Monday, July 20, 2015

Kritik atas Artikel "Sejarah Keganasan Wahabi"

Membaca artikel tulisan pak Agus Sunyoto tentang Wahhabi, hampir sama nuansanya membaca buku-buku ataupun artikel yang banyak mengulas gerakan Wahhabi itu dengan nuansa "tendensius". Seperti karya-karya Zaini Dahlan misal di-bukunya yang berjudul "Durarus Saniyyah fir Raddi 'alal Wahhabiyyah", dan memang rata-rata kebanyakan para penulis sejarah sumir "Wahhabi" itu banyak bersumber dari karya Zaini Dahlan (yang dikenal punya "dendam" pribadi terhadap gerakan itu). Selain itu juga buku-buku dari Hasan as-Saqqaf, dst.
Terakhir sempat penulis secara pribadi dipinjami buku baru oleh seorang kawan, sebuah buku yang judulnya cukup provokatif dengan penulisnya "bersembunyi" dibalik topeng nama palsu yang disebut Syaikh Idahram, judulnya "Sejarah Berdarah Salafy Wahabi". Dan memang setelah ditelisik isi-nya juga banyak mengadop karya Zaini Dahlan dan as-Saqqaf. Penulis kira itu merupakan effek dari "pelampiasan" kekalahan dalam adu argumentasi dari kritik-kritik komparasi literatur ala Wahhabi terhadap faham-faham Sufi Falasifah-Qaramitah-Bathiniyyah yang dalam praktiknya memang punya akar sejarah dari produk pemikiran kalangan Syi'ah (kebanyakan para Filosuf klasik Islam pun muncul dari lingkungan ini seperti al-Farabi maupun Ibn Sina, kemudian juga Ikhwanush shafa'), yang kemudian praktik itu menjadi populer dikalangan Sufi Falasifah maupun Nizam al-Asyraf walaupun mereka sendiri juga menolak Syi'ah (hal ini disebabkan membudaya-nya peninggalan Dinasti Syiah-Ismailiyyah yakni dinasti Fathimiyyah Ubaidullah di-Mesir). Sebetulnya, sudah banyak buku-buku yang mengulas dan mengkritik model penulisan "tendensius" ala Zaini Dahlan dan Hassan Saqqaf itu tentang sejarah "Wahhabi" dan kejadian di semenanjung Arab itu, antara lain datang dari Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (yang juga dikenal sebagai ulama besar yang masih keturunan dari kalangan Nizham al-Asyraf sendiri). Tulisan kecil ini hanyalah sebuah pendahuluan yang bertujuan untuk sebagai starting point untuk kemudian dilanjut pada pembahasan lebih dalam lagi mengenai ragam tuduhan, stigma dan pelabelan yang "negatif" atas Wahhabi. Poin Pertama Pada artikel-nya, pak Agus Sunyoto berusaha menafsirkan sebuah Hadits dari Shahih Bukhori yang berkaitan dengan munculnya "fitnah" tanduk syaithan yang muncul dikawasan "Najd". Pak Agus mengasumsikan bahwa Hadits tersebut merupakan justifikasi untuk menyebut Ibn Abdul Wahhab yang hidup di "Najd" kawasan Semenanjung Arab itu adalah Fitnah itu. Pak Agus dalam artikelnya menulis: "...Sufi Jadzab dengan terisak-isak berkata , 'Sewaktu ramalan Rasulullah Saw tentang bakal munculnya kaum sesat dari sebelah timur Madinah yang membahayakan umat Islam telah menampakkan tanda-tanda yang nyata, darah pun tumpah ruah membanjiri padang-padang gersang di atas gelak-tawa, raungan, jeritan, lenguhan, geraman kaum sesat terkutuk yang merampok, menjarah, menganiaya, memperkosa, membunuh, dan memangsa kaum muslimin dengan rasa bangga dan kepuasan maniac psikopat. Waspadalah wahai orang-orang beriman! Waspadalah, karena kaum sesat terkutuk yang diramalkan Nabi Saw itu sudah bergentayangan di sekitarmu dengan mulut meneteskan liur darah, lidah bercabang yang terjulur dan taring tajam yang berkilau karena haus darah kalian'...” Hadits yang dimaksud disini yakni seperti hadits yang terekam dalam Jami' Shahih Bukhori 2/33 no 1037. "Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Husain bin Hasan yang berkata telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Aun dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Ya Allah berilah keberkatan kepada kami, pada Syam kami dan pada Yaman kami”. Para sahabat berkata “dan juga Najd kami?”. Beliau bersabda “disana muncul kegoncangan dan fitnah, dan disanalah akan muncul tanduk setan”. Mari kita lihat dalam Syarah-syarah Hadits ini tentang yang dimaksud dengan "NAJD" oleh para Aimmah Ahlu'l Hadits Muktabar sebagai komparasi tentang yang dimaksud dengan matan Hadits tersebut. Kita lihat misalnya pensyarah Jami' Shohih Bukhori yang terkemuka yakni Imam Ibn Hajar al-Asqolany dalam Fathul Barinya. Dalam mensyarahkan hadits ini Al hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani menukil pendapat al Khattabi tentang najd yang merupakan negeri Iraq: "Najd Itu berada disebelah timur. Siapapun yang berada di Madinah, maka najdnya adalah pedalaman Iraq dan sekitarnya. Itulah sebelah timur Madinah. Asal kata Najd adalah tanah yang meninggi, berbeda dengar ghaur yang berarti tanah yang rendah. Seluruh Tihamah merupakah Ghaur dan Mekkah termasuk bagian Tihamah" Setelah itu Ibnu Hajar menambahkan pernyataan al Khattabi bahwa Najd adalah setiap tanah yang tinggi dengan mengatakan "Setiap yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekitarnya dinamakan Najd dan setiap yang lebih rendah dinamakan Ghaur" Kesimpulan Imam Ibn Hajar al-Asqolany inipun diperkuat oleh Hadits lainnya yang senada dan bahkan menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan Najd itu adalah daerah di timur Madinah (karena Nabi s.a.w mengeluarkan hadits ini di Madinah) yakni daerah Iraq. Kita dapat melihat hadits tersebut misal dalam Riwayah Imam Muslim Hadits no. 2905. "Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Umar bin Abaan, Waashil bin ‘Abdil-A’laa, dan Ahmad bin ‘Umar Al-Wakii’iy (dan lafadhnya adalah lafadh Ibnu Abaan); mereka semua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari ayahnya, ia berkata : Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata : “Wahai penduduk ‘Iraq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar. Aku pernah mendengar ayahku, Abdullah bin ‘Umar berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam bersabda : ‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini – ia menunjukkan tangannya ke arah timur – dari arah munculya dua tanduk setan’. Kalian saling menebas leher satu sama lain. Musa hanya membunuh orang yang berasal dari keluarga Fir’aun karena tidak sengaja. Lalu Allah ‘azza wa jalla berfirman padanya : ‘Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan' (Thaahaa: 40)”. Jadi jelas yang dimaksud Najd disini adalah Iraq dan Ini pula pendapat yang paling banyak dinukil oleh para Aimmah seperti Imam khattabi, Ibnu Abdil Bar, al Kirmani, dan Allamatul Iraq al Alusi. Maka sungguh tidak tepat menggunakan hadits tersebut untuk memfitnah Muhammad bin Abdul Wahab yang hidup dikawasan Najd semenanjung Arab itu. Dari paparan ini, amatlah jelas bahwa tuduhan dan klaim tentang Muhammad bin Abdul Wahab itu jelas tidak tepat dan amat "tendensius". Poin Kedua. Pak Agus Sunyoto, dalam tulisan di-artikel-nya berusaha "menggiring" pembaca untuk menjustifikasi bahwa "Wahhabi" dalam hal ini Muhammad Ibn Abdul Wahhab beranggapan setiap golongan diluar pengikutnya adalah kafir. Pak Agus menulis: "..Setelah menarik nafas berat, Guru Sufi berkata menjelaskan, 'Semenjak Wahabi-Sa’ud memproklamasikan jihad terhadap siapa pun yang berbeda pemahaman tauhid dengan mereka pada tahun 1746 Masehi, tindak kekerasan berupa penggerebegan, razia, penyiksaan, penjarahan, bahkan pembunuhan terhadap kaum muslimin yang mereka nilai telah musyrik dan kafir'..." Tuduhan itu menjadi janggal bila kita merujuk fakta-fakta peristiwa-peristiwa diera Ibn Abdul Wahab dengan Syarief Mekkah pada saat itu (yang terekam dalam buku-buku ensiklopedia sejarah Arab). Apalagi kalau kita membaca korespodensi antara Ibn Abdul Wahhab dengan Syarif Mekkah dan para ulamanya, yang dalam beberapa kali Ibn Abdul Wahhab mengeluhkan banyaknya "teror" baik fisik maupun fitnah yang menerpa dakwahnya. Misal dalam sebuah surat yang terekam dalam Risalah Ila Ahl al-Maghrib-al-Risalah al-Sabi'ah, beliau menyatakan: ".. hadza huwa al-ladzi awjaba al-khilaf bainana wa baina al-nas, hatta aala bihim al-amr ila an kaffaruna wa qaataluna was tahallu dima' ana wa amwalana, hatta nasharana-llah 'alaihim wa zhafarna bihim" (Itulah sebab yang mendesak kami terlibat perselisihan hebat dengan banyak pihak, hingga pada gilirannya mereka mengkafirkan kami, memerangi kami, dan menghalalkan darah dan harta kami, namun Allah menolong kami sehingga berhasil mengalahkan mereka). Tuduhan "pengkafiran" terhadap kelompok yang tidak sependapat dengan Ibn Abdul Wahhab ini jelas merupakan tuduhan tanpa dasar. Dalam Majmu`at Mu'allafat al-Syaikh, disebutkan bahwa Ibn Abdul Wahhab mengkonfirmasi "berita miring" itu dengan surat/korespodensi yang ditujukan kepada Syarief Mekkah dan ulama-ulama lainnya, Ibn Abdul Wahhab menyatakan dengan tegas, "Saya tidak memvonis kafir seorang muslim yang melakukan dosa apa pun dan tidak pula menganggapnya keluar dari lingkaran Islam atau murtad (walaa ukaffir ahadan min al-muslimin bi dzanbin wa laa ukhrijuh min dakhairat al-Islam). Poin Ketiga. Dalam artikelnya, pak Agus Sunyoto berusaha untuk memberikan gambaran bahwa gerakan Wahhabi itu bersifat "ekspansif" dan "haus darah", dengan mencontohkan kejadian "pertempuran" di-Karbala di era Muhammad Sa'ud bin Abdul Aziz bin Sa'ud. Beliau (pak Agus Sunyoto) menulis: “...Bulan Dzulqa’dah tahun 1216 Hijriyyah atau 1802 Masehi, Sa’ud ibnu Sa’ud putera sulung Malik Abdul Aziz membawa 12.000 orang pasukan menyerang Karbala. Dengan ganas mereka merusak dan menjarah makam Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, membantai siapa pun penduduk yang berada di sekitar makam dan membasmi siapa pun yang berusaha menghalangi. Sekitar 5000 orang penduduk Karbala tewas dibantai. Hartanya dijarah sebagai pampasan. Sewaktu kabar ini sampai ke negeri-negeri muslim lain, Khalifah Turki, Mahmud II, dikecam banyak pihak karena gagal menjaga makam Imam Husein dari keganasan kaum Wahabi. Jadi yang diucapkan Mbah Kasyful Majdzub tidak asal mengigau, tapi ada fakta sejarahnya...” Peristiwa "pertempuran" di Karbala itu secara faktual historis memang terjadi. Namun, alangkah tidak "fair" bila melihat kejadian itu tanpa melihat rangkaian peristiwa lain sebelumnya yang sebetulnya mempunyai kaitan erat dan menjadi sebab terjadinya "penyerangan" itu. Tanpa melihat rangkaian peristiwa tersebut jelas akan membawa kesalahan persepsi yang fatal. Ada baiknya kita mengkomparasikan tulisan pak Agus Sunyoto itu dengan ensiklopedia sejarah semenanjung Arab yakni Ensiklopedi "Mausu’ah Muqotil Min Ash-Shohro" (www.moqatel.com), untuk memberikan gambaran secara utuh atas rangkaian peristiwa yang melatari "penyerangan" karbala di tahun 1802 M. Ensiklopedi tersebut cukup "netral", disusun tanpa memberikan penilaian yang berat sebelah terhadap para pelaku sejarahnya. Dalam ensikopedi tersebut, menjelaskan bahwa dalam perkembangan "dakwah" Ibn Abdul Wahhab yang didukung oleh penguasa Dir'iyyah ternyata banyak mendapat sambutan positif dari banyak kabilah-kabilah yang ada saat itu, antara lain kabilah Ahsaa. Para Kabilah-kabilah itu kemudian menyatakan afiliasi-nya kepada penguasa Dir'iyyah. Selain mendapat sambutan "positif", disisi lainnya, dakwah Ibn Abdul Wahhab itu pun banyak mendapat kecaman negatif dari kabilah-kabilah yang merasa praktik "keislaman"nya mendapat kritik komparatif yang dilakukan secara persuasif dalam konteks diskursus studi keilmuan oleh Ibn Abdul Wahhab dan pengikut-pengikutnya. Sayangnya, penyikapan para Kabilah yang tersinggung oleh hasil kerja studi komparatif Ibn Abdul Wahhab dan murid-muridnya itu berlebihan, yakni dengan "membalas" kritik itu dengan "teror-teror" baik fisik maupun fitnah. Penyikapan yang "berlebihan" itulah yang kemudian "dikeluh"kan oleh Ibn Abdul Wahhab kepada Syarief Mekkah dan para Ulama di Hijaz dalam klarifikasi-klarifikasinya. Salah satu penyikapan "berlebihan" itu seperti yang dilakukan oleh Kabilah al-Jaza'il (yg notabene adalah penganut Syiah yang menguasai kawasan Karbala). Kabilah ini punya pengaruh kuat di Iraq dan Mesir, yang kala itu dipimpin oleh "Warlord"nya Turki Utsmani yakni Sulaiman Pasha dan Ali Pasha. Mereka kemudian menghasut penguasa Mesir dengan memberikan informasi bahwa gerakan "wahhabi" itu menyelisihi tradisi Islam dan melakukan "bughot" terhadap kekhalifahan Turki Utsmani. Sehingga, pada tahun 1798 M, Sulaiman Pasha pun menyiapkan pasukan bermaksud untuk menyerang "Wahhabi" yang dianggap "memberontak" itu. Pasukan itu kebanyakan terdiri dari Kabilah al-Jazail itu kemudian dipimpin oleh Ali Pasha, yang notabene adalah Gubernur Mesir. Sasaran pertama mereka adalah Kabilah Ahsaa, para penduduk Ahsaa pun "bertahan" walaupun banyak menerima kerugian baik nyawa maupun harta. Ketika pasukan Ali Pasha dalam perjalanan pulang selesai meyerbu kabilah Ahsaa, barulah pasukan dari Dir’iyyah yang dipimpin Sa'ud bin Abdul Aziz sampai ke Ahsaa dan langsung mengejar pasukan Ali Pasha untuk melakukan balasan terhadap kezaliman pasukan Ali Pasya terhadap penduduk Ahsaa. Pertempuran pun berjalan imbang, hingga akhirnya baik Ali Pasha dan Sa'ud pun mengakhiri pertempuran itu dengan "perjanjian perdamaian". Namun, pada tahun 1799 M, kabilah Al-Jaza’il mengkhianati perjanjian damai itu. Mereka melakukan penyerangan terhadap Najaf (salah satu daerah yang berafiliasi pada "Wahhabi"). Maka Abdul Aziz, penguasa Dir'iyyah ketika itu, meminta pertanggungjawaban atas pengkhianatan terhadap perjanjian yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah itu, namun Diyah itu tidak diindahkan sampai hampir dua tahun lamanya. Akhirnya, pada bulan April ditahun 1802 M, fihak "Wahhabi" di Dir'iyyah pun melakukan balasan kepada Kabilah al-Jazail di Karbala dipimpin oleh Sa'ud bin Abdul Aziz. Balasan penyerangan itu ditujukan sebagai Qishas terhadap penyerangan dan pengkhianatan "perjanjian damai" yang dilakukan oleh Kabilah al-Jaza'il yang menguasai Karbala. Poin Keempat. Pada artikel yang ditulis oleh pak Agus Sunyoto pula, didapatkan kesan kekhalifahan Turki Utsmani itu menjadikan "Wahhabi" itu sebagai pemberontak, musuh bersama. Dengan pandangan itu kemudian Pak Agus Sunyoto menganggap Sulthan Mahmud II yang merupakan penguasa tertinggi kekhalifahan Turki Utsmani tersebut "gagal" merespon peristiwa Karbala dan "Wahhabi". Beliau menulis: "..Khalifah Turki, Mahmud II, dikecam banyak pihak karena gagal menjaga makam Imam Husein dari keganasan kaum Wahabi.." Pandangan bahwa kekhalifahan Turki Utsmani itu menjadikan "Wahhabi" sebagai "musuh", "pemberontak" inilah yang sebetulnya perlu ditelisik, apakah benar demikian?. Poin ini menjadi penting, sebab hal ini erat kaitannya dengan sikap Kekhalifahan yang terkesan "membiarkan" peristiwa penyerangan fihak "Wahhabi" ke Karbala. Perlu diketahui, ketika Sa'ud bin Abdul Aziz diangkat menjadi penguasa Dir'iyyah. Sa'ud bin Abdul Aziz sempat berkorespodensi dengan pemerintahan pusat Turki Utsmani. Dalam korespondensinya itu, Sa'ud bin Abdul Aziz menyatakan bahwa Daulah-nya mengakui Kekhalifahan Turki Utsmani sebagai kekhalifahan representasi Ummat Islam, sehingga Ia menyatakan bahwa Daulah-nya adalah bagian dari kekhalifahan. (Kupasan lanjut tentang hubungan setia antara "Wahhabi" dengan khilafah Turki Utsmani tersebut dapat dirujuk di dalam karya Dr. Nasir bin Abdul Karim al-Aql, Hanya Islam Bukan Wahhabi, Darul Falah, Jakarta, 2006, hal. 352-361). Ini poin pertama yang penting untuk diketahui untuk melihat sikap Pemerintah Pusat Kekhalifahan pada waktu itu. Poin selanjutnya yang perlu disadari adalah, adanya hubungan yang tidak harmonis antara kekhilafahan Turki Utsmani dengan para "Warlord"nya khususnya Mesir di-era Ali Pasha. Ketidakharmonisan itu disebabkan banyaknya "kepentingan politis" yang melatarinya yang kemudian berujung pada "permusuhan" antara Mesir dibawah pimpinan Ali Pasha dengan Kekhalifahan Turki Utsmani diera Mahmud II, yang berujung pada merdekanya wilayah Mesir dari kekhalifahan Turki Utsmani pada 25 Mei 1838 M. Dari poin-poin inilah, alangkah tidak tepat menyatakan bahwa "Wahhabi" tersebut diasumsikan sebagai "pemberontak" atas kekhalifahan Turki Utsmani. Demikian, semoga tulisan sederhana ini dapat sedikit menggugah sikap "kritis" dan "proporsional" dalam menyikapi gerakan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikut-nya
Sammy Syeban22 Juni 2013 14:55:15
Namun, pada tahun 1799 M, kabilah Al-Jaza’il mengkhianati perjanjian damai itu. Mereka melakukan penyerangan terhadap Najaf (salah satu daerah yang berafiliasi pada “Wahhabi”). Maka Abdul Aziz, penguasa Dir’iyyah ketika itu, meminta pertanggungjawaban atas pengkhianatan terhadap perjanjian yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah itu, namun Diyah itu tidak diindahkan sampai hampir dua tahun lamanya.
------------------
Saya semakin yakin dimanapun darah kaum muslimin tertumpah disitu ada campur tangan kotor dan keji kaum pencela sahabat (syi'ah rafidhah).
Artikel yg mencerahkan mas,terimakasih bnyk