Friday, August 28, 2015

Distorsi Syiah Di Balik Ajakan Persatuan Umat

wiemasen March 30, 2015
HARI Kamis (09/02/2012), harian Republika, memuat iklan “terselubung” dari Yayasan Muslim Indonesia Bersatu (YMIB)  berjudul ”MELAWAN POLITIK ADU DOMBA DENGAN PERSATUAN UMAT”. (Artikel ini juga dikutip situs Syiah, IRIB). Tulisan setengah halaman ini berisi ajakan taqrib (pendekatan) Sunni-Syiah.  Iklan  berisi ajakan membangun persatuan ummat, khususnya antara Muslim Ahlu Sunnah wal-Jamaah dengan pengikut Syiah ini juga mengutip pernyataan berbagai ulama Sunni, seolah-olah nampak indah. Agar tak berpotensi menjadi distorsi, berikut kami tulis tujuh catatan penting.
Pertama. Menyatakan Sunnah Syiah adalah dua mazhab besar dalam Islam adalah kebohongan publik, sebab faktanya Syiah bukan mazhab seperti yang dikenal dalam Islam, tapi  firqoh/sekte yang suka menyamar dengan istilah mazhab Ahlul Bait atau mazhab Jakfari, jumlah mereka pun tak bisa dikatakan besar sebab Cuma 10% dari total 1,6 miliar Muslim dunia.
Kedua. Syiah Imamiyah 12 suka mengklaim dan menyamar dengan sebutan mazhab Jakfari, ini juga kebohonganpublic. Sebab faktanya, Imam Jakfar as-shodiq tak pernah mendirikan mazhab fiqih sebagaimana lazimnya sebab beliau tidak meninggalkan karya tulis fiqih/ushulfiqh/musnad hadits seperti halnya para imam mazhab arba’ah(Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad). Istilah mazhab Jakfari lebih tepat disebut mitos. Lagipula perbedaan Sunni Syiah lebih besar bukan pada perbedaan/ikhtilaf fiqih/furu’iyah, tapi lebih besar pada perbedaanushul/pokok seperi akidah imamah, tahrif al-Quran, pengkafiran para sahabat dan ummahat mukminin dll.
Ketiga. Penilaian sesat tidaknya suatu aliran/sekte itu jelas patokannya harus ditimbang dengan dalil-dalil al-Quran dan Sunnah Nabi, jika sesuai berarti benar, dan jika bertentangan berarti salah (sesat). Penilaian itu bukan hak orang perorang, tapi sudah jelas kriteria dan mekanismenya.
Keempat. Sebelum ada gerakan taqrib antar mazhab, seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa semua sekte Syiah, termasuk Zaidiyah (yang moderat sekalipun), dinilai sesat, apalagi Imamiyah 12 sejak era tabi’in sudah dibilang sesat sampai sekarang. Di era modern, ulama Sunni yang awalnya mendukung upaya taqrib sepertiHasan Albanna, dan Syeih Al Azhar Mahmud Syaltut itu berangkat dari husnuzhon dan terprovokasi oleh isu persatuan Islam melawan musuh bersama, apalagi ulama Mesir tidak bersinggungan langsung dengan komunitas Syiah, karena memang sudah lama punah sejak masa Shalahudin al Ayyubi berkuasa dan merubah orientasi Al Azhar yang tadinya pusat penyebaran Syiah Ismailiyah Rofidhoh menjadi Sunni 100%.
Namun berbeda dengan ulama-ulama dan tokoh Al Ikhwan al Muslimun yang tinggal di Suriah dan Libanon sepertiMusthofa As-Siba’i, Said Hawa dll yang mengetahui persis sepak terjang kesesatan Syiah Imamiyah sama seperti yang tertera dalam kitab-kitab Milal Wa Nihal, contoh Musthofa Siba’i kecewa dan marah besar dengan Syarafudin Abdul Husen Musawi yang mengajak ukhuwah dan persatuan Sunni-Syiah ternyata setelah itu, dia menulis buku yang menghantam dan mencaci maki Abu Hurairoh RA sebagai perawi hadist terbanyak. Akhirnya beliau menolak seruan taqrib karena ibarat orang mengajak salaman berbaikan, tapi kakinya malah menendang dan mulutnya meludahi kita (Sunni) dengan menebar kebencian kepada para sahabat Nabi. (Pengalaman beliau ini ditulis dalam kitab Assunnah Wa Makanatuha Fi Tasyri’ Islami)
Kelima. Terkait fatwa Syeikh Mahmud Syaltut, ini juga distorsi Syiah. Sebagai fatwa, hal itu tidak pernah dimuat secara resmi dalam kitab-kitab fatwa Mahmud Syaltut yang dihimpun oleh Syeih Qaradhawi atas perintah dan supervisi Syeikh Syaltut, tapi sebatas pernyataan saat diwawancarai soal mazhab Jakfari, di mana beliau nyatakan boleh beribadah dengan mazhab fiqih Jakfari –bukan akidah imamiyahnya—yang kemudian ditranskip dan diedarkan luas oleh majalah Risalah Islam yang menjadi corong organisasi taqrib yang awalnya berbasis di Kairo.
Ahlusunnah sudah punya pengalaman pahit dan berulang-ulang dengan gaya distorsi Syiah semacam ini. Jauh sebelumnya, mereka telah memalsukan kitab Al-Imamah wa Al-Siyasah yang dinisbatkan kepada Ibnu Qutaybah (tokoh Ahlusunnah) padahal itu sebuah dusta. Sebab yang menulisnya adalah ulama Syiah yang namanya mirip Ibnu Qutaybah. Skandal ini sudah lama diungkap oleh para pakar sejarah.
Demikian pula kitab Al-Muraja’at yang isinya surat menyurat palsu yang dikarang oleh Abdul Husen Syarafudin Musawi yang kemudian dinisbatkan kepada Syeikh Al-Azhar, Salim al-Bisyri. Skandal ini juga sudah diungkap oleh para ulama al-Azhar dan para pembantu terdekat Syeikh Salim. Apalagi hanya sekedar hasil wawancara yang diasosiasikan sebagai fatwa, ini tentu jadi pertanyaan besar, sebab dalam  fatwa Syaltut yang resmi tentang nikahmut’ah, beliau tegas mengharamkan seperti dalil-dalil Ahlusunnah dan menegaskan bahwa jika ada agama yang menghalalkan nikah semacam itu maka mustahil itu bersumber dari Allah Tuhan semesta alam.
Jadi sungguh tidak logis dan mustahil beliau berfatwa membolehkan mengambil mazhab Jakfari-Syiah Imamiyah yang artinya sama saja menghalalkan kawin mut’ah yang beliau haramkan.
Keenam. Isu persatuan umat yang diopinikan Syiah amat lucu dan aneh. Bagaimana Sunni bisa menerima ajakan persatuan itu sementara fakta buku-buku Syiah yang beredar bicara lain, banyak berisi hujatan dan fitnah kepada para sahabat dan istri-istri Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam.  Sebut saja buku “Dialog Sunnah-Syiah”, “40 Masalah Syiah”, “Saqifah dan Kecuali Ali”.
Syiah sering pula mengopinikan adu-domba yang didalangi Zionis dan Amerika. Perlu dicatat, bahwa penilaian terhadap kesesatan Syiah dengan segala sektenya, telah ada jauh lebih dulu sebelum lahirnya Zionisme dan negara Amerika. Jadi, umat tidak bisa ditipu dengan jargon-jargon semacam itu.
Kejadian di Sampang adalah bukti otentik bahwa hal itu murni karena profokasi da’i-da’i  Syiah yang menuduh al-Qur’an palsu dan mencaci maki sahabat dan istri Nabi, sehingga menimbulkan kemarahan warga Sampang yang dikenal taat beragama dan penganut Sunni-NU.
Ketujuh. Di sisi lain, pihak Syiah juga selalu menggiring opini bahwa politik adu domba antara Sunni-Syiah adalah selalu Wahabi di belakangnya. Opini seperti itu terlalu kerdil dan terlampau menyederhankan persoalan. Sebab penentang Syiah bukanlah cuma Wahabi, tapi seluruh ulama 4 mazhab, ulama Asy’ariyah dalam teologi, ulama Sufiyah seperti; Abdul Qadir Al-Jailani menulis kitab “Al-Ghunyah” yang mengkritik habis sekte Syiah, mulai dari ujung Barat seperti Ibnu Hazm (Andalusi) sampai paling Timur, Abulhasan Annadawi (India). Juga telah mengkritik Syiah tak kalah kerasnya di  Indonesia dan yang paling keras menyesatkan Syiah adalah pendiri Nahdatul Ulama (NU), Hadratus Syekh Hasyim Asyari dalam berbagai kitab yang beliau tulis (Muqadimah Qanun Asasi, Risalah Ahlisunnah wal Jamaah, Risalah fi Ta’akkud al-Akhdz bil Mazahib al-Arba’ah dlll) bahkan juga dari pemuka Habaib Ahlul Bait di Indonesia seperti Al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (1906-1969, lahir di Surabaya dan dimakamkan di Komplek Al-Hawi Jakarta) menulis kitab “Ar-Ra’at Al-Ghamidhoh fi Naqdh Kalam Ar-Rofidhoh”.Habib Salim bahkan mengkafirkan Syiah Rofidhoh karena telah dianggap mencaci para khulafa’ rasyidin di dalam kitab tsb (h.7-8 dan 11), padahal jelas Habib Salim bukan pengikut Wahabi tapi Sunni-Syafi’i seperti layaknya ulama-ualam hadramaut.
Meski kita Ahlussunah berbeda dengan Syiah dalam banyak hal, tapi bisa bekerjasama dalam hal-hal keduniaan, dengan catatan tidak memanfaatkan kerjasama dan hubungan itu dengan upaya tasyi’ (melakukan Syiahisasi) terhadap penganut Sunni di Indonesia. Yang juga lebih penting, sudah tak ada lagi buku-buku bernuansa caci-maki dan fitnah terhadap sahabat dan Ahlul Bayt (istri Nabi).
Jika hal ini terus dilakukan, bukan tidak mungkin, di lapangan akan melahirkan resistensi mayoritas Sunni di kemudian hari. Ini penting untuk dicatat, sebab jika tidak, maka benarlah ucapan Al-Fadhl bin ‘Abbas r.a.
Jangan kalian harap kami akan muliakan kalian sementara kalian menghina kami, Juga jangan berharap kami menahan diri dari kalian sementara kalian terus menyakiti kami. Allah lah yang Maha Tahu bahwa kami tidak mencintai dan tidak mencela kalian, jika kalian tidak mencintai kami….!
Semoga Allah menunjuki kita ke jalan yang lurus dan benar, amiin.
Sumber: Hidayatullah

Penulis adalah Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)


ROL Republika Disebut Media ‘Berbau’ Syiah