Membaca
artikel tulisan pak Agus Sunyoto tentang Wahhabi, hampir sama nuansanya membaca
buku-buku ataupun artikel yang banyak mengulas gerakan Wahhabi itu dengan
nuansa "tendensius". Seperti karya-karya Zaini Dahlan misal
di-bukunya yang berjudul "Durarus Saniyyah fir Raddi 'alal
Wahhabiyyah", dan memang rata-rata kebanyakan para penulis sejarah sumir
"Wahhabi" itu banyak bersumber dari karya Zaini Dahlan (yang dikenal
punya "dendam" pribadi terhadap gerakan itu). Selain itu juga buku-buku
dari Hasan as-Saqqaf, dst.
Terakhir sempat penulis secara pribadi dipinjami
buku baru oleh seorang kawan, sebuah buku yang judulnya cukup provokatif dengan
penulisnya "bersembunyi" dibalik topeng nama palsu yang disebut
Syaikh Idahram, judulnya "Sejarah Berdarah Salafy Wahabi". Dan memang
setelah ditelisik isi-nya juga banyak mengadop karya Zaini Dahlan dan
as-Saqqaf. Penulis kira itu merupakan effek dari "pelampiasan"
kekalahan dalam adu argumentasi dari kritik-kritik komparasi literatur ala
Wahhabi terhadap faham-faham Sufi Falasifah-Qaramitah-Bathiniyyah yang dalam
praktiknya memang punya akar sejarah dari produk pemikiran kalangan Syi'ah
(kebanyakan para Filosuf klasik Islam pun muncul dari lingkungan ini seperti
al-Farabi maupun Ibn Sina, kemudian juga Ikhwanush shafa'), yang kemudian
praktik itu menjadi populer dikalangan Sufi Falasifah maupun Nizam al-Asyraf
walaupun mereka sendiri juga menolak Syi'ah (hal ini disebabkan membudaya-nya
peninggalan Dinasti Syiah-Ismailiyyah yakni dinasti Fathimiyyah Ubaidullah
di-Mesir). Sebetulnya, sudah banyak buku-buku yang mengulas dan mengkritik
model penulisan "tendensius" ala Zaini Dahlan dan Hassan Saqqaf itu
tentang sejarah "Wahhabi" dan kejadian di semenanjung Arab itu,
antara lain datang dari Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (yang juga dikenal sebagai
ulama besar yang masih keturunan dari kalangan Nizham al-Asyraf sendiri).
Tulisan kecil ini hanyalah sebuah pendahuluan yang bertujuan untuk sebagai
starting point untuk kemudian dilanjut pada pembahasan lebih dalam lagi
mengenai ragam tuduhan, stigma dan pelabelan yang "negatif" atas
Wahhabi. Poin Pertama Pada artikel-nya, pak Agus Sunyoto berusaha menafsirkan
sebuah Hadits dari Shahih Bukhori yang berkaitan dengan munculnya
"fitnah" tanduk syaithan yang muncul dikawasan "Najd". Pak
Agus mengasumsikan bahwa Hadits tersebut merupakan justifikasi untuk menyebut
Ibn Abdul Wahhab yang hidup di "Najd" kawasan Semenanjung Arab itu
adalah Fitnah itu. Pak Agus dalam artikelnya menulis: "...Sufi Jadzab
dengan terisak-isak berkata , 'Sewaktu ramalan Rasulullah Saw tentang bakal
munculnya kaum sesat dari sebelah timur Madinah yang membahayakan umat Islam
telah menampakkan tanda-tanda yang nyata, darah pun tumpah ruah membanjiri
padang-padang gersang di atas gelak-tawa, raungan, jeritan, lenguhan, geraman
kaum sesat terkutuk yang merampok, menjarah, menganiaya, memperkosa, membunuh,
dan memangsa kaum muslimin dengan rasa bangga dan kepuasan maniac psikopat.
Waspadalah wahai orang-orang beriman! Waspadalah, karena kaum sesat terkutuk
yang diramalkan Nabi Saw itu sudah bergentayangan di sekitarmu dengan mulut
meneteskan liur darah, lidah bercabang yang terjulur dan taring tajam yang
berkilau karena haus darah kalian'...” Hadits yang dimaksud disini yakni
seperti hadits yang terekam dalam Jami' Shahih Bukhori 2/33 no 1037.
"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata
telah menceritakan kepada kami Husain bin Hasan yang berkata telah menceritakan
kepada kami Ibnu ‘Aun dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda “Ya Allah berilah keberkatan kepada kami, pada Syam kami dan
pada Yaman kami”. Para sahabat berkata “dan juga Najd kami?”. Beliau bersabda
“disana muncul kegoncangan dan fitnah, dan disanalah akan muncul tanduk setan”.
Mari kita lihat dalam Syarah-syarah Hadits ini tentang yang dimaksud dengan
"NAJD" oleh para Aimmah Ahlu'l Hadits Muktabar sebagai komparasi
tentang yang dimaksud dengan matan Hadits tersebut. Kita lihat misalnya
pensyarah Jami' Shohih Bukhori yang terkemuka yakni Imam Ibn Hajar al-Asqolany
dalam Fathul Barinya. Dalam mensyarahkan hadits ini Al hafidz Ibnu Hajar Al
Atsqalani menukil pendapat al Khattabi tentang najd yang merupakan negeri Iraq:
"Najd Itu berada disebelah timur. Siapapun yang berada di Madinah, maka
najdnya adalah pedalaman Iraq dan sekitarnya. Itulah sebelah timur Madinah.
Asal kata Najd adalah tanah yang meninggi, berbeda dengar ghaur yang berarti
tanah yang rendah. Seluruh Tihamah merupakah Ghaur dan Mekkah termasuk bagian
Tihamah" Setelah itu Ibnu Hajar menambahkan pernyataan al Khattabi bahwa
Najd adalah setiap tanah yang tinggi dengan mengatakan "Setiap yang lebih
tinggi dibandingkan dengan sekitarnya dinamakan Najd dan setiap yang lebih
rendah dinamakan Ghaur" Kesimpulan Imam Ibn Hajar al-Asqolany inipun diperkuat
oleh Hadits lainnya yang senada dan bahkan menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan Najd itu adalah daerah di timur Madinah (karena Nabi s.a.w mengeluarkan
hadits ini di Madinah) yakni daerah Iraq. Kita dapat melihat hadits tersebut
misal dalam Riwayah Imam Muslim Hadits no. 2905. "Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdullah bin ‘Umar bin Abaan, Waashil bin ‘Abdil-A’laa, dan Ahmad
bin ‘Umar Al-Wakii’iy (dan lafadhnya adalah lafadh Ibnu Abaan); mereka semua
berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari ayahnya, ia berkata
: Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata : “Wahai penduduk ‘Iraq,
aku tidak bertanya tentang masalah kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk
masalah besar. Aku pernah mendengar ayahku, Abdullah bin ‘Umar berkata : Aku
pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam bersabda :
‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini – ia menunjukkan tangannya ke arah
timur – dari arah munculya dua tanduk setan’. Kalian saling menebas leher satu
sama lain. Musa hanya membunuh orang yang berasal dari keluarga Fir’aun karena
tidak sengaja. Lalu Allah ‘azza wa jalla berfirman padanya : ‘Dan kamu pernah
membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami
telah mencobamu dengan beberapa cobaan' (Thaahaa: 40)”. Jadi jelas yang
dimaksud Najd disini adalah Iraq dan Ini pula pendapat yang paling banyak
dinukil oleh para Aimmah seperti Imam khattabi, Ibnu Abdil Bar, al Kirmani, dan
Allamatul Iraq al Alusi. Maka sungguh tidak tepat menggunakan hadits tersebut
untuk memfitnah Muhammad bin Abdul Wahab yang hidup dikawasan Najd semenanjung
Arab itu. Dari paparan ini, amatlah jelas bahwa tuduhan dan klaim tentang
Muhammad bin Abdul Wahab itu jelas tidak tepat dan amat "tendensius".
Poin Kedua. Pak Agus Sunyoto, dalam tulisan di-artikel-nya berusaha
"menggiring" pembaca untuk menjustifikasi bahwa "Wahhabi"
dalam hal ini Muhammad Ibn Abdul Wahhab beranggapan setiap golongan diluar
pengikutnya adalah kafir. Pak Agus menulis: "..Setelah menarik nafas
berat, Guru Sufi berkata menjelaskan, 'Semenjak Wahabi-Sa’ud memproklamasikan
jihad terhadap siapa pun yang berbeda pemahaman tauhid dengan mereka pada tahun
1746 Masehi, tindak kekerasan berupa penggerebegan, razia, penyiksaan,
penjarahan, bahkan pembunuhan terhadap kaum muslimin yang mereka nilai telah
musyrik dan kafir'..." Tuduhan itu menjadi janggal bila kita merujuk
fakta-fakta peristiwa-peristiwa diera Ibn Abdul Wahab dengan Syarief Mekkah
pada saat itu (yang terekam dalam buku-buku ensiklopedia sejarah Arab). Apalagi
kalau kita membaca korespodensi antara Ibn Abdul Wahhab dengan Syarif Mekkah
dan para ulamanya, yang dalam beberapa kali Ibn Abdul Wahhab mengeluhkan
banyaknya "teror" baik fisik maupun fitnah yang menerpa dakwahnya.
Misal dalam sebuah surat yang terekam dalam Risalah Ila Ahl
al-Maghrib-al-Risalah al-Sabi'ah, beliau menyatakan: ".. hadza huwa
al-ladzi awjaba al-khilaf bainana wa baina al-nas, hatta aala bihim al-amr ila
an kaffaruna wa qaataluna was tahallu dima' ana wa amwalana, hatta nasharana-llah
'alaihim wa zhafarna bihim" (Itulah sebab yang mendesak kami terlibat
perselisihan hebat dengan banyak pihak, hingga pada gilirannya mereka
mengkafirkan kami, memerangi kami, dan menghalalkan darah dan harta kami, namun
Allah menolong kami sehingga berhasil mengalahkan mereka). Tuduhan
"pengkafiran" terhadap kelompok yang tidak sependapat dengan Ibn
Abdul Wahhab ini jelas merupakan tuduhan tanpa dasar. Dalam Majmu`at Mu'allafat
al-Syaikh, disebutkan bahwa Ibn Abdul Wahhab mengkonfirmasi "berita
miring" itu dengan surat/korespodensi yang ditujukan kepada Syarief Mekkah
dan ulama-ulama lainnya, Ibn Abdul Wahhab menyatakan dengan tegas, "Saya
tidak memvonis kafir seorang muslim yang melakukan dosa apa pun dan tidak pula
menganggapnya keluar dari lingkaran Islam atau murtad (walaa ukaffir ahadan min
al-muslimin bi dzanbin wa laa ukhrijuh min dakhairat al-Islam). Poin Ketiga.
Dalam artikelnya, pak Agus Sunyoto berusaha untuk memberikan gambaran bahwa
gerakan Wahhabi itu bersifat "ekspansif" dan "haus darah",
dengan mencontohkan kejadian "pertempuran" di-Karbala di era Muhammad
Sa'ud bin Abdul Aziz bin Sa'ud. Beliau (pak Agus Sunyoto) menulis: “...Bulan
Dzulqa’dah tahun 1216 Hijriyyah atau 1802 Masehi, Sa’ud ibnu Sa’ud putera
sulung Malik Abdul Aziz membawa 12.000 orang pasukan menyerang Karbala. Dengan
ganas mereka merusak dan menjarah makam Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib,
membantai siapa pun penduduk yang berada di sekitar makam dan membasmi siapa
pun yang berusaha menghalangi. Sekitar 5000 orang penduduk Karbala tewas
dibantai. Hartanya dijarah sebagai pampasan. Sewaktu kabar ini sampai ke
negeri-negeri muslim lain, Khalifah Turki, Mahmud II, dikecam banyak pihak
karena gagal menjaga makam Imam Husein dari keganasan kaum Wahabi. Jadi yang
diucapkan Mbah Kasyful Majdzub tidak asal mengigau, tapi ada fakta
sejarahnya...” Peristiwa "pertempuran" di Karbala itu secara faktual
historis memang terjadi. Namun, alangkah tidak "fair" bila melihat
kejadian itu tanpa melihat rangkaian peristiwa lain sebelumnya yang sebetulnya
mempunyai kaitan erat dan menjadi sebab terjadinya "penyerangan" itu.
Tanpa melihat rangkaian peristiwa tersebut jelas akan membawa kesalahan
persepsi yang fatal. Ada baiknya kita mengkomparasikan tulisan pak Agus Sunyoto
itu dengan ensiklopedia sejarah semenanjung Arab yakni Ensiklopedi
"Mausu’ah Muqotil Min Ash-Shohro" (www.moqatel.com), untuk memberikan
gambaran secara utuh atas rangkaian peristiwa yang melatari
"penyerangan" karbala di tahun 1802 M. Ensiklopedi tersebut cukup "netral",
disusun tanpa memberikan penilaian yang berat sebelah terhadap para pelaku
sejarahnya. Dalam ensikopedi tersebut, menjelaskan bahwa dalam perkembangan
"dakwah" Ibn Abdul Wahhab yang didukung oleh penguasa Dir'iyyah
ternyata banyak mendapat sambutan positif dari banyak kabilah-kabilah yang ada
saat itu, antara lain kabilah Ahsaa. Para Kabilah-kabilah itu kemudian
menyatakan afiliasi-nya kepada penguasa Dir'iyyah. Selain mendapat sambutan
"positif", disisi lainnya, dakwah Ibn Abdul Wahhab itu pun banyak
mendapat kecaman negatif dari kabilah-kabilah yang merasa praktik
"keislaman"nya mendapat kritik komparatif yang dilakukan secara
persuasif dalam konteks diskursus studi keilmuan oleh Ibn Abdul Wahhab dan
pengikut-pengikutnya. Sayangnya, penyikapan para Kabilah yang tersinggung oleh
hasil kerja studi komparatif Ibn Abdul Wahhab dan murid-muridnya itu
berlebihan, yakni dengan "membalas" kritik itu dengan
"teror-teror" baik fisik maupun fitnah. Penyikapan yang
"berlebihan" itulah yang kemudian "dikeluh"kan oleh Ibn
Abdul Wahhab kepada Syarief Mekkah dan para Ulama di Hijaz dalam
klarifikasi-klarifikasinya. Salah satu penyikapan "berlebihan" itu
seperti yang dilakukan oleh Kabilah al-Jaza'il (yg notabene adalah penganut
Syiah yang menguasai kawasan Karbala). Kabilah ini punya pengaruh kuat di Iraq
dan Mesir, yang kala itu dipimpin oleh "Warlord"nya Turki Utsmani
yakni Sulaiman Pasha dan Ali Pasha. Mereka kemudian menghasut penguasa Mesir
dengan memberikan informasi bahwa gerakan "wahhabi" itu menyelisihi
tradisi Islam dan melakukan "bughot" terhadap kekhalifahan Turki
Utsmani. Sehingga, pada tahun 1798 M, Sulaiman Pasha pun menyiapkan pasukan
bermaksud untuk menyerang "Wahhabi" yang dianggap
"memberontak" itu. Pasukan itu kebanyakan terdiri dari Kabilah
al-Jazail itu kemudian dipimpin oleh Ali Pasha, yang notabene adalah Gubernur
Mesir. Sasaran pertama mereka adalah Kabilah Ahsaa, para penduduk Ahsaa pun
"bertahan" walaupun banyak menerima kerugian baik nyawa maupun harta.
Ketika pasukan Ali Pasha dalam perjalanan pulang selesai meyerbu kabilah Ahsaa,
barulah pasukan dari Dir’iyyah yang dipimpin Sa'ud bin Abdul Aziz sampai ke
Ahsaa dan langsung mengejar pasukan Ali Pasha untuk melakukan balasan terhadap
kezaliman pasukan Ali Pasya terhadap penduduk Ahsaa. Pertempuran pun berjalan imbang,
hingga akhirnya baik Ali Pasha dan Sa'ud pun mengakhiri pertempuran itu dengan
"perjanjian perdamaian". Namun, pada tahun 1799 M, kabilah Al-Jaza’il
mengkhianati perjanjian damai itu. Mereka melakukan penyerangan terhadap Najaf
(salah satu daerah yang berafiliasi pada "Wahhabi"). Maka Abdul Aziz,
penguasa Dir'iyyah ketika itu, meminta pertanggungjawaban atas pengkhianatan
terhadap perjanjian yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah itu, namun Diyah itu
tidak diindahkan sampai hampir dua tahun lamanya. Akhirnya, pada bulan April
ditahun 1802 M, fihak "Wahhabi" di Dir'iyyah pun melakukan balasan
kepada Kabilah al-Jazail di Karbala dipimpin oleh Sa'ud bin Abdul Aziz. Balasan
penyerangan itu ditujukan sebagai Qishas terhadap penyerangan dan pengkhianatan
"perjanjian damai" yang dilakukan oleh Kabilah al-Jaza'il yang
menguasai Karbala. Poin Keempat. Pada artikel yang ditulis oleh pak Agus
Sunyoto pula, didapatkan kesan kekhalifahan Turki Utsmani itu menjadikan
"Wahhabi" itu sebagai pemberontak, musuh bersama. Dengan pandangan
itu kemudian Pak Agus Sunyoto menganggap Sulthan Mahmud II yang merupakan
penguasa tertinggi kekhalifahan Turki Utsmani tersebut "gagal"
merespon peristiwa Karbala dan "Wahhabi". Beliau menulis:
"..Khalifah Turki, Mahmud II, dikecam banyak pihak karena gagal menjaga
makam Imam Husein dari keganasan kaum Wahabi.." Pandangan bahwa
kekhalifahan Turki Utsmani itu menjadikan "Wahhabi" sebagai
"musuh", "pemberontak" inilah yang sebetulnya perlu
ditelisik, apakah benar demikian?. Poin ini menjadi penting, sebab hal ini erat
kaitannya dengan sikap Kekhalifahan yang terkesan "membiarkan"
peristiwa penyerangan fihak "Wahhabi" ke Karbala. Perlu diketahui,
ketika Sa'ud bin Abdul Aziz diangkat menjadi penguasa Dir'iyyah. Sa'ud bin Abdul
Aziz sempat berkorespodensi dengan pemerintahan pusat Turki Utsmani. Dalam
korespondensinya itu, Sa'ud bin Abdul Aziz menyatakan bahwa Daulah-nya mengakui
Kekhalifahan Turki Utsmani sebagai kekhalifahan representasi Ummat Islam,
sehingga Ia menyatakan bahwa Daulah-nya adalah bagian dari kekhalifahan.
(Kupasan lanjut tentang hubungan setia antara "Wahhabi" dengan
khilafah Turki Utsmani tersebut dapat dirujuk di dalam karya Dr. Nasir bin
Abdul Karim al-Aql, Hanya Islam Bukan Wahhabi, Darul Falah, Jakarta, 2006, hal.
352-361). Ini poin pertama yang penting untuk diketahui untuk melihat sikap
Pemerintah Pusat Kekhalifahan pada waktu itu. Poin selanjutnya yang perlu
disadari adalah, adanya hubungan yang tidak harmonis antara kekhilafahan Turki
Utsmani dengan para "Warlord"nya khususnya Mesir di-era Ali Pasha.
Ketidakharmonisan itu disebabkan banyaknya "kepentingan politis" yang
melatarinya yang kemudian berujung pada "permusuhan" antara Mesir
dibawah pimpinan Ali Pasha dengan Kekhalifahan Turki Utsmani diera Mahmud II,
yang berujung pada merdekanya wilayah Mesir dari kekhalifahan Turki Utsmani
pada 25 Mei 1838 M. Dari poin-poin inilah, alangkah tidak tepat menyatakan
bahwa "Wahhabi" tersebut diasumsikan sebagai "pemberontak"
atas kekhalifahan Turki Utsmani. Demikian, semoga tulisan sederhana ini dapat
sedikit menggugah sikap "kritis" dan "proporsional" dalam
menyikapi gerakan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikut-nya
Sammy Syeban22 Juni 2013 14:55:15
Namun, pada
tahun 1799 M, kabilah Al-Jaza’il mengkhianati perjanjian damai itu. Mereka
melakukan penyerangan terhadap Najaf (salah satu daerah yang berafiliasi pada
“Wahhabi”). Maka Abdul Aziz, penguasa Dir’iyyah ketika itu, meminta
pertanggungjawaban atas pengkhianatan terhadap perjanjian yang dilakukan oleh
orang-orang Syi’ah itu, namun Diyah itu tidak diindahkan sampai hampir dua
tahun lamanya.
------------------
Saya semakin yakin dimanapun darah kaum muslimin tertumpah disitu ada campur
tangan kotor dan keji kaum pencela sahabat (syi'ah rafidhah).
Artikel yg mencerahkan mas,terimakasih bnyk