Syiah
selalu mengklaim mereka mengikuti mazhab ahlulbait, keluarga Nabi nan suci.
Sementara mazhab lainnya diklaim membenci keluarga Nabi, memusuhi keluarga
Nabi. Namun ada pertanyaan penting tentang mengikuti keluarga Nabi, namun
pertanyaan ini selalu terlewatkan. Sekali lagi, pertanyaan ini penting, namun
sekali lagi, pertanyaan ini selalu terlewatkan.
Ada
dua syarat yang harus dipenuhi agar kita –yang hidup pada abad 21, setelah 1200
tahun menghilangnya imam mahdi syiah- dapat mengikuti para imam syiah
yang hidup lebih dari 1200 tahun yang lalu. Meski ada penyanyi yang bersyair :
seribu tahun tak lama, hanya sekejap mata…. , seribu tahun tetaplah bukan waktu
yang singkat.
Syarat
pertama bagi mengikuti ahlubait adalah kita mengetahui perbuatan dan ucapan
mereka, karena kita akan mengikuti perintah ahlulbait, dan mencontoh perbuatan
mereka. Tanpa kita mengetahui ucapan dan perbuatan ahlulbait, kita tidak akan
bisa mengikuti mereka. Syarat ini mutlak harus dipenuhi. Bagaimana orang bisa
mengikuti UUD 45 –misalnya- tanpa mengetahui isi UUD 45 itu, atau bagaimana
kita bisa mengikuti instruksi walikota –sekali lagi misalnya- tanpa tahu apa
isi instruksinya.
Pertanyaan
kita sekarang, bagaimana hari ini kita bisa mengakses ucapan dan perbuatan
ahlulbait? Tentunya dari mengikuti hadits dan riwayat yang ada. Syiah memiliki
kitab-kitab yang memuat ucapan dan perbuatan ahlulbait, sehingga mereka bisa
mengikutinya. Inilah satu-satunya jalan bagi syiah untuk mengikuti ahlulbait
Nabi. Namun kita tidak bisa percaya begitu saja dengan setiap klaim yang ada.
Jika
kita telusuri lagi khazanah hadits syiah, kita akan menemukan banyak hal yang
memaksa kita untuk tidak bisa mempercayai isi hadits syiah lagi, ini karena
masalah-masalah yang ada sudah sedemikian parah dan tidak lagi bisa diterima
oleh akal sehat.
Syiah tidak memiliki kitab biografi perawi, sampai akhirnya Al Kisysyi menyusun
kitabnya ikhtiyar ma’rifatur rijal yang kemudian dikenal dengan nama rijalul
kisyi,pada abad ke 5 hijriyah, menyusun kitab biografi perawi yang sangat
ringkas. Mengapa kita perlu kitab biografi perawi? Karena tanpa kitab biografi
perawi kita tidak akan bisa menelusuri status validitas seorang perawi, yang
menjadi kunci bagi sebuah riwayat.
Kitab
Al Kisyi begitu ringkas, dan memuat keterangan yang kontradiktif tentang status
validitas perawi, begitu juga siapa yang menelusuri kitab-kitab biografi syiah,
akan menemukan banyak kesalahan akibat kemiripan nama dan julukan.
Syiah tidak memiliki standar untuk penilaian hadits atau riwayat, sedangkan
kontradiksi yang ada pada riwayat-riwayat syiah begitu banyak hingga tidak
perlu dibuktikan lagi, ada baiknya bagi pembaca untuk mengetahui sedikit dari
kontradiksi riwayat-riwayat syiah.
Bahkan
kita susah untuk menelusuri sebuah sanad, satu lagi indikasi pemalsuan dalam
hadits-hadits syiah. Pembaca yang ingin membuktikan hal ini hendaknya menelaah
kitab “Kasru Shanam” karya Ayatullah Al Burqu’I –seorang ulama syiah kembali ke
pangkuan ahlussunnah setelah melalui proses perenungan dan perjalanan panjang-,
dalam bukunya Al Burqu’I menerangkan kontradiksi yang ada pada kitab Al Kafi –
kitab tershahih dalam khazanah hadits syiah-. Asal pembaca tahu saja, yang
dibedah oleh Al Burqu’I hanyalah jilid 1 dan 2 dari kitab Al Kafi, sementara
kitab Al Kafi yang ada hari ini berjumlah 8 jilid. Jika kitab Al Kafi saja
mengandung begitu banyak kontradiksi dan pertentangan, pembaca bisa
membayangkan bagaimana dengan kitab-kitab lainnya.
Tidak
ada penulisan kitab tentang ilmu hadits hingga munculnya Zainuddin Al Amili
yang dijuluki As Syahid Ats Tsani (meninggal dunia tahun 965H)
Al Ha’iri, seorang ulama syiah, menyatakan :
Salah satu informasi yang tidak diragukan lagi kebenarannya oleh siapa pun,
yaitu tidak ada ulama kita yang menulis tentang ilmu hadits sebelum As Syahid
Ats Tsani (Muqtabasul Atsar jilid 3 hal 73)
Bahkan
klasifikasi hadits shahih dan dhaif dalam khazanah hadits syiah baru dimulai
pada abad ke 7 hijriyah, Al Hurr Al Amili menyatakan:
Istilah ini baru digunakan pada zaman Allamah ( Ibnu Muthahhar Al Hilli) atau
gurunya, yaitu Ahmad bin Thawus, seperti diketahui, dan mereka mengakuinya.
Al
Amili menyatakan hal ini dalam Wasa’il Syi’ah jilid 30 hal 262,
Mestinya ulama syiah sampai abad ke 7 merasa nyaman dengan tidak adanya
klasifikasi hadits, artinya mereka tidak merasa perlu adanya penelitian hadits.
Bagi mereka, setiap hadits yang ada bisa diterima dan digunakan tanpa perlu
susah-susah meneliti. Bagaimana mau meneliti wong metodologinya saja tidak ada.
Lalu mengapa ulama pada abad ke 7 merasa perlu membuat klasifikasi hadits
shahih dan dhaif?
Jika
kita perhatikan lagi, cabang ilmu ini “muncul” dicetuskan pada zaman Al Hilli,
yang mendapatkan bantahan dari Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhajus Sunnah,
dimana dijelaskan bahwa syiah tidak memiliki kitab biografi perawi, ini nampak
jelas pada pernyataan Al Hurr Al Amili berikut ini:
Mereka yang tidak mengetahui hal itu darinya, tahu bahwa itulah cara untuk
meriwayatkan riwayat yang dipercaya, dari guru yang mengajarkan riwayat itu.
dan manfaat dari menyebutkan hal itu adalah sekedar mencari berkah karena
bersambungnya rangkaian berita yang bersambung dari lisan ke lisan, dan untuk
menghindari ejekan kaum awam terhadap syi’ah, (istilah awam dalam literatur
syiah berarti sunni), yang mengejek syiah bahwa hadits syiah tidak memiliki
(‘an’anah) sanad, tetapi hanya dinukil dari kitab-kitab ulama terdahulu mereka.
Wasa’il Syi’ah jilid 30 hal 258.
Di sini al Hurr Al Amili, bahwa penyebutan sanad hanya sekedar untuk
menghindari “serangan” dari ahlussunnah, dan sebenarnya standar keshahihan
adalah perawi hadits yang tsiqah, dan ini tidak bisa menjamin keshahihan sebuah
hadits, karena tidak diektahui dari mana mereka meriwayatkan hadits, alias
perawi-perawi sebelumnya tidak diketahui. Karena sebenarnya hadits syiah tidak
memiliki sanad yang jelas. Jika memang memperhatikan sanad mestinya sejak abad pertama
ulama syiah telah memperhatikan sanad sejak abad pertama.
Maka
bisa disimpulkan ilmu hadits dalam khazanah syiah sebenarnya hanya mencomot
dari ahlussunnah, untuk menghindari hujatan ahlussunnah terhadap syiah. Al
Hairi, ulama syi’ah kenamaan, mengatakan:
Salah satu informasi yang tidak diragukan lagi kebenarannya oleh siapa pun,
yaitu tidak ada ulama kita yang menulis tentang ilmu hadits sebelum As Syahid
Ats Tsani, ilmu hadits adalah ilmu yang dimiliki kaum awam(Muqtabasul Atsar
jilid 3 hal 73)
Artinya
memang dari dulu syiah tidak memperhatikan ilmu hadits, bagi mereka memang
hadits tidak perlu diteliti. Mengapa tidak perlu diteliti? Inilah pertanyaan
yang mencari jawaban. Saya tidak bisa menduga-duga jawabannya.
Yang
dimaksud dengan kaum awam adalah ahlussunnah. Kesaksian ulama syiah sendiri,
tentang kehati-hatian ahlussunnah dalam meriwayatkan hadits. Juga bahwa selama
ini syiah mencontek kaedah-kaedah yang dirumuskan oleh para ulama ahlussunnah
sejak dahulu kala.
Al
Hurr Al Amili menambahkan:
Metode ulama syiah kuno berbeda dengan metode kaum awam (ahlussunnah) sementara
istilah yang baru sesuai dengan keyakinan kaum awam, dan perumusan istilah
mereka, bahkan (istilah yang baru) diambil dari buku-buku mereka, seperti yang
nampak jelas ketika anda memperhatikan, ini seperti yang dipahami dari
pernyataan syaikh Hasan, dan ulama lainnya. Wasa’il Syi’ah jilid 30 hal 259.
Dalam
ilmu jarh wa ta’dil yang akhirnya mereka rumuskan, memuat perbedaan dan
kontradiksi yang begitu banyak mengenai definisi dan syarat-syarat di dalamnya,
sampai-sampai Al Faidh Al Kasyani, salah seorang ulama syiah kenamaan,
menyatakan:
Dalam jarah wa ta’dil syarat-syaratnya memuat banyak perbedaan dan kontradiksi
serta kemiripan yang hampir tak mungkin terpecahkan, hingga membuat jiwa
menjadi tenang, seperti diketahui oleh mereka yang berpengalaman dalam hal ini.
Al Wafi jilid 1 hal 11- 12
Barangkali
saya boleh memberikan masukan pada temen-temen syiah, daripada menulis blog
untuk menyerang mazhab ahlussunnah dan menghina sahabat Nabi, lebih baik
memecahkan masalah yang ada dalam mazhab mereka sendiri. Karena sampai hari ini
ulama syiah yang berkompeten di Qum sana belum bisa memecahkannya. Ini lebih
baik karena jika mazhab sendiri belum jelas mengapa menyerang mazhab lain. Saya
sarankan bagi kawan-kawan syiah yang masih ada di Qum membentuk tim untuk
menyelesaikan masalah-masalah ini. Ini akan memperluas cakrawala mereka tentang
mazhab mereka sendiri, dan memberikan pengalaman ilmiyah yang luar biasa,
sehingga bisa menjadi bekal mereka di tanah air.
Inilah
pengakuan dari ulama syiah yang mumpuni dalam cabang ilmu jarah wa ta’dil,
tetapi pengakuan itu bisa jadi tidak ada apa-apanya dibanding pengakuan Al Hurr
Al Amili yang dalam penjelasan tentang definisi hadits shahih:
Bahkan
ini membuat konsekuensi untuk mendhaifkan seluruh hadits yang ada, ketika
diteliti, karena mereka mendefinisikan hadits shahih sebagai hadits yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil, bermadzhab imamiyah, yang kuat
hapalannya, di seluruh tingkatan sanad hatid, padahal mereka tidak menerangkan
keadilan seorang rawi kecuali sangat jarang, tetapi mereka menjelaskan status
tsiqah, dan ini tidak mengandung kesaksian mengenai adilnya orang itu, karena
di antara keduanya ada hubungan keumuman dari satu sisi, seperti dinyatakan
oleh As Syahid Tsani dan ulama lainnya, dan pernyataan ulama syiah kurun
terakhir yang menyatakan bahwa kata tsiqah berarti adil dan kuat hapalannya,
tidak bisa diterima, dan mereka diminta untuk mendatangkan bukti, dan bagaimana
mereka bisa mendatangkan bukti? Mereka sendiri menyatakan hal yang berlawanan
dengan hal itu, mereka menganggap tsiqah orang yang mereka yakini sendiri
sebagai orang fasik, kafir dan rusak akidahnya. Wasa’il syi’ah jilid 30 hal
260.
Sebuah
kenyataan yang menarik, ulama besar syiah menganggap shahih riwayat hadits yang
disampaikan oleh pearwi yang fasik, yang kafir dan yang rusak akidahya.
Ditambah lagi bahwa para seluruh perawi, bukan kebanyakannya, tidak dikenal
keadaannya, dan seluruh perawi syiah telah dinyatakan tercela, misalnya perawi
sekelas Jabir Al Ju’fi, Harits Al A’war, Mughirah bin Said dan juga Zurarah bin
A’yun, padahal nama-nama di atas adalah perawi kelas satu dalam khazanah
periwayatan hadits syiah, begitu juga perawi lainnya yang dikenal, bahkan terdapat
riwayat bahwa mereka telah dilaknat dan dikecam oleh para imam, At Thusi, ulama
syiah yang juga dijuluki dengan syaikh Thaifah, menjelaskan kondisi perawi
hadits syiah:
Banyak dari penulis mazhab kami menganut mazhab yang rusak, padahal kitab-kitab
mereka dijadikan pedoman. Pernyataan ini dapat dilihat dalam Al Fahrasat hal
24-25.
Nampaknya
syiah “kekurangan” ulama yang lurus mazhabnya, hingga ulama yang mazhabnya
rusak pun masih digunakan, dan dijadikan pedoman. Nah ini membuat kita curiga,
jangan-jangan ulama yang rusak mazhabnya –menganut pemahaman sesat- berhasil
menyebarkan pemahamannya dalam kitab-kitab syiah, yang mana syiah tidak
menyadari hal itu sehingga ajaran syiah tercemari ajaran-ajaran sesat dari para
ulama yang rusak mazhabnya.
Ini
dikuatkan lagi oleh Al Hurr Al Amili, yang menjelaskan metode ulama syiah dalam
menilai perawi :
Mereka menganggap tsiqah orang-orang yang dianggap fasik, kafir dan rusak
akidahnya. Wasa’il Syi’ah jilid 30 hal 260.
Al
Hurr Al Amili menambahkan:
Begitu juga orang-orang terpercaya,ulama-ulama besar seperti para penukil ijma’
dan lainnya, mereka meriwayatkan dari perawi dhaif, pemalsu hadis, orang-orang
yang tidak dikenal, padahal mereka mengetahui kondisi perawi itu, tetapi mereka
tetap meriwayatkan dari para perawi itu, dan menyatakan hadits mereka shahih.
Wasa’il Syiah jilid 30 hal 206.
Ini
karena para ulama besar syiah, sepenuhnya sadar bahwa mereka mengalami krisis
perawi shahih. Jika mereka tidak menerima hadits dari perawi dhaif, tidak jelas
keadaannya, dan para pemalsu hadits, maka syiah tidak lagi memiliki hadits,
karena seluruh haditsnya bermasalah. Mungkin mereka berpikiran daripada tidak
ada hadits sama sekali, lebih baik menerima periwayatan dari perawi yang dhaif
dan para pemalsu hadits. Mereka juga memikirkan generasi penerus syiah, mereka
akan malu jika mazhab yang katanya mazhab ahlulbait Nabi tidak memiliki hadits
apa pun. Yang membuat kita miris, para ulama besar syiah itu meyakini hadits
yang diriwayatkan dari pemalsu hadits, perawi dhaif dan tidak jelas sebagai
riwayat shahih.
Literatur induk syiah seperti Biharul Anwar, Wasa’il Syiah, Mustadrak Wasa’il,
dikatakan bahwa kitab-kitab itu mengumpulkan isi 70 sampai 80 kitab yang konon
tidak pernah dilihat siapa pun sebelumnya, juga tidak pernah dinukil oleh siapa
pun. Artinya kitab-kitab itu betul-betul baru, tidak pernah dilihat orang
sebelumnya. Seperti Majlisi yang beberapa abad yang lalu mengklaim telah
mengumpulkan hadits dari kitab-kitab syiah dalam Biharul Anwar, tetapi ada lagi
orang yang hidup sesudahnya yang menyusun kitab-kitab baru, memuat
hadits-hadits yang lebih fresh, yang belum diketahui selama seribu tahun.
Akhirnya masing-masing mengklaim menemukan hadits baru yang belum diketahui
sebelumnya.
Mari
kita buat pengandaian, anggap saja hadits-hadits syiah seluruhnya shahih dan
terbebas dari perawi yang memalsu hadits dan tidak mengalami perubahan,
tetapi kemungkinan taqiyah tetap ada. Artinya mungkin saja imam yang
mengatakan hadits itu bertaqiyah. Maka jika ulama syiah ingin menghukumi suatu
hadits sebagai shahih, mereka menganggap bahwa celaan imam pada perawi hadits
itu adalah bentuk taqiyah, artinya imam tidak benar-benar mencela si perawi,
tetapi hanya sekedar bertaqiyah. Artinya, imam berpura-pura mencela, sedang
sebenarnya sang imam tidak mencela, malah memujinya.
Tetapi
mestinya ulama syiah bertanya-tanya, mana bukti bahwa pernyataan itu adalah
taqiyah?
Inilah
nasib hadits yang menjadi sumber ajaran syiah:
Hadits-hadits palsu, yang isinya mustahil dinyatakan oleh para imam, jika
memang imam benar mengatakannnya, namun perawinya tidak bisa dipercaya, jika
memang perawinya bisa dipercaya, tetapi tidak bisa dilakukan pembuktian karena:
Sanadnya terputus, dan perawi-perawinya majhul, tidak dikenal orangnya maupun
statusnya. Banyak sekali kontradiksi dalam hadits-hadits syiah, bahkan sampai
pada masalah-masalah akidah yang penting. Hal ini membuat ulama syiah sendiri
mengeluh. Kontradiksi ini adalah akibat dari tidak membedakan antara hadits
shahih dan dhaif. Salah satu ulama syiah yang mengeluh adalah Muhammad bin
Hasan At Thusi, karena banyaknya kontradiksi dalam hadis syiah: setiap hadits
pasti ada hadits lain yang berlawanan. Bisa dilihat dalam tahdzibul ahkam jilid
1 hal 2-3.
Sementara
Al Faidh Al Kasyani menyatakan: Kita lihat mereka berbeda pendapat dalam sebuah
masalah, hingga mencapai dua puluh pendapat, tiga puluh pendapat atau lebih,
bahkan aku bisa mengatakan tidak ada masalah furu’ yang tidak ada perbedaan
pendapat di dalamnya, atau dalam masalah lain yang terkait. Al Wafi,
Muqaddimah, hal 9.
Dalam
kitab Rijalul Kisysyi, salah satu kitab biografi syiah, tercantum riwayat
berikut:
Faidh bin Mukhtar mengeluh pada Abu Abdullah : semoga aku dijadikan tebusanmu,
mengapa banyak sekali kontradiksi antara syiah kalian? Abu Abdullah menjawab:
perbedaan apa? Faidh berkata: saya duduk di majelis pelajaran mereka di Kufah,
aku hampir saja meragukan perbedaan mereka dalam hadits, lalu Abu Abdullah
berkata: ya, kondisinya seperti yang engkau sebutkan, orang-orang banyak
berbohong atas nama kami, jika aku mengatakan suatu hadits pada mereka, mereka
tidak keluar dari majelisku, hingga mereka memahaminya dengan pemahaman yang
keliru, karena mereka mencari hadits dan mencintai kami bukan mencari keridhoan
Allah, mereka hanya mencari dunia, masing-masing ingin dianggap ulama. Rijalul
Kisyi hal 135 – 136.
Para
ulama syiah juga berbeda pendapat mengenai kitab rujukan syiah, perbedaan yang
ada dalam hal ini sangatlah besar, membuat kita ragu lagi akan orisinalitas
kitab-kitab itu, misalnya Kitab Al Kafi, terjadi perbedaan mengenai jumlah
jilidnya. Ada yang mengatakan 50 jilid, ada lagi yang mengatakan 30 jilid.
Dalam Al Fahrasat hal 161, At Thusi (wafat tahun 360 H) mengatakan: kitab Al
Kafi berjumlah 30 jilid…
Sementara
Hasan Haidar Al Karki Al Amili (wafat tahun 1076 H) menyatakan dalam Raudhatul
Jannat jilid 6 hal 114: Kitab Al Kafi terdiri dari 50 jilid, setiap hadits
memiliki sanad bersambung pada para imam. Sementara Kitab Al kafi yang ada pada
jaman kita sekarang ini ( tahun 2009 ) hanya berjumlah 8 jilid. Lalu mana yang
benar? 8 jilid, 30 jilid, atau 50 jilid? Silahkan kawan-kawan syiah memilih
sendiri.
Sementara
kitab tahdzibul Ahkam karya At Thusi, mengalami pendambahan kurang lebih 7900
hadits. Agha Barzak menyatakan dalam Ad Dzari’ah (jilid 4 hal 504), begitu juga
Muhsin Al Amili dalam A’yanus Syi’ah, bahwa jumlah hadits kitab tahdzibul ahkam
adalah 13950 hadits. sementara At Thusi sendiri dalam kitab Uddatul ushul
menerangkan jumlah hadits dalam tahdzibul ahkam, yaitu lebih dari 5000 hadits,
artinya tidak mencapai 6000 hadits, lalu dari mana asalnya tambahan 7950
hadits?
Barangkali
teman-teman syiah yang membaca makalah ini memiliki jawaban. Atau jika tidak
memiliki jawaban, silahkan mengusulkan pada ustadz di wilayahnya untuk
mengusulkan lagi ke “upline” mereka, agar dibentuk tim untuk mencari
jawabannya. Saya kira syiah tidak kekurangan SDM untuk mencari jawaban.
Begitu
pula tidak ada ulama syiah yang meriwayatkan hadits dari jalan periwatan kitab
yang ditulis lebih dulu. Seperti kitab Al Kafi, tidak ada ulama syiah yang
meriwayatkan hadits dari sanad periwayatan Al Kafi, paling tidak selama enam
abad, bahkan tidak ada yang menukil dari Al Kafi. Mestinya Ibnu Muthahhar Al
Hilli yang dianggap ulama besar syiah, ketika menulis kitab Minhajul Karamah
mengutip hadits atau riwayat dari Al Kafi, bahkan dalam kitabnya Ibnu Muthahhar
tidak menyebut kitab Al Kafi satu kali pun. Jika kita perhatikan, muncul
pertanyaan besar di sini, apakah Al Hilli tidak mengetahui adanya kitab Al Kafi
yang menjadi kitab hadits utama bagi syiah?
Maka
kita bisa mengatakan bahwa kitab-kitab hadits syiah, yang menyertakan sanad di
dalamnya termasuk kitab Al Kafi, seluruhnya dibuat pada abad ke delapan
Hijriyah, begitu juga kitab-kitab biografi perawi syiah.
Jika
kita memperhatikan lebih dalam ke kitab-kitab hadits syiah, maka kita bisa
yakin bahwa kitab-kitab itu sengaja dibuat oleh orang-orang yang tidak
mendalami ilmu hadits, anda akan menemukan orang yang tidak dikenal sepanjang
masa, bisa meriwayatkan dengan jalur sanad yang bagus, dan dari para imam
ahlussunnah, silahkan lihat kitab Mi’ah Manqabah karya Muhammad bin Ahmad bin
Ali bin Hasan Al Qummi yang dikenal dengan julukan Ibnu Syadzan, atau kitab
Syawahid At Tanzil yang konon ditulis oleh Al Hasakani, akan anda lihat
buktinya.
Kebanyakan
kitab syiah, termasuk Al Kafi, tidak pernah dikenal sebelum era Shafawiyah,
bahkan tidak pernah ada kitab yang menukil dari Al Kafi, maka kita lihat Ibnu
Muthahhar Al Hilli tidak menukil dari Al Kafi. Begitu juga kitab Al Kafi tidak
dikenal oleh Ibnu Taimiyah, dalam Minhajussunnah, Ibnu Taimiyah menyebutkan
beberapa ulama syiah salah satunya Muhammad bin Nu’man yang dijuluki Al Mufid,
tetapi tidak menyinggung Kulaini dan kitabnya, Al Kafi.
Jika
kita perhatikan lagi, seluruh perawi syiah –tentunya dalam kitab syiah - yang
meriwayatkan dari para imam ahlul bait, khususnya yang meriwayatkan dari Ja’far
As Shadiq, seluruh perawi itu tinggal di kufah, padahal Ja’far As Shadiq dan
para imam ahlul bait sebelumnya tinggal di madinah. Maka kita tidak menemukan
bangunan kubur Ja’far As Shadiq, Muhammad Al Baqir dan Ali Zainal Abidin,
seperti kita temukan bangunan di atas kubur Musa Al Kazhim misalnya, atau Hasan
Al Askari, karena Ja’far As Shadiq, Muhammad Al Baqir dan Ali Zainal Abidin
meninggal dunia di kota Madinah, di tengah penganut ahlussunnah. Maka Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa mazhab rafidhah –yaitu mazhab syiah saat ini, yang
memiliki ciri khas membenci Abubakar dan Umar- tidak dikenal di kota Madinah
sebelum abad 6 Hijriyah. Artinya, dari awal masa Islam sampai abad ke 6 tidak
ada mazhab syiah di madinah.
Pertanyaan
penting yang muncul –paling tidak bagi orang berakal sehat- kapan para perawi
yang tinggal di Kufah itu bertemu Ja’far As Shadiq dan Muhammad Al Baqir,dan
meriwayatkan begitu banyak hadits? Bagaimana mereka bisa melakukan itu?
Meskipun secara logika mungkin terjadi, bagaimana mereka bisa luput dari
pengawasan bani Abbasiyah yang selalu mengawasi gerak-gerik ahlulbait Nabi,
apalagi setelah peristiwa pemberontakan yang dipimpin oleh Muhammad bin
Abdullah bin Hasan yang dikenal dengan nama An Nafsu Az Zakiyyah. Apalagi
riwayat dari Ja’far As Shadiq berjumlah ribuan. Bagaimana orang yang berjumpa
beberapa kali –jika memang pernah berjumpa- bisa meriwayatkan ribuan hadits?
Contoh
kasus dari hal ini bisa anda temui dalam makalah Abu Hurairah vs Jabir Al Ju’fi
dalam situs ini. Tetapi bagi syiah cukup dengan percaya dan beriman begitu
saja, tanpa harus berpikir dan meneliti, tanpa harus mempertanyakan semuanya
pada para ustad, cukup terima saja keterangan dari ustadz tanpa
membantah. Mengenai apakah ajaran yang dianutnya benar-benar ajaran
keluarga Nabi atau bukan, itu bukan masalah.