Wednesday, June 24, 2015

Bagaimana Mengikuti Keluarga Nabi ?

Syiah selalu mengklaim mereka mengikuti mazhab ahlulbait, keluarga Nabi nan suci. Sementara mazhab lainnya diklaim membenci keluarga Nabi, memusuhi keluarga Nabi. Namun ada pertanyaan penting tentang mengikuti keluarga Nabi, namun pertanyaan ini selalu terlewatkan. Sekali lagi, pertanyaan ini penting, namun sekali lagi, pertanyaan ini selalu terlewatkan.
Kita selalu mendengar ajakan untuk mengikuti keluarga Nabi, namun ada pertanyaan penting, yaitu bagaimana cara mengikuti keluarga Nabi? Pertanyaan ini tak kalah pentingnya dengan ajakan mengikuti keluarga Nabi, bahkan bisa dibilang sebagai inti persoalan dalam upaya kita untuk mengikuti keluarga Nabi. artinya, mengikuti keluarga Nabi tidak bisa hanya sekedar slogan dan simbol verbal, tetapi kenyataan yang ada –non verbal- haruslah sesuai dengan slogan yang diucapkan. Bisa jadi ada agenda lain yang sengaja tidak ditampakkan dari jargon mengikuti ahlulbait, ini terjadi ketika pernyataan non verbal bertentangan dengan pernyataan verbal.
Ada dua syarat yang harus dipenuhi agar kita –yang hidup pada abad 21, setelah 1200 tahun menghilangnya imam mahdi syiah-  dapat mengikuti para imam syiah yang hidup lebih dari 1200 tahun yang lalu. Meski ada penyanyi yang bersyair : seribu tahun tak lama, hanya sekejap mata…. , seribu tahun tetaplah bukan waktu yang singkat.
Syarat pertama bagi mengikuti ahlubait adalah kita mengetahui perbuatan dan ucapan mereka, karena kita akan mengikuti perintah ahlulbait, dan mencontoh perbuatan mereka. Tanpa kita mengetahui ucapan dan perbuatan ahlulbait, kita tidak akan bisa mengikuti mereka. Syarat ini mutlak harus dipenuhi. Bagaimana orang bisa mengikuti UUD 45 –misalnya- tanpa mengetahui isi UUD 45 itu, atau bagaimana kita bisa mengikuti instruksi walikota –sekali lagi misalnya- tanpa tahu apa isi instruksinya.
Pertanyaan kita sekarang, bagaimana hari ini kita bisa mengakses ucapan dan perbuatan ahlulbait? Tentunya dari mengikuti hadits dan riwayat yang ada. Syiah memiliki kitab-kitab yang memuat ucapan dan perbuatan ahlulbait, sehingga mereka bisa mengikutinya. Inilah satu-satunya jalan bagi syiah untuk mengikuti ahlulbait Nabi. Namun kita tidak bisa percaya begitu saja dengan setiap klaim yang ada.
Jika kita telusuri lagi khazanah hadits syiah, kita akan menemukan banyak hal yang memaksa kita untuk tidak bisa mempercayai isi hadits syiah lagi, ini karena masalah-masalah yang ada sudah sedemikian parah dan tidak lagi bisa diterima oleh akal sehat.

Syiah tidak memiliki kitab biografi perawi, sampai akhirnya Al Kisysyi menyusun kitabnya ikhtiyar ma’rifatur rijal yang kemudian dikenal dengan nama rijalul kisyi,pada abad ke 5 hijriyah, menyusun kitab biografi perawi yang sangat ringkas. Mengapa kita perlu kitab biografi perawi? Karena tanpa kitab biografi perawi kita tidak akan bisa menelusuri status validitas seorang perawi, yang menjadi kunci bagi sebuah riwayat.
Kitab Al Kisyi begitu ringkas, dan memuat keterangan yang kontradiktif tentang status validitas perawi, begitu juga siapa yang menelusuri kitab-kitab biografi syiah, akan menemukan banyak kesalahan akibat kemiripan nama dan julukan.

Syiah tidak memiliki standar untuk penilaian hadits atau riwayat, sedangkan kontradiksi yang ada pada riwayat-riwayat syiah begitu banyak hingga tidak perlu dibuktikan lagi, ada baiknya bagi pembaca untuk mengetahui sedikit dari kontradiksi riwayat-riwayat syiah.
Bahkan kita susah untuk menelusuri sebuah sanad, satu lagi indikasi pemalsuan dalam hadits-hadits syiah. Pembaca yang ingin membuktikan hal ini hendaknya menelaah kitab “Kasru Shanam” karya Ayatullah Al Burqu’I –seorang ulama syiah kembali ke pangkuan ahlussunnah setelah melalui proses perenungan dan perjalanan panjang-, dalam bukunya Al Burqu’I menerangkan kontradiksi yang ada pada kitab Al Kafi – kitab tershahih dalam khazanah hadits syiah-. Asal pembaca tahu saja, yang dibedah oleh Al Burqu’I hanyalah jilid 1 dan 2 dari kitab Al Kafi, sementara kitab Al Kafi yang ada hari ini berjumlah 8 jilid. Jika kitab Al Kafi saja mengandung begitu banyak kontradiksi dan pertentangan, pembaca bisa membayangkan bagaimana dengan kitab-kitab lainnya.
Tidak ada penulisan kitab tentang ilmu hadits hingga munculnya Zainuddin Al Amili yang dijuluki As Syahid Ats Tsani (meninggal dunia tahun 965H)

Al Ha’iri, seorang ulama syiah, menyatakan :
Salah satu informasi yang tidak diragukan lagi kebenarannya oleh siapa pun, yaitu tidak ada ulama kita yang menulis tentang ilmu hadits sebelum As Syahid Ats Tsani (Muqtabasul Atsar jilid 3 hal 73)

Bahkan klasifikasi hadits shahih dan dhaif dalam khazanah hadits syiah baru dimulai pada abad ke 7 hijriyah, Al Hurr Al Amili menyatakan:

Istilah ini baru digunakan pada zaman Allamah ( Ibnu Muthahhar Al Hilli) atau gurunya, yaitu Ahmad bin Thawus, seperti diketahui, dan mereka mengakuinya.
Al Amili menyatakan hal ini dalam Wasa’il Syi’ah jilid 30 hal 262,

Mestinya ulama syiah sampai abad ke 7 merasa nyaman dengan tidak adanya klasifikasi hadits, artinya mereka tidak merasa perlu adanya penelitian hadits. Bagi mereka, setiap hadits yang ada bisa diterima dan digunakan tanpa perlu susah-susah meneliti. Bagaimana mau meneliti wong metodologinya saja tidak ada. Lalu mengapa ulama pada abad ke 7 merasa perlu membuat klasifikasi hadits shahih dan dhaif?
Jika kita perhatikan lagi, cabang ilmu ini “muncul” dicetuskan pada zaman Al Hilli, yang mendapatkan bantahan dari Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhajus Sunnah, dimana dijelaskan bahwa syiah tidak memiliki kitab biografi perawi, ini nampak jelas pada pernyataan Al Hurr Al Amili berikut ini:

Mereka yang tidak mengetahui hal itu darinya, tahu bahwa itulah cara untuk meriwayatkan riwayat yang dipercaya, dari guru yang mengajarkan riwayat itu. dan manfaat dari menyebutkan hal itu adalah sekedar mencari berkah karena bersambungnya rangkaian berita yang bersambung dari lisan ke lisan, dan untuk menghindari ejekan kaum awam terhadap syi’ah, (istilah awam dalam literatur syiah berarti sunni), yang mengejek syiah bahwa hadits syiah tidak memiliki (‘an’anah) sanad, tetapi hanya dinukil dari kitab-kitab ulama terdahulu mereka. Wasa’il Syi’ah jilid 30 hal 258.

Di sini al Hurr Al Amili, bahwa penyebutan sanad hanya sekedar untuk menghindari “serangan” dari ahlussunnah, dan sebenarnya standar keshahihan adalah perawi hadits yang tsiqah, dan ini tidak bisa menjamin keshahihan sebuah hadits, karena tidak diektahui dari mana mereka meriwayatkan hadits, alias perawi-perawi sebelumnya tidak diketahui. Karena sebenarnya hadits syiah tidak memiliki sanad yang jelas. Jika memang memperhatikan sanad mestinya sejak abad pertama ulama syiah telah memperhatikan sanad sejak abad pertama.
Maka bisa disimpulkan ilmu hadits dalam khazanah syiah sebenarnya hanya mencomot dari ahlussunnah, untuk menghindari hujatan ahlussunnah terhadap syiah. Al Hairi, ulama syi’ah kenamaan, mengatakan:

Salah satu informasi yang tidak diragukan lagi kebenarannya oleh siapa pun, yaitu tidak ada ulama kita yang menulis tentang ilmu hadits sebelum As Syahid Ats Tsani, ilmu hadits adalah ilmu yang dimiliki kaum awam(Muqtabasul Atsar jilid 3 hal 73)
Artinya memang dari dulu syiah tidak memperhatikan ilmu hadits, bagi mereka memang hadits tidak perlu diteliti. Mengapa tidak perlu diteliti? Inilah pertanyaan yang mencari jawaban. Saya tidak bisa menduga-duga jawabannya.
Yang dimaksud dengan kaum awam adalah ahlussunnah. Kesaksian ulama syiah sendiri, tentang kehati-hatian ahlussunnah dalam meriwayatkan hadits. Juga bahwa selama ini syiah mencontek kaedah-kaedah yang dirumuskan oleh para ulama ahlussunnah sejak dahulu kala.
Al Hurr Al Amili menambahkan:

Metode ulama syiah kuno berbeda dengan metode kaum awam (ahlussunnah) sementara istilah yang baru sesuai dengan keyakinan kaum awam, dan perumusan istilah mereka, bahkan (istilah yang baru) diambil dari buku-buku mereka, seperti yang nampak jelas ketika anda memperhatikan, ini seperti yang dipahami dari pernyataan syaikh Hasan, dan ulama lainnya. Wasa’il Syi’ah jilid 30 hal 259.
Dalam ilmu jarh wa ta’dil yang akhirnya mereka rumuskan, memuat perbedaan dan kontradiksi yang begitu banyak mengenai definisi dan syarat-syarat di dalamnya, sampai-sampai Al Faidh Al Kasyani, salah seorang ulama syiah kenamaan, menyatakan:

Dalam jarah wa ta’dil syarat-syaratnya memuat banyak perbedaan dan kontradiksi serta kemiripan yang hampir tak mungkin terpecahkan, hingga membuat jiwa menjadi tenang, seperti diketahui oleh mereka yang berpengalaman dalam hal ini. Al Wafi jilid 1 hal 11- 12
Barangkali saya boleh memberikan masukan pada temen-temen syiah, daripada menulis blog untuk menyerang mazhab ahlussunnah dan menghina sahabat Nabi, lebih baik memecahkan masalah yang ada dalam mazhab mereka sendiri. Karena sampai hari ini ulama syiah yang berkompeten di Qum sana belum bisa memecahkannya. Ini lebih baik karena jika mazhab sendiri belum jelas mengapa menyerang mazhab lain. Saya sarankan bagi kawan-kawan syiah yang masih ada di Qum membentuk tim untuk menyelesaikan masalah-masalah ini. Ini akan memperluas cakrawala mereka tentang mazhab mereka sendiri, dan memberikan pengalaman ilmiyah yang luar biasa, sehingga bisa menjadi bekal mereka di tanah air.
Inilah pengakuan dari ulama syiah yang mumpuni dalam cabang ilmu jarah wa ta’dil, tetapi pengakuan itu bisa jadi tidak ada apa-apanya dibanding pengakuan Al Hurr Al Amili yang dalam penjelasan tentang definisi hadits shahih:
Bahkan ini membuat konsekuensi untuk mendhaifkan seluruh hadits yang ada, ketika diteliti, karena mereka mendefinisikan hadits shahih sebagai hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil, bermadzhab imamiyah, yang kuat hapalannya, di seluruh tingkatan sanad hatid, padahal mereka tidak menerangkan keadilan seorang rawi kecuali sangat jarang, tetapi mereka menjelaskan status tsiqah, dan ini tidak mengandung kesaksian mengenai adilnya orang itu, karena di antara keduanya ada hubungan keumuman dari satu sisi, seperti dinyatakan oleh As Syahid Tsani dan ulama lainnya, dan pernyataan ulama syiah kurun terakhir yang menyatakan bahwa kata tsiqah berarti adil dan kuat hapalannya, tidak bisa diterima, dan mereka diminta untuk mendatangkan bukti, dan bagaimana mereka bisa mendatangkan bukti? Mereka sendiri menyatakan hal yang berlawanan dengan hal itu, mereka menganggap tsiqah orang yang mereka yakini sendiri sebagai orang fasik, kafir dan rusak akidahnya. Wasa’il syi’ah jilid 30 hal 260.
Sebuah kenyataan yang menarik, ulama besar syiah menganggap shahih riwayat hadits yang disampaikan oleh pearwi yang fasik, yang kafir dan yang rusak akidahya. Ditambah lagi bahwa para seluruh perawi, bukan kebanyakannya, tidak dikenal keadaannya, dan seluruh perawi syiah telah dinyatakan tercela, misalnya perawi sekelas Jabir Al Ju’fi, Harits Al A’war, Mughirah bin Said dan juga Zurarah bin A’yun, padahal nama-nama di atas adalah perawi kelas satu dalam khazanah periwayatan hadits syiah, begitu juga perawi lainnya yang dikenal, bahkan terdapat riwayat bahwa mereka telah dilaknat dan dikecam oleh para imam, At Thusi, ulama syiah yang juga dijuluki dengan syaikh Thaifah, menjelaskan kondisi perawi hadits syiah:

Banyak dari penulis mazhab kami menganut mazhab yang rusak, padahal kitab-kitab mereka dijadikan pedoman. Pernyataan ini dapat dilihat dalam Al Fahrasat hal 24-25.
Nampaknya syiah “kekurangan” ulama yang lurus mazhabnya, hingga ulama yang mazhabnya rusak pun masih digunakan, dan dijadikan pedoman. Nah ini membuat kita curiga, jangan-jangan ulama yang rusak mazhabnya –menganut pemahaman sesat- berhasil menyebarkan pemahamannya dalam kitab-kitab syiah, yang mana syiah tidak menyadari hal itu sehingga ajaran syiah tercemari ajaran-ajaran sesat dari para ulama yang rusak mazhabnya.
Ini dikuatkan lagi oleh Al Hurr Al Amili, yang menjelaskan metode ulama syiah dalam menilai perawi :

Mereka menganggap tsiqah orang-orang yang dianggap fasik, kafir dan  rusak akidahnya. Wasa’il Syi’ah jilid 30 hal 260.
Al Hurr Al Amili menambahkan:

Begitu juga orang-orang terpercaya,ulama-ulama besar seperti para penukil ijma’ dan lainnya, mereka meriwayatkan dari perawi dhaif, pemalsu hadis, orang-orang yang tidak dikenal, padahal mereka mengetahui kondisi perawi itu, tetapi mereka tetap meriwayatkan dari para perawi itu, dan menyatakan hadits mereka shahih. Wasa’il Syiah jilid 30 hal 206.
Ini karena para ulama besar syiah, sepenuhnya sadar bahwa mereka mengalami krisis perawi shahih. Jika mereka tidak menerima hadits dari perawi dhaif, tidak jelas keadaannya, dan para pemalsu hadits, maka syiah tidak lagi memiliki hadits, karena seluruh haditsnya bermasalah. Mungkin mereka berpikiran daripada tidak ada hadits sama sekali, lebih baik menerima periwayatan dari perawi yang dhaif dan para pemalsu hadits. Mereka juga memikirkan generasi penerus syiah, mereka akan malu jika mazhab yang katanya mazhab ahlulbait Nabi tidak memiliki hadits apa pun. Yang membuat kita miris, para ulama besar syiah itu meyakini hadits yang diriwayatkan dari pemalsu hadits, perawi dhaif dan tidak jelas sebagai riwayat shahih.

Literatur induk syiah seperti Biharul Anwar, Wasa’il Syiah, Mustadrak Wasa’il, dikatakan bahwa kitab-kitab itu mengumpulkan isi 70 sampai 80 kitab yang konon tidak pernah dilihat siapa pun sebelumnya, juga tidak pernah dinukil oleh siapa pun. Artinya kitab-kitab itu betul-betul baru, tidak pernah dilihat orang sebelumnya. Seperti Majlisi yang beberapa abad yang lalu mengklaim telah mengumpulkan hadits dari kitab-kitab syiah dalam Biharul Anwar, tetapi ada lagi orang yang hidup sesudahnya yang menyusun kitab-kitab baru, memuat hadits-hadits yang lebih fresh, yang belum diketahui selama seribu tahun. Akhirnya masing-masing mengklaim menemukan hadits baru yang belum diketahui sebelumnya.
Mari kita buat pengandaian, anggap saja hadits-hadits syiah seluruhnya shahih dan terbebas dari perawi yang memalsu hadits dan tidak mengalami perubahan, tetapi  kemungkinan taqiyah tetap ada. Artinya mungkin saja imam yang mengatakan hadits itu bertaqiyah. Maka jika ulama syiah ingin menghukumi suatu hadits sebagai shahih, mereka menganggap bahwa celaan imam pada perawi hadits itu adalah bentuk taqiyah, artinya imam tidak benar-benar mencela si perawi, tetapi hanya sekedar bertaqiyah. Artinya, imam berpura-pura mencela, sedang sebenarnya sang imam tidak mencela, malah memujinya.
Tetapi mestinya ulama syiah bertanya-tanya, mana bukti bahwa pernyataan itu adalah taqiyah?
Inilah nasib hadits yang menjadi sumber ajaran syiah:

Hadits-hadits palsu, yang isinya mustahil dinyatakan oleh para imam, jika memang imam benar mengatakannnya, namun perawinya tidak bisa dipercaya, jika memang perawinya bisa dipercaya, tetapi tidak bisa dilakukan pembuktian karena: Sanadnya terputus, dan perawi-perawinya majhul, tidak dikenal orangnya maupun statusnya. Banyak sekali kontradiksi dalam hadits-hadits syiah, bahkan sampai pada masalah-masalah akidah yang penting. Hal ini membuat ulama syiah sendiri mengeluh. Kontradiksi ini adalah akibat dari tidak membedakan antara hadits shahih dan dhaif. Salah satu ulama syiah yang mengeluh adalah Muhammad bin Hasan At Thusi, karena banyaknya kontradiksi dalam hadis syiah: setiap hadits pasti ada hadits lain yang berlawanan. Bisa dilihat dalam tahdzibul ahkam jilid 1 hal 2-3.
Sementara Al Faidh Al Kasyani menyatakan: Kita lihat mereka berbeda pendapat dalam sebuah masalah, hingga mencapai dua puluh pendapat, tiga puluh pendapat atau lebih, bahkan aku bisa mengatakan tidak ada masalah furu’ yang tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya, atau dalam masalah lain yang terkait. Al Wafi, Muqaddimah, hal 9.
Dalam kitab Rijalul Kisysyi, salah satu kitab biografi syiah, tercantum riwayat berikut:

Faidh bin Mukhtar mengeluh pada Abu Abdullah : semoga aku dijadikan tebusanmu, mengapa banyak sekali kontradiksi antara syiah kalian? Abu Abdullah menjawab: perbedaan apa? Faidh berkata: saya duduk di majelis pelajaran mereka di Kufah, aku hampir saja meragukan perbedaan mereka dalam hadits, lalu Abu Abdullah berkata: ya, kondisinya seperti yang engkau sebutkan, orang-orang banyak berbohong atas nama kami, jika aku mengatakan suatu hadits pada mereka, mereka tidak keluar dari majelisku, hingga mereka memahaminya dengan pemahaman yang keliru, karena mereka mencari hadits dan mencintai kami bukan mencari keridhoan Allah, mereka hanya mencari dunia, masing-masing ingin dianggap ulama. Rijalul Kisyi hal 135 – 136.
Para ulama syiah juga berbeda pendapat mengenai kitab rujukan syiah, perbedaan yang ada dalam hal ini sangatlah besar, membuat kita ragu lagi akan orisinalitas kitab-kitab itu, misalnya Kitab Al Kafi, terjadi perbedaan mengenai jumlah jilidnya. Ada yang mengatakan 50 jilid, ada lagi yang mengatakan 30 jilid. Dalam Al Fahrasat hal 161, At Thusi (wafat tahun 360 H) mengatakan: kitab Al Kafi berjumlah 30 jilid…
Sementara Hasan Haidar Al Karki Al Amili (wafat tahun 1076 H) menyatakan dalam Raudhatul Jannat jilid 6 hal 114: Kitab Al Kafi terdiri dari 50 jilid, setiap hadits memiliki sanad bersambung pada para imam. Sementara Kitab Al kafi yang ada pada jaman kita sekarang ini ( tahun 2009 ) hanya berjumlah 8 jilid. Lalu mana yang benar? 8 jilid, 30 jilid, atau 50 jilid? Silahkan kawan-kawan syiah memilih sendiri.
Sementara kitab tahdzibul Ahkam karya At Thusi, mengalami pendambahan kurang lebih 7900 hadits. Agha Barzak menyatakan dalam Ad Dzari’ah (jilid 4 hal 504), begitu juga Muhsin Al Amili dalam A’yanus Syi’ah, bahwa jumlah hadits kitab tahdzibul ahkam adalah 13950 hadits. sementara At Thusi sendiri dalam kitab Uddatul ushul menerangkan jumlah hadits dalam tahdzibul ahkam, yaitu lebih dari 5000 hadits, artinya tidak mencapai 6000 hadits, lalu dari mana asalnya tambahan 7950 hadits?
Barangkali teman-teman syiah yang membaca makalah ini memiliki jawaban. Atau jika tidak memiliki jawaban, silahkan mengusulkan pada ustadz di wilayahnya untuk mengusulkan lagi ke “upline” mereka, agar dibentuk tim untuk mencari jawabannya. Saya kira syiah tidak kekurangan SDM untuk mencari jawaban.
Begitu pula tidak ada ulama syiah yang meriwayatkan hadits dari jalan periwatan kitab yang ditulis lebih dulu. Seperti kitab Al Kafi, tidak ada ulama syiah yang meriwayatkan hadits dari sanad periwayatan Al Kafi, paling tidak selama enam abad, bahkan tidak ada yang menukil dari Al Kafi. Mestinya Ibnu Muthahhar Al Hilli yang dianggap ulama besar syiah, ketika menulis kitab Minhajul Karamah mengutip hadits atau riwayat dari Al Kafi, bahkan dalam kitabnya Ibnu Muthahhar tidak menyebut kitab Al Kafi satu kali pun. Jika kita perhatikan, muncul pertanyaan besar di sini, apakah Al Hilli tidak mengetahui adanya kitab Al Kafi yang menjadi kitab hadits utama bagi syiah?
Maka kita bisa mengatakan bahwa kitab-kitab hadits syiah, yang menyertakan sanad di dalamnya termasuk kitab Al Kafi, seluruhnya dibuat pada abad ke delapan Hijriyah, begitu juga kitab-kitab biografi perawi syiah.
Jika kita memperhatikan lebih dalam ke kitab-kitab hadits syiah, maka kita bisa yakin bahwa kitab-kitab itu sengaja dibuat oleh orang-orang yang tidak mendalami ilmu hadits, anda akan menemukan orang yang tidak dikenal sepanjang masa, bisa meriwayatkan dengan jalur sanad yang bagus, dan dari para imam ahlussunnah, silahkan lihat kitab Mi’ah Manqabah karya Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Hasan Al Qummi yang dikenal dengan julukan Ibnu Syadzan, atau kitab Syawahid At Tanzil yang konon ditulis oleh Al Hasakani, akan anda lihat buktinya.
Kebanyakan kitab syiah, termasuk Al Kafi, tidak pernah dikenal sebelum era Shafawiyah, bahkan tidak pernah ada kitab yang menukil dari Al Kafi, maka kita lihat Ibnu Muthahhar Al Hilli tidak menukil dari Al Kafi. Begitu juga kitab Al Kafi tidak dikenal oleh Ibnu Taimiyah, dalam Minhajussunnah, Ibnu Taimiyah menyebutkan beberapa ulama syiah salah satunya Muhammad bin Nu’man yang dijuluki Al Mufid, tetapi tidak menyinggung Kulaini dan kitabnya, Al Kafi.
Jika kita perhatikan lagi, seluruh perawi syiah –tentunya dalam kitab syiah - yang meriwayatkan dari para imam ahlul bait, khususnya yang meriwayatkan dari Ja’far As Shadiq, seluruh perawi itu tinggal di kufah, padahal Ja’far As Shadiq dan para imam ahlul bait sebelumnya tinggal di madinah. Maka kita tidak menemukan bangunan kubur Ja’far As Shadiq, Muhammad Al Baqir dan Ali Zainal Abidin, seperti kita temukan bangunan di atas kubur Musa Al Kazhim misalnya, atau Hasan Al Askari, karena Ja’far As Shadiq, Muhammad Al Baqir dan  Ali Zainal Abidin meninggal dunia di kota Madinah, di tengah penganut ahlussunnah. Maka Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa mazhab rafidhah –yaitu mazhab syiah saat ini, yang memiliki ciri khas membenci Abubakar dan Umar- tidak dikenal di kota Madinah sebelum abad 6 Hijriyah. Artinya, dari awal masa Islam sampai abad ke 6 tidak ada mazhab syiah di madinah.
Pertanyaan penting yang muncul –paling tidak bagi orang berakal sehat- kapan para perawi yang tinggal di Kufah itu bertemu Ja’far As Shadiq dan Muhammad Al Baqir,dan meriwayatkan begitu banyak hadits? Bagaimana mereka bisa melakukan itu? Meskipun secara logika mungkin terjadi, bagaimana mereka bisa luput dari pengawasan bani Abbasiyah yang selalu mengawasi gerak-gerik ahlulbait Nabi, apalagi setelah peristiwa pemberontakan yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdullah bin Hasan yang dikenal dengan nama An Nafsu Az Zakiyyah. Apalagi riwayat dari Ja’far As Shadiq berjumlah ribuan. Bagaimana orang yang berjumpa beberapa kali –jika memang pernah berjumpa- bisa meriwayatkan ribuan hadits?
Contoh kasus dari hal ini bisa anda temui dalam makalah Abu Hurairah vs Jabir Al Ju’fi dalam situs ini. Tetapi bagi syiah cukup dengan percaya dan beriman begitu saja, tanpa harus berpikir dan meneliti, tanpa harus mempertanyakan semuanya pada para ustad, cukup terima saja keterangan dari ustadz tanpa membantah.  Mengenai apakah ajaran yang dianutnya benar-benar ajaran keluarga Nabi atau bukan, itu bukan masalah.