Oleh Ustadz Kholid
Syamhudi
Perpecahan kaum Muslimin
menjadi kelompok-kelompok yang mengusung beragam pemikiran, sungguh merupakan
kenyataan yang tidak bisa dimungkiri. Perpecahan ini, tidak lain, karena kaum
Muslimin jauh dari ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jauh
dari pemahaman para sahabatnya dalam beragama. Mengenai perpecahan ini,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mensinyalir dalam sebuah hadits:
“Sesungguhnya, barangsiapa di
antara kalian yang hidup, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Dan
berhati-hatilah kalian dari perkara yang baru, karena ia adalah kesesatan.
Barang Usiapa di antara kalian yang mendapatinya, maka wajib berpegang teguh
kepada sunnahku dan sunnah para khulafa-ur rasyidin al-mahdiyin; gigitlah ia
dengan gigi gerahammu” [HR At-Tirmidzi]
Perjalanan sejarah telah
membuktikan kebenaran wasiat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Awal
perselisihan atau perpecahan ini muncul pada akhir kekhilafahan
Khulafa-ur-Rasyidin. Di dalam Majmu’ al-Fatâwa (10/354), Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah menyebutkan, bahwa kebanyakan perbuatan bid’ah yang
berhubungan dengan i’tikad dan ibadah, hanya terjadi pada akhir masa
kekhilafahan Khulafa-ur-Rasyidin.[1]
Selanjutnya, beliau
rahimahullah juga menjelasan:
“Ketika berlalu masa Khulafa-ur-Rasyidin dan kekuasaan berada di tangan raja,
maka munculkan kelemahan pada diri para penguasa. Sehingga hal ini pun tampak
pada para ulamanya. Kemudian, pada akhir kekhilafahan ‘Ali muncul dua perbuatan
bid’ah, yaitu Khawarij dan Rafidhah. Ketika itu, perbuatan bid’ah tersebut
berhubungan dengan imamah (kepemimpinan) dan khilafah, serta amalan dan
hukum-hukum syari’at berkaitan dengannya.
Setelah Yazid meninggal
dunia, umat Islam terpecah-belah, (yaitu): Ibnu az-Zubair di Hijaz, Bani al-Hakam
di Syam, dan al-Mukhtar bin Abi ‘Ubaid dan lainnya di Iraq. Ini terjadi pada
akhir masa sahabat, dan sebagian para sahabat masih tersisa, di antaranya:
‘Adullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar, Jabir bin ‘Abdillah, Abu Sa’id
al-Khudri dan sebagainya.
Ketika muncul bid’ah
al-Qadariyah dan al-Murji’ah, maka sahabat yang masih hidup -seperti Ibnu
‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Jabir, Watsilah bin al-Asyqa’ dan selainnya- (mereka)
membantah bid’ah ini, sebagaimana mereka dan selainnya dahulu telah membantah
bid’ah Khawarij dan Rafidhah”.[2]
Kemunculan kelompok Murji’ah
ini di awal masa Tabi’in, tepatnya terjadi pasca pemberontakan atau fitnah
Ibnul-Asy’ats. Hal ini bisa dilihat dari penjelasan Qatadah bin Da’amah
as-Sadusi, ia berkata: “Irja’ (pemikiran Murji’ah), muncul setelah kekalahan
Ibnul-Asy’ats”.[3]
Demikian juga Imam al-Bukhari
rahimahullah telah membawakan bukti tentang keberadaan Murji’ah ini pada masa
Tabi’in dengan membawakan satu riwayat dari Zubaid rahimahullah, beliau
berkata:
“Aku bertanya kepada Abu
Wa-il tentang Murji’ah, lalu beliau menjawab: “‘Abdullah telah mengabarkan
kepadaku, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Mencela muslim
adalah fasik, dan membunuhnya adalah kekufuran’.”[4]
Tentang hadits ini, Ibnu
Hajar al-’Asqalani rahimahullah mengomentarinya sebagai berikut. “Ucapan ( ÓÃáÊ
ÃÈÇ æÇÆá Úä ÇáãÑÌÆÉ ) bermakna tentang pemikiran Murji`ah, dalam riwayat Abu
Dawud ath-Thayalisi rahimahullah dari Syu’bah rahimahullah dari Zubaid rahimahullah,
beliau berkata: ‘Ketika muncul Murji`ah, aku mendatangi Abu Wa-il rahimahullah,
kemudian aku sampaikan perihal tersebut. Sehingga jelaslah, bahwa pertanyaannya
tersebut berkaitan dengan keyakinan mereka, dan itu dilakukan saat kemunculan
mereka. Abu Wa-il wafat tahun 99 H , dan ada yang berpendapat tahun 82 H.
Ini menunjukkan, bahwa bid’ah Murji`ah ini sudah (berlangsung) sangat
lama’.”[5]
Berdasarkan riwayat-riwayat
tersebut, maka dapat disimpulkan, bakwa kemunculan bid’ah Murji`ah ini telah ada
pada masa-masa terbaik generasi umat ini.
PANDANGAN PARA ULAMA TENTANG
KEBIDAHAN DAN KESESATAN PEMIKIRAN IRJA’
Para ulama sepanjang masa
telah menetapkan, bahwasanya Murji`ah merupakan kelompok bid’ah yang sesat.
Mereka pun melakukan pengingkaran dan membantah kelompok ini. Di antara para
ulama tersebut ialah sebagai berikut.
[1].’Abdullah bin ‘Abbas bin
‘Abdul-Muthalib (wafat 68 H). Beliau Radhiyallahu ‘anhu
mengingatkan,”Berhati-hatilah dengan (pemikiran) Irja’, karena ia merupakan
cabang dari pemikiran Nashrani”.[6]
[2].Ibrahim bin Yazid bin
Qa-is an-Nakhâ-i rahimahullah (wafat 96 H) berkata,”Menurutku, sesungguhnya
fitnah mereka (Murji`ah) lebih aku takutkan atas umat ini daripada fitnah
al-Azâriqah (Khawarij).”[7]
[3]..Muhammad bin Muslim
az-Zuhri rahimahullah (wafat 125H) berkata,”Tidak ada satu perbuatan bid’ah
dalam Islam yang lebih berbahaya bagi pemeluknya (kaum Muslimin) dari bid’ah
ini, yaitu Al-Irja’.”[8]
[4].Yahya bin Sa’id
al-Anshari (wafat 144 H) dan Qatâdah (wafat 113 H), sebagaimana dikatakan oleh
al-Auzâ-i rahimahullah, bahwa mereka berdua mengatakan: “Menurut pendapat
mereka, tidak ada perbuatan bid’ah yang lebih ditakutkan atas umat ini dari
Al-Irja’.” [9]
[5].Manshur bin al-Mu’tamir
as-Sulami (wafat 132H); beliau rahimahullah berkata: “Aku tidak
berpendapat seperti pendapat Murji`ah yang sesat dan bid’ah.” [10]
[6]. Malik bin Anas bin Malik
rahimahullah (wafat 179 H). Terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan tentang
sikap dan pemikiran beliau terhadap Murji’ah, yang dapat diringkas dalam tiga
hal berikut.
a).Tidak melakukan perdebatan
maupun pernikahan dengan mereka, dan ini termasuk hajr yang disyari’atkan.
b).Membantah dan menjelaskan kebatilan madzhab Murji`ah.
c).Tidak mengkafirkan mereka dengan sebab pemikiran dan perbuatan bid’ahnya
tersebut.[11]
[7].Ahmad bin Hambal (wafat
241H). Dalam suatu dialog, beliau rahimahullah pernah ditanya: “Siapakah orang
Murji`ah itu?” Beliau menjawab,”Orang Murji`ah, yaitu yang mengatakan bahwa
iman itu hanya pernyataan belaka.” Beliau juga ditanya tentang orang yang
mengatakan bahwa iman itu hanyalah perkataan. Lalu Ahmad bin Hambal menjawab:
“(Demikian) ini perkataan ahlul-Irja’. Perkataan bid’ah tidak pernah
disampaikan para salaf dan orang-orang panutan kita”. [12]
[8]. Abu ‘Abdillah Muhammad
bin Bathah al-Akburi (wafat 387 H). Pengingkarannya terhadap Murji’ah dapat
dilihat dari pernyataan beliau. Yaitu setelah menyampaikan perkataan banyak
ulama yang melakukan celaan terhadap Murji`ah, beliau berkata: “Berhati-hatilah
kalian –rahimakumullah- dari bermajlis dengan kaum yang keluar dari Islam,
karena mereka telah menentang Al-Qur`ân, menyelisihi Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam , dan keluar dari Ijma’ ulama Muslimin. Mereka mengatakan,
bahwa iman adalah perkataan tanpa amalan.”[13]
Di tempat lain, Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Bathah al-Akbari juga mengingatkan: “Berhati-hatilah kalian
-rahimakumullah- (terhadap) orang yang berkata ‘Saya mukmin di sisi Allah’,
‘saya mukmin yang sempurna imannya’ dan ‘iman saya seperti imannya Jibril dan
Mîkâ-îl’. Mereka ini, semuanya adalah Murji`ah yang sesat, menyimpang dan
berpaling dari agama.” [14]
[9]. Syaikh al-Albani (wafat
1421 H) memasukkan Murji`ah ke dalam kelompok ahlul-hawa dan ahlul-bid’ah. [15]
[10]. .Lajnah ad-Dâ-imah
lil-Buhuts al-Ilmiyah wal-Ifta`, di dalam fatwa no. 21436, tertanggal 8
Rabi’uts-Tsani 1421H menyebutkan tentang fenomena pemikiran Murji`ah pada zaman
ini. Dalam fatwa tersebut dikatakan: “Tidak diragukan lagi bahwa pemikiran ini
(Murji`ah) adalah kebatilan dan kesesatan yang nyata, menyelisihi al-Qur`ân,
Sunnah dan ijma’ Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, sejak dahulu sampai sekarang.”[16]
Oleh karena itu para ulama
terdahulu hingga pada zaman sekarang memberikan perhatian serius dalam
membantah Murji`ah dan penganutnya. Masalah ini dijadikan sebagai topik
pembahasan secara khusus dalam kitab-kitab ‘aqidah. Bahkan, para ulama
menuangkan ke dalam karya tulis yang secara khusus berisi bantahan terhadap
mereka. Misalnya, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah.
BAHAYA DAN PENGARUH BURUK
MURJI`AH
Melihat pengingkaran dan peringatan keras para ulama tersebut di atas, maka
kita harus berhati-hati terhadap bahaya yang muncul dari bid’ah Murji`ah.
Kemudian, kita perlu menjelaskan kepada umat mengenai bahaya pemikiran Murji’ah
tersebut, terlebih pada masa sekarang ini, ketika umat Islam jauh dan kurang
mengetahui ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di antara bahaya dan dampak
buruk pemikiran Murji’ah ini dapat disebutkan sebagai berikut.
[1]. Sebagai kelompok yang
mengusung pemikiran bid’ah, maka jika Murji`ah masuk ke dalam ‘aqidah kaum
Muslimin, ia dapat memporak-porandakan kesatuan umat. Sebab, suatu perbuatan
bid’ah jika muncul dan berkembang, ia akan memicu permusuhan dan kebencian di
antara kaum Muslimin. Karena pelaku bid’ah pasti akan membela perbuatan
bid’ahnya, sedangkan Sunnah Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam pasti ada
pendukung yang menegakkannya. Dengan perseteruan ini, maka umat akan
terpecah.[17]
[2]. Membuat pemilik ‘aqidah
Murji’ah ini masuk dalam kategori 72 golongan yang diancam masuk neraka,
sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Sesungguhnya orang sebelum
kalian dari ahli kitab telah berpecah-belah dalam 72 golongan, dan sungguh umat
ini akan berpecah-belah menjadi 73 golongan; 72 golongan di dalam neraka, dan
satu di syurga; yaitu al-Jama’ah. [HR Abu Dawud]
[3]. Munculnya pemikiran
Murji’ah ini telah menyebabkan banyak hukum-hukum Islam menjadi hilang,
sehingga menjadi penyebab hilangnya syari’at. Pemikiran mereka juga telah
merusak keindahan Islam, sehingga menjadi penyebab manusia berpaling dan tidak
mengagungkan syari’at Allah.[18] Demikian sebagian dampak buruk bid’ah secara
umum, dan Murji`ah termasuk di dalamnya.
[4]. Mereka telah berdusta
atas nama Allah dan memiliki pemikiran yang telah dicela oleh seluruh ulama.
Imam al-Ajuri (wafat 360H) berkata,
”Barangsiapa yang memiliki
pemikiran seperti ini (Irja`), maka ia telah berdusta atas nama Allah dan
membawa lawannya kebenaran serta sesuatu yang sangat diingkari seluruh ulama,
karena yang memiliki pemikiran ini menganggap, seseorang yang telah mengucapkan
lâ ilaha illallâh, maka dosa besar dan perbuatan keji yang ia lakukan, sama
sekali tidak merusaknya. Menurutnya pula, keberadaan antara orang yang baik dan
takwa dengan orang yang fajir adalah sama. Pendapat seperti ini jelas merupakan
kemungkaran. Padahal Allah berfirman.
“Apakah orang-orang yang
membuat kejahatan itu menyangka, bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih? Yaitu sama antara
kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu”
[Al-Jatsi-ât : 21]
Dan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
“Patutkah Kami menganggap
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan
orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami
menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat
ma’siat?” [Shâf : 28] [19]
[5]. Kelompok Murji’ah
meyakini bahwa suatu perbuatan (amal) tidak mempengaruhi keimanan seseorang,
sehingga banyak orang menyatakan yang penting “hatinya”, dan perbuatan maksiat
yang dilakukannya tersebut seakan-akan tidak mempengaruhi keimanan di hatinya.
[6]. Pemikiran Murji’ah
membuka pintu bagi orang-orang yang rusak membuat kerusakan dalam agama, dan
merasa tidak terikat dengan perintah dan larangan syari’at. Sehingga akan
memperbesar kerusakan dan kemaksiatan di tengah kaum Muslimin. Bahkan akhirnya
sangat mungkin mereka membuat melakukan perbuatan kekufuran dan kesyirikan,
dengan alasan bahwa hal itu merupakan amalan, dan tidak merasa bisa menyebabkan
imannya menjadi berkurang atau hilang. Na’udzubillâhi minazh-zhalal.
[7]. Menghilangkan unsur
jihad fi sabilillâh dan amar ma`ruf nahi mungkar. Bukti atau dalilnya mana?
Perlu ada penjelasan. (dari Nur)
[8]. Kaum Murji’ah menyamakan
antara orang yang shalih dengan yang tidak, dan orang yang istiqamah di atas
agama Allah dengan orang yang fasik. Sebab menurut mereka, amal shalih tidak
mempengaruhi keimanan seseorang, sebagaimana juga perbuatan maksiat tidak
mempengaruhi keimanan.
Adanya fenomena pemikiran
Murji’ah pada masa sekarang ini, maka Lajnah ad-Dâ-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah
wal-Ifta` telah menanggapinya, sebagaimana tercantum dalam fatwa mereka no.
21436, tertanggal 8 Rabi’uts-Tsani 1421H. Fatwa tersebut menyebutkan.
“Tidak diragukan lagi,
pemikiran ini (Murji`ah) merupakan kebatilan dan kesesatan yang nyata,
menyelisihi Al-Qur`an, as-Sunnah dan Ijma’ Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah sejak
dahulu hingga sekarang. Pemikiran Murji`ah ini membuka pintu bagi orang-orang
yang jelek dan rusak untuk lepas dari dinul-Islam dan tidak terikat dengan
perintah maupun larangan syari’at, terlepas dari rasa takut maupun khawatir
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga menghilangkan sisi jihad fi sabilillâh
dan amar ma`ruf nahi mungkar, menyamakan antara orang yang shalih dengan yang
thalih (tidak shalih), yang taat dengan yang maksiat, dan yang istiqamah di
atas agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan yang fasik yang lepas dari perintah
dan larangan syari’at, selama amalan-amalan mereka tersebut tidak mempengaruhi
iman sebagaimana menurut mereka . . .
(Syaikhul-Islam) rahimahullah
berkata,”Para salaf terdahulu sangat keras pengingkarannya terhadap Murji`ah,
karena mereka mengeluarkan amalan dari iman. Dan tidak diragukan lagi, bahwa
pendapat Murji`ah yang menyamakan keimanan (semua) manusia, (maka pendapat ini)
termasuk kesalahan yang sangat besar. Yang benar, manusia tidak sama dalam
masalah tashdiq, cinta, takut dan ilmu, bahkan (ditinjau) dari banyak sisi
memiliki tingkatan yang berbeda-beda”.
Inilah konsekwensi yang
timbul dari pernyataan mereka yang mengatakan bahwa amalan tidak termasuk iman.
Dari pendapat itu, kemudian muncul pernyataan mereka, bahwa iman Abu Bakar
Radhiyallahu ‘anhu dan iman Iblis adalah satu (sama).[20]
Pemikiran Murji`ah yang
demikian ini, dikarenakan mereka jauh dan berpaling dari penjelasan Al-Qur`ân,
Sunnah dan pernyataan para sahabat, Tabi’in dan ulama besar umat ini. Mereka
menyandarkan pemikiran tersebut, yakni yang mereka fahami dari bahasa Arab
semata.[21]
Demikian bahaya dan dampak
buruk pemikiran Murji`ah. Mudah-mudahan penjelasan ringkas ini bermanfaat bagi
kita.
Wabillahit-Taufiq.
Maraji:
[1]. Al-Bid’ah Asbâbuha wa Madharuha, Syaikh Mahmud Syaltût, Tahqiq: Syaikh Ali
Hasan, Dâr Ibnul-Jauzi, Cetakan Kedua, Tahun 141H.
[2]. Al Ibânah ‘an al-Syari’at al-Firqatun-Najiyah wa Mujânabat al-Furqah
al-Madzmûmah, Muhammad bin Bathah al-’Akbari, Tahqiq: Ridha bin Na’sân Mu’thi,
Dâr ar-Râyah, Cetakan Kedua, Tahun 1415H.
[3]. Al-Muntaqa min Syarhi Ushul I’tiqâd Ahlis-Sunnah wal-Jamâ’ah, Abu Mu’adz
Mahmud bin Imam bin Manshur Ali Muwâfi, Maktabah as-Sahabat, Jeddah, KSA,
Cetakan Pertama, Tahun 1415 H.
[4]. Fathul-Bari, Ibnu Hajar al ‘Asqalani, al-Maktabah as-Salafiyah, tanpa
cetakan dan tahun.
[5]. Firaq Mu’asharah Tantasibu ilal-Islam, Dr. Ghalib bin Ali ‘Awâji, Dar
Lienah, Cetakan Ketiga, Tahun 1418H.
[6]. Majmu’ al-Fatâwa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tanpa cetakan dan tahun.
[7]. Manhaj al-Imam Mâlik fi Itsbât al-Aqîdah, Sâ’ud bin Abdul-’Aziz ad-Da’jân,
Maktabah Ibnu Taimiyyah, Cetakan Pertama, Tahun 1416 H.
[8]. Silsilah al-Ahadits ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani,
Maktabah al-Ma’ârif, Riyâdh, KSA, Cetakan Pertama, Tahun 1417 H.
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo]
__________
Foote Note
[1]. Majmu al-Fatawa (10/354)
[2]. Majmu al-Fatawa (10/356-357)
[3]. Al-Ibanah an asy-Syari’at al-Firqatun-Najiyah wa Mujanabat al-Furqah
al-Madzmumah (2/889)
[4]. HR Bukhari, kitab al-Iman, Bab : Khauf al-Mu’min min An Yahbitha Amaluhu
wa Huwa la Yasy’urun, no. 48
[5]. Fathul-Bari (1/112)
[6]. Dibawakan al-Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad, dinukil dari al-Muntaqa
min Syarhi Ushul I’tiqad Ahlis sunnah wal Jama’ah, Abu Mu’adz Mahmud bin Imam
bin Manshur Ali Muwafi, Maktabah al-Sahabat, Jeddah, KSA, Cetakan Pertama,
Tahun 1415H (hlm. 211)
[7]. Al-Ibanah (2/885)
[8]. Ibid
[9]. Ibid (2/886)
[10]. Ibid
[11]. Manhaj al-Imam Malik fi Itsbat Al-Aqidah, hlm.507
[12]. Firaq Mu’ashirah Tantasibu ilal-Islam (2/975-976)
[13]. l-Ibanah (2/893)
[14]. Ibid (2/899)
[15]. Silsilah al-Hadits ash-Shahihah (6/1274)
[16]. Fatwa ini juga terdapat dalam lampiran kitab At-tibyan Li’alaqat al-Amal
bi Musamma al-Iman, Ali bin Ahmad bin Suyuf, Maktabah al-Ulum wa-Hikam, cetakan
Pertama, Tahun 1425H, hlm. 282-287.
[17]. Al-Bid’ah Asbabuha wa Madharruha, hlm. 58
[18]. Ibid
[19]. Asy-Syari’ah, Abu Bakar Muhammad bin al-Husain bin Abdillah al-Ajuri,
Jum’iyah Ihya-uts Turats al-Islami, Cetakan Pertama Tahun 1421H, hlm 151-152
[20]. Al-Muntaqa min Syarhu Ushul I’tiqad, hlm.215
[21]. Fatawa Lajnah ad-Da’imah lil Buhuts al-Ilmiyah wal-Ifta, no. 21436,
tertanggal 8 Rabiuts-Tsani 1421H