Sebagian syi’ah hari ini
meyakini Abubakar tidak bersama Nabi di Gua Tsur, dan tidak menemani Nabi berhijrah.
Mengapa mereka meyakini hal itu? Lalu siapa sebenarnya yang berada bersama Nabi
di Gua Tsur? Ali, Salman, Miqdad atau Abu Dzar? Atau bukan mereka semua, lalu
siapa? Simak jawabnya, tentunya dari literatur syi’ah sendiri.
Ketika kita mencintai sang kekasih, mata kita buta hingga enggan melihat
aibnya, akal kita tidak berfungsi dengan baik, dan tidak bisa berpikir untuk
kepentingan jangka panjang. Tetapi ketika kita tahu cinta kita bertepuk sebelah
tangan, kecintaan itu berbalik menjadi rasa benci yang memuncak, membuat akal
kita tidak berpikir siapa yang sebenarnya yang salah, hingga tak sadar bahwa
orang berhak menolak cinta, tak sadar bahwa spesifikasi kita sendiri yang masih
di bawah kualifikasi, hingga akhirnya tereliminasi oleh sang pacar!!
Syi’ah sangat membenci Abubakar, karena dianggap telah merampas kepemimpinan
yang sebenarnya menjadi hak Ali. Kebencian ini merupakan implikasi dari prinsip
imamah yang diyakini oleh syi’ah. Abubakar sebagai khalifah setelah Nabi wafat,
wajar jika dibenci oleh syi’ah, karena dia lah yang menduduki kursi yang
sebenarnya diyakini menjadi milik Ali . hingga akhirnya kebencian itu membuat
mata mereka buta, membuat telinga mereka tidak lagi mampu mendengar nasehat,
membuat otak mereka tidak lagi digunakan untuk berpikir, atau barangkali
seperti dalam istilah komputer, hang.
Kebencian syi’ah terhadap Abubakar membuat mereka mengingkari peristiwa yang
terbukti nyata terjadi, yaitu peristiwa hijrahnya Nabi bersma Abubakar As
Shiddiq.
Peristiwa hijrahnya Nabi dan Abubakar terrekam dalam Al Qur’an Al Karim, dalam
surat At Taubah, yang terjemahannya berbunyi:
Jikalau tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya
(yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah)
sedang dia salah seseorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua,
diwaktu dia berkata kepada temannya:"Janganlah berduka cita, sesungguhya
Allah bersama kita". Maka Allah menurunkan ketenangan kepada (Muhammad) dan
membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan
seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang
tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 9:40)
Tak disangka dan tak dirkira, ternyata peristiwa hijrah Nabi beserta Abubakar
tercantum dalam kitab-kitab syi’ah sendiri. Tetapi karena hati mereka dibakar
emosi dan rasa benci, yang jika tidak dilampiaskan bisa berakibat buruk
–kira-kira begitu kata ahli jiwa-, akhirnya mereka sibuk melampiaskan kebencian
mereka pada Abubakar, hingga tidak sempat membaca kitab-kitab mereka sendiri.
Semoga saya salah menganalisa.
Kenyataan ini mengindikasikan satu hal penting, yaitu syi’ah tidak suka membaca
kitab mazhabnya sendiri, akibatnya mereka tidak mengenal mazhabnya..
Akibatnya mereka mempelajari mazhab syi’ah dari sumber sekunder, dari ustadz
ustadz yang tidak pernah membuka akses kitab-ktiab literatur induk syi’ah pada
pengikutnya.
Kebencian mereka pada Abubakar membuat syi’ah melupakan literaturnya sendiri,
melupakan sabda para imam mereka sendiri, para imam yang maksum dan wajib
ditaati dan diikuti.
Berikut kesaksian Imam Syi’ah yang kesebelas, Hasan Al Askari, menceritakan
pada kita peristiwa hijrah, setelah Nabi meminta Ali untuk tidur di tempat
tidurnya, Nabi berkata pada Abubakar:
Maukan engkau pergi bersamaku wahai Abubakar, mereka mencarimu sebagaimana
mereka mencariku, dan engkau dikenal bahwa engkaulah yang menolongku terhadap
dakwahku, dan engkau disiksa sebagai? Abubakar menjawab: Wahai Rasulullah! Jika
aku disiksa seumur hidupku dengan siksa yang pedih, dan aku tidak mati disiksa,
aku tidak gembira dalam hidupku, semua itu demi kecintaanku padamu, aku lebih
suka itu daripada aku hidup dengan penuh kenikmatan, dan aku memiliki kekuasaan
di bumi, namun aku menentangmu. Bukankah diriku, harta dan anak-anakku menjadi
tebusan bagimu? Lalu Rasulullah bersabda : tidak ragu lagi Allah telah melihat
isi hatimu, dan mendapati bahwa hatimu sesuai dengan apa yang kau ucapkan,
Allah menjadikan dirimu bagaikan pendengaran, penglihatan dan kepala bagiku,
dan bagaikan ruh bagi badanku. Tafsir Hasan Al Askari hal 467-468. Tahqiq
Madrasah Imam Al Mahdi, Qum, Iran. Cetakan 1409.
Jelas sudah, Nabi meminta Ali untuk tidur di kamarnya, dan mengajak Abubakar
untuk berangkah hijrah. Saat mengajak, Nabi tak lupa menjelaskan konsekuensi
menemani Nabi berhijrah, yaitu ikut dicari-cari oleh musuh, terancam disiksa
oleh musuh dengan siksa yang pedih. Ternyata Abubakar siap, siap mengorbankan
diri, keluarga dan hartanya demi kecintaan pada Rasulullah. Abubakar siap
disiksa seumur hidup demi kecintaan pada Rasul. Siap hidup menderita demi
cintanya.
Kemudian Rasulullah menerima wahyu dari Allah, bahwa Allah menyaksikan isi hati
Abubakar, yang sesuai dengan apa yang diucapkan lisannya. Di sini Allah
bersaksi bahwa Abubakar benar-benar orang beriman yang nyata. Begitu dahsyat
iman yang ada di dada Abubakar, mendorongnya untuk siap mati demi cintanya pada
Rasulullah. Sedangkan kita baru sampai pada tahap mengaku, belum dihadapkan
pada konsekuensi yang berat atas cinta kita pada Rasulullah, seperti yang
terjadi pada Abubakar.
Ditambah lagi Allah menjadikan Abubakar bagaikan mata, telinga, kepala dan roh
bagi Nabi. Ini bukti kecintaan Allah pada Abubakar, sebuah persaksian dari
Allah, yang Maha Tahu. Kesaksian Allah akan kesungguhan Abubakar dalam
mencintai Nabi, hingga mau menemani Nabi dalam keadaan genting.
Peristiwa hijrah Nabi beserta Abubakar juga tercantum
dalam Tafsir As Shafi karya Al Faidhul Kasyani jilid 2 hal 296 dan 344,
Tafsir Al Ayyashi jiild 1 hal 102, Al Ihtijaj karya At Thabrasi jilid 1 hal 14,
, Hilyatul Abrar, karya Hasyim Al Bahrani jilid 2 hal 16, 17, dan banyak sumber
lainnya.
Di sini kita merasa heran, orang yang dibenci oleh syi’ah
hari ini ternyata dicintai oleh Allah. Lalu siapa yang benar? Syi’ah atau
Allah?
Ini menimbulkan satu pertanyaan besar, mungkinkah orang yang dijadikan Allah
sebagai pendengaran, mata, kepala dan ruh bagi Nabi berkhianat dan mengingkari
wasiat Nabi? Jika memang Ali benar-benar sudah dilantik oleh Nabi untuk menjadi
khalifah, mana mungkin Abubakar mau menjadi Imam, karena sudah pasti Abubakar
mengetahui pelantikan dan wasiat itu, jika memang ada. Karena Abubakar adalah
bagaikan mata Nabi, telinga, kepala dan ruh Nabi. Dan Allah adalah Maha Tahu, mengetahui
apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Hingga waktu Allah mewahyukan
hal itu pada Nabi, tentunya Allah tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari.
Marilah kita lapangkan dada kita untuk mencintai orang
yang dicintai Allah.
Kita pasti tak rela jika orang yang kita cintai dihina,
dicaci maki dan dikutuk. Misalnya jika ada orang yang mengutuk ibu kita, sudah
pasti kita marah dan murka. Kita marah ketika ibu yang melahirkan kita dan
banyak berjasa pada kita, begitu saja dimaki-maki. Bagaimana dengan Allah?
Apakah kita berani mengutuk dan menuduh orang yang dicintai Allah? Siapkah kita
mempertanggungjawabkan makian kita pada Abubakar di depan Allah?