Ideologi sebagai sistem
kepercayaan sangat komplek, memiliki satu struktur yang logis, dan menuntut kepatuhan
dari para pengikutnya. Unsur-unsur ini menjadikan ideologi sangat mengikat,
mengarahkan penganutnya pada tujuan tertentu, dan biasanya dipegang hanya oleh
para elite.
Oleh karena hanya
beberapa orang saja yang dapat menangkap kompleksitas, struktur, dan karakter
teoretisnya. Namun demikian, ideologi juga mengikat masyarakat awam atau massa
yang memerlukan panduan. Dapat kita katakan, bahwa ideologi menjadi alat yang
sangat strategis dan siqnifikan dalam memobilisasi massa. Suatu sistem ideologi
melahirkan sistem hukum tertentu yang diharapkan menjustifikasi kepentingan
suatu Negara.
Di era globalisasi saat
ini, keberadaan Negara semakin dipertanyakan eksistensinya. Sebab, selain
otoritas Negara telah bermunculan kekuatan actor nonstate yang memiliki energi
seperti layaknya Negara. Konsep kedaulatan pasar telah mampu menandingi
kedaulatan Negara. Pada banyak kasus, Negara Dunia Ketiga – termasuk Indonesia
– ‘dihadapmukakan’ pada kenyataan ketergantungan Negara pada kekuatan pasar
(market power).
Lazim disebut dalam
kajian hubungan internasional sebagai ketergantungan Negara-negara ‘pinggiran’
(periphery) terhadap Negara core. Penulis tidak menyalahkan pandangan pakar
yang menganggap liberalisasi adalah sebagai penjajahan model baru yang dikemas
dalam konsep “Tata Dunia Baru (Novus Ordo Seclarum).
Namun, selain ancaman
liberalisasi terdapat ancaman yang lebih dahsyat, yakni ekspansi ideologi dan
hukum sekaligus dengan karakter transnasional serta transendental. Jika dalam
ekspansi liberalisasi ekonomi banyak Negara yang terlibat, tapi dalam ekspansi
yang satu ini, hanya satu Negara yakni Iran. Penyebaran ideologi dan hukum yang
menonjolkan nilai-nilai kerohanian dan bahkan sukar untuk dipahami karena
berdimensi gaib. Dikatakan demikian, oleh karena kepercayaan Syi’ah Iran atas
Imam Mahdi as yang dalam masa kegaiban besar (major occultation), sejak 1074
tahun yang lalu.
Iran dengan massif dan
ofensifnya telah membentuk pula actor nonstate di berbagai Negara, khususnya
yang berpenduduk muslim, termasuk di Indonesia dengan nama Islamic Cultural
Center (ICC). Lembaga penyebaran ideologi ini – meminjam istilah Althusser –
dapat disebut “Apparatus Negara Ideologis” (ideological state apparatus/ISA).
Sistem hukum Syi’ah Iran
merupakan pintu masuk (entry point) yang sangat efektif dalam ekspansi ideologi
Syi’ah Iran. Mengapa dikatakan demikian? Jawabnya, bahwa hukum merupakan situs
pertarungan ideologi. Ideologi yang dominan pada akhirnya akan masuk ke dalam
hukum dan pada akhirnya hukum itu sendiri akan semakin memperkuat ideologi
untuk lebih dominan. Inilah yang penulis maksudkan sebagai ekspansi
ideologi-politik Syi’ah Iran.
Ekspansi dimaksud juga
didukung dengan pendekatan keagamaan (transcendental), dengan target
“Syiahisasi”, mengeksodus kaum muslim menjadi Syi’ah dan berbaiat kepada
pimpinan tertinggi Republik Iran (Rahbar), yakni Ali Khamenei sebagai
mandataris atau deputi Imam Mahdi as selama masa gaib.
Menjadi jelas bagi kita,
aspek transendental yang mengusung ajaran Syi’ah merupakan sisi aktif ideologi
(imamah) Iran. Syiahisasi juga berpotensi melemahkan rasa, paham dan semangat
nasionalisme Indonesia. Ketika Syiahisasi sudah demikian kuat dan melembaga
dalam sistem politik dan pemerintahan, maka akan terjadi hubungan timbal balik
(difusi) antara hukum dan ideologi yang hendak diberlakukan di Negara target.
Ideologi imamah Iran
akan dikokohkan dengan sistem hukum Syi’ah. Di sisi lain produk hukum yang akan
dihasilkan ditentukan pula oleh ideologi imamah Iran. Bukan hal yang mutahil,
semua itu akan terjadi di Indonesia yang kita cintai ini. Contoh kasus di
berbagai Negara menjadi pelajaran berharga bagi kita. Lihatlah beberapa Negara
telah menjadi “Negara bagian” Iran, seperti Lebanon dengan gerakan politik dan
militer Hizbullah, Irak pasca pendudukan Amerika, dan Yaman dengan serangkaian
gerakan kudeta militer yang dibantuk oleh Iran.
Di Indonesia, perjuangan
subjek yuridis Iran adalah menguasai pembentukan hukum (making law). Untuk
kepentingan ini, mereka masuk dalam struktur kekuasaan untuk memproduksi hukum
yang mendukung rencana, aksi dan kondisi juang (RAK-Juang). Diharapkan struktur
kekuasaan (baca: pemerintah) akan memihak kepada Iran.
Ketika tercipta
keberpihakan, para subjek yuridis Iran yang notabene adalah agen Iran akan
menciptakan kondisi bersekutunya elite politik, cendekiawan dan kaum pebisnis
dengan Iran dalam bentuk kebijakan yang mendukung penguasaan dan penundukan
para pegiat anti Syi’ah. Pola ini merupakan perluasan dari teori Marx. Jika
teori Marx berbicara tentang motif ekonomi di balik aturan hukum, maka Syi’ah
Iran mengusung motif-motif kekuasaan. Walaupun keduanya sama-sama mengusung
jargon kaum tertindas (mustadhafin), borjuis – penindas (mustakhbirin), namun
Iran lebih maju dalam memetakan hubungan-hubungan kekuasaan (authority) dalam
menyedikan unsur-unsur bagi kelahiran kelas. Maksudnya, menegasikan kaum
penindas yang tidak lain ditujukan kepada kaum Ahlussunnah wal Jamaah sebagai
ajaran mainstream di Indonesia.
Pada akhirnya, cita-cita
memberlakukan hukum ala imamah diarahkan untuk mendukung dan melayani sang
deputi Imam Mahdi as. Di saat yang sama, pihak yang bersekutu akan menjadi
“Syi’ah Relasional”. Kelompok ini sudah terlanjur menikmati status ekonomi yang
relatif tinggi, dan tentu cenderung memihak kepada Iran. Disitulah terjadi
penguasaan dan penundukkan, bukan hanya kepada kaum Ahlussunnah wal Jamaah
tetapi juga kepada pemimpin nasional.
Jika sudah sampai pada
tahap ini, maka Indonesia akan mengalami nasib yang sama seperti Lebanon,
“Negara bagian Iran”! Semoga tidak terjadi dan pemerintah segera meningkatkan
fungsi early warning dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional (National
Resilience) dari ancaman nirmiliter Syi’ah Iran.
Oleh : DR. H. Abdul
Chair Ramadhan, SH, MH, MM.
(Komisi Kumdang MUI Pusat)