Hillary
Akui ISIS Rekayasa AS untuk Pecah Belah Timur Tengah
Terkait fenomena munculnya gerakan Islamic State of Iraq and
Suriah (ISIS), sebuah pernyataan mengejutkan dilontarkan mantan Menlu AS
Hillary Clinton. Dalam buku terbarunya, Hard Choice, Hillary
mengakui bahwa gerakan tersebut dibentuk oleh AS bersama sekutunya untuk
membuat Timur Tengah senantiasa bergolak. Demikian dilansir harian Mesir,
Elmihwar, Rabu (6/8).
Dikatakan, ISIS dibentuk dan diumumkan pada 5 Juni
2013 oleh pemerintah AS bersama dan negara-negara barat sekutunya demi memecah
belah Timur Tengah (Timteng).
“Kami telah mengunjungi 112 negara sedunia. Lalu
kami bersama-sama rekan-rekan bersepakat mengakui sebuah Negara Islam(Islamic
State/IS) saat pengumuman tersebut,” tulis Hillary.
Awalnya gerakan tersebut akan didirikan di Sinai,
Mesir, sesuai revolusi yang bergolak di beberapa negara Timur Tengah. Namun
saat terjadi kudeta yang digerakkan militer meletus di Mesir, semua rencana itu
berantakan.
“Kami memasuki Irak, Libya dan Suriah, dan semua
berjalan sangat baik. Namun tiba-tiba meletus revolusi 30 Juni-7 Agustus di
Mesir. Itu membuat segala rencana berubah dalam tempo 72 jam,” ungkap istri
mantan presiden AS, BillClinton, itu.
Pihak barat, menurut Hillary, sempat berpikir
untuk menggunakan kekuatan di Mesir. Namun negeri piramida tersebut bukanlah
Suriah atau Libya, karena militer negara itu tergolong kuat. Selain itu, warga
Mesir cenderung tidak pernah meninggalkan militer mereka.
“Jadi, jika kami gunakan kekuatan melawan Mesir,
kami akan rugi. Tapi jika kami tinggalka, kami pun rugi,” tulis dia.
Sebelumnya, mantan karyawan Kontrak US National
Security Agency (NSA), Edward Snowden, juga melontarkan pernyataan yang hampir
sama.
Snowden, seperti dilansir Globalresearch, menyebut
ISIS sebagai produk kerjasama antara Inggris, Amerika Serikat dan Israel dengan
tujuan menciptakan sebuah organisasi teroris untuk menarik semua ekstrimis
dunia dalam satu tempat.
Dalam berita itu disebut pula bahwa Snowden
mengungkapkan strategi yang dikenal sebagai operasi “sarang lebah”. Dokumen NSA
menunjukkan operasi “sarang lebah” bertujuan melindungi entitas Zionis dengan
menciptakan slogan-slogan agama dan Islam.
Menurut dokumen yang dirilis oleh Snowden,
satu-satunya solusi untuk melindungi negara Yahudi itu adalah dengan
menciptakan musuh di dekat perbatasannya. Bocoran informasi rahasia ini juga
mengungkapkan bahwa pemimpin ISIS dan Abu Bakar Al-Baghdadi merupakan jebolan
program pendidikan Mossad. Dia diketahui pernah mengikuti pelatihan militer
intensif selama satu tahun di bawah kendali Mossad, selain program dalam bidang
teologi.
***
Makin jelas kan? pemain-pemain kisruh timur
tengah dan dunia? Rakyat yang jadi korban oleh permainan mereka.
Jeb Bush: Kakak Saya Bantu Ciptakan ISIS
Sebuah
laporan dari Huffington
Post (HP) berikut ini
nampaknya relevan dengan kondisi geopolitik saat ini. Jeb Bush, adik dari
George W. Bush, yang belum resmi menjadi calon presiden baru AS ini sudah
menghadapi tantangan serius untuk pencalonannya. Yang parahnya adalah,
pertanyaan memojokkan itu datang dari seorang mahasiswi berusia 19 tahun,
demikian laporan HP, yakngAntiLiberalNews kutip pada Senin (16/11/2015).
“Kakakmu membuat ISIS?,” mahasiswi bernama
Ivy Ziedrich bertanya kepada Bush dalam pertemuan balai kota di Reno, Nevada,
Rabu (13/5). “ISIS” adalah nama umum untuk kelompok militan yang menyebut
dirinya Negara Islam, dan “kakak” yang dimaksud, tentu saja, adalah mantan
Presiden George W. Bush.
Beberapa saat sebelumnya, mantan Gubernur
Florida telah mengatakan kepada penonton bahwa Presiden Barack Obama
bertanggung jawab atas munculnya kelompok militan. Tapi Ziedrich, seorang
mahasiswi di University of Nevada, Reno, menjawab bahwa sejarah versi Bush
“memoles semua peristiwa kunci”.
“Anda menyatakan bahwa ISIS diciptakan
karena kita tidak memiliki cukup kuasa dan kita sudah menarik diri dari Timur
Tengah,” katanya. “Namun, ancaman ISIS diciptakan oleh otoritas koalisi Irak,
yang menggulingkan seluruh pemerintah Irak. Itu ketika 30.000 orang yang
merupakan bagian dari militer Irak dipaksa keluar. Mereka tidak punya
pekerjaan, mereka tidak memiliki penghasilan, namun merekalah yang tersisa
dengan akses ke semua persenjataan yang sama. ”
Bantahan Ziedrich untuk Bush datang pada
saat bakal calon (presiden) sudah menghadapi pertanyaan sebelumnya yang
mengatakan bahwa ia mendukung invasi ke Irak. (Bush kembali pada komentar
sebelumnya, yang mengatakan bahwa “mengetahui apa yang kita tahu sekarang,” ia
tidak akan menginvasi negara itu.) Sementara, Bush mungkin tidak suka
mengakuinya, kebenarannya adalah bahwa komentar Ziedrich ini menangkap titik
yang telah lama ditekankan oleh pengamat Timur Tengah – yaitu, bahwa kesalahan
pengelolaan pemerintahan Bush di Irak mendorong ribuan warga Irak yang terampil
untuk memanfatkan keahlian mereka untuk pemberontakan anti-Amerika yang
akhirnya menjadi Negara Islam.
Jeb Bush dan Partai Republik lainnya
menuduh Obama yang memungkinkan pemberontakan akibat penarikan pasukan AS dari
Irak pada akhir 2011. Pemerintah mengatakan pasukan disana itu tidak bisa
dipertahankan tanpa kesepakatan untuk melindungi mereka, sebab Baghdad tidak
menandakan adanya stabilitas keamanan.
Tapi jika kita membaca sejarah versi,
faktanya risiko ekspansi militan Islam untuk membentuk sebuah “negara” sangat
jelas pada tahun 2003 lalu, setelah George W. Bush memerintahkan invasi AS ke
Irak atas dasar bukti yang samar-samar. Saddam Hussein pada saat itu secara
efektif mengendalikan Irak selama lebih dari 30 tahun. Kekuatannya yg besar
sebagai kepala intelijen dan keamanan internal negara, Hussein berinvestasi
dalam membuat Irak sebagai “negara polisi”, dengan agen yang loyal, terlatih
dari pemerintahan Partai Baats, yang dipenuhi konspirasi. Ia juga sangat
fokus agar pasukannya berkekuatan tangguh, yang terdiri atas Arab Ahlus Sunnah
– minoritas di Irak – untuk posisi kepemimpinan. Aturan Hussein memaksa
perekrutan para prajurit dan pejabat untuk menjadi lebih ketat, karena mereka,
seperti banyak orang lain di negara kuasi-sosialis yang terpusat di Irak,
sangat bergantung pada gaji pemerintah, subsidi dan bantuan.
Kemudian seorang Amerika datang ke Baghdad
dan mengatakan kepada semua orang yang terlatih dan pria bersenjata itu bahwa
layanan mereka tidak lagi diperlukan, atau diijinkan. Dengan demikian, mereka
menjadi “pengangguran” karena militer AS turun langsung mengintervensi kerja
mereka, bahkan sebagian menjadi oposisi.
Lebih dari 12 tahun yang lalu, George W.
Bush menunjuk L. Paul Bremer untuk menjalankan operasi di Irak. Bremer diberi
kekuasaan besar dan mandat untuk mengubah Irak menjadi mimpi GOP: sebuah pasar
bebas yang menyenangkan, sebuah pendukung Muslim yang didalangi Amerika sebagai
mercusuar AS di Timur Tengah.
Bremer diam-diam meninggalkan negara itu 14
bulan kemudian, menyerahkan kekuasaan kepada “pemerintahan boneka” di mana 85
persen terdiri atas Syiah Irak, yang pada saat itu, mengatakan bahwa mereka
kurang percaya diri. Banyak manuver mereka terhadap masalah keamanan Irak yang
tidak memuaskan. Bahkan, para pejabat AS mengatakan kepada Washington Post
bahwa ini diperburuk dengan keputusan Bremer untuk membubarkan tentara Irak.
Salah satu orang yang kehilangan
pekerjaannya adalah -menurut laporan utama terbaru dari majalah Jerman Der Spiegel-
seorang arsitek utama dari Daulah Islam (ISIS).
Der Spiegel bulan lalu menerbitkan sebuah cerita
berdasarkan dokumen milik ISIS. Dokumen-dokumen tersebut membahas pria yang
dikenal sebagai militan bernama Haji Bakar. Nama aslinya – nama yang dikenal
ketika ia bertugas di layanan angkatan udara intelijen Saddam Hussein – adalah
Samir Abd Muhammad al-Khlifawi.
Der Spiegel berbicara tentang Haji Bakar dan peneliti
Irak Hisham al-Hashimi, yang telah menyarankan berdirinya pemerintah Islam di
Irak. Hashimi mengatakan bahwa langkah Bremer meninggalkan mantan loyalis Hussein
akan menciptakan “kepahitan dan pengangguran.”
Laporan ini melanjutkan: Ribuan petugas
Sunni terlatih dirampok dari mata pencaharian mereka dengan “goresan pena”
(pemberhentian militer Irak). Dengan demikian, Amerika menciptakan musuh yang
paling pahit dan cerdas. Bakar bergerak di bawah tanah dan bertemu Abu Musab
al-Zarqawi di Anbar di provinsi barat Iraki. Zarqawi, seorang kelahiran
Yordania, sebelumnya menjalankan kamp pelatihan untuk para kombatan
internasional di Afghanistan. Mulai tahun 2003, ia menjadi terkenal secara
global sebagai dalang serangan terhadap PBB, pasukan AS dan kaum Syiah. Dia
bahkan terlalu radikal daripada pemimpin Al-Qaeda pendahulunya, Osama bin
Laden. Zarqawi tewas dalam serangan udara AS pada tahun 2006.
Meskipun dominan Partai Baats Irak adalah
sekuler, kedua sistem itu akhirnya berbagi keyakinan bahwa kontrol atas massa
harus berada di tangan segelintir elite yang tidak boleh dipertanyakan siapa
pun – karena memerintah di atas rencana besar, dilegitimasi baik oleh “Tuhan” atau
kemuliaan sejarah Arab. Rahasia sukses ISIS ‘terletak pada kombinasi siapa yang
menjadi lawan, keyakinan fanatik satu kelompok dan perhitungan strategis
lainnya.
Haji Bakar, seorang penasehat penting
pemimpin “Daulah Islam” dari Abu Bakar al-Baghdadi, tewas pada tahun 2014. Pada
saat itu, menurut cerita Der Spiegel dan komentar analisis tentang ISIS oleh Long War Journal, Bakar telah memapankan keunggulan
Baghdadi dalam kelompok ini, membantu para militan mengambil alih kota-kota
kunci di Suriah dan memainkan peran utama dalam perpecahan kelompok dari
pemimpin Al-Qaeda pusat di Pakistan dan afiliasi al-Qaeda di Suriah. Sehingga,
langkah berikutnya tinggalah mengklaim pusat Negara Islam dan mendeklarasikan
kepemimpinan global seluruh Muslim. Hal ini juga diduga telah meningkatkan
ketertarikan kelompok radikal di kalangan anak muda dari seluruh dunia,
sehingga membuatnya lebih menarik bagi calon anggota potensial.
Sebuah laporan Washington Post pada April menegaskan pentingnya
mantan tangan kanan Hussein seperti Bakar dalam struktur Daulah Islam secara
keseluruhan.
“Bahkan dengan masuknya ribuan pejuang
asing, hampir semua pemimpin Daulah Islam adalah mantan perwira Irak, termasuk
anggota komite militer dan ‘keamanan bayangannya’, serta mayoritas amir dan putrinya,
berasal dari Irak, ujar warga Suriah dan analis yang mempelajari kelompok itu,
“laporWashington Post.
Tentunya Jeb Bush mungkin tidak suka
warisan kebijakan saudaranya di Irak, namun akan sulit baginya untuk
berpura-pura bahwa itu tidak ada. Itu kini dianggap sebagai salah satu hal
untuk mengatakan bahwa ia tidak akan mengulangi invasi. Sekaligus, mengakui
bahwa keputusan yang dibuat setelah invasi adalah dengan memunculkan Negara
Islam, seperti yang dilakukan Obama, yang jelas mengatakan, “Kami melatih
ISIS.”
Sungguh, pertanyaan untuk Bush dari
Ziedrich tentang apa yang akan dia lakukan atas kebijakan yang diwariskan
kakaknya itu akan mengangkatnya ke atas kursi calon presiden AS berikutnya.
Maka, inilah peta geopolitik yang barangkali akan terus mengusutkan benang
merah sejarah dunia.
Red : Raihanah
Mantan Agen CIA: ISIS Dibentuk Israel, Amerika dan Inggris
Hanya copas dari MetroTV saluran terkemuka kepercayaan
jokowers :)
Mantan Agen
CIA: ISIS Dibentuk Israel, Amerika dan Inggris
Metrotvnews.com: Mantan
pegawai Badan Keamanan Nasional (NSA) dan agen Central Intelligence Agency
(CIA), Edward Snowden mengungkapkan bahwa Islamic State of Irak and Syria
(ISIS) bukan murni organisasi militan Islam. Organisasi ini merupakan bentukan
Amerika, Israel dan Inggris.
Menurut media-media di Iran, sepeti dikutip
Moroccantimes, pemimpin ISIS, Abu Bakr Al Baghadadi dilatih secara khusus oleh
badan intelijen Israel, Mossad. Badan intelijen tiga negara tersebut sengaja
membentuk kelompok teroris untuk menarik kelompok-kelompok garis keras di
seluruh dunia dalam satu tempat. Mereka menyebut strategi ini "sarang
lebah".
Dengan strategi ini, kelompok-kelompok yang
merupakan musuh Israel dan sekutunya itu jadi lebih mudah terdeteksi. Tujuan
lainnya, untuk merawat instabilitas di negara-negara Arab.
***
Berita lama, tapi tetap relevan untuk melihat
kejadian kekinian.
Preettt... Kalau ISIS klaim Serangan di
Perancis, Hanya Omong Kosong! Ini Konspirasi Tingkat 'Ideologi'
Klaim
Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) berada di balik serangkaian aksi teror
yang mengguncang Paris, Perancis, pada Jumat lalu diragukan. Karena ISIS
disangsikan bisa mudah masuk ke negara tersebut.
"ISIS
tidak akan bisa bergerak semudah itu. Karena Perancis adalah negara yang
sangat digdaya di Eropa," ungkap pengamat hubungan internasional
Zarmansyah kepada Kantor Berita Politik RMOL (Minggu, 15/11).
Menurut dosen London School of Public Relations
ini, Presiden Perancis Francois Hollande yang juga menyebut ISIS sebagai dalang
dalam aksi teror tersebut hanya untuk menenangkan massa. "Ini untuk bisa
menjawab pertanyaan publik saja, untuk menenangkan," ungkap master jebolan
Paris-Sorbonne University ini.
Dalam amatannya, teror tersebut tersebut murni
persoalan homeland security Perancis, yang berpengaruh kepada peran intelijen
sebagai mata dan telinga. "Kalaupun ISIS tidak akan bergerak tanpa adanya
peluang dari dalam. Peluang dari dalam yang mentrigger," imbuhnya.
Dia menjelaskan, saat ini setidaknya ada empat
persoalan di Perancis. Pertama, kesenjangan antara Paris Utara yang kaya dengan
Paris Selatan yang miskin. "Wilayah miskin tidak jauh dari tempat keadian,
yang semakin hari semakin besar," ucapnya.
Kedua,
persaingan antara kelompok politik. Yaitu, ultrakanan, konservatif, dan
sosialis. Ketiga, polarisasi sikap masyarakat terkait independensi Uni Eropa
terhadap Amerika Serikat.
Dia menambahkan, Perancis dan Jerman tidak mau
Eropa berpihak kepada AS seperti waktu perang dingin. Karena itu Perancis
negara yang paling terakhir menyatakan bergabung dalam aliansi dalam perang
Irak tahun 2003.
Keempat, persoalan bagaimana keterlibatan Perancis
di Suriah. Sebagaimana diketahui Rusia sudah terlibat mem-back-up rezim Assad.
"Konfigurasi dari semua persoalan ini
kemudian men-trigger homeland security Perancis menjadi mandul sehingga terjadi
tragedi berdarah yang sangat memalukan. Baru kali ini terjadi seperti ini dalam
sejarang Perancis," tandas doktor jebolan Ankara University, Turkey ini.
Boom! Direktur CIA Temui Kepala Keamanan Perancis dan Mossad
sebelum bom Paris
Direktur
CIA John O. Brennan disinyalir telah menemui Direktur Biro Intelijen Perancis
(DGSE) Bernard Bajolet sebelum insiden bom Paris, Jum’at (13/11/2015) atau
disebut dengan Friday the 13th. Hal tersebut dilaporkan koresponden Gedung
Putih untuk Televisi Perancis Canal+,
Laura Haim bersamaan dengan reportase langsung Brian William dari MSNBC.
Haim mengatakan bahwa sebuah pernyataan
menarik dalam laporan langsung William dalam MSNBCbahwa,
Direktur CIA baru saja menemui Direktur DGSE. Biro ini merupakan badan serupa
MI6 dan CIA di Perancis. Mereka membincangkan “Transparansi Intelijensia.”
Apakah ini berarti akan ada gerak “intell
without borders?” atau “konspirasi bersama?”.
Perbincangan mereka tidak jauh dari hasil
Konferensi Intelijensia CIA-GW dimana sebuah panel dilakukan untuk kerjasama
misi internasional Abad 21. Seiring dengan hal itu, mereka juga bergabung
bersama mantan Kepala MI6 Inggris John Sawers dan mantan Penasihat Kemanan
Nasional “Israel” Yaacov Amidor.
Pertemuan tersebut berlangsung sebagai
bagian dari 2nd
Annual Ethos and Profession of Intelligence Conference, yang
diselenggarakan oleh CIA dan Univeritas George Washington pada 27 Oktober lalu,
sebagaimana dilansir undergroundworldnews.com.
Dari informasi tersebut, para analis memberikan kesimpulan sementara bahwa insiden bom Paris merupakan “modus” Zionis dan Sekutu Barat-nya untuk melakukan invasi besar-besaran ke Suriah yang kini mulai menampakkan kemenangan Pejuang Oposisi. Hal tersebut dibuktikan dengan serentaknya penyerangan udara diberlakukan Perancis ke Suriah pasca ditemukannya paspor “pelaku bom” yang berkewarganegaraan Suriah.
Analis pada IW, Sabtu (14/11) mengatakan bahwa, “ISIS dijadikan alat oleh Zionis dan Sekutu Barat-nya untuk membuka peluang masuknya Perancis dan sekutunya ke Suriah. Tentu kita tidak heran, sebab ISIS disinyalir merupakan buah dari operasi CIA [di Irak dan Suriah].”