Nabi Isa وأوصاني
بالصلاة والزكاة ما دمت
حيا (Dan Allah
mewasiatkan (memeerintahkan) kepadaku untuk (terus) sholat dan membayar zakat
selama aku masih hidup) (QS 19:31) Dan inilah yang dipraktekan oleh para
nabi dan mereka adalah orang-orang yang paling yakin tentang Allah namun mereka
adalah orang-orang yang paling banyak ibadahnya kepada Allah (Adwaul bayan
2/425)
e. Jika Al-Yaqin ditafsirkan dengan
arti keyakinan (mengetahui hakekat) maka tidaklah seperti yang dipahami oleh
orang-orang zindiq tersebut, namun maknanya yaitu seseorang yang telah
meninggal maka akan jelas baginya hakekat hari akhir, hakekat dari
perkara-perkara goib yang telah Allah kabarkan kepadanya tatkala ia masih hidup
di dunia. (Adlwaul bayan 6/349)
[82] Bukan sebagaimana pemahaman Ibnu ‘Arobi yang malah meninggalkan ibadah.
[83] Al-Qowa’id Al-Mutsla hal 125
[84] Al-Furqon hal 161
[85] Majalah As-Sunnah 03/III 1418 H
[86] Al-Jadawil hal 19
[87] Al-Jadawil hal 20
[88] Lihat akhir pembahasan dalam risalah ini.
[89] Al-Jadawil hal 21 dan Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah hal 494
[90] Majalah As-Sunnah hal 30
[91] Lihat penjelasan Ibnu Abil ‘Izz dalam syarh Al-Aqidah At-Thohawiyah II/757
[92] Syarh Al-Aqidah At-Tohawiyah II/755
[93] Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah II/754
[94] Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah II/754
[95] Lihat Ad-Dur Al-Mantsur III/610 tafsir surat Al-A’rof ayat 175
[96] Syarah Al-Aqidah At-Thohawiyah II/754
Allah berfirman,
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah
itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.”(Yunus: 62-63)
Ayat di atas mengandung pengertian bahwa
wali adalah orang mukmin yang bertaqwa dan menjauhi maksiat. Ia berdo’a hanya
kepada Allah semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Terkadang
tampak padanya karamah ketika sedang dibutuhkan.
Seperti karamahMaryam ketika ia
mendapatkan rizki berupa makanan di rumahnya.
Maka, wilayah (kewalian) memang ada. Tetapi
ia tidak terjadi kecuali pada hamba yang mukmin, ta’at dan mengesakan Allah. Karamah tidak menjadi syarat untuk
seseorang disebut wali, sebab syarat demikian tidak diberitahukan oleh
Al-Qur’an.
Wilayah itu tidak mungkin terjadi pada seorang fasik atau musyrik yang
berdo’a dan memohon kepada selain Allah. Sebab hal itu termasuk amalan
orang-orang musyrik, sehingga bagaimana mungkin mereka menjadi para wali yang
dimuliakan…?
Wilayah tidak bisa diperoleh melalui warisan dari nenek moyang atau
keturunan, tetapi ia didapatkan dengan iman dan amal shalihnya.
Apa yang tampak pada sebagian ahli bid’ah
seperti memukul-mukulkan besi ke perut, memakan api dan sebagainya dengan tidak
menimbulkan cedera apapun, maka itu adalah dari perbuatan setan. Hal yang
demikian bukan karamah tetapi istidraaj agar mereka semakin jauh
tenggelam dalam kesesatan.
Allah
berfirman,
“Katakanlah, ‘Barangsiapa berada dalam
kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo bagi-nya’.” (Maryam: 75)
Mereka yang
pergi ke India, akan menyaksikan orang-orang Majusi lebih dari itu. Di
antaranya mereka saling memukulkan pedang, dengan tidak menimbulkan bahaya
apapun, padahal mereka adalah orang-orang kafir.
Islam tidak
mengakui berbagai perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa Salam tersebut, juga tidak oleh para sahabatnya. Seandainya di dalam
perbuatan tersebut terdapat kebaikan, niscaya mereka akan lebih dahulu
melakukannya daripada kita.
Menurut
persepsi kebanyakan manusia, wali adalah orang yang mengetahui ilmu ghaib.
Padahal ilmu ghaib adalah sesuatu yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya.
Memang, terkadang hal itu di-tampakkan pada sebagian RasulNya, jika Dia
menghendakinya. Allah berfirman,
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang
ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya”. (Al-Jin: 26-27)
Dengan
tegas, ayat di atas mengkhususkan para rasul, dan tidak menyebutkan yang lain.
Sebagian
orang menyangka bahwa setiap kuburan yang dibangun di atasnya kubah adalah
wali. Padahal bisa jadi kuburan tersebut di dalamnya adalah orang fasik, atau
bahkan mungkin tak ada manusia yang dikubur di dalamnya.
Membangun
sesuatu bangunan di atas kuburan adalah diharamkan oleh Islam. Dalam sebuah
hadits shahih ditegaskan,
“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam
melarang mengapur kuburan atau dibangun sesuatu di atasnya.” (HR. Muslim)
Seorang wali
bukanlah yang dikuburkan di dalam masjid, atau yang dibangun di atasnya suatu
bangunan atau kubah. Hal ini justru melanggar ajaran syari’at Islam. Demikian
pula, mimpi bertemu dengan mayit tidak merupakan dalil secara syara’ atas
kewalian. Bahkan bisa jadi ia adalah bunga tidur yang berasal dari setan.
KHURAFAT, BUKAN KARAMAH
Dalam salah satu edisinya, di bawah judul “Khurafat
Seputar Ad-Dasuki”, majalah At-Tauhidmenulis, “Dalam hasyiah (catatan pinggir) kitab Ash-Shawi disebutkan, “Sesungguhnya
Dasuki bisa berbicara dengan segala bahasa; bahasa asing dan bahasa Suryani.
Bahasa binatang dan bahasa burung. Ia telah berpuasa sejak dalam buaian,
melihat Lauh Mahfuzh, telapak kakinya tidak pernah menginjak bumi, ia bisa
memindahkan nasib muridnya dari sengsara menjadi bahagia, dunia di tangannya
dibuat laksana cincin, dan dia telah sampai ke Sidratul Muntaha”.
Ini adalah
omong kosong. Tak seorang pun yang akan mempercayainya, kecuali orang yang amat
bodoh sekali. Bahkan hal itu adalah suatu kekufuran yang nyata. Bagaimana
mungkin ia bisa melihat Lauf Mahfuzh, yang Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam
penghulu semua makhluk tak pernah melihatnya …?
Bagaimana
mungkin ia bisa memindahkan nasib murid-muridnya dari sengsara menjadi bahagia
…? Semua ini adalah khurafat yang dibuat-buat oleh orang-orang shufi yang
angkuh dan sombong. Mereka tidak sadar, sesungguhnya mereka berada di dalam
kesesatan yang nyata.
Karena itu pembaca, hindarilah
kitab-kitab yang memuat berbagai khurafat semacam ini. Di antaranya kitab At-Tabaqaatul
Kubraa, oleh Sya’rani. Khaziinatul Asraar, Nuzhatul
Majaalis, Ar-Raudhul Faa’iq, Mukasyafatul Quluub, oleh Al-Ghazali. Al-‘Araa’is,
oleh Ats-Tsa’aalibi. Semua kitab itu haram dicetak dan diperjualbelikan.
Al Firqotun Najiyah – Jalan Golongan yang
Selamat
Syaikh Muhammad Jamil Zainu